Latar Belakang
Banyak dari kitab-kitab tafsir yang ditulis oleh ulama Indonesia yang
mungkin terkesan bias gender seperti Tafsir al-Ibriz karya Bisri Musthofa. Hal ini
bisa dibuktikan dengan penafsiran beliau terhadap surat an-Nisa ayat 43 bahwa laki-
laki itu diberi kekuasaan mengatasi para perempuan karena laki-laki mempunyai
banyak kelebihan dibandingkan dengan perempuan. Kelebihan itu antara lain dalam
segi keilmuan, akal, kekuasaan dan lain-lain. Bahwa perempuan yang salihah
adalah perempuan yang taat terhadap suaminya.3 Begitu juga Syekh Nawawi al-
Bantani yang juga menafsirkan demikian bawa laki-laki itu dilebihkan dalam segi
1
Karya tafsir ini dicetak di berbagai tempat di Nusantara seperti Singapura, Penang,
Jakarta, Bombay, Istanbul, dan Kairo, Mesir. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama , hlm. 247-
248.
2
Nasruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Quran di Indonesia (Yogyakarta : Pustaka
Mandiri, 2003), hlm. 62
3
Bisri Mustafa, Tafsir Al-Ibriz, (Kudus : Menara Kudus, t.t.), hlm. 210-211
kesempurnaan akal, bagus dalam memanage sesuatu, lebih kuat daripada
perempuan dari segi fisik dan ketaatan. Oleh karena itu laki-laki diberi kistimewaan
kenabian, diberi kekuasaan dan karena laki-laki-lah yang memberi nafkah
perempuan.4
Baru-baru ini muncul sebuah karya yang ditulis oleh intelektual muslim di
Indonesia yang menawarkan gagasan baru terkait tafsir agama mengenai relasi
antara perempuan dan laki-laki yang berpijak dari perspektif tabādulīy atau
resiprokal yang ditulis oleh intelektual asal pesantren, Faqihuddin Abdul Kodir. Ia
menmberikan tawaran teori metode interpretasi resiprokal (Qirāah Mubādalah)
untuk membaca ulang teks-teks keagamaan terkait laki-laki dan perempuan. Yang
membedakan karya Faqihuddin dengan intelektual muslim sebelumnya adalah
tawaran teorinya sekaligus banyak memaparkan penafsirannya juga terhadap ayat-
ayat terkait.
Tulisan ini akan membahas bagaimana konsep teori atau metode interpretasi
resiprokal atau mubādalah yang ditawarkan oleh Faqihudin dalam karyanya Qirāah
Mubādalah. Selanjutnya akan dianalisis bagaimana konstruksi gender yang ada di
dalamnya.
4
Nawawi al-Bantani, Marah Labid (Surabaya : Dar al-‘Ilm, t.t.), hlm. 149
5
Lihat Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Quran (Jakarta:
Paramadina, 1999).
6
Lihat Nasruddin Baidan, Tafsir bi al-Ra’yi : Upaya Penggalian Konsep Perempuan
dalam al-Quran, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999)
Biografi Faqihuddin Abdul Kodir
Faqihuddin Abdul Kodir adalah seorang kelahiran Cirebon, Jawa Barat pada
tanggal 31 Desember 1971. Latar belakang pendidikannya antara lain; dari jenjang
sekolah menengah pertama sampai sekolah menengah atas di Pesantren Dar al-
Tauhid, Arjawinangun, Cirebon. Pendidikan sarjananya ia tempuh di Abu Nur
University, Syiria (1990-1995) dan Ilmu Hukum di Damascus University, Syiria
(1990-1996). Ia mengambil program Pendidikan Magister di Universitas Khortoum
cabang Damaskus, tapi belum sempat menulis tesis ia pindah mengambil
konsentrasi Ilmu Hukum di International Islamic University, Kuala Lumpur,
Malaysia (1997-1999). Program Doktoral Studi Keagamaan, ICRS, Graduate
School, Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta tahun 2009-2015.7
7
Faqihudin Abdul Kodir, Qirāah Mubādalah (Yogyakarta : IRCiSoD, 2019), hlm. 613
7. Dirasah Hadis : Pembacaan Resiprokal Terhadap Isu-Isu Seksualitas
dalam Hadis.
8. Hadits and Gender Justice : Understanding the Prophetic Traditions
9. Bergerak Menuju Keadilan : Pembelaan Nabi Terhadap Perempuan.
10. Memilih Monogami ; Pembacaan atas al-Quran dan Hadis.
11. Bangga Menjadi Perempuan; Perbincangan dari Sisi Kodrat dalam
islam.
12. Shalawat Keadilan: Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Teladan
Nabi.
13. Fiqih HIV dan AIDS; Pedulikah Kita, Dawrah Fiqih Concerning
Women, A Manual on Islam and Gender.
Qirāah Mubādalah. Kata mubādalah yang berasal dari suku kata “ba-da-la”
ini digunakan dalam al-Quran sebanyak 44 kali dalam berbagai bentuk. Kata
mubādalah sendiri, tuturnya, merupakan bentuk kesalingan (mufa’alah) dan juga
kerja sama antara dua pihak (musyārakah) yang bermakna mengganti, saling
mengubah, atau saling menukar antara satu dengan yang lain.9 Istilah mubādalah
dikembangkan oleh Faqihudin untuk sebuah perspektif dan pemahaman dalam
relasi tertentu khususnya antara laki-laki dan perempuan di ruang domestik maupun
8
Faqihuddin Abdul Kodir, Ia Ada, Tumbuh, dan Hidup dalam Diriku. Dokumen Pribadi
Penulis, hlm. 4
9
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirāah Mubādalah (Yogyakarta : IRCiSoD, 2019), hlm. 59
ruang publik.10 Dari prinsip kemitraan dan kerja sama, istilah mubādalah digunakan
untuk sebuah metode interpretasi terhadap teks-teks sumber Islam.
Yang melatar belakangi perspektif dan metode mubādalah ini adalah sosial
dan budaya. Bagaimana cara pandang masyarakat terkait lebih banyak
menggunakan cara pandang laki-laki dalam memaknai agama.11 Lalu bagaimana
struktur bahasa Arab yang menjadi bahasa teks-teks sumber Islam yang banyak
mengandung redaksi laki-laki dalam ayatnya,12 contohnya dalam ayat tentang
surgam ibadah, fitnah, keluarga, dan isu-isu sosial yang bersifat publik sebagai
subjek yang memperoleh manfaat yang sama sebagaimana laki-laki.13
Dalam kaitannya dengan feminin ḥaqīqī dan feminin majāzī pun demikian.
Feminin majāzī tetap harus berpijak terhadap feminin ḥaqīqī yang juga mengacu
kepada maskulin ḥaqīqī. Maskulinitas dalam bahasa Arab merupakan pokok.
Bahasa Arab pun seakan menerapkan semacam sektarianisme-rasialistik terhadap
jenis perempuan sendiri.15 Padahal Keduanya sebenarnya sama-sama menjadi
subjek dan tidak benar bahwa perempuan hanyalah pelengkap bagi laki-laki,
mengambil peran pinggiran, dianggap tidak penting dan tidak diperhitungkan.
Keduanya saling melengkapi eksistensi antara yang satu dengan yang lainnya.
10
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirāah Mubādalah, hlm. 60
11
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirāah Mubādalah, hlm.104
12
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirāah Mubādalah, hlm. 111
13
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirāah Mubādalah, hlm. 115
14
Nashr Hamid Abu Zayd, Dekonstruksi Gender : Kritik Wacana Perempuan dalam Islam,
terj. Moch. Nur Ichwan (Yogyakarta : SAMHA, 2003), hlm. 4
15
Nashr Hamid Abu Zayd, Dekonstruksi Gender,,,,,hlm. 5
mafūm tabāduliy yang semestinya diterapkan dalam kehidupan rumah tangga.16
Namun dalam buku tersebut ia belum merumuskan prinsip dan metodenya secara
rinci dan mapan. Metode pemaknaan mubādalah didasarkan pada tiga premis dasar,
antara lain adalah :
1. Islam hadir untuk laki-laki dan juga perempuan, maka teks-teksnya juga
harus menyasar keduanya.
2. Prinsip relasi antara laki-laki dan perempuan adalah kerja sama dan
kesalingan, bukan hegemoni dan kekuasaan
3. Teks-teks Islam itu terbuka untuk dimaknai ulang agar memungkinkan
kedua premis sebelumnya tercermin dalam setiap kerja interpretasi.
16
Lihat Faqihuddin Abdul Kodir, Manba’ as-Sa’ādah fī Usūs ḥusn al-Mu’āsyara fī ḥayāt
al-Zaujiyyah (Cirebon : Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), 2012), hlm. 46
17
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirāah Mubādalah, hlm. 243
Perihal poligami, dalam bukunya ia menyatakan bahwa dalam perspektif
mubadalah poligami bukanlah suatu solusi dalam relasi suami istri. Ia juga banyak
menyinggung tentang hubungannya dengan perceraian. Perempuan berhak untuk
memilih cerai jika lebih membuat perempuan menjadi mandiri dan tercukupi.
Daripada poligami yang bisa menyakiti perempuan dan juga anak-anak. Dalam
menjelaskan ayat tersebut, Faqihuddin membertimbangkan keadilan dan
keseimbangan dalam relasi antara keduanya. Sehingga antara keduanya pun tidak
ada satu pun yang dirugikan.
Simpulan
Yang menarik bagi saya di sini adalah seorang laki-laki pesantren yang
berbicara tentang keadilan gender dan banyak mengkritik tradisi-tradisi relasi
antara perempuan dan laki-laki yang terkesan bias gender, meskipun dalam
tulisannya ia tidak secara eksplisit menggugat pemikiran-pemikiran ulama klasik,
tetapi beliau lebih banyak memberi tawaran pembacaan baru secara arif mengenai
keadilan laki-laki dan perempuan, yang kemudian disebut Qirāah Mubādalah
Secara umum, jika kita menilik kembali sejarah, pada masa Yunani Kuno
kalangan elite menempatkan perempaun sebagai makhluk tahanan yang
terkungkung dalam istana, bagi kalangan bawah perempuan dianggap sebagai
komoditas yang dapat diperjualbelikan di pasar. Mereka menganggap perempuan
penyebab persengketaan, peperangan, kekacauan dan lambang kekejian. Sejarah
juga mencatat nasib perempuan di negeri Jepang bagaikan tahanan rumah. Di Cina
dan juga Eropa perempuan seperti budak yang tidak memiliki hak, demikian juga
di Persia. Tradisi Arab Jahiliyah perempuan nyaris tanpa hak sama sekali, bayi
perempuan tidak dibiarkan hidup.18
Dalam tradisi Islam klasik, perempuan dianggap sebagai inferior atas laki-
laki secara intelektual dan biologis. Beberapa sarjana muslim dan mufassir klasik
beranggapan bahwa laki-laki diberikan kewenangan menyeluruh atas perempuan
dan perempuan adalah subordinat kaum lelaki. Mereka berada pada konteks sosial,
18
Ismiati, “Eksistensi Aktivis Perempuan dalam Mewujudkan Perdamaian di Aceh”, dalam
Al-Bayan, Vol. 22, No. 33, Juni, 2016, hlm. 4. Lihat juga Maria Ulfa dkk., Modul Analisis Gender,
(Jakarta : Tim LKP2 PP Fatayat NU, 2003), hlm. 49
politik, budaya yang secara umum beranggapan bahwa perempuan tunduk kepada
otoritas laki-laki. Laki-laki menjadi pemeran dominan dalam sektor publik,
misalnya dalam wilayah ekonomi, menjalankan kepemimpinan negara, politik,
maupun dalam urusan keagamaan.19 Pendapat seperti itu sampai sekarang pun
masih banyak digandrungi di kalangan sarjana Muslim.
Bibliografi
19
Abdullah Saeed, Reading the Qur’an in The twenty-First Century : A Contextualist
Approach (New York : Routledge, 2014)
Saeed, Abdullah. 2014. Reading the Qur’an in The twenty-First Century : A
Contextualist Approach. New York : Routledge.
Ulfa, Maria dkk., 2003. Modul Analisis Gender. Jakarta : Tim LKP2 PP Fatayat
NU.
Zayd, Nashr Hamid Abu. 2003. Dekonstruksi Gender : Kritik Wacana Perempuan
dalam Islam. terj. Moch. Nur Ichwan. Yogyakarta : SAMHA.