Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH ORIENTALISME DAN OKSIDENTALISME

“OKSIDENTALISME DI INDONESIA”

(Dosen Pengampu: Dr. H. Lalu Muchsin Effendi, MA)

Disusun Oleh Kelompok 11:

Laela Pajriatun Hasanah (190601028)

Fadia Adila (190601016)

JURUSAN ILMU QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

2021

1
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah swt. Yang telah memberikan
rahmat serta karunianya sehingga kami mampu menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya. Sholawat serta salam kita panjatkan kepada junjungan Nabi Muhammad saw.
karena atas hidayah-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Oksidentalisme di Indonesia”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Orientalisme dan
Oksidentalisme dengan dosen pengampu pak Dr. H. Lalu Muchsin Effendi, MA, pada
semester IV Jurusan Ilmu Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama
Universitas Islam Negeri Mataram.

Dengan mengggunakan makalah ini semoga kegiatan belajar dalam memahami materi
ini dapat lebih menambah sumber-sumber pengetahuan kita semua. Dalam penyusunan
makalah ini belum bisa dikatakan mencapai tingkat kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran
tentu sangat dibutuhkan. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam pembuatan makalah
ini, semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan bermanfaat bagi kita semua.

Mataram, Mei 2021

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................2

DAFTAR ISI.................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................4

A. Latar Belakang...................................................................................4
B. Rumusan Masalah..............................................................................5
C. Tujuan Masalah..................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN..............................................................................6

A. Makna Dan Sejarah Kemunculan Oksidentalisme.............................6


B. Oksidentalisme Di Indonesia.............................................................7
C. Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan......................................10

BAB III PENUTUP......................................................................................14

A. Kesimpulan........................................................................................14
B. Saran ..................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................15

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Muslim di lndonesia, terutama pada ranah sosial kebudayaan, mendapatkan
pandangan lebih luas dengan masuknya sebuah objek penelilian baru yaitu
oksidentalisme. lstilah oksidentalisme pun mulai banyak didengar gaungnya, mesk
ibelum sepenuhnya dipahami apa s€benamya kajian tersebut.
Tak dapat dipungkiri untuk memahami Timur, bangsa Barat mengembang-kan
pandangan orientalisme yang mencoba untuk memahami esensi ketimuran.
Namun sayangnya pandangan tersebut kebanyakan ditunggangi dengan
kepentingan untuk berkuasa dan menjajah. Lahirnya oksidentalisme membawa
angin segar kajian yang diharapkan dapat mengisi posisi yang selama ini dianggap
timpang. Dalam penerapannya, Timur mencoba memahami esensi Barat tersebut
dengan pemahaman yang mendalam. Oksidentalisme sebagai sebuah sikap dan
cara pandang yang merupakan pilihan untuk membuka pemahaman yang objektif
terhadap permasalahan yang ada. Akan tetapi oksidentalisme juga bisa menjadi
tunggangan kepentingan yang dapat memperkeruh suasana. Semuanya
dikembalikan kepada pihak-pihak yang mengarahkan haluan oksidentalisme
tersebut.
Setelah lahirya oksidentalisme maka mulai muncullah apa yang disebut
dengan aliran-aliran yang terdapat di dalamnya. Namun jika dilihal dari
sejarahnya, tentang aliran-aliran oksidentalisme, belumlah semapan isme-isme
yang lain. Hal ini menarik jika mengacu pada pengertian fungsi dalam cara
pemakaiannya meliputi tiga hal, yaitu pertama, pemakaian yang menerangkan
fungsi itu sebagai hubungan guna antara sesuatu hal dengan tujuan yang tertentu,
kedua, pemakaian yang menerangkan kaitan korelasi antara satu hal dengan hal
Iain, ketiga. pemakaian yang menerangkan hubungan yang terjadi antara satu hal
dengan hal-hal lain dalam sebuah sistem yang terintegrasi.
Dalam hal ini fungsional yang dimaksud dalam oksidentalisme dalam
pemakaiannya pada poin yang pertama, yaitu pemakaian yang menerangkan
fungsi itu sebagai hubungan guna antara sesuatu hal dengan tujuan yang tertentu.
Ide generalnya adalah adanya fungsi itu sebagai hubungan guna antara sesuatu hal
dengan tujuan yang tertentu.

4
B. Rumusan Masalah
A. Apa Makna Oksidentalisme dan bagaimana Sejarah Kemunculunnya?
B. Bagaimana Oksidentalisme Di Indonesia?
C. Bagaimana Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan?
C. Tujuan Masalah
A. Untuk Mengetahui Makna Oksidentalisme Dan Sejarah Kemunculannya.
B. Untuk Mengetahui Oksidentalisme Di Indonesia.
C. Untuk Mengetahui Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Makna Dan Sejarah Kemunculan Oksidentalisme


Oksidentalisme berasal dari bahasa Inggris, occident, yang berarti negeri barat.
Sehingga oksidentalisme dapat dimaknai sebagai studi tentang Barat dengan segala
aspeknya. Oksidentalisme ini dilawankan dengan orientalisme, namun demikian
oksidentalisme tidak memiliki tujuan hegemoni dan dominasi sebagaimana
orientalisme.
Secara ideologis, oksidentalisme versi Hanafi diciptakan untuk menghadapi
Barat yang memiliki pengaruh besar terhadap kesadaran peradaban kita. Asumsi yang
dibangunnya adalah bahwa Barat memiliki batas sosio politik kulturalnya sendiri.
Oleh karena itu, setiap usaha hegemonisasi kultur dan pemikiran Barat atas dunia lain,
harus dibatasi. Dengan demikian, Barat harus dikembalikan pada kewajaran batas-
batas kulturalnya. Hanafi berupaya melakukan kajian atas Barat dalam perspektif
historis-kultural Barat sendiri.
Sejarah kemunculan oksidentalisme tidak dapat terlepas dari sejarah
kecemerlangan peradaban Islam dan masa kegelapan peradaban dunia Barat.
Peradaban Islam yang maju telah mengubah bangsa Timur yang notabene primitif dan
terbelakang menjadi bangsa yang maju baik dari segi agama pemerintahan, politik,
ilmu pengetahuan, dan ekonomi. Kondisi demikian mendorong para sarjana barat
untuk mengkaji dunia Timur, termasuk masyarakat, peradaban, dan agamanya.
Saat terjadi renaissance di Barat, dunia Timur mulai mengalami kemunduran
disebabkan para pemimpinnya yang lemah, terlebih ketika peradaban Islam
dihancurkan oleh pasukan Tartar, yang mengakibatkan dunia Timur semakin
terpuruk. Sebaliknya, Barat justru semakin menunjukkan hegemoninya hingga
sekarang ini.
Para orientalis Barat pun tidak lagi hanya memfokuskan kajian keilmuan
peradaban Timur saja, tetapi juga bagaimana cara menguasai dunia Timur dan demi
tujuan penjajahan. Mereka menonjolkan keunggulan orang-orang Barat serta
mengerdilkan segala yang terkait dengan Timur khususnya Islam. Mereka
membalikkan sejarah dan mengesankan bahwa orang Islam adalah orang-orang yang
bodoh dan terbelakang.

6
Motif para orientalis mempelajari Islam telah menjadi perdebatan di kalangan
sarjana muslim maupun Barat. Pandangan positif dan negatif terus bermunculan
menanggapi karya-karya mereka tentang Islam. Menurut Nurcholis Madjid, 1 meski di
antara sarjana muslim ada yang menilai orientalis dengan citra negatif, namun mereka
tetap mengakui adanya poin positif dari orientalis yang bermanfaat bagi kaum
muslim.
Edward W. Said2 mendefinisikan orientalisme secara kritis yaitu suatu cara
untuk memahami dunia Timur, berdasarkan tempatnya yang khusus dalam
pengalaman manusia Barat Eropa. Ia memandang orientalisme berkedok ilmiah dan
menilai dirinya sebagai ‘obyektif dan netral’. Sedangkan menurut Moh. Natsir
Mahmud,3 umumnya orientalis membahas Islam dengan pendekatan saintifik.
Fenomena Islam dianalisis dengan teori ilmiah tertentu, misalnya dengan pendekatan
historis, sosiologis, psikologis, dan sebagainya. Pendekatan tersebut meskipun turut
memberikan kontribusi bagi studi Islam, namun kelemahannya yang besar adalah
Islam diposisikan sebagai fenomena empirik sensual, fenomena historik dan semata-
mata kontekstualdengan mengabaikan segi tekstual sehingga menghilangkan bahkan
menolak esensi Islam sebagai wahyu Allah. Pendekatan saintifik dari sejumlah
sarjana Barat sering juga dicampurkan dengan predisposisi agama yang dianutnya,
hingga mengambil konklusi bahwa Islam adalah ciptaan dari Yahudi dan Kristen.
Islam hanya merupakan salah satu sekte Kristen atau Yahudi yang sesat.
Keseluruhan fenomena seperti ini membangkitkan kesadaran dunia Timur dan
Islam untuk juga melakukan kajian tentang segala sesuatu yang terkait dengan Barat,
menandingi orientalisme, dan merebut kembali ego Timur yang telah direbut Barat.
Kajian inilah yang selanjutnya dikenal dengan oksidentalisme.
B. Oksidentalisme Di Indonesia
Oksidentalisme, dimaksudkan Hasan Hanafi sebagai alat untuk kmenghadapi
superioritas Barat (westernisme). Selama ini kedudukan Barat sebagai pengkaji Timur
adalah bias, hegemonik, pengontrol, menimbulkan stereotipe, berfungsi sebagai alat
imperialisme, dan menimbulkan inferioritas Timur. Oksidentalisme dirancang untuk
netral, tidak serupa orientalisme yang bias. Dengan oksidentalisme Hasan Hanafi

1
Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 59-61.
2
Edward W. Said, Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur Sebagai Subjek,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 4.
3
Moh Natsir Mahmud, Orientalisme al-Qur’an di Mata Barat: Sebuah Studi Evaluatif, (Semarang: Dimas, t.t).
hlm. 5.

7
bermaksud memberikan respon dan kritik balik terhadap serangan orientalisme.
Diharapkan oksidentalisme versi Hasan Hanafi mengubah posisi Timur yang selama
ini dijadikan obyek dan posisi Barat sebagai subyek, menjadi sejajar.
Oksidentalisme untuk Hanafi adalah altematif untuk kaum Muslim modem
dalam memandang Barat dengan perspektif baru. Kalau selama ini, umat Islam telah
menjadi obyek kajian lewat wacana orientalisme yang diciptakan Barat, sudah
seharusnya kini umat Islam membangun ilmu dengan berlandaskan epistemologi baru
lewat diskursus oksidentalisme.
Sikap umat Islam terhadap Barat merupakan salah satu masalah tersendiri.
Karena itu, dibutuhkan sebuah disiplin ilmu tersendiri. Maka diperlukan pembacaan
terhadap Barat bersifat holistik dan komprehensif. Artinya, tidak hanya sekadar
melihat Barat dalam satudasawarsa belakangan ini. Pembacaan terhadap Barat harus
dimulai dari abad pertama hingga sekarang ini. Barat, seperti halnya peradaban
lainnya, mempunyai kelebihan dan kekurangan, keistimewaan dan kelemahan. Karena
itu, dalam menyikapi Barat tidak perlu terjebak dalam sikap-sikap yang radikalistik
dan ekstremis.
Mereka ada yang menolak Barat in toto, yang lain menerima seutuhnya, dan
ada pula yang menerima bagian-bagian tertentu dari Barat dan menolak bagian-bagian
lainnya, terulama unsur-unsur Barat yang dinilai dengan nilai-nilai ketimuran. Di
antara tiga kecenderungan itu, maka kecenderungan ketiga kelihatannya lebih merata.
Sikap ini bukan hanya hidup di kalangan penduduk yang biasa disebut kaum modern
atau reformis, tapi juga di kalangan kaum yang dijuluki sebagai kaum tradisionalis.
Di lndonesia, kaum tradisionalis umumnya membuka peluang ini dengan
berpedoman kepada kaedah yadg mereka populerkan dengan ungkapan: "al-
muhafadzatu ‘ala al-qadini al-shalih wa al-akhdzu bi aljadidi al-ashlah", artinya,
“tetap berpedoman dan pertahankan hal-hal lama yang baik, dan menerima atau
memakai hal-hal baru yang dianggap lebih baik". Berbagai pemikiran, kebijakan dan
diskusi-diskusi yang berkembang dan dikembangkan dalam sebagian terbanyak
aspek, utamanya di bidang politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, pengadopsian
terhadap unsur-unsur Barat sangat dominan. Dalam kelahiran, pertumbuhan, dan
perkembangan suatu ilmu, konsep profesionalisme, interaksionisme, dan dialektika
akan ada. Hubungan antara kelahiran oksidentalisme dengan keberadaan orientlisme
tentu tidak keluar dari koridor itu. Kelahiran oksidentalisme tidak lepas dengan

8
keberadaan orientalisme, sebetulnya sudah dialami oleh sejarah kelahiran orientalisme
itu di era klasik dunia lslam di abad-abad yang lalu.
Berbagai reaksi yang muncul, bagaimana jika hal ini dibawa ke Indonesia.
Dunia pendidikan lndonesia, terutama pada ranah sosial kebudayaan khususnya,
mendapatkan sebuah angin segar dengan masuknya sebuah objek penelitian baru,
yakni oksidentalisme. Melacak akar sejarahnya di Indonesia, Mukti Ali, dalam
tulisannya yang terbit tahun 1965 menyatakan "Oksidentalisme harus segera lahir di
Indonesia". Namun respons terhadap pemikiran cenderung lambat. Tahun 1988 Mukti
Ali mengulangi lagi seruan ini dalam fomm Seminar Nasional dalam rangka
memperingati seperempat abad llmu Perbandingan Agama di lndonesia.
Rupanya, setelah berulangkali diserukan, barulah beberapa tahun kemudian
timbul perhatian. Tahun 1993, Mukti Ali tergerak untuk membicarakan
oksidentalisme dari Mukti Ali tersebut. Atas dasar itulah Dirjen Binbaga Islam,
Zarkowi Soejoeti, waktu itu, mengundang beberapa dosen dari PTAIN Jakarta dan
Yogyakarta untuk membicarakan hal tersebut. Pertemuan berlangsung beberapa kali,
hingga dicapai kesepakatan: "Menjadikan Oksidentalisme sebagai salah satu Mata
Kuliah mulai tahun ajaran 1994/1995". Oksidentalisme adalah "pengetahuan
akademik tentang budaya, bahasa dan bangsa-bangsa Barat". Burhanuddin Daya
sendiri menawarkan pengertian oksidentalisme sebagai "suatu aliran atau paham yang
berkaitan dengan pengkajian akademik terhadap dan penguasaan pengetahuan tentang
Dunia Barat seisinya, yang secara akademik dilakukan para ahli dari Timur dengan
cara pandang Timur".
Sebetulnya pada masa sekarang ini ada dialog yang seru antara dua peradaban,
diiringi dengan istilah ada tergugat dan penggugat. Dianggap sebagai tergugat karcna
berbagai klaim keunggulannya tidak sesuai realitas. Justru peradaban yang dianggap
ideal tadi hanya melahirkan kehancuran bagi umat manusia dalam berbagai aspek
kehidupan. Yang satu lagi dianggap penggugat, sebab ia tampil untuk membongkar
segala kepalsuan yang dijadikan kedok oleh peradaban pertama, selain itu juga untuk
memberikan solusi yang benar bagi segala kerusakan, diharapkan bisa mencapai
kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Demikianlah dua peradaban telah berdiri berhadapan sepanjang sejarah
kemanusiaan. Peradaban materialisme yang menjelaskan serba materi sebagai
landasan berpijak dan peradaban makrifat yang menjadikan keimanan kepada Allah

9
dan kenabian sebagai landasan berpijak. Dari waktu ke waktu hingga berakhimya
zaman ini.
Barat dan seisinya, secarageografis dan demografis, mewakili sebagian besar
belahan dan penghuni bumi. Dari aspek ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, dan
teknologi, ia mendominasi dunia masa kini. Peradaban atau kebudayaannya terdiri
dari sub kultur Eropa (termasuk Australia) dan sub kultur Amerika Utara (termasuk
Kanada). Agama Barat menjadi belahan dunia pemeluk terbesar dan dunia Kristen
atau Nasrani, dengan segala golongan, aliran, dan sekte-sektenya, serta pembela
terpenting agama Yahudi. Dari segi kebangsaan, nasionalitas, bangsa Barat masih
tetap merasa lebih tinggi dari bangsa-bangsa lain. Strata kulit putih sebagai golongan
penduduk kelas satu, tidak akan hilang dengan hilangnya penjajahan, karenanya
merupakan warisan tradisi Yahudi, salah satu unsur dasar peradaban mereka. Sebuah
contoh yang merefleksikan diskriminasi ras itu adalah lambang lndonesian-
Nerherland Cooperation in Islamic Studies (INIS). sebuah Lembaga Kerjasama antara
Indonesia dengan Negeri Belanda dalam bidang pendidikan dan kebudayaan, yang
didanai Pemerintah Belanda.
C. Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan
Oksidentalisme yang digagas Hanafi berpijak dari tiga pilar pembaharuan
yang diusungnya melalui proyek Tradisi dan Pembaharuannnya (at-Turats wa at-
Tajdid), yaitu: sikap kritis terhadap tradisi lama, sikap kritis terhadap barat, dan sikap
kritis terhadap realitas. Jika pilar pertama berinteraksi dengan kebudayaan warisan,
maka pilar kedua berinteraksi dengan kebudayaan pendatang. Kedua-duanya tertuang
dalam realitas di mana kita hidup.
Pilar pertama, sikap kritis terhadap tradisi lama. Menurut Hanafi, pilar
pertama ini dapat membantu menghentikan westernisasi sebagai permulaan dari
upaya rekonstruksi terhadap ego ketimuran. Sehingga mereka dapat menghindari
penetrasi pemikiran Barat ke dalam tradisi umat yang mengakibatkan terjadinya
pertikaian antara pendukung kelompok pembela ortodoks (al-Anshar al-qadim) dan
kelompok pembela modern (al-Anshar al-jadid), serta menghapuskan keterpecahan
kepribadian bangsa.
Pilar kedua, adalah sikap kritis terhadap tradisi barat atau yang biasa disebut
oksidentalisme. Di sini, Hanafi menekankan perlunya reorientasi terhadap dunia
Barat, karena pada dasarnya oksidentalisme diciptakan untuk menghadapi
westernisasi, yang di antaranya dijalankan melalui orientalisme, yang memiliki

10
pengaruh luas tidak hanya pada budaya dan konsepsi kita tentang alam, tetapi juga
mengancam kemerdekaan peradaban kita serta seluruh gaya hidup keseharian kita.4
Implikasi besar dari westernisasi ini, terutama orientalismenya, ialah lahirnya
perspektif Barat terhadap Timur dari tangga yang lebih tinggi, superior, sehingga
Timur seolah-olah adalah dunia barbar yang dina. Padahal, tentu saja perspektif Barat
sebagai komunitas lain (the other) terhadap Timur itu niscaya akan berbeda jika
didekati dari kacamata Timur itu sendiri.
Melalui oksidentalisme, Hanafi mencoba mengambil peran yang berimbang,
jika ego Barat dahulu berperan sebagai pengkaji, kini menjadi obyek yang dikaji,
sedangkan the other Timur yang kemarin menjadi obyek yang dikaji, kini berperan
sebagai subyek pengkaji. Dengan demikian, secara otomatis akan terbangun
perubahan dialektika ego dengan the other, dari dialektika Barat dan Timur menjadi
dialektika Timur dan Barat. Oksidentalisme berjuang untuk mengurai inferior sejarah
hubungan ego dengan the other, Barat dan Timur. Dengan oksidentalisme, Timur
diharapkan tidak lagi merasa inferior di hadapan Barat, dalam hal bahasa, peradaban,
budaya, ideologi, bahkan ilmu pengetahuan.5 Bahkan, juga dapat menyingkirkan
bahaya dari adanya asumsi bahwa peradaban Barat merupakan sumber ilmu
pengetahuan seluruhnya.
Oksidentalisme juga memiliki tugas untuk mengembalikan emosi Timur ke
tempat asalnya, menghilangkan keterasingannya, melenyapkan inferioritasnya,
mengaitkan kembali dengan akar tradisinya sendiri, menempatkannya ke posisi
realistisnya untuk selanjutnya menganalisanya secara langsung, menyikapi peradaban
Barat secara tepat, tanpa mengagungkannya. Hanafi juga menegaskan bahwa
oksidentalisme tidak ingin mendiskreditkan kebudayaan lain, dan hanya ingin
mengetahui keterbentukan dan strukturnya. Menurutnya, ego oksidentalisme lebih
bersih, obyektif dan netral dibandingkan dengan ego orientalisme. Bahkan, meskipun
Barat seringkali menyerukan pentingnya obyektivitas dan netralitas namun faktanya
mereka justru menyembunyikan egosentrisme dan keberpihakan Barat dalam proyek
orientalismenya.6
Selain itu, oksidentalisme bertugas menghapus eurosentrisme, mengembalikan
kebudayaan Barat ke batas alaminya setelah selama kejayaan imperialisme menyebar

4
Ibid., hlm. 16-17.
5
Hanafi, op.cit., hlm. 26.
6
Ibid., hlm. 29.

11
keluar melalui penguasaan dalam berbagai bidang: media informasi, budaya,
penelitian, penerbitan, pengaturan ekonomi dan pertahanan negara, bahkan spionase.
Oksidentalisme seharusnya juga mampu mematahkan mitos bahkan peradaban
Baratlah yang maju, sehingga harus diadopsi oleh bangsa-bangsa lainnya. Padahal
sejatinya peradaban Barat bukanlah peradaban universal yang mencakup seluruh
model-model aksperimentasi manusia. Ia juga bukan peninggalan pengalaman
panjang eksperimentasi manusia yang berhasil mengakumulasikan pengetahuan mulai
dari Timur sampai ke Barat, melainkan sebuah pemikiran yang lahir dalam
lingkungan dan situasi tertentu, yaitu sejarah Eropa, yang belum tentu sesuai jika
diterapkan dalam lingkungan dan situasi bangsa lainnya. Pada proses selanjutnya,
oksidentalisme diharapkan mampu mengembalikan keseimbangan kebudayaan umat
manusia, yang tidak hanya menguntungkan kesadaran Eropa dan merugikan
kesadaran non-Eropa. Atau dengan kata lain, oksidentalisme dituntut untuk mampu
menghapuskan dikotomi sentrisme dan ekstrimisme pada tingkat kebudayaan dan
peradaban, karena selama kebudayaan Barat menjadi sentris dan kebudayaan Timur
menjadi ekstremis maka hubungan keduanya akan tetap merupakan hubungan
monolitik.7
Hanafi menyadari bahwa pengkajian Barat oleh Timur bisa jadi menjebak
pengkajinya ke dalam jurang subyektifitas, ketidak netralan, atau bahkan balas
dendam. Pengkaji (Timur) memungkinkan untuk terjebak dengan lebih banyak
melihat apa yang ada dalam dirinya daripada apa yang ada dalam kenyataan. Pengkaji
juga bisa tergelincir ke dalam premis-premis retorik atau fanatisme dan menyerang
peradaban lain yang menjadi obyek kajiannya. Peluang ketergelinciran ini sangat
mungkin terjadi khususnya jika pengkaji pernah mengalami penderitaan akibat
imperialisme langsung atau imperialisme kultural oleh bangsa Barat. Namun,
keterjebakan dan ketergelinciran ini dapat dihindari melalui penumbuhan kesadaran
dan orisinalitas dalam diri pengkaji.8
Tantangan pertama dari oksidentalisme ini adalah menciptakan keserasian
hubungan antara ego (Barat) dengan the other (Timur), mengingat kompleksitas
inferioritas sejarah ego di hadapan the other masih tersimpan dalam benak ego.
Hubungan keduanya dideskripsikan sebagai hubungan antara dua pihak yang tidak
seimbang, hubungan antara superordinat dengan subordinat, tuan dengan hamba.

7
Ibid., hlm. 36-37.
8
Ibid., hlm. 30.

12
Hubungan ini juga merupakan hubungan pihak tunggal tanpa terjadi pergantian peran.
Pihak pertama selalu menjadi produsen dan pihak lain selalu menjadi konsumen.
Pihak pertama memiliki superioritas dan pihak kedua terbebani inferioritas.9
Pilar ketiga, sikap terhadap realitas. Jika pilar pertama, meletakkan ego pada
sejarah masa lalu dan warisan kebudayaannya, dan pilar kedua, meletakkan ego pada
posisi yang berhadapan dengan the other kontemporer, terutama kebudayaan Barat
pendatang, maka pilar ketiga ini meletakkan ego pada suatu tempat dimana ia
mengadakan observasi langsung terhadap realitasnya yang lalu untuk menemukan
teks sebagai bagian dari elemen realitas tersebut, baik teks agama yang
terkodifikasikan dalam kitab-kitab suci maupun teks oral tradisional yang terdiri dari
kata-kata mutiara dan pepatah.10
Selanjutnya, Hanafi menjelaskan bahwa pilar ketiga ini menghadapi tujuh
tantangan, yaitu: Pertama, membebaskan tanah air dari serangan eksternal
kolonialisme dan zionisme. Kedua, kebebasan universal melawan penindasan,
dominasi dan kediktatoran dari dalam. Ketiga, keadilan sosial menghadapi
kesenjangan lebar antara kaum miskin dan kaya. Keempat, persatuan menghadapi
keterpecahbelahan dan diaspora. Kelima, pertumbuhan melawan keterbelakangan
sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Keenam, identitas diri menghadapi westernisasi
dan kepengikutan. Ketujuh, mobilisasi kekuatan massa melawan apatisme.11
Melalui pilar ketiga ini, Hanafi merekomendasikan sikap kritis terhadap
realitas (kekinian). Ini dimaksudkan sebagai upaya rehabilitasi psikologis yang masih
diderita dunia Timur akibat gelombang imperialisme dan modernitas Barat.
Gelombang ilmiah sekuler begitu gencar menstimulasi kita untuk mengadopsi Barat
sebagai tipe modernisasi ideal dalam rangka mencapai kemajuan hidup. Akibatnya,
paham selain Barat, tidak diandaikan sebagai potensi yang sama kualitatifnya dengan
Barat, sehingga modernitas yang dikembangkan dunia Timur justru mengukuhkan
erosentrisme. Inilah pemicu kemunduran peradaban Timur yang terlanjur terkesima
kepada Barat yang dipersepsikan sebagai “peradaban yang modern dan rasional”,
kendati sejatinya secara historis-dogmatis Timur banyak memiliki kekhasan dan
keunikan yang tak kalah agungnya dengan Barat.

9
Ibid., hlm. 32.
10
Ibid., hlm. 5.
11
Ibid., hlm. 21.

13
Dengan berpijak dari tiga pilar di atas, oksidentalisme berakumulasi pada
urgensi dialog egaliter yang mengisyaratkan pola “kritik ke dalam” dan sekaligus
“kritik ke luar”, Hanafi berjuang menciptakan keberimbangan antara Timur dan Barat,
baik dalam peradaban, budaya, ilmu pengetahuan, maupun relasi antar agama.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Oksidentalisme dirancang untuk netral, tidak serupa orientalisme yang bias.
Dengan oksidentalisme bermaksud memberikan respon dan kritik balik terhadap
serangan orientalisme. Diharapkan oksidentalisme dapat mengubah posisi Timur yang
selama ini dijadikan obyek dan posisi Barat sebagai subyek, menjadi sejajar.
Sejarah kemunculan oksidentalisme tidak dapat terlepas dari sejarah
kecemerlangan peradaban Islam dan masa kegelapan peradaban dunia Barat.
Peradaban Islam yang maju telah mengubah bangsa Timur yang notabene primitif dan
terbelakang menjadi bangsa yang maju baik dari segi agama pemerintahan, politik,
ilmu pengetahuan, dan ekonomi. Kondisi demikian mendorong para sarjana barat
untuk mengkaji dunia Timur, termasuk masyarakat, peradaban, dan agamanya.
Di lndonesia, kaum tradisionalis umumnya membuka peluang dengan
berpedoman kepada kaedah yadg mereka populerkan dengan ungkapan: "al-
muhafadzatu ‘ala al-qadini al-shalih wa al-akhdzu bi aljadidi al-ashlah", artinya,
“tetap berpedoman dan pertahankan hal-hal lama yang baik, dan menerima atau
memakai hal-hal baru yang dianggap lebih baik". Berbagai pemikiran, kebijakan dan
diskusi-diskusi yang berkembang dan dikembangkan dalam sebagian terbanyak
aspek, utamanya di bidang politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, pengadopsian
terhadap unsur-unsur Barat sangat dominan. Dalam kelahiran, pertumbuhan, dan
perkembangan suatu ilmu, konsep profesionalisme, interaksionisme, dan dialektika
akan ada. Hubungan antara kelahiran oksidentalisme dengan keberadaan orientlisme

14
tentu tidak keluar dari koridor itu. Kelahiran oksidentalisme tidak lepas dengan
keberadaan orientalisme, sebetulnya sudah dialami oleh sejarah kelahiran orientalisme
itu di era klasik dunia lslam di abad-abad yang lalu.
B. Saran
Demikian makalah yang kami buat, untuk itu kita sebagai generasi milenial
yang cerdas dan berwawasan luas harus senantiasa mempelajari, memahami, dan
yang terpenting adalah mempraktekannya dalam aspek kehidupan. Dengan tujuan
agar kita menjadi pribadi-pribadi muslim yang cerdas, bermartabat dan selektif
yang pastinya menjadi insan yang muttaqin. Terutama bagi masyarakat Islam
umumnya senantiasa mempelajari, memahami, dan mengamalkan.

DAFTAR PUSTAKA

Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997).


Edward W. Said, Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur
Sebagai Subjek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).
Moh Natsir Mahmud, Orientalisme al-Qur’an di Mata Barat: Sebuah Studi Evaluatif,
(Semarang: Dimas, t.t).

Hasan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, terj. M. Najib Buchori,
(Jakarta: Paramadina, 2000).

Muhammad Abid al-Jabri, Post Tradisionalisme Islam, terj. A. baso (Yogyakarta: Lkis,
2000), hlm. 11.

Michael Foucault, Power Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977,
(The Haervester Press, 1980).

http://ediakhiles.blogspot.com/2011/10/oksidentalisme-dalam-wacana-dialog.html

15
16

Anda mungkin juga menyukai