Anda di halaman 1dari 9

TEORI DAN KONSTRUKSI GENDER DALAM TAFSIR TABADULIY

(Analisis Qirāah Mubādalah Karya Faqihudin Abdul Kodir)


Putri Adelia - 16531007

Latar Belakang

Penulisan tafsir di Indonesia telah lama berkembang, dimulai dari Turjuman


al-Mustafid karya Abd al-Rauf Singkli bebahasa Melayu yang ditulis pada abad ke-
17,1 Tafsir Marah Labid yang ditulis oleh Syekh Nawawi al-Bantani pada abad ke-
19. Pada abad 20 karya tafsir di Indonesia mulai menjamur serta model dan
teknisnya pun cukup berkembang. Salah satu tafsir pertama yang diterbitkan di
Indonesia misalnya Tafsir al-Furqan yang terbit pada tahun 1928.2

Model penafsiran di Indonesia pun beragam, ada yang berkonsentrasi pada


surat-surat tertentu seperti Tafsir al-Quran al-Karim. Ada juga yang fokus kepada
juz-juz tertentu seperti Tafsir Juz Amma (Al-Burhan) karya Abdul Karim Amrullah.
Ada juga yang menafsirkan 30 juz secara utuh seperti Tafsir al-Quran Karim karya
H. Muhammad Yunus dan tafsir berbahasa daerah seperti Tafsir al-Ibriz karya Bisri
Musthofa. Ada juga kitab tafsir yang masyhur dikenal sampai saat ini yaitu Al-
Azhar karya Hamka dan Al-Misbah karya Quraish Shihab yang juga menafsirkan
al-Quran secara utuh 30 juz.

Banyak dari kitab-kitab tafsir yang ditulis oleh ulama Indonesia yang
mungkin terkesan bias gender seperti Tafsir al-Ibriz karya Bisri Musthofa. Hal ini
bisa dibuktikan dengan penafsiran beliau terhadap surat an-Nisa ayat 43 bahwa laki-
laki itu diberi kekuasaan mengatasi para perempuan karena laki-laki mempunyai
banyak kelebihan dibandingkan dengan perempuan. Kelebihan itu antara lain dalam
segi keilmuan, akal, kekuasaan dan lain-lain. Bahwa perempuan yang salihah
adalah perempuan yang taat terhadap suaminya.3 Begitu juga Syekh Nawawi al-
Bantani yang juga menafsirkan demikian bawa laki-laki itu dilebihkan dalam segi

1
Karya tafsir ini dicetak di berbagai tempat di Nusantara seperti Singapura, Penang,
Jakarta, Bombay, Istanbul, dan Kairo, Mesir. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama , hlm. 247-
248.
2
Nasruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Quran di Indonesia (Yogyakarta : Pustaka
Mandiri, 2003), hlm. 62
3
Bisri Mustafa, Tafsir Al-Ibriz, (Kudus : Menara Kudus, t.t.), hlm. 210-211
kesempurnaan akal, bagus dalam memanage sesuatu, lebih kuat daripada
perempuan dari segi fisik dan ketaatan. Oleh karena itu laki-laki diberi kistimewaan
kenabian, diberi kekuasaan dan karena laki-laki-lah yang memberi nafkah
perempuan.4

Meskipun tidak semua penafsiran tentang perempuan dalam karya tafsir di


Indonesia terkesan bias gender, paling tidak contoh penafsiran dari karya-karya
yang telah disebutkan di atas dapat mewakili argumen yang penulis sebutkan
sebelumnya. Karya-karya lain oleh intelektual muslim di Indonesia yang berkaitan
dengan persoalan gender dan isu-isu perempuan contohnya adalah Nasaruddin
Umar yang menulis disertasi yang berjudul Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif
al-Quran.5 Buku ini merupakan sebuah kajian kritis terhadap konsep gender dalam
al-Quran. Nasaruddin Baidan menulis sebuah buku yang berjudul Tafsir bi al-Ra’yi
: Upaya Penggalian Konsep Perempuan dalam al-Quran.6 Karya ini mengkaji
tentang perempuan dengan menggunakan metode tafsir maudhu’i.

Baru-baru ini muncul sebuah karya yang ditulis oleh intelektual muslim di
Indonesia yang menawarkan gagasan baru terkait tafsir agama mengenai relasi
antara perempuan dan laki-laki yang berpijak dari perspektif tabādulīy atau
resiprokal yang ditulis oleh intelektual asal pesantren, Faqihuddin Abdul Kodir. Ia
menmberikan tawaran teori metode interpretasi resiprokal (Qirāah Mubādalah)
untuk membaca ulang teks-teks keagamaan terkait laki-laki dan perempuan. Yang
membedakan karya Faqihuddin dengan intelektual muslim sebelumnya adalah
tawaran teorinya sekaligus banyak memaparkan penafsirannya juga terhadap ayat-
ayat terkait.

Tulisan ini akan membahas bagaimana konsep teori atau metode interpretasi
resiprokal atau mubādalah yang ditawarkan oleh Faqihudin dalam karyanya Qirāah
Mubādalah. Selanjutnya akan dianalisis bagaimana konstruksi gender yang ada di
dalamnya.

4
Nawawi al-Bantani, Marah Labid (Surabaya : Dar al-‘Ilm, t.t.), hlm. 149
5
Lihat Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Quran (Jakarta:
Paramadina, 1999).
6
Lihat Nasruddin Baidan, Tafsir bi al-Ra’yi : Upaya Penggalian Konsep Perempuan
dalam al-Quran, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999)
Biografi Faqihuddin Abdul Kodir

Faqihuddin Abdul Kodir adalah seorang kelahiran Cirebon, Jawa Barat pada
tanggal 31 Desember 1971. Latar belakang pendidikannya antara lain; dari jenjang
sekolah menengah pertama sampai sekolah menengah atas di Pesantren Dar al-
Tauhid, Arjawinangun, Cirebon. Pendidikan sarjananya ia tempuh di Abu Nur
University, Syiria (1990-1995) dan Ilmu Hukum di Damascus University, Syiria
(1990-1996). Ia mengambil program Pendidikan Magister di Universitas Khortoum
cabang Damaskus, tapi belum sempat menulis tesis ia pindah mengambil
konsentrasi Ilmu Hukum di International Islamic University, Kuala Lumpur,
Malaysia (1997-1999). Program Doktoral Studi Keagamaan, ICRS, Graduate
School, Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta tahun 2009-2015.7

Faqihuddin memiliki pengalaman organisasi yang beragam. Ia tergabung


dalam berbagai kepengurusan, mendirikan organisasi, seorang peneliti, penulis
kolom, dosen, konsultan, fasilitator dan juga trainer di dalam maupun di luar negeri.
Ia juga aktif menulis buku maupun artikel-artikel. Karya-karyanya antara lain :

1. Qirāah Mubādalah : Tafsir Progresif Untuk Keadilan Gender dalam


Islam.
2. Qirāah Tabāduliyyah : Ikhtiar Memahami Teks-Teks Hadis untuk
Meneguhkan Perspektif Keadilan dalam Isu-isu Keluarga dalam Modul
Lokakarya: Perspektif keadilan dalam Hukum Keluarga Islam bagi
Penguatan Kepala Rumah Tangga.
3. Gender Equality and the Hadits of the Prophet Muhammad :
Reinterpreting the Concepts of Maram and Qiwama dalam Gender
Equality in Muslim Family Law: Justice and Ethics in the Islamic Legal
Process.
4. Manba’ as-Sa’adah fī Usūs ḥusn al-Mu’āsyara fī ḥayāt al-Zaujiyyah.
5. Nabiyy ar-Rahmah, Kitab as-Sittin al-‘Adliyah.
6. Kajian Teks-teks Hadis Mengenai Isu Kekerasan dalam Rumah Tangga
dalam Ragam Kajian Mengenai Kekerasan dalam Rumah Tangga.

7
Faqihudin Abdul Kodir, Qirāah Mubādalah (Yogyakarta : IRCiSoD, 2019), hlm. 613
7. Dirasah Hadis : Pembacaan Resiprokal Terhadap Isu-Isu Seksualitas
dalam Hadis.
8. Hadits and Gender Justice : Understanding the Prophetic Traditions
9. Bergerak Menuju Keadilan : Pembelaan Nabi Terhadap Perempuan.
10. Memilih Monogami ; Pembacaan atas al-Quran dan Hadis.
11. Bangga Menjadi Perempuan; Perbincangan dari Sisi Kodrat dalam
islam.
12. Shalawat Keadilan: Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Teladan
Nabi.
13. Fiqih HIV dan AIDS; Pedulikah Kita, Dawrah Fiqih Concerning
Women, A Manual on Islam and Gender.

Dilihat dari karya-karyanya, Faqihuddin memiliki perhatian atau fokus


terhadap kajian dan isu-isu Gender, khususnya dalam Islam. Minatnya terhadap
feminisme telah muncul sejak ia mengenyam pendidikan di pondok pesantren.
Beberapa kali ia mendapatkan pertanyaan yang muncul dari teman-temannya
perihal perempuan dan banyak dari teman perempuannya yang juga dinikahkan
secara paksa oleh para orang tua mereka yang menyebabkan mereka tidak
dibolehkan lagi mengenyam pendidikan sebagaimana mestinya (putus sekolah).8

Prinsip Qirāah Mubādalah

Qirāah Mubādalah. Kata mubādalah yang berasal dari suku kata “ba-da-la”
ini digunakan dalam al-Quran sebanyak 44 kali dalam berbagai bentuk. Kata
mubādalah sendiri, tuturnya, merupakan bentuk kesalingan (mufa’alah) dan juga
kerja sama antara dua pihak (musyārakah) yang bermakna mengganti, saling
mengubah, atau saling menukar antara satu dengan yang lain.9 Istilah mubādalah
dikembangkan oleh Faqihudin untuk sebuah perspektif dan pemahaman dalam
relasi tertentu khususnya antara laki-laki dan perempuan di ruang domestik maupun

8
Faqihuddin Abdul Kodir, Ia Ada, Tumbuh, dan Hidup dalam Diriku. Dokumen Pribadi
Penulis, hlm. 4
9
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirāah Mubādalah (Yogyakarta : IRCiSoD, 2019), hlm. 59
ruang publik.10 Dari prinsip kemitraan dan kerja sama, istilah mubādalah digunakan
untuk sebuah metode interpretasi terhadap teks-teks sumber Islam.

Yang melatar belakangi perspektif dan metode mubādalah ini adalah sosial
dan budaya. Bagaimana cara pandang masyarakat terkait lebih banyak
menggunakan cara pandang laki-laki dalam memaknai agama.11 Lalu bagaimana
struktur bahasa Arab yang menjadi bahasa teks-teks sumber Islam yang banyak
mengandung redaksi laki-laki dalam ayatnya,12 contohnya dalam ayat tentang
surgam ibadah, fitnah, keluarga, dan isu-isu sosial yang bersifat publik sebagai
subjek yang memperoleh manfaat yang sama sebagaimana laki-laki.13

Dalam bahasa Arab, terdapat pembedaan antara yang mudzakkar (maskulin)


dan muannaṡ (feminin). Pembedaan ini menjadikan kata benda Arab feminin sama
dengan kata benda non Arab (‘ajam) dari segi nilai klasifikasinya.14 Perempuan
diposisikan seperti kelompok “minoritas” di bawah otoritas laki-laki.

Dalam kaitannya dengan feminin ḥaqīqī dan feminin majāzī pun demikian.
Feminin majāzī tetap harus berpijak terhadap feminin ḥaqīqī yang juga mengacu
kepada maskulin ḥaqīqī. Maskulinitas dalam bahasa Arab merupakan pokok.
Bahasa Arab pun seakan menerapkan semacam sektarianisme-rasialistik terhadap
jenis perempuan sendiri.15 Padahal Keduanya sebenarnya sama-sama menjadi
subjek dan tidak benar bahwa perempuan hanyalah pelengkap bagi laki-laki,
mengambil peran pinggiran, dianggap tidak penting dan tidak diperhitungkan.
Keduanya saling melengkapi eksistensi antara yang satu dengan yang lainnya.

Faqihudin, melalui kegelisahan tersebut, menggagas sebuah perspektif


metodologi atau yang ia sebut mubādalah, yang kemudian dioperasionalkan dalam
qirāah mubādalah dalam membaca seluruh teks keagamaan. Dalam karya-
karyanya yang sebelumnya, Faqihudin sebenarnya telah menyinggung mengenai

10
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirāah Mubādalah, hlm. 60
11
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirāah Mubādalah, hlm.104
12
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirāah Mubādalah, hlm. 111
13
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirāah Mubādalah, hlm. 115
14
Nashr Hamid Abu Zayd, Dekonstruksi Gender : Kritik Wacana Perempuan dalam Islam,
terj. Moch. Nur Ichwan (Yogyakarta : SAMHA, 2003), hlm. 4
15
Nashr Hamid Abu Zayd, Dekonstruksi Gender,,,,,hlm. 5
mafūm tabāduliy yang semestinya diterapkan dalam kehidupan rumah tangga.16
Namun dalam buku tersebut ia belum merumuskan prinsip dan metodenya secara
rinci dan mapan. Metode pemaknaan mubādalah didasarkan pada tiga premis dasar,
antara lain adalah :

1. Islam hadir untuk laki-laki dan juga perempuan, maka teks-teksnya juga
harus menyasar keduanya.
2. Prinsip relasi antara laki-laki dan perempuan adalah kerja sama dan
kesalingan, bukan hegemoni dan kekuasaan
3. Teks-teks Islam itu terbuka untuk dimaknai ulang agar memungkinkan
kedua premis sebelumnya tercermin dalam setiap kerja interpretasi.

Di samping merumuskan teori interpretasinya itu, Faqihuddin juga banyak


memberi contoh aplikasi tafsir mubādalah dalam banyak ayat tertentu. Model
penafsiran Faqihuddin ini mirip dengan metode tafsir tematik.

Konstruksi Gender dalam Tafsir

Dalam hal penciptaan manusia, Faqihuddin memaparkan terkait penafsiran


QS. an-Nisa : 41. Kata nafsin wahidah seringkali dimaknai sebagai Nabi Adam dan
zawjaha sebagai Hawa. Hal ini mengasumsikan bahwa eksistensi perempuan
bermula dari laki-laki dan ia adalah hakikat kemanusiaan. Padahal menurutnya al-
Quran tidak secara eksplisit menyatakan penciptan yang terkesan subordinatif.
Faqihuddin banyak mengutip penafsiran-penafsiran ulama klasik dan kontemporer
lalu melakukan analisa bahasa.

Selanjutnya ia menerapkan prinsip tabaduliy. Menurutnya kata nafsin


wahidah ini baiknay diposiskan secara netral dengan tidak ada tendensi terhadap
Adam maupun Hawa. Maka maknanya bisa menjadi sebuah “esensi dasar” manusia
itu sendiri atau “esensi awal kemanusiaan” yang menekankan relasi keseimbangan
dan keadilan.17

16
Lihat Faqihuddin Abdul Kodir, Manba’ as-Sa’ādah fī Usūs ḥusn al-Mu’āsyara fī ḥayāt
al-Zaujiyyah (Cirebon : Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), 2012), hlm. 46
17
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirāah Mubādalah, hlm. 243
Perihal poligami, dalam bukunya ia menyatakan bahwa dalam perspektif
mubadalah poligami bukanlah suatu solusi dalam relasi suami istri. Ia juga banyak
menyinggung tentang hubungannya dengan perceraian. Perempuan berhak untuk
memilih cerai jika lebih membuat perempuan menjadi mandiri dan tercukupi.
Daripada poligami yang bisa menyakiti perempuan dan juga anak-anak. Dalam
menjelaskan ayat tersebut, Faqihuddin membertimbangkan keadilan dan
keseimbangan dalam relasi antara keduanya. Sehingga antara keduanya pun tidak
ada satu pun yang dirugikan.

Simpulan

Yang menarik bagi saya di sini adalah seorang laki-laki pesantren yang
berbicara tentang keadilan gender dan banyak mengkritik tradisi-tradisi relasi
antara perempuan dan laki-laki yang terkesan bias gender, meskipun dalam
tulisannya ia tidak secara eksplisit menggugat pemikiran-pemikiran ulama klasik,
tetapi beliau lebih banyak memberi tawaran pembacaan baru secara arif mengenai
keadilan laki-laki dan perempuan, yang kemudian disebut Qirāah Mubādalah

Secara umum, jika kita menilik kembali sejarah, pada masa Yunani Kuno
kalangan elite menempatkan perempaun sebagai makhluk tahanan yang
terkungkung dalam istana, bagi kalangan bawah perempuan dianggap sebagai
komoditas yang dapat diperjualbelikan di pasar. Mereka menganggap perempuan
penyebab persengketaan, peperangan, kekacauan dan lambang kekejian. Sejarah
juga mencatat nasib perempuan di negeri Jepang bagaikan tahanan rumah. Di Cina
dan juga Eropa perempuan seperti budak yang tidak memiliki hak, demikian juga
di Persia. Tradisi Arab Jahiliyah perempuan nyaris tanpa hak sama sekali, bayi
perempuan tidak dibiarkan hidup.18

Dalam tradisi Islam klasik, perempuan dianggap sebagai inferior atas laki-
laki secara intelektual dan biologis. Beberapa sarjana muslim dan mufassir klasik
beranggapan bahwa laki-laki diberikan kewenangan menyeluruh atas perempuan
dan perempuan adalah subordinat kaum lelaki. Mereka berada pada konteks sosial,

18
Ismiati, “Eksistensi Aktivis Perempuan dalam Mewujudkan Perdamaian di Aceh”, dalam
Al-Bayan, Vol. 22, No. 33, Juni, 2016, hlm. 4. Lihat juga Maria Ulfa dkk., Modul Analisis Gender,
(Jakarta : Tim LKP2 PP Fatayat NU, 2003), hlm. 49
politik, budaya yang secara umum beranggapan bahwa perempuan tunduk kepada
otoritas laki-laki. Laki-laki menjadi pemeran dominan dalam sektor publik,
misalnya dalam wilayah ekonomi, menjalankan kepemimpinan negara, politik,
maupun dalam urusan keagamaan.19 Pendapat seperti itu sampai sekarang pun
masih banyak digandrungi di kalangan sarjana Muslim.

Penulis buku, berangkat dari penafsiran-penafsiran yang tidak apresiatif


terhadap perempuan dan redaksi-redaksi normatif kitab tafsir keagamaan yang
tersedia terkait laki-laki di surga yang nantinya ditemani oleh banyak bidadari dan
banyak lagi, berusaha untuk memunculkan sebuah tawaran pembacaan baru.

Sebenarnya dalam buku-buku sebelumnya seperti Manba’ al-Sa’adah,


istilah mubādalah ini telah dipakai oleh Abdul Kodir sendiri, lebih tepatnya ia
menggunakan istilah tabāduli atau mafhūm tabāduli, teteapi memang belum
diungkapan konsepnya secara jelas dan komprehensif. Gagasan Qirāah Mubādalah
ini perlu untuk dibaca oleh orang-orang pesantren juga yang kebanyakan cenderung
tradisionalis. Tafsir agama mengenai perempuan sudah semestinya senantiasa
ditinjau ulang. Perspektif kesalingan, jika dterapkan secara utuh dalam relasi antara
laki-laki dan perempuan, akan berimplikasi kepada penghormatan martabat bagi
setiap manusia dan pemenuhan hak yang sama.

Bibliografi

Baidan, Nasruddin. 1999. Tafsir bi al-Ra’yi : Upaya Penggalian Konsep


Perempuan dalam al-Quran, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

-----------. 2003. Perkembangan Tafsir Al-Quran di Indonesia. Yogyakarta : Pustaka


Mandiri.

Al-Bantani, Nawawi. t.t..Marah Labid. Surabaya : Dar al-‘Ilm.

Kodir, Faqihuddin Abdul. 2012. Manba’ as-Sa’ādah fī Usūs ḥusn al-Mu’āsyara fī


ḥayāt al-Zaujiyyah (Cirebon : Institut Studi Islam Fahmina (ISIF).

-----------. 2019. Qirāah Mubādalah. Yogyakarta : IRCiSoD.

Mustafa, Bisri, t.t. Tafsir Al-Ibriz. Kudus : Menara Kudus.

19
Abdullah Saeed, Reading the Qur’an in The twenty-First Century : A Contextualist
Approach (New York : Routledge, 2014)
Saeed, Abdullah. 2014. Reading the Qur’an in The twenty-First Century : A
Contextualist Approach. New York : Routledge.

Ulfa, Maria dkk., 2003. Modul Analisis Gender. Jakarta : Tim LKP2 PP Fatayat
NU.

Umar, Nasaruddin. 1999. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Quran.


Jakarta: Paramadina.

Zayd, Nashr Hamid Abu. 2003. Dekonstruksi Gender : Kritik Wacana Perempuan
dalam Islam. terj. Moch. Nur Ichwan. Yogyakarta : SAMHA.

Anda mungkin juga menyukai