Anda di halaman 1dari 26

PEMIKIRAN K.H.

ACHMAD SIDDIQ
TENTANG TARIKAT DAN TASAWUF

DI SUSUN
OLEH :

NAMA : SRI ASNITA

NIM : 29173503

PENGASUH :Dr. Phil. Abdul Manan, M.Sc, MA

PASCASARJANA UIN AR-RANIRY


BANDA ACEH
TAHUN 2018

0
ABSTRAK

Perkembangan pemikiran Islam di Indonesia khususnya dalam masalah


agama telah mengalami banyak kemajuan dan pembaharuan yang sangat
mengesankan. Hal itu dapat dibuktikan dengan banyaknya tokoh pembaharu yang
bermunculan, salah satunya ialah K.H. Achmad Siddiq. Ia merupakan salah satu
tokoh besar NU yang banyak memberikan pemikiran penting di dalamnya, seperti
pemikiran untuk mengatasi beberapa masalah yang terjadi di internal NU sendiri
maupun masalah yang dihadapi oleh umat Islam di Indonesia.
K.H. Achmad Siddiq telah menyumbangkan pemikirannya baik pemikiran
keagamaan maupun pemikiran kenegaraan. Dalam pemikiran kenegaraan, ia
mengajak kepada para ulama NU untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggal,
walaupun pada awalnya apa yang ia usulkan sempat mendapat penolakan dari
kalangan ulama NU. Dalam pemikiran keagamaan, ia mencoba untuk melakukan
modernisasi dalam bidang tasawuf. Hal itu dilakukan dengan tujuan agar
semangat keberagamaan sebagaimana ditunjukkan oleh tasawuf dapat diterapkan
dalam konteks kehidupan modern. Dalam dunia modern, tasawuf dapat
dipergunakan sebagai pendekatan yang dapat memenuhi kebutuhan keberagamaan
masyarakat. Pendekatan ini diambil karena menurutnya dua pendekatan yang
sudah ada yaitu aqidah dan fiqhiyah dianggap sudah tidak relevan lagi ketika
Islam berhadapan dengan kehidupan modern. Menurutnya, pendekatan tasawuf
bisa merangkul semua manusia tanpa membedakan asal muasal suku, ras, warna
kulit dan agamanya, karena dalam kehidupan tasawuf semua manusia dipandang
sama. Dengan adanya pendekatan tersebut, ia ingin menghadirkan Islam yang
damai dalam kehidupan masyarakat. Pemikiran dari K.H. Achmad Siddiq yang
tidak kalah penting adalah pemikirannya tentang Khittah Nahdliyyah. Selain itu ia
juga mengajarkan mengenai pentingnya berijtihad dan pentingnya menegakkan
keseimbangan dalam kehidupan.
Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan
penelitian lebih lanjut. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan nantinya bisa
mengetahui bagaimana pembaharuan yang dilakukan oleh K.H. Achmad Siddiq
kemudian bagaimana praktek ajaran tasawuf dari K.H. Achmad Siddiq serta
bagaimana pengaruh dari pembaharuan yang ia lakukan dalam kehidupan umat
Islam.
Penelitian ini merupakan penelitian sejarah yang bertujuan untuk
merekonstruksi peristiwa masa lampau secara kronologis dan sistematis. Dalam
penelitian ini penulis menggunakan pendekatan biografis intelektual, sedangkan
teori yang digunakan adalah teori persepsi dari Hippolyte Tais, yaitu tentang
adanya interaksi ide dan peristiwa. Maksudnya suatu gagasan ide atau pemikiran
muncul karena peristiwa yang mendorongnya, sedangkan ide itu sendiri
melahirkan peristiwa baru yang akan mendorong lahirnya ide lagi.

Kata Kunci : Pemikiran K.H. Achmad Siddiq, Tarikat Dan Tasawuf

1
A. Pendahuluan

Bagi umat Islam di Indonesia, istilah kyai merupakan suatu istilah yang

tidak asing lagi. Di Indonesia, kyai adalah sebutan untuk seorang tokoh dari

kalangan agamawan khususnya agama Islam yang mempunyai peranan sosial

penting dalam masyarakat.1 Posisi seorang kyai tidak hanya diagungkan oleh

kalangan santri saja tetapi juga sangat berpengaruh pada tradisi masyarakat

sebagai identitas kulturnya. Dalam prosesnya, pengembangan ini bersamaan

dengan dimulainya garakan dakwah kecil-kecilan hingga pengajian kitab yang

melibatkan masyarakat umum serta institusi pesantren yang telah dibuat dalam

pengembangan keilmuan.2

K.H. Achmad Siddiq merupakan sosok ulama tradisional yang terkenal di

kalangan pesantren, khususnya di wilayah Jember Jawa Timur. Ia lahir di Jember

pada tanggal 24 Januari 1926 atau tepat satu minggu sebelum organisasi Nahdlatul

Ulama lahir yaitu pada tanggal 31 Januari 1926.3 Ia adalah putra ke 16 dari 25

bersaudara, ayahnya bernama K.H. Muhammad Siddiq dan merupakan pendiri

dari pesantren Shiddiqiyah. Menurut silsilah yang ada, K.H. Achmad Siddiq

merupakan keturunan ke 15 dari Joko Tingkir pendiri dari Kerajaan Pajang.

Selama masa hidupnya ia telah banyak menduduki berbagai jabatan baik

dipemerintahan maupun di dalam Organisasi NU. Sebagai seorang ulama dan juga

politikus, ia telah banyak melahirkan ide-ide, pemikiran di bidang agama, sosial

budaya maupun politik.

1
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya
Mengenai Masa Depan Indonesia, cet. 8 (Jakarta: LP3ES, 2011), hlm. 94.
2
Suismanto, Menelusuri Jejek Pesantren (Yogyakarta: Alief Press, 2004), hlm. 53.
3
Munawar Fuad Noeh, Mastuki HS, Menghidupan Ruh Pemikiran K.H Achmad Siddiq
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 31.

2
Kebesaran nama yang dimiliki K.H. Achmad Siddiq tentunya tidak

muncul begitu saja, melainkan berkaitan erat dengan kultur di mana ia hidup. Ia

tumbuh dan berkembang dalam suasana interaksi sosial yang sangat kondusif bagi

kematangan kepribadian dan kemunculannya sebagai tokoh besar.4 Selain itu

keseluruhan pengalaman yang dilalui oleh seseorang dalam perjalanan hidupnya,

ikut membentuk kepribadian diri orang tersebut.5 Demikian juga terjadi pada diri

K.H. Achmad Siddiq. Ia memperoleh pendidikan pertamanya dari orang

tuanya sendiri dan kemudian menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat Islam di

Jember.

Setelah ia lulus dari Sekolah Rakyat, ia kemudian masuk ke Pesantren

Tebuireng. Di pesantren inilah ia mulai menunjukkan keaktifannya dalam

berorganisasi sehingga pada perkembangannya ia mampu menjadi seorang

organisatoris dan mempunyai jiwa kepemimpinan yang luar biasa yang mampu

mengantarkan dirinya menjadi pemimpin laskar Hizbullah dalam melawan

Belanda. Pada saat belajar di Tebuireng, ia juga masuk ke Madrasah Nidhamiyah

yang dirintis oleh K.H. Wahid Hasyim. Melalui madrasah inilah kemudian ia

masuk kedalam kelompok Intelektual santri yang pengkaderannya dilakukan

langsung oleh K.H. Wahid Hasyim.

Pengkaderan yang dilakukan oleh K.H. Wahid Hasyim ini telah membuat

hubungan antara K.H. Wahid Hasyim dan K.H. Acmad Siddiq menjadi semakin

dekat. Pada saat K.H. Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama pada tahun 1945-

4
Syamsun Ni‟am, The Wisdom, of K.H Achmad Siddiq: Membumikan Tasawuf (Jakarta:
Erlangga, 2009), hlm. 22.
5
Abdussami, Humaidy, dan Ridwan Fakla, Biografi Lima Rais „Aam Nahdlatul Ulama
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan LTn-NU, 1995), hlm. 143.

3
1952, ia ditunjuk langsung untuk menjadi sekertaris pribadinya. Berkat kedekatan

antara keduanya itulah yang menjadikan K.H. Achmad Siddiq bisa mendapatkan

pekerjaan tersebut.6

Karir perjuangannya dimulai ketika ia menjadi anggota dari GPII

(Gabungan Pemuda Islam Indonesia) Jember. Sementara pengabdian K.H.

Achmad Siddiq di pemerintahan dimulai ketika ia menjadi kepala KUA Situbondo

dan Bondowoso, kemudian meningkat menjadi kepala Kantor Wilayah

Departemen Agama Jawa Timur sampai 1971. Pada tahun 1955-1957 dan 1971 ia

pernah menjadi anggota DPR RI.7

Pada saat ia mulai berkarir di NU, ia mengawali karirnya dari wilayah

Jawa Timur khususnya wilayah Jember. Pada saat NU menjadi Parpol 1952, ia

menjadi anggota pengurus besar NU dibawah Rais „Aam K.H. Abdul Wahab

Hasbullah dan ketua umum K.H. Masykur. Kemudian pada periode 1956-1959 ia

menjadi Wakil Sekertaris Umum PBNU dengan Rais „Aam K.H. Wahab

Hasbullah dan Ketua Umum H. Idham Chalid.8 Setelah sekian lama ia aktif di

NU, kemudian ia diangkat menjadi Rais „Aam NU pada tahun 1984-1989

bersama dengan Gus Dur.9

Selama aktif di NU inilah ia mempunyai banyak peran penting, di

antaranya ia berhasil membuat perubahan melalui perannya dalam memberikan

pemikiran dengan melakukan berbagai pembaharuan guna menyelesaikan masalah

yang ada di organisasi NU maupun yang berkaitan dengan Negara Indonesia.

6
Munawar Fuad Noeh, Mastuki HS, Menghidupkan…, hlm. 38
7
10Syamsun Ni‟am, The Wisdom…, hlm. 23.
8
Abdussami, Humaidy, dan Ridwan Fakla, Biografi…, hlm. 148.
9
Munawar Fuad Noeh, Mastuki HS, Menghidupkan.., hlm. 43.

4
Gagasannya yang mengajak warga NU untuk menerima pancasila sebagai asas

tunggal telah membuat bingung warga NU dengan keputusannya tersebut. Agar

upayanya dalam menerima asas tunggal bisa diterima oleh warga NU, maka

kemudian ia menggunakan metode agama (ijtihad dan tajdid) yang sudah lama

dipakai untuk menyelesaikan suatu masalah.

Gagasan yang tidak kalah penting dari K.H. Achmad Siddiq adalah

pemikirannya mengenai khittah nahdliyyah. Pada dasarnya gagasan ini adalah

untuk mengajak warga NU untuk kembali kepada Khittah 1926. Khittah 1926

merupakan landasan berfikir, bersikap, dan bertingkah laku warga NU dalam

semua tindakan dan kegiatan (organisasi) serta dalam setiap pengambilan

keputusan.10 Gagasan mengenai Khittah Nahdliyyah sebenarnya sudah lama

dibicarakan oleh K.H. Achmad Siddiq sejak tahun 1978 dan sering didiskusikan

dengan K.H. A. Muchith Muzadi.11

Selain itu, ia juga menganjurkan mengenai pentingnya membudayakan

Ijtihad dan menegakan prinsip keseimbangan. Ia juga melakukan pembaharuan

dalam bidang tasawuf dengan cara memodernisasikan tasawuf. Hal itu dilakukan

karena menurutnya, modernisasi yang terjadi pada masyarakat saat itu lebih

mengarah pada mudhirunisasi atau lebih mengarah kepada hal-hal yang

mudharat.12 Dengan demikian maka pengembangan jiwa agama atau suasana

religius merupakan hal penting dan mendasar untuk diprioritaskan. Kemudian ia

juga berupaya untuk membawa NU kembali pada Khittah NU 1926 dengan

10
13Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989),
hlm. 197
11
A. Khoirul Anam, dkk., Ensiklopedi Nahdlatul Ulama: Sejarah Tokoh dan Khazanah
Pesantren, cet. Pertama (Jakarta: Mata Bangsa dan PBNU ), hlm. 84.
12
Syamsun Ni‟am, The Wisdom…, hlm. 149.

5
harapan jalur perjuangan NU bisa kembali pada jalur sosial keagamaan

sebagaimana NU 1926.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka timbul keinginan penulis untuk

melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemikiran dari K.H. Achmad Siddiq

dalam bidang pemikiran keagamaan.

B. Biografi Tokoh

KH. Achmad Shiddiq yang nama kecilnya Achmad Muhammad Hasan,

lahir di Jember pada hari Ahad Legi 10 Rajab 1344 (tanggal 24 Januari 1926). Ia

adalah putra bungsu Kyai Shiddiq dari lbu Nyai H. Zaqiah (Nyai Maryam) binti

KH. Yusuf. KH. Muhammad Shiddiq mempunyai istri tiga orang, yaitu Maryam,

Kasmunah dan Mardiyah. Maryam menurunkan sembilan orang anak, yaitu KH.

Machfud Shiddiq (pengasuh 3 ponpes putri di Jember), Zainab Shiddiq (pengasuh

pesantren putri Zainab Shiddiq), KH. Abddullah Shiddiq (pernah menjadi ketua

PBNU Jawa Timur).

Menurut sisilah KH. Achmad Shiddiq adalah keturunan ke 15 dari Joko

Tingkir, pendiri kerajaan Islam di Pajang. Secara tarkib dapat disebutkan; KH.

Achmad Shiddiq putera KH. Muhammad Shaleh, kyai Abdullah (Lasem) putera

kyai Muhammad Shaleh Tirtowijoyo putera kyai Asy’ ari putera kyai Adra’ i

putera kyai Muhammad Yusuf, putera mbah Sumbu, putra Raden Sumanegoro,

putera Raden Pringgokusumo (Adipati Lasem III), putera Joyonegoro, putera

Pangeran Joyokusumo, putera Hadijoyo, putera Pangeran Benowo II, putera

Pangeran Benowo I, putera Sultan Dadiwijoyo alias Joko Tingkir alias Mas

Karebet.

6
Bila diusut kedekatannya dengan KH. Hasyim Asy’ ari maka garis mbah

Sumbu itulah sisilah KH. Achmad Shiddiq bertemu dengan KH. Hasyim Asy’ ari

(pendiri NU).

Achmad ditinggal abahnya dalam usia 8 tahun. Dan sebelumnya pada usia

4 tahun, Achmad sudah ditinggal ibu kandungnya yang wafat ditengah perjalanan

di laut, ketika pulang dari menunaikan ibadah haji. Jadi, sejak usia anak-anak,

Kyai Achmad sudah yatim piatu. Karena itu, Kyai Mahfudz Shiddiq kebagian

tugas mengasuh Achmad, sedangkan Kyai Halim Shiddiq mengasuh Abdullah

yang masih berumur 10 tahun. Ada yang menduga, bahwa bila Achmad terkesan

banyak mewarisi sifat dan gaya berfikir kakaknya (Kyai Mahfudz Shiddiq). Kyai

Achmad memiliki watak sabar, tenang dan sangat cerdas. Wawasan berfilkirmya

amat luas baik dalam ilmu agama maupun pengetahuan umum. Kyai Achmad

belajar mengajinya mula-mula kepada Abahnya sendiri, Kyai Shiddiq. Kyai

Shiddiq sebagaimana uraian-uraian sebelumnya, dalam mendidik terkenal sangat

ketat (strength) terutama dalam hal sholat. Ia wajibkan semua putra-putranya

sholat berjama’ah 5 waktu. Selain mengaji pada abahnya, Kyai Achmad juga

banyak menimba ilmu dari Kyai Machfudz, banyak kitab kuning yang diajarkan

oleh kakaknya.

Sebagaimana lazimnya putra kyai, lebih suka bila anaknya dikirim untuk

ngaji pada kyai-kyai lain yang masyhur kemampuannya. Kyai Mahfudz pun

mengirim Kyai Achmad menimba ilmu di Tebuireng. Semasa di Tebuireng, Kyai

Hasyim melihat potensi kecerdasan pada Achmad, sehingga, kamarnya pun

dikhususkan oleh Kyai Hasyim. Achmad dan beberapa putra-putra kyai

7
dikumpulkan dalam satu. kamar. Pertimbangan tersebut bisa dimaklumi, karena

para putra kyai (dipanggil Gus atau lora atau Non) adalah putra mahkota yang

akan meneruskan pengabdian ayahnya di pesantren, sehingga pengawasan,

pengajaran dan pembinaannyapun cenderung dilakukan secara, khusus/lain dari

santri urnumnya.

Pribadinya yang tenang itu. menjadikan Kyai Achmad disegani oleh

teman-temannya. Gaya bicaranya yang khas dan memikat sehingga dalam setiap

khitobah, banyak santri yang mengaguminya. Selain itu, Kyai Achmad juga

seorang kutu buku/ kutu kitab (senang baca). Di pondok Tebuireng itu pula, Kyai

Achmad berkawan dengan Kyai Muchith Muzadi. Yang kemudian hari menjadi

mitra diskusinva dalam merumuskan konsep-konsep strategis, khususnya

menyangkut ke-NU-an, seperti buku Khittah Nandliyah, Fikroh Nandliyah, dan

sebagainya.

Kecerdasan dan kepiawaiannya berpidato, menjadikan Kyai Achmad

sangat dekat hubungannya dengan Kyai Wahid Hasyim.

Kyai Wahid telah membinbing Kyai Achmad dalam Madrasah

Nidzomiyah. Perhatian Gus Wahid pada. Achmad sangat besar. Gus Wahid juga

mengajar ketrampilan mengetik dan membimbing pembuatan konsep-konsep.

Bahkan ketika Kyai Wahid Hasyim memegang jabatan ketua. MIAI, ketua

NU dan Menteri Agama, Kyai Achmad juga yang dipercaya sebagai sekretaris

pribadinya. Bagi Kyai Achmad Shiddiq, tidak hanya ilmu KH. Hasyim Asy’ari

yang diterima, tetapi juga ilmu dan bimbingan Kyai Wachid Hasyim

8
direnungkannya secara mendalam. Suatu pengalaman yang sangat langka, bagi

seorang santri.

C. Karya-Karya

Pendidikan

1. Santri Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah

2. Santri Pondok Pesantren Tebuireng

Karier dan Politik

1. Sekretaris pribadi menteri agama K.H. Wahid Hasyim, 1950.

2. Rais Am Syuriah PBNU.

Ketokohan Kyai Achmad terbaca masyarakat sejak menyelesaikan belajar

di pondok di Tebuireng, Kyai Achmad Shiddiq muda mulai aktif di GPII

(Gabungan Pemuda Islam Indonesia) Jember. Kariernya di GPII melejit sampai di

kepengurusan tingkat Jawa Timur, dan pada Pemilu 1955, Kyai Achmad terpilih

sebagai anggota DPR Daerah sementara di Jember.

Perjuangan Kyai Achmad dalam mempertahankan kemerdekaan ’45

dimulai dengan jabatannya sebagai Badan Executive Pemerintah Jember, bersama

A Latif Pane (PNI), P. Siahaan. (PBI) dan Nazarudin Lathif (Masyumi). Pada saat

itu, bupati dijabat oleh “Soedarman, Patihnya R Soenarto dan Noto Hadinegoro

sebagai sekretaris Bupati.

Selain itu, Kyai Achmad juga berjuang di pasukan Mujahidin (PPPR) pada

tahun 1947. Saat itu Belanda. melakukan Agresi Militer yang pertama. Belanda

merasa kesulitan membasmi PPPR, karena anggotanya adalah para Kyai. Agresi

9
tersebut kemudian menimbulkan kecaman internasional terhadap Belanda

sehingga muncullah Perundingan Renville. Renville memutuskan sebagai berikut:

1. Mengakui daerah-daerah berdasar perjanjian Linggarjati

2. Ditambah daerah-daerah yang diduduki Belanda lewat Agresi harus diakui

Indonesia.

Sebagai konsekuensinya perjanjian Renville, maka pejuang-pejuang di

daerah kantong (termasuk Jember) harus hijrah. Para pejuang dari Jember

kebanyakan mengungsi ke Tulung Agung. Di sanalah Kyai Achmad

mempersiapkan pelarian bagi para pejuang yang mengungsi tersebut.

Pengabdiannya di pemerintahan dimulai sebagai kepala KUA (Kantor

Urusan Agama) di Situbondo. Saat itu di departemen Agama dikuasai oleh tokoh-

tokoh NU. Menteri Agama adalah KH. Wahid Hasyim (NU). Dan kariernya di

pemerintahan melonjak cepat. Dalam waktu singkat, Kyai Achmad Shiddiq

menjabat sebagai kepala, kantor Wilayah Departemen Agama di Jawa Timur.

Di NU sendiri, karier Kyai Achmad bermula di Jember. Tak berapa lama,

Kyai Achmad sudah aktif di kepengurusan tingkat wilayah Jawa Timur, sehingga

di NU saat itu ada 2 bani Shiddiq yaitu: Kyai Achmad dan Kyai Abdullah

(kakaknya). Bahkan pada Konferensi NU wilayah berikutnya, pasangan kakak

beradik tersebut dikesankan saling bersaaing dan selanjutnya Kyai Achmad

Shiddiq muncul sebagai ketua wilayah NU Jawa Timur

Tetapi Kyai Achmad merasa tidak puas dengan kiprahnya selama ini.

Panggilan suci untuk mengasuh pesantren (tinggalan Kyai Shiddiq) menuntut

kedua Shiddiq tersebut mengadakan komitmen bersama. Keputusannya adalah

10
Kyai Abdullah Shiddiq lebih menekuni pengabdian di NU Jawa Timur, sedangkan

Kyai Achmad Shiddiq mengasuh pondok pesantrennya,

Kyai Achmad Shiddiq termasuk ulama yang berpandangan moderat dan

unik sebagai tokoh NU dan kyai, ia tidak hanya alim tetapi juga memiliki

apresiasi seni yang mengagumkan. Ia tidak hanya menyukai suara Ummi

Kultsum, bahkan juga suka suara musik Rock seperti dilantunkan Michael

Jackson. “Manusia itu memiliki rasa keindahan, dan seni sebagai salah-satu jenis

kegiatan manusia tidak dapat dilepaskan dari pengaturan dan penilaian agama

(Islam). Oleh karena itu, apresiasi seni hendaknya ditingkatkan mutunya.

“Apresiasi seni itu harus diutamakan mutu dari seni yang hanya mengandung

keindahan menuju seni yang mengandung kesempurnaan, lalu menuju seni yang

mengandung keagungan.Selanjutn ya Kyai Achmad memberikan penjelasan

sebagai berikut, Seni itu sebaiknya :

1. Ada seni yang diutamakan seperti sastra dan kaligrafi.

2. Ada seni yang dianjurkan seperti irama lagu dan seni suara.

3. Ada seni yang dibatasi seperti seni tari.

4. Ada seni yang dihindari seperti pemahatan patung dan seni yang

merangsang nafsu

Dalam memberikan nama untuk anak-anak-nya, Kyai Achmad senantiasa

mengkaitkan calon nama yang bernuansa seni dengan pengabdian atau peristiwa-

penstiwa penting. Seperti kelahiran putranya yang lahir bersamaan dengan

karimya sebagai anggota DPR Gotong-Royong, yaitu Mohammad Balya Firjaun

11
Barlaman, demikian juga Ken Ismi Asiati Afrik Rozana, lahir bertepatan dengan

konferensi Asia Afrika.

KH. Achmad Shiddiq belajar agama kepada ayahnya sendiri, KH.

Muhammad Shiddiq. Ia pernah belajar di Sekolah Rakyat Islam (SRI) di Jember.

Untuk mendalami agama Islam, KH. Achmad Shiddiq nyantri di Ponpes

Tebuireng Jombang di bawah asuhan langsung KH. Hasyim Asy’ ari.

Kitab-kitab yang pernah didalami secara langsung dengan KH. Hasyim

Asy’ ari antara lain: Tuhfatul Athtal, Fathul Qarip, Tahnr, Fathul mu’ in

(semuanya dibidang hukum Islam), Alfiyah Ibnu Malik (ilmu Bahasa Arab),

Arudl wal Qawafi (sastra), Jawahir Al-Kalamiyah (teologi), Waraqat (ushul fiqih),

ilmu Fal;ak (astronomi), tafsir Baidawi dan ihya’ Ulumuddin.

KH. Achmad Shiddiq juga pernah mengenyam pendidikan di madrasah

Nizamiyah H. Abdul Wahid Hasyim. Bahkan KH. Achmad Shiddiq memperoleh

kesempatan menjadi kelompok “Intelektual” santri yang secara khusus dikader

oleh KH. Abdul Wahid Hasyim (ayah KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur). Dan

dari KH. Abdul Wahid Hasyim ia banyak berdiskusi mengenai perkembangan

politik nasional waktu itu.

D. Ide/Pemikiran Tokoh

Penelitian ini membahas pemikiran kebangsaan KH. Achmad Siddiq, salah

atu tokoh besar di lingkungan Nadlatul Ulama (NU) yang pernah menjabat

sebagai Rais Aam PBNU periode 1984-1989. Jika ditelusuri lebih dalam,

pemikiran-pemikiran KH. Achmad Siddiq meliputi dua cabang pemikiran, yakni

pemikiran mengenai masalah kebangsaan dan pemikiran keagamaan. Namun yang

12
menjadi masterpeace pemikirannya adalah masalah kebangsaan yang dengan

pemikirnanya ini KH. Achmad Siddiq dipercaya untuk memimpin NU periode

1984-1989. Berdasarkan pengamatan penulis, pemikiran-pemikiran KH. Achmad

Siddiq tentang kebangsaan ini masih belum banyak diangkat dalam skripsi

maupun dalam penulisan buku, sehingga menarik bagi penulis untuk mengangkat

pemikirannya dalam penelitian ini. Penelitian ini merupakan penelitian sejarah

yang nantinya mampu menghasilkan pengkisahan sejarah secara kronologis.

Adapun metode penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dengan

mengumpulkan dan menganalisis data primer maupun data sekunder yang ditulis

atau nukilan dari pendapat KH. Achmad Siddiq serta data lain yang berhubungan

dengan pembahasan penelitian. Mengacu pada tema penelitian ini, penulis

menggunakan pendekatan politik yang mengacu pada kaidah-kaidah fiqhiyyah.

Adapun analisis yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah analisis sejarah

yang menganalisis perkembangan pemikiran KH. Achmad Siddiq ditinjau dari

aspek perkembangan sejarah umat Islam waktu itu. Sementara itu, temuan-temuan

yang penulis dapatkan selama penelitian tentang pemikiran KH. Achmad Siddiq

adalah: pertama, KH. Achmad Siddiq mampu merumuskan secara jelas hubungan

antara Islam dan Pancasila yang saat itu menjadi isu kontroversial dan hampir

semua kalangan di negeri ini menolaknya kecuali beberapa tokoh yang salah satu

di antaranya adalah KH. Achmad Siddiq.

Dalam masalah ini, KH. Achmad Siddiq menjelaskan secara jernih bahwa

Islam adalah agama dan Pancasila hanyalah sebuah ideologi. Agama dan

Pancasila tidak boleh dicampuradukkan, agama berasal dari wahyu sementara

13
ideologi merupakan hasil pemikiran manusia, dan bagaimanapun juga sebuah

ideologi tidak akan pernah mencapai derajat ke tingkat agama. Umat Islam boleh

berideologi apa saja asalkan ideologinya itu tidak bertentangan dengan ajaran

agamanya. Agama bisa dimasukkan dalam AD/ART pasal aqidah, sementara

Pancasila diletakkan pada pasal asas, dan sangat jelas bahwa aqidah mempunyai

posisi yang lebih tinggi daripada asas. Kedua, sebagai komitmen kebangsaannya,

KH. Achmad Siddiq mampu membawa NU keluar dari politik praktis (khittah

1926). Pernyataannya yang paling jelas adalah NU tidak ke mana-mana, tetapi ada

di mana-mana , artinya NU kembali sebagai organisasi keagamaan (jam'iyyah

diniyyah) dan semua warga NU tidak harus menunjukkan aspirasi politiknya pada

satu partai, tetapi bebas menentukan pilihan politiknya sesuai dengan hati

nuraninya dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

E. Kesamaan Pikiran Dengan Tokoh Lain

K.H. Achmad Siddiq adalah tokoh ulama besar yang sering memberikan

pemikirannya guna kepentingan umat Islam di Indonesia. Hal itu dibuktikan

dengan pemikirannya mengenai penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal serta

pemikirannya yang mengajak para ulama NU untuk kembali kepada Khittah

Nahdliyyah. Meskipun demikian, kajian-kajian yang membahas mengenai

pemikiran K.H. Achmad Siddiq khususnya dalam pemikiran keagamaan masih

sedikit.

Terkait dengan penelusuran terhadap penelitian atau pustaka terdahulu,

penulis mendapatkan beberapa buku mengenai K.H. Achmad Siddiq diantaranya:

buku yang berjudul “Menghidupkan Ruh Pemikiran K.H Achmad Siddiq” yang

14
ditulis oleh Munawar Fuad Noeh dan Mastuki HS, diterbitkan oleh PT. Logos

Wacan Ilmu tahun 1999. Kemudian skripsi dari Muhibin mahasiswa Fakultas

Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga tahun 2009 yang berjudul “

Pemikiran Kenegaraan K.H. Achmad Siddiq”. Buku yang ditulis oleh Munawar

Fuad Noeh berisi mengenai pemikiran K.H. Achmad Siddiq baik pemikirann

kenegaraan, masalah pancasila, serta hanya sedikit membahas mengenai

pemikiran keagamaan yang dilakukan oleh K.H. Achmad Siddiq. Sedangkan

dalam skripsi yang ditulis oleh Muhibin lebih fokus mengenai pemikiran K.H.

Achmad Siddiq terutama mengenai penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal,

dan hanya sekilas saja membahas mengenai pemikiran keagamaannya.

Buku yang berjudul “Biografi Lima Rais „Aam Nahdlatul Ulama”, yang

diterbitkan oleh Pustaka Pelajar tahun 1995. Buku ini menjelaskan mengenai lima

tokoh Rais „Aam NU seperti K.H Hasyim Asy‟arie, K.H. Wahab Hasbullah, K.H.

Bisri Syansuri, K.H. Ali Ma‟shum dan K.H. Achmad Siddiq. Dalam buku ini

dijelaskan sekilas mengenai biografi, aktifitasnya selama berada dalam

pemerintahan maupun Organisasi NU termasuk pemikiran yang ia berikan di

dalamnya sampai akhirnya ia menjadi salah satu Rais „Aam NU menggantikan

K.H Ali Ma‟sum.

Buku berjudul “The Wisdom of K.H. Achmad Siddiq” yang ditulis oleh

Syamsun Ni‟am, diterbitkan oleh Erlangga tahun 2009. Pembahasan dalam buku

ini hanya terfokus mengenai tasawuf termasuk tasawuf menurut K.H. Achmad

Siddiq. Sedangkan pembahasan lainnya mengenai pentingnya berijtihad,

menegakan prinsip keseimbangan, serta mengenai Khittah Nahdiyyah tidak

15
dibahas di dalamnya. Berdasarkan hal tersebut, maka hal inilah yang menarik

penulis untuk melakukan penelitian lebih lanjut dan menjelaskan lebih rinci

mengenai pemikiran yang dilakukan oleh K.H. Achmad Siddiq terutama

mengenai pemikiran keagamaan yang dilakukan olehnya.

Sebuah penelitian akan dapat dipertanggung jawabkan apabila dilandasi

dengan kerangka teori yang jelas. Sebab dalam pengertian yang lebih luas, teori

adalah suatu perangkat kaidah yang memandu seorang sejarawan dalam

menyusun data yang diperoleh dari analisis sumber dan juga dalam mengevaluasi

penemuannya.13

Penelitian ini merupakan kajian tentang sejarah pemikiran. Penelitian

sejarah memerlukan pendekatan yang relevan untuk membantu mempermudah

usaha dalam mendekati realitas masa lampau. Yang akan menjadi fokus dalam

penelitian ini adalah mengenai pemikiran keagamaan K.H. Achmad Siddiq.

Dalam penelitian ini, digunakan teori persepsi dari Hippolyte Tais, yaitu tentang

adanya interaksi antara ide dan peristiwa. Maksudnya suatu gagasan ide atau

pemikiran muncul karena peristiwa yang mendorongnya, sedangkan ide itu sendiri

melahirkan peristiwa baru yang akan mendorong lahirnya ide lagi.14

Persepsi adalah proses pengorganisasian dan proses penafsiran seorang

terhadap stimulasi yang dipengaruhi oleh berbagai pengetahuan, keinginan dan

pengalaman yang relevan terhadap stimulasi yang dipengaruhi oleh perilaku

manusia dalam menentukan pilihan hidupnya. Persepsi merupakan suatu proses

13
Nourouzzaman Shidiqi, Tamadun Muslim ( Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm. 139.
Juga dalam Taufik Abdullah dan Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama ( Tiara Wacana,
1989), hlm.70.
14
Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta:
Gramedia, 1992) hlm. 77.

16
yang didahului oleh suatu penginderaan yaitu merupakan proses yang berwujud

diterimanya stimulus oleh individu melalui alat reseptornya. Persepsi seseorang

terhadap suatu peristiwa atau masalah akan mempengaruhi prilaku dan tindakan

selanjutnya, sesuai dengan asumsi dasar dari teori presepsi. Teori ini berasumsi

bahwa tingkah laku orang dipengaruhi oleh cara ia melihat, menafsirkan, serta

menilai lingkungannya baik itu lingkungan fisik maupun lingkungan sosialnya,

serta bagaimana ia menilai kedudukannya sendiri di dalam lingkungan tersebut.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan biografi

intelektual. Pendekatan ini berusaha untuk menelusuri perkembangan tokoh

terutama dalam hal pemikiran secara individual untuk menemukan sumber dan

perilaku keagamaannya, serta pemikirannya dalam bidang agama. selain itu,

pendekatan ini juga bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang mendalam

mengenai kepribadian seseorang dirunut berdasarkan pengetahuan, latar belakang

sosial, kultur, latar belakang pendidikan, dan orang yang ada disekitarnya yang

mempengaruhi pemikirannya.15

Menurut Sidi Gazalba, pendekatan biografis adalah pendekatan yang

mengarah pada usaha untuk mengungkapkan kenyataan-kenyataan subyek yang

sedang diteliti, pengaruh yang diterima subyek itu dalam masa formatif

kehidupannya, sifat, dan watak subyek itu terhadap perkembangan suatu aspek

kehidupan.16 Sedangkan pendekatan Intelektual yaitu pendekatan yang difokuskan

pada hasil pemikiran, ide-ide tokoh yang mempengaruhi tindakan seseorang.

Seorang sejarawan idealis berpendapat bahwa pikiran-pikiran seseorang akan

15
Sidi Gazalaba, Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu ( Jakarta: Bhatara, 1996), hlm. 177.
16
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah ( Yogya: Tiara Wacana, 2003), hlm. 177.

17
mempengaruhi tindakannya.17 Hal itu karena semua tindakan dan perbuatan

manusia pasti dipengaruhi oleh pikiran.

F. Analisa Pemikiran Tokoh (refleksi)

Berdasarkan pengamatan penulis dalam meninjau data kepustakaan

mengenai pemikiran KH. Achmad Siddiq, baik melalui buku, skripsi, jurnal,

koran, makalah, dan lain sebagainya masih belum banyak ditemukan buku- buku

yang secara khusus membahas pemikiran kebangsaan KH. Achmad Siddiq.

Dalam meninjau kepustakaan ini, penulis telah memperoleh beberapa buku

yang membahas KH. Achmad Siddiq. Di antaranya adalah buku yang berjudul

Menghidupkan Ruh Pemikiran KH. Achmad Sidiq yang ditulis oleh Munawwar

Fuad Noeh dan Mastuki HS, diterbitkan oleh PT. Pustaka Gramedia Utama

tahun 2001. Pembahasan di dalam buku ini tidak terfokus mengkaji pemkiran

kebangsaan KH. Achmad Siddiq. Bahasan dalam buku ini mencakup pemikiran

keagamaan, tasawuf, metode ijthad dan juga sedikit membahas pemikiran

kebangsaan. Bedanya yang penulis teliti, yakni skripsi ini menfokuskan diri

pada pemikiran-pemikiran kebangsaannya.

Buku yang berjudul Biografi 5 Rais 'Am Nahdlatul Ulama yang ditulis

oleh KH. Abdurrahman Wahid, dkk., diterbitkan oleh Pustaka Pelajar 1995. Salah

satu tema di dalam buku ini membahas KH. Achmad Siddiq, namun dalam

pembahasannya sangat komplek, di antaranya mengenai masalah ijtihad, ahl as-

sunah wa al-jama’ah, sistem bermazhab, juga membahas pemikiran keagamaan

dan kenegaraannya, sehingga bisa dipastikan buku ini jauh berbeda dengan

17
Louis Gouschalk, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI
Press,1986), hlm. 32.

18
penelitian ini yang secara fokus membahas pemikiran kebangsaan KH. Achmad

Siddiq.

Buku yang berjudul Percik Pemikiran Para Kiai yang ditulis oleh Samsul

Munir Amin, diterbitkan oleh penerbit Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2009.

Salah satu tema dalam buku ini mengutip tulisan KH. Achmad Siddiq tentang ahl-

as-sunah wa al-jama’ah. Lebih jauh tema tersebut hanya membahas sejarah

perjalanan ahl- as-sunah wa al-jama’ah, dari generasi sahabat, sesudah sahabat

hingga peranan wali sanga dalam mengembangkan aliran ini ke Nusantara.

Bedanya dengan yang penulis bahas dalam penelitian ini adalah bahwa penelitian

ini membahas pemikiran kebangsaannya.

Sebuah penulisan akan memiliki validitas data yang dapat

dipertanggungjawabkan jika dilandasi oleh kerangka teori yang jelas. Sebab

dalam pengertian yang lebih luas, teori adalah suatu perangkat kaidah yang

memandu seorang sejarawan dalam menyusun bahan-bahan (data) yang

diperolehnya dari analisis sumber dan juga dalam mengevaluasi penemuannya.18

Dilihat dari konteksnya, penelitian ini merupakan penelitian sejarah yang

bertujuan untuk menghasilkan bentuk dan proses pengkisahan atas peristiwa-

peristiwa manusia yang terjadi di masa lampau. Penelitian sejarah tersebut

berkenaan dengan sejarah pemikiran tentang nasionalisme yang memiliki

hubungan dengan politik, maka dalam penulisannya dipergunakan pula teori-teori

nasionalisme dan politik.

18
Dudung Abdurahman, Metodologi Penelitian Sejarah (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2007), hlm. 32.

19
Dalam hal ini pemikir Islam Indonesia kontemporer Nurcholish Madjid,

mengatakan bahwa nasionalisme dalam arti bagi umat Islam adalah suatu paham

yang memperhatikan kepentingan seluruh warga bangsa tanpa kecuali yang

merupakan bagian integral dari konsep Madinah yang dibangun Nabi Muhammad

SAW.19

Robert N. Bellah, juga menyebutkan bahwa contoh pertama nasionalisme

modern ialah sistem masyarakat Madinah masa Nabi Muhammad SAW., dan

para khalifah yang menggantikannya. Sistem yang dibangun Nabi itu, yang

kemudian diteruskan oleh para khalifah, adalah suatu contoh bangunan komunitas

nasional modern yang lebih baik daripada yang dapat dibayangkan. Komunitas itu

disebut “modern” karena adanya keterbukaan bagi partisipasi seluruh anggota

masyarakat, dan karena adanya kesediaan pemimpin untuk diadakan penilaian

berdasarkan kemampuan, bukan berdasarkan pertimbangan kenisbatan

(perbandingan) seperti perkawanan, kedaerahan, kesukuan, keturunan,

kekerabatan, dan sebagainya.

Hasan al-Banna membedakan antara konsep al-wathaniyah dan al-

qawmiyah dalam menjelaskan arti kebangsaan. Al-Wathaniyah memiliki

kesamaan arti dengan kata patriotisme yang berarti rasa cinta tanah air. Konsep

ini merujuk pada ruang tertentu, tempat tinggal, dan tanah tumpah darah.

Keterikatan pada identitas, atau dalam teori sosiologi sebagai status yang

diperoleh (ascribed status). Singkatnya adalah rasa memiliki negeri sendiri. Kata

al-qawmiyah lebih diartikan sebagai nasionalisme, yakni rasa berbangsa dan

19
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita (Jakarta: Universitas Paramadina, 2003), hlm. 56.

20
bernegara. Rasa memiliki kesatuan masyarakat politik yang dicapai dan diraih

melalui perjuangan tertentu. Konsep ini mengacu pada orang atau sekelompok

orang. Biasanya disatukan oleh satu ideologi, visi, dan aspirasi tertentu untuk

mencapai tujuan bersama.

Dalam dunia politik Sunni juga dikenal dengan politik kooperatif yang

sering dianggap sebagai sikap oportunistik. Politik Sunni melarang untuk

memberontak kepada kekuasaan, betapapun zalimnya kekuasaan itu, sekalipun

mengkritik dan mengecam kekuasaan yang zalim adalah kewajiban, sejalan

dengan perintah Allah swt., untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Para

teoritikus politik Sunni sangat mendambakan stabilitas dan keamanan, dengan

adagium mereka yang sangat terkenal di dunia Sunni, yakni: “Penguasa yang

zalim lebih baik daripada tidak ada penguasa sama sekali,” dan “Enam puluh

tahun bersama pemimpin (imam) yang zalim lebih baik daripada satu malam

tanpa ada pemimpin”.20

Sementara itu, dalam ilmu fiqih yang sering kali menjadi landasan hukum

oleh para ulama tradisional dalam memutuskan persoalan-persoalan politik, sosial

budaya, dan ekonomi menggunakan kaidah-kaidah fiqhiyah, di antaranya:

1. Dâr al-mafâsidi al-muqaddamu ‘alâ jalbi al-mashâlih (menghindari

kerusakan harus didahulukan atas melaksanakan kebaikan).

2. Mâ lâ yudrak kulluhu lâ yudrak kulluhu (apa yang tidak diperoleh

semuanya jangan ditinggalkan semuanya).

20
Nurcholish Madjid dkk., Islam Universal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm.
210.

21
3. Idzâ ta’â radlâ mufsidatâni rû’iya a’dhahumâ dlarâran birtikâbi akhfihimâ

(apabila terjadi pertentangan antara dua kerusakan, maka harus

dipertimbangkan bahaya yang lebih besar, dengan menjalankan resiko

yang lebih kecil).

4. Mâ lâ yatimmu al-wajib illâ bihî fahuwa al-wâjib (kewajiban yang tidak

lengkap kecuali dengan syarat tertentu maka syarat itu menjadi wajib)

5. Al-muhafadhatu ‘alâ al-qadîm al-shâleh wa al-akhdzu bi al-jadîd al- ashlah

(memelihara yang lama yang lebih baik dan mengambil yang baru yang

lebih baik).

6. Al-dlarûratu tabîhu al-mahdhûrat (dalam keadaan darurat memper-

bolehkan sesuatu yang semula dilarang).21

G. Kesimpulan

K.H. Achmad Siddiq yang mempunyai nama kecil Achmad Muhammad

Hasan, ia lahir di Jember pada tanggal 24 Januari 1926 tepat satu minggu

sebelum lahirnya organisasi Nahdlatul Ulama yang didirikan oleh K.H. Hasyim

Asy’ari. Ia adalah putra ke 16 dari K.H. Muhammad Siddiq yang merupakan

pendiri dari Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah Jember. Sejak kecil ia dikenal

sebagai orang yang cerdas, sehingga banyak teman-teman dan juga guru-guru

yang segan kepadanya. Ia juga menjadi seorang santri yang mendapatkan didikan

khusus dari K.H. Wahid Hasyim yang kemudian membuatnya pandai dalam

berorganisasi. Berkat kecerdasannya dalam berorganisasi, maka tidak heran jika

21
M. Masyhur Amin, NU & Ijtihad Politik Kenegaraannya (Yogyakarta: Al- Amin Pers,
1996), hlm. 92-93.

22
pada akhirnya ia mampu menduduki posisi tertinggi di dalam organisasi Nahdlatul

Ulama.

Sebelum ia menjadi pengasuh Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah, ia

merupakan seorang yang sangat aktif di dalam organisasi NU. Aktifitasnya di

dalam organisasi NU dimulai sejak ia menjadi sekretaris pribadi K.H. Wahid

Hasyim dan kemudian ditunjuk menjadi dewan harian PBNU yang merupakan

hasil dari Muktamar ke 20 yang dilaksanakan di Surabaya, Selain itu ia juga aktif

sebagai pengurus GP.ANSOR. Selama aktif di dalam organisasi NU, ia telah

menduduki berbagai kursi jabatan, sampai pada puncaknya ketika ia ditunjuk

sebagai Rais ‘Aam Nahdlatul Ulama bersama dengan K.H Abdurrahman Wahid

yang menjadi ketua Tanfidziyahnya dalam Muktamar yang dilaksanakan di

Situbondo pada tahun 1983. Selain aktif di dalam organisasi NU, ia juga aktif di

pemerintahan. Ia pernah beberapa kali menjabat sebagai anggota DPRDP sebelum

pemilu pada tahun 1955, kemudian menjadi anggota parlemen DPR RI hasil dari

pemilu tahun 1955. Jabatannya sebagai anggota parlemen DPR RI diembannya

sampai keluarnya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Pada tahun 1957, ia

mengundurkan diri dari DPR RI karena ia menentang konsep Nasakom sebelum

akhirnya ia kembali aktif di DPR RI pada tahun 1971. Pada tahun yang sama, ia

juga pernah diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung Republik

Indonesia serta menjadi anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional

sampai tahun 1977.

Di samping dikenal sebagai seorang ulama, ia juga dikenal sebagai

seorang pemikir yang sangat ahli. Namanya menjadi semakin terkenal setelah ia

23
menyampaikan pemikirannya mengenai Khittah Nahdliyyah. Hal itu disampaikan

karena ia merasa khawatir dengan nasib NU kedepannya sebab banyak dari

anggota NU yang sibuk dengan dunia perpolitikan dan melupakan tujuan utama

dari organisasi NU itu sendiri. Selain itu, ia juga mengajarkan kepada umat Islam

khususnya untuk menjaga keseimbangan antara jasmani-rohani, material-spiritual,

akal-wahyu, duniawi-ukhrowi. Semuanya harus dilakukan secara wajar dan

seimbang dalam kehidupan sehari-hari. Dalam masalah tasawuf, ia mencoba

untuk melakukan modernisasi. Hal ini dilakukan karena ia hendak

mengembalikan semangat keberagamaan dalam konteks kehidupan modern.

Menurut K.H. Achmad Siddiq, kehidupan modern lebih cenderung mengarah

pada hal-hal yang membawa mudarat, jadi perkembangan pemahaman agama

seseorang perlu untuk diprioritaskan. Kemudian, dalam masalah ijtihad, ia

mengajak agar umat Islam terus berijtihad dan tidak taqlid serta bersikap jumud.

Hal itu dikarenakan seiring perkembangan zaman, banyak masalah-masalah baru

yang bermunculan dan memerlukan hukum yang jelas.

H. Daftar Pustaka

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan

Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, cet. 8 (Jakarta: LP3ES, 2011)

Suismanto, Menelusuri Jejek Pesantren (Yogyakarta: Alief Press, 2004)

Munawar Fuad Noeh, Mastuki HS, Menghidupan Ruh Pemikiran K.H Achmad

Siddiq (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999)

Syamsun Ni‟am, The Wisdom, of K.H Achmad Siddiq: Membumikan Tasawuf

(Jakarta: Erlangga, 2009)

24
Abdussami, Humaidy, dan Ridwan Fakla, Biografi Lima Rais „Aam Nahdlatul

Ulama(Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan LTn-NU, 1995)

Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,

1989)

A. Khoirul Anam, dkk., Ensiklopedi Nahdlatul Ulama: Sejarah Tokoh dan

Khazanah Pesantren, cet. Pertama (Jakarta: Mata Bangsa dan PBNU)

Nourouzzaman Shidiqi, Tamadun Muslim ( Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm.

139. Juga dalam Taufik Abdullah dan Rusli Karim, Metodologi

Penelitian Agama ( Tiara Wacana, 1989)

Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta:

Gramedia, 1992)

Sidi Gazalaba, Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu ( Jakarta: Bhatara, 1996)

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah ( Yogya: Tiara Wacana, 2003)

Louis Gouschalk, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI

Press,1986)

Dudung Abdurahman, Metodologi Penelitian Sejarah (Yogyakarta: Ar-Ruzz

Media, 2007)

Nurcholish Madjid, Indonesia Kita (Jakarta: Universitas Paramadina, 2003)

Nurcholish Madjid dkk., Islam Universal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)

M. Masyhur Amin, NU & Ijtihad Politik Kenegaraannya (Yogyakarta: Al- Amin

Pers, 1996)

25

Anda mungkin juga menyukai