Anda di halaman 1dari 15

“Membaca” Perempuan di dalam al-Qur’an

(Studi Hermeneutika Amina Wadud)


By. Zulfikri, M.Hum1

Abstrak
Berangkat dari semangat bahwa al-Qur’an shalih likulli zaman wa makan, maka
seorang penafsir berusaha mengetengahkan interpretasi yang sarat akan nilai-
nilai etis, harmonis, dan egaliter dalam al-Qur’an itu. Maka teks (al-Qur’an)
selalu muncul dalam ruang sosial yang tidak hampa dan pembaca (penafsir)nya
berbeda dalam memahaminya. Oleh karenanya teks memiliki muatan yang
kompleks dan memungkinkan berbagai pendekatan yang inter-multidisipliner
untuk menghampirinya. Salah satunya membaca perempuan dalam al-Qur’an
melalui “optik perempuan” dalam proses penafsirannya. Model penafsiran inilah
yang di gagas oleh Amina Wadud. Dalam tipologi arab kontemporel Amina
Wadud tergolong dalam kelompok reformistik dengan metode dekontruksi dan
rekontruksi. Asumsi dasarnya adalah bahwa al-Qur’an merupakan sumber nilai
tertinggi yang secara adil mendudukan laki-laki dan perempuan setara (equal).

Kata Kunci : Tafsir, Equal, Historis, dan Hermenutika

A. Pendahuluan
Dalam proses perkembangan paradigma penafsiran, maka didapati proses penafsiran
juga melibatkan suatu persaingan untuk menetapkan otoritas dan kompetensi penafsir baik
dari segi strata sosial, etnisitas, dan juga gender. Perubahan yang terjadi dalam wacana tafsir
termasuk metodologi yang tepat dalam mengakomodir perkembangan zaman menjadi
tuntutan yang mesti dilakukan. Inilah barangkali yang banyak melahirkan para intelektual
muslim modren dikalangan insider (Fazlurrahman, M.Sahrur, Amina Wadud, Rifaat Hasan,
dll) bahkan outsider (Jhon Esposito, Andrew Rippin, dll) yang mencoba mengaplikasikan
interpretasi al-Qur’an dengan pendekatan interdispliner dan multidisipliner, termasuk
didalamnya pendekatan sosial-gender.
Dalam pandangan feminis sendiri, khususnya para feminis muslim, sejarah penafsiran
al-Qur’an dinilai telah memihak pada jenis kelamin laki-laki dengan antara lain
menghilangkan “suara perempuan” yang sebenarnya oleh Allah sebagai pedoman ajaran
Islam yang harus diikuti semua manusia. Perbincangan mengenai perempuan menjadi
indikator arah serta parameter bagi pencarian identitas diri dan peran Islam dizaman modern
ini, khususnya sejak berakhirnya kolonialisme.2

1
Dosen STIT Diniyyah Puteri Padang Panjang. ( zoulfikri@gmail.co.id )-2013
Barbara Frayer-Stowasser, Reinterpretasi Gender; Wanita dalam al-Qur’an, Hadis, dan Tafsir. Terj.
2

H.M.Mochtar Zoerni (Bandung; Pustaka Hidayah, 2001), hlm. 18.

1
Kehadiran tafsir feminis bertujuan untuk “melawan” penafsiran yang dinilai para
feminis muslim sebagai patriakhis (presepsi yang memandang perempuan sebagai makhluk
inferior inilah yang melahirkan tafsir patriakhi). Dalam pendangan mereka, penafsiran
tradisional-konservatif bukan saja bertentang dengan konsep modern tentang hak asasi
manusia, melainkan juga tidak sejalan dengan misi al-Qur’an itu sendiri yang diwahyukan
untuk menghapus ketidakadilan terhadap perempuan yang biasa terjadi pada masa-masa
sebelum Islam. Oleh karena itu para feminis melakukan penafsiran baru dengan tujuan untuk
menegakkan petunjuk al-Qur’an mengenai kesetaraan laki-laki dan perempuan tersebut.
Disinilah barangkali posisi Amina Wadud diantara para feminis lainnya, yang ingin
membangkitkan peran perempuan dalam kesetaraan dalam relasi gender, dengan berprinsip
pada keadilan sosial dan kesetaraan gender. Realitas dalam Islam menunjukan kenapa peran
perempuan terbelakang dari pada laki-laki (patriarki). Dia juga ingin menyelamatkan
perempuan dari konservatifme Islam. Dalam tataran normatif sikap kritis Amina Wadud ini
telah teruji, kemudian ia beranjak dalam ranah praksis, yaitu ketika Amina Wadud menajdi
Imam shalat jum’at pada 18 Maret 2005 lalu di Gereja Katredal, di Manhattan, New York.
Tindakan Amina ini mengundang sikap pro-kontra dari berbagai kalangan baik muslim
maupun non-muslim sendiri. Yang jelas apa yang dilakukan Amina tidak terlepas dari
sikapnya ingin ”mendarah daging”kan pesan perempuan-Tuhan yang termaktub dalam teks
al-Qur’an. Untuk mengenal siapa, apa, dan bagaimana Amina Wadud akan diulas singkat
dalam tulisan ini.

B. Biografi Singkat Amina Wadud


Amina lahir di daerah semi pedesaan di Bethesda, Maryland, Amerika tahun 1952. Ia
terlahir sebagai orang berkulit hitam, yang pada masa-masa itu supremasi terhadap orang
kulit putih lebih menonjol. Oleh karenanya bangsa kulit hitam mengalami diskriminatif, dan
hidup dalam kemiskinan, dan tentunya Amina yang terlahir sebagai perempuan mengalami
hal yang lebih, karena diskriminasi sebagai orang yang berketurunan kulit hitam dan berjenis
kelamin perempuan.
Amina Wadud masuk Islam pada tahun 1972, ketika ia memasuki karir di universitas.
Sejak itu ia berupaya untuk mengkaji Islam melalui al-Qur’an dan hadis, terkhusus mengenai
“jati diri” perempuan. Dalam berbagai penelitiannya, terkusus mengenai posisi perempuan
dalam Islam, Wadud mendapatkan adanya keganjalan hasil-hasil pemahaman yang telah ada
selama ini. Kemudian Wadud berinisiatif untuk melakukan apa yang ia sebut sebagai “jihad

2
gender”, sebuah upaya dalam perjuangan moral untuk menemukan egalitarianisme dalam al-
Qur’an yang sebagai sarana untuk mereformasi sikap umat Islam terhadap peremuan.3
Perjalanan karir Wadud sekarang sebagai guru besar (Professor) d Commonwealth
University, d Richmond Virginia. Ia memperoleh gelar B.Sc dalam bidang pendidikan dari
Universitas Pensylvania4, dan gelar master dalam kajian Timur dekat ia peroleh dari
Universitas Michigan, dan gelar doktor dalam bidang Islamic Studies dan bahasa Arab dari
Universitas yang sama pada tahun 1988. Setelah jenjang pendidikan tertinggi ia dapatkan,
Wadud mengajar di jurusan Islamic Revealed Knowladge and Heritage di International
Islamic University Malaysia (Universiti Islam Antara Bangsa Malaysia, IIUM/UIAM)
hingga tahun 1992. Di Malaysia ini Wadud bergabung dengan organisasi Sisters in Islam5.
Selain disibukkan mengajar, ia juga menelurkan beberapa karya berupa buku hasil
penelitian-penelitainnya, diantara karya masterpiece-nya ialah Qur’an and Woman; reading
Sacred Texts From a Woman’s Perspective yang awalnya diterbitkan oleh penerbit Fajar
Bakti, Kuala Lumpur. Juga bukunya yag terkenal yaitu Inside Gender Jihad, Women’s
Reform in Islam, dll. Sekembalinya dari Malaysia Wadud menjabat guru besar Departemen
Filsafat dan Studi Agama di Universitas Commonwealth Virginia dan menghabiskan
beberapa waktu untuk penelitiannya di Harvard Divinity School. Ia juga bergabung di
komunitas Moslem Wake Up (MWU) di Amerika yang bergerak dalam peneguhan identitas
para kaum muda progresif .

C. Hermeneutika Amina Wadud


1. Akar Pemikiran
Setidaknya pemikiran Wadud cukup terefleksi dalam bukunya yaitu Qur’an and
Woman; Reading The Sacred Text From a Woman’s Perspective. Menurut informasi Charlez
Kurzman bahwa penelitian Wadud tentang perempuan, terlebih yang tertuang dalam bukunya
tersebut berangkat dari kondisi historis yang erat kaitannya pengalaman dan pergumulan
dengan orang-orang perempuan Afrika-Amerika dalam upayanya memperjuangkan gender.
Lebih jauh Wadud melihat bahwa relasi antara laki-laki dan perempuan selama ini
mencerminkan budaya patriakhi yang tetap dilanggengkan oleh masyarakat, yang

3
Amina Wadud, Qur’an and Woman; Reading the Secred Text from a Woman’s Perspective, (New
York: Oxford University Press, 1999). hlm. x.
4
Asma Barlas “Amina Wadud’s Hermenutics of the Qur’an: Women Rereading Sacred texts” dalam
Suha Taji-Farouki (ed) Modren Muslim Intellectuals and The Qur’an, (London; Oxford University Press, 2004),
hlm 100.
5
Sister in Islam adalah organisasi perempuan yang bergerak dibidang perjuanga kesetaraan gender di
Malaysia, misi mereka ialah menjadikan al-Qur’an sebagai primary source dalam memposisikan perempuan
secara egaliter. selengkapnya bisa diakses melalui web SIS, yaitu http//ww.sisterinislam.org.my.

3
mengakibatkan perempuan kurang dan bahkan mendapatkan keadilan secara proposional6.
Kegelisahan Amina Wadud juga belum berhenti pada tataran penafsiran, tetapi juga
prakteknya, pengalamannya dalam studi di Barat (Amerika Serikat). Wadud tertantang dalam
penelitian dan mengajar di Amerika Serikat
Selain itu menurut Wadud salah satu penyebab terjadinya ketidakadilan gender dalam
kehidupan sosial masyarakat, juga dipengaruhi oleh ideologi-doktrin penafsiran al-Qur’an
yang dianggap bias patriakhi. Budaya ini telah memarginalkan kaum perempuan,
mengenyampingkan perempuan sebagai sosok yang berhak atas gelar khalifah fi al-ard} serta
menyangkal ajaran egalitarian yang terdapat dalam al-Qur’an7. Wadud menyadari bahwa
tafsir al-Qur’an berkaitan dengan cara pandang ini tidak sepenuhnya objektif. Tafsir selalu
diwarnai oleh bias para penafsirnya sehingga tafsir tersebut tidaklah murni merupakan
maksud teks al-Qur’an, dan ini terkadang tidak disadari oleh sipenafsir. Hal ini menimbulkan
masalah, terutama berkaitan dengan tafsir ayat-ayat al-Qur’an mengenai hubungan antara
laki-laki dan perempuan. Dan akhirnya Wadud menawarkan sebuah model pembacaan
hermeneutika perspektif perempuan dalam “membaca” ayat-ayat al-Qur’an8. Sejauh ini
hermeneutika Wadud adalah hermenutika konvensional, artinya hermeneutika yang mencari
makna yang dimaksud oleh pengarang, tentunya juga memperhitungkan pengaruh
kebudayaan dan bahasa sebagai medan perantara. Begitu juga dengan Wadud ia bertindak
sebagai penafsir al-Qur’an sehingga ia memperhitungkan juga kebudayaan dan bahasanya
sendiri sebagai perempuan yang hidup di abad ke-20 (beranjak ke- 21).
Pada dasarnya setiap pemikiran lahir tidak terlepas dari hasil pemikiran-pemikiran
sebelumnya, kendati itu hanya sedikit. Begitupun dengan Amina Wadud, penafsiran-
penafsirannya terhadap al-Qur’an banyak dipengaruhi oleh pemikiran “neo-modernis” Fazlur
Rahman, terutama pada metode penafsiran holistik yang menekankan pada aspek normatif
dari ajaran al-Qur’an. Rahman mengkritik metode tafsir klasik dan pertengahan yang
menggunakan metode parsial dalam 3 kritik pokok yang ia lontarkan, yaitu pertama, kurang
memperhatikan aspek historis, kedua, tesktual, ketiga, pemahaman yang bersifat atomistik.
Wadud mengadopsi metode Rahman metode tematik ayat yang bertujuan untuk mengurangi
subjektifitas penafsir. Kritik ini juga dibuktikan oleh Wadud dari adanya kecendrungan
marginalisasi posisi perempuan dari khazanah tafsir al-Qur’an yang berimplikasi pada

6
Ahmad Baidowi, Tafsir Feminis ; Kajian Perempuan dalam al-Qur’an dan Para Mufassir
Kontemporer, (Bandung; Nuansa, 2005), hlm. 110.
7
Amina Wadud, Inside the Gender Jihad, Women’s Reform in Islam, (England: Oneworld Publication,
2008), hlm. 50 & 187, juga di xii.
8
Ibid, hlm. 188.

4
kehidupan sosial perempuan. Jadi, bila Islam secara esensinya menyuguhkan posisi setara
dengan kaum laki-laki, namun ternyata tidak serta merta mengisyaratkan adanya
kemerdekaan pada perempuan muslim9.

2. Tipologi Tafsir tentang Perempuan


Amina Wadud memberikan 3 kategori model penafsiran al-Qur’an tentang perempuan
sebagai cara untuk memposisikan diri dalam perkembangan studi tafsir, diantaranya ialah;
 Tafsir Tradisional
Tafsir dengan corak ini lebih bersifat atomistik. Artinya penafsiran dilakukan satu
ayat dengan ayat atau ayat-ayat lain, sehingga pembahasannya sepotong-sepotong, tidak
menampilkan suatu bentuk pemahaman yang utuh tentang suatu persolan (parsial). Cara ini
dilakukan biasanya tidak dengan cara yang sistematis, dalam artian tidak adanya penerapan
hermeneutika atau metodologi yang menghubungkan antara ide, struktur sintaksis, atau tema
yang serupa membuat pembacanya gagal menangkap ide pokok yang terdapat dalam al-
Qur’an. Lebih lanjut implikasi dari diktum s}alih likulli> zama>n wa maka>n seolah-olah
masih belum muncul.
Model seperti ini biasanya menggunakan kecenderungan tertentu sesuai dengan minat
dan kemampuan mufassirnya, seperti nahwu, sharaf, fiqh, tasawuf, dll. Juga tafsir tradisional
ini ditulis secara ekslusif oleh para mufassir yang memiliki cara pandang androsentris (nilai
budaya yang dominan didasarkan pada cara pandang dan norma laki-laki) yang menyebabkan
minimnya perspektif perempuan dalam khazanah tafsir. Padahal mestinya pengalaman, visi
perempuan idealnya ikut serta dalam penafsiran tersebut, sehingga tidak adanya bias yang
memicu munculnya ketidakadilan gender dalam kehidupan sosial10.

 Tafsir Reaktif
Tafsir rektif ini ditulus oleh sarjana-sarjana modren yang bereaksi terhadap kendala-
kendala sosial yang dihadapi perempuan yang sering mereka anggap bersumber dari al-
Qur’an. Dalam menganalisa ayat-ayat al-Qur’an, dalam tasir ini sering menggunakan gagasan
feminis dan rasionalis yang mengangkat isu-isu feminis. Namun ada satu persamaan dengan
penafsir tradisional, yaitu mereka (penafsir reaktif) tidak membedakan antara tafsir dan teks
al-Qur’an. Pada umumnya analisis mereka tentang ayat-ayat al-Qur’an cenderung tidak

9
Khairuddin Nasution¸Fazlur Rahman tentang Perempuan, (Yogyakarta, Tafazza dan Academia,
2002), hlm 120.
10
Amina Wadud, Qur’an and Woman,…hlm. 2. lihat juga Asma Barlas, “Amina Wadud’s
Hermenutics of the Qur’an… hlm. 101. Bandingkan dengan Fazlurrahman, Major Themes of The Qur’an,
(Chichago: Bibliotheca Islamica, 1980) bagian awal.

5
komprehensif. Kalangan ini menggunakan status perempuan yang rendah dalam masyarakat
sebagai ”pembenaran” rasa reaksi mereka. Namun mereka gagal menggambarkan perbedaan
antara penafsiran dan ayat al-Qur’an itu sendiri. Menurut Wadud, usaha-usaha memperbaiki
keadaan perempuan justru bisa efektif bila didasarkan pada pandangan al-Qur’an yang
merupakan sumber utama ideologi dan teologi Islam11.

 Tafsir Holistik/Hermenutik
Yaitu menimbang dan menggunakan seluruh metode tafsir secara keseluruhan dengan
memperhatikan masalah-masalah sosial, moral, ekonomi, dan politik yang mencakup masalah
perempuan. Namun tafsir holistik ini masih relatif baru dan belum banyak mengangkat isu-
isu perempuan. Tafsir holistik ini muncul dimaksudkan sebagai jalan keluar untuk menutupi
kekurangan metode yang ditawarkan para pemikir tradisional dan para pemikir reformis.
Pada posisi inilah Amina Wadud menempatkan diri dalam upayanya untuk menafsirkan ayat-
ayat al-Qur’an. Untuk itu ia menawarkan suaau pembacaan al-Qur’an yang bertolak dari
pengalaman perempuan dan menanggalkan berbagai bentuk stereotip tentang perempuan
yang memenuhi kerangka tafsir yang itu diwarnai dengan nuansa kelaki-lakian12. Urgensi
dari memahami al-Qur’an secara holistik dikarenakan al-Qur’an bukanlah kumpulan tulisan
yang memiliki hubungan antar bab dan sub-bab yang jelas. Sebaliknya al-Qur’an diwahyukan
sesuai dengan untunan situasi dan kondisi yang ada dan dihadapai dikala itu.
Model tafsir ini mirip dengan yag ditawarkan oleh Fazlur Rahman dan al-Farmawi.
Fazlur Rahman berpendapat bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan dalam waktu
tertentu dalam sejarah-dengan keadaan umum dan khusus yang menyertainya-menggunakan
ungkapan yang relatif sesuai dengan situasi yang mengelilinginya. Karenanya ia tidak dapat
direduksi atau dibatasi oleh situasi historis pada saat diwahyukan13.

3. Metodologi ; Sebuah Model Hermenutika


Dalam metode hermenutika setidaknya yang menjadi poin penting ialah (1). Konteks
penulisan teks (jika dikatkan dengan al-Qur’an, dalam konteks apa ayat itu wahyukan), (2).
Struktur tata bahasa teks (ayat), yaitu cara teks mengatakan yang dikatakannya, (3). Teks
secara keseluruhan, atau pandangan dunianya (world view). Terkait dengan itu, sebagaimana
yang telah diungkap sebelumnya, dalam penggunaan metode Wadud sendiri mengadopsi
metode Fazlur Rahman, yang disebut dengan gerakan ganda (double movement), dimana
11
Amina Wadud, Qur’an and Woman,…hlm. 2.
12
Amina Wadud, Qur’an and Woman,…hlm. 3.
13
Abdul Mustaqim, “Amina Wadud Menuju Keadilan Gender,” dalam Khudori Soleh (ed), Pemikiran
Islam Kontemporer, (Yogyakarta; Jendela, 2006), hlm. 69.

6
bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan dalam waktu tertentu dalam sejarah-dengan
keadaan yang umum dan yang khusus menyertainya-menggunakan ungkapan yang relatif
mengenai situasi yang bersangkutan. Karenanya pesan al-Qur’an tidak bisa dibatasi
(direduksi) oleh situasi historis pada saat ia diwahyukan saja. Dengan demikian tantangan
yang dihadapi oleh kaum muslim pada periode Pasca Rasulullah adalah memahami implikasi
dari pernyataan al-Qur’an sewaktu diwahyukan, untuk menentukan makna utama yang
dikandungnya14. Selain metode gerakan gandanya Rahman, Wadud juga menggunakan
metode tafsir Qur’an bi Qur’an untuk menganalisa semua ayat yang memberi petunjuk
khusus bagi perempuan, baik yang disebutkan secara terpisah ataupun disebutkan bersamaan
dengan laki-laki15.
Dengan berlandaskan argumen tersebut Wadud yakin bahwa dalam usaha memelihara
relevansinya dengan kehidupan manusia, al-Qur’an harus terus menerus ditafsirkan ulang.
Wadud mencoba mengelaborasi model hermenutikanya sehingga setiap ayat dianalisis
dengan lima elemen, yaitu; (1) konteks (bahasa dan kebudayaan), (2) konteks dalam al-
Qur’an (berupa pembicaraan topik yang mirip dalam al-Qur’an), (3) bahasa dan struktur
sintaksis yang mirip dalam al-Qur’an, (4) prinsip-prinsip ajaran al-Qur’an yang lebih tinggi,
(5) pandangan dunia al-Qur’an16. Dari seperangkat analisis diatas Wadud ingin bisa
menangkap prinsip-prinsip fundamental yang tak berubah dari teks al-Qur’an itu sendiri,
kemudian melakukan refleksi untuk melakukan kreasi penafsiran sesuai dengan tuntutan
masyarakat zamannya.
Pada perjalanan penelitiannya, sesuai dengan unsur model hermeneutikanya, Wadud
melakukan telaah lebih jauh pada aspek analisis tekstual dari ayat-ayat al-Qur’an. Dengan
cara ini Wadud menitik beratkan pemahaman pada susunan bahasa al-Qur’an yang bemakna
ganda. Tujuan dari metode ini ialah untuk menggambarkan maksud teks dengan menganalisa
”prior texts-teks sebelumnya” (latar belakang, presepsi, dan keadaan) individu sipenafsir.
Hal ini penting untuk tidak diabaikan, karena tanpa adanya pra-understanding teks tersebut
justru bisa dibilang mati atau bisu17.
Selanjutnya Wadud menempatkan bentuk maskulin dan feminim dalam bahasa
sebagai bagian penting dari analisisnya. Bahasa yang memiliki istilah gender seperti bahasa
Arab yang melahirkan prior texts tertentu bagi pemakainya, juga bahasa Arab tidak memiliki

14
Amina Wadud, Qur’an and Woman,…hlm. 4.
15
Amina Wadud, Qur’an and Woman,…hlm.5. Bandingkan dengan Asma Barlas, “Amina Wadud’s
Hermenutics…hlm. 109.
16
Amina Wadud, Qur’an and Woman,…hlm .3.
17
Farid Esack, Qur’an Liberation and Pluralism, (USA: Oxford, 1998), hlm. 51.

7
bentuk netral, sehingga segala sesuatu diklasifikasikan menjadi laki-laki dan perempuan.18 Ini
berarti secara inheren bahasa Arab mengandung bias gender, baik itu dalam kosakata maupun
dalam strukturnya.
Selanjutnya untuk memahami sebuah teks, situasi dan kondisi ketika teks itu
diwahyukan menjadi mutlak untuk dilakukan. Dengan menelaah pada kondisi sosiologis-
historis ketika sebuah ayat diwahyukan, arah dan pergerakan ayat-ayat al-Qur’an akan
menjadi jelas. Selama ini masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai makhluk
inferior. Bias gender dalam kebudayaan ini berpengaruh besar terhadap kedudukan
perempuan dalam masyarakat maupun penafsiran atas ayat-ayat al-Qur’an mengenai
perempuan. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Islam dipandang
sebagai suatu yang bersifat hakiki. Perbedaan hakiki ini kemudian dianggap termanifestasi
dalam kapasitas dan fungsi sosial.
Semangat kesetaraan menurut Wadud, tercermin pada paradigma tauhid yaitu
martabat laki-laki dan perempuan adalah sama dimata Tuhan. Tauhid membuka prinsip
kesetaraan yang harmonis pada gender, tidak ada kepentingan politik di dalamnya. semua
berkesempatan menjadi hamba yang menjalankan perintah-Nya, hambanya yang bertakwa.
Takwa19 memiliki pesan moral dan tidak ditentukan oleh gender, tidak menggunakan ukuran
yang bersifat duniawi, kebangsaan, kekayaan, laki-laki dan perempuan bisa menjadi hamba
yang bertakwa. Dalam prakteknya term ini menjadi kacau pada relasi laki-laki dan
perempuan, laki-laki lebih tinggi derajatnya, posisi perempuan selalu dirugikan, kepentingan
selalu ada di balik interpretasi. Konsep relasi fungsional Wadud dikaji melalui dua istilah
yang sering digunakan al-Qur’an dalam menegaskan konsep tersebut, yaitu da>rajah dan
fadd}ala.
Dalam da>rajah (derajat/tingkat) Wadud menjelaskan bahwa ada 3 jenis derajat antar
manusia yang didapanya selama didunia, yaitu pertama, yang diperoleh dengan amal
perbuatan, menurut Wadud, al-Qur’an membedakan derajat manusia berdasarkan amal, tetapi
tidak menentukan nilai aktual dari amal tersebut. Al-Qur’an memberi ketentuan bahwa semau
amal yang dilakukan karena takwa bernilai lebih dan bahwa setiap orang berhak atas jerih

18
Amina Wadud, Qur’an and Woman,…hlm 6-7. Untuk penjelasan mengenai adanya bias gender
dalam struktur bahasa Arab bisa dilihat juga Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-
Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 277.
19
Istilah ini bisa dianggap weltanschauung yang paling esensial dalam al-Qur’a>n, ia bisa diartikan
sebagai “kesalehan” yaitu cara bertingkah laku yang sedapat mungkin sesuai dengan sistem sosial-moral, dan
menyadari bahwa Allah mengetahui segala tingkah lakunya karena rasa takzimnya pada Allah. Sedangkan
Izutsu dalam God and Man mendefenisikan istilah ini dengan “takut pada Allah”. Lihat Nurjannah Ismail,
Perempuan dalam Pasungan;Bias Lai-laki dalam Penafsiran, (Yogyakarta: LkiS. 2003). hlm, 68.

8
payahnya, perbedaan jenis kelamin tidak menentukan. Kedua, da>rajah pemberian Tuhan,
seperti dalam al-Qur’an disebutkan ada perbedaan yang didasakan pada pengetahuan, sosial,
ekonomi. Jadi lebih bersifa fungsional dan bisa dilihat dan dihargai masyarakat. Ketiga,
da>rajah yang membedakan antara laki-laki dan perempuan20.
Kemudian istilah fadd}ala, Wadud mengartikan sebagai ”melebihkan” dengan fi’ilnya
tafdhil bermakna pilihan. Konsep fadd}ala digunakan Wadud untuk memperjelas pandangan
relasi fungsional. Fadd}ala seringkali digunakan sebagai kata penghubung da>rajah. Hanya
saja sifat dari fadd}ala adalah pemberian prerogatif Allah, hanya bisa diperoleh manusia
dengan melakukan amal saleh. Kelebihan (fadd}ala) yang diberikan oleh Allah kepada umat-
Nya tidak berarti Allah menetapkan perbedaan diantara mereka, karena menurut Wadud
kelebihan yang ditetapkan oleh al-Qur’an hanya bersifat relatif. Dalam menjelaskan
kerelatifan ini Wadud membidik pada surat an-Nisa [4] ;3421.
Terkait dengan itu, semuanya bermuara pada semangat gender Wadud, yang
berprinsip pada teori etika, moral dan keadilan. Peran masing-masing individu dalam
masyarakat mengindikasikan kelebihan masing-masing dari laki-laki dan perempuan. Prinsip
inilah yang diterangkan oleh al-Qur’an sebagai konsekuensi dari potensi kebebasan yang
dimiliki manusia dalam mengatur kehidupan mereka (khalifah). Khalifah tidak identik
dengan kekuasaan laki-laki atas perempuan tetapi khalifah ini lebih diartikan sebagai wali,
penganti dalam artian sosok seorang khalifah harus memiliki sifat dan karakter seperti yang
di wakilinya, yaitu Tuhan. Khalifah membawa amanah yang mulia, sebagai agen moral, agen
perubahan.
Dari itu semua menurut Wadud ”suara perempuan22” yang berdasarkan pada
pengalaman dan visinya dianggap perlu dalam proses penafsiran, maka dengan demikian
pemahaman yang holistik akan terwujud. Lebih jauh bagaimana memposisikan “suara
perempuan” dan “suara laki-laki” dalam al-Qur’an bagi Wadud hal ini berimplikasi pada
sikapnya dalam memahami konsep relasi laki-laki dan perempuan dalam al-Qur’an. Oleh
karena itu ia perlu Wadud perlu menyuarakan bahwa “suara perempuan”-Tuhan dalam al-

20
Selanjutnya bisa dilihat dalam Amina Wadud, Qur’an and Woman,…hlm. 68-69. Bisa juga dilihat di
Charlez Khuzman (ed) Wacana Islam Liberal, (Jakarta; Paramadina, 2003), hlm. 199-208.
21
Selanjutnya bisa dilihat dalam Amina Wadud, Qur’an and Woman,…hlm70-73, juga Asma Barlas,
“Amina Wadud’s Hermenutics…, hlm 115.
22
Penegasan “suara perempuan” oleh Wadud dimaksudkan pada dua hal; pertama, mengungkap suara
perempuan-Tuhan yang ditampakkan dalam berbagai kisah hebat seperti Balqis dan Maryam. Kedua peremuan
harus menafsirkan sendiri ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan “dunia” perempuan. Penafsiran model ini
dilakukan oleh Wadud dengan tujuan untuk; 1). Melawan tren tren wacana intelektual mainstream dalam Islam
yang dianggapnya telah meminggirkan perempuan, 2). Memperluas potensi pemahaman diri (self-
understanding) dikalangan umat Islam. Ahamd Baidowi, Tafsir Feminis; Studi Pemikiran Amina Wadud dan
Nasr Hamid Abu Zaid, Disertasi tidak diterbitkan, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2009), hlm. 99.

9
Qur’an harus ditempatkan setara dengan “suara laki-laki”. Dengan demikian ajaran yang
memiliki pesan moral universal yang berlaku bagi laki-laki dan perempuan, hal itu pada
gilirannya akan berimplikasi pada sikap seorang dalam memandang kesetaraan keduanya.
Dengan kata lain untuk menghilangkan bias gender dalam penafsiran
Petunjuk al-Qur’an tentang kesetaraan inilah yang ingin digali dan ditunjukkan oleh
para feminis muslim dari penafsiran yang mereka hasilkan. Karena petunjuk al-Qur’an
tentang kesetaraan itu seringkali “tersembunyi”, maka para feminis muslim berupaya untuk
mengungkapkannya dengan mengintrodusir hermenutika feminis dalam memahami berbagai
ayat al-Qur’an terkait dengan masalah gender.

D. Aplikasi Penafsiran Hermeneutika Amina Wadud


Berdasarkan uraian diatas tentang hermenutikanya, agar proyek pemahaman
alternatif ini dapat dipahami lebih baik, penulis menampilkan salah satu contoh penerapan
model hermenutik yang ditawarkan oleh Amina Wadud, yaitu pada kasus Waris.
Secara umum dalam penafsiran-penafsiran klasik, didapati adanya kesenjangan dalam
pemahaman pembagian warisan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini terbukti pada
formulasi pembagian hak waris, yaitu satu berbanding dua; 1 untuk perempuan dan 2 untuk
laki-laki. Q.S. al-Nisa': 11 yang memuat sistem pembagian warisan bagi anak laki-iaki
dan anak perempuan. Pernyataan atau penggalan ayat tersebut berbunyi:

        

Penggalan ayat ini dapat diterjemahkan sebagai berikut:


“Allah mensyari'atkan bagimu (tentang pusaka) untuk anak -anakmu.
Yaitu: bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua anak
perempuan ...”
Dengan memperhatikan dengan cermat makna asli dari teks tersebut, dapat
disimpulkan bahwa dalam pembagian harta warisan seorang anak laki-laki mendapatkan
harta pusaka dua kali lipat lebih besar daripada bagian seorang anak perempuan. Model
pembagian seperti ini konon telah diaplikasikan sejak zaman Nabi Muhammad
Saw 23. Sistem formulasi seperti ini mengakar dan ditransfer secara terus menerus

23
Formulasi 2:1 ini dipandang sebagai aturan yang “adil” sesuai dengan pemahaman
masyarakat muslim ketika itu (masa awal Islam). Hal ini diketahui dari konteks historis bangsa Arab pada
masa itu, di mana orang-orang yang berhak mendapat harta pusaka adalah kaum lelaki yang mampu
berperang. Kaum wanita sama sekali tidak berhak untuk ikut mewarisi harta pusaka. Informasi semacam ini
dapat disimpulkan, paling tidak, dari asbab an-nuzul ayat tersebut. Lihat 'Ali b. Aimad al-Wahidi, Asbab an-

10
dalam tradisi Islam-Sunni. Karena secara bahasa pernyataan ini sangat jelas dan
substansinya telah dipraktekkan pada masa awal Islam, maka sebagian besar ulama
memandang penggalan ayat tersebut (juga ayat-ayat warisan secara keseluruhan) sebagai
qath’iyat ad-dalalah (menunjukkan arti yang pasti).
Sebagai contoh lain dari Fakruddin ar-Razi dalam tafsirnya menjelaskan terlebih
dahulu bahwa adanya kebiasaan orang jahiliyah yang tidak memberikan warisan kepada
anak-anak dan perempuan, dia juga menjelaskan hikmah kenapa laki-laki mendapat
duakalidari bagian perempuan, diantaranya ialah pertama, Karena perempuan lebih lemah
dibanding laki-laki, sehingga mereka lebih sedikit keluar untuk berperang dan berjuang. Oleh
karenanya kebutuhan laki-laki lebih besar untuk mencukupi anak dan istrinya, kedua, Laki-
laki lebih sempurna keadaanya daripada perempuan, baik dari aspek moral, intelektual,
maupun agama, ketiga, laki-laki karena kesempurnaan intelektualnya ia mampu mengelola
harta untuk hal-hal yang bermanfaat, dll24. Formulasi yang demikian diritik oleh Amina
Wadud, menurutnya, penafsiran lama yang menganggap bahwa 1 : 2 merupakan satu-satunya
rumusan matetamtis yang tidak benar, sebab ketika ayat-ayat tentang waris diteliti satu
persatu, ternyata rumusan 1 : 2 hanya merupakan salah satu ragam dari model pembagian
harta waris laki-laki dan perempuan. Pada kenyataannya, jika hanya ada satu anak
perempuan, maka bagiannya separuh dari keseluruhan harta warisan. Ini membuktikan bahwa
pembagian 1 : 2 bukanlah suatu yang mutlak25.
Paling tidak model-model penafsiran seperti inilah yang membuat Amina Wadud
berkreasi dengan pendekatan hermenutiknya. Menurut Wadud sendiri bahwa adanya
keragaman dalam pembagian harta warisan dalam Islam sebenarnya menekankan pada 2 hal,
yaitu; (1), Wanita, termasuk saudara jauh, hal ini tidak serta merta bisa dicabut hak warisnya.
Hal ini merupakan kebiasaan pra-Islam yang memberikan harta, walaupun ia kerabat jauh.
(2), Semua pembagian warisan antara kerabat yang ada haruslah bersifat adil. Keadilan disini
bukanlah ditentukan oleh jumlah nominalnya, akan tetapi pada pada manfaat harta warisan
bagi orang yang ditinggalkan. Dengan parameternya ialah naf’a (manfaat) maka bagian laki-
laki tidak harus lebih besar dari bagian yang diterima oleh perempuan (apalagi dua kali).
Amina Wadud kemudian memberikan semacam pertimbangan ketika seseorang
hendak melakukan pembagian warisan, yaitu; (1) Pembagaian warisan itu itu untuk keluarga

nuzul (Beirut: Dar al-ma’rifa. 1968), hlm. 82-84: Ibn Katsir, Tafsir alQur'an a1-'Azhim, jilid 1, hlm. 369-371.
Disamping itu formulasi ini disebut juga “keadilan historis”, karena kondisi wanita-wanita pra-Islam dalam
masa-masa kelam, derajat mereka bisa dikatan 0%, kemudian Islam datang dan menerapkan model pembagian
ini, menandakan bahwa kaum perempuan perlu dan layak di perhatikan.
24
Lebih lanjut bisa dilihat Fakhruddin ar-Razi, Tafsir al-Kabir, (Beirut; Dar al-Fikr, 1995), hlm. 207.
25
Amina Wadud, Qur’an and Woman,…hlm. 87.

11
dan kerabat laki-laki dan perempuan yang masih hidup, (2) Sejumlah kekayaan bisa
dibagikan semua, (3) Pembagian kekayaan juga harus memperhitungkan keadaan orang-
orang yang ditinggalkan, manfaatnya bagi yang ditinggalkan dan manfaat dari harat yang
ditinggalkan tersebut26.
Yang jelas bagi Wadud yang prinsip dasar dalam pembagian harta waris tersebut ialah
pada manfaat dan keadilan bagi yang ditinggalkan. Oleh karenanya ayat-ayat tentang teknis
pembagian warisan merupakan ayat yang lebih bersifat sosiologis dan hanya merupakan
salah satu alternasi saja, bukan suatu keharusan yang harus diikuti. Sebagai konsekuensinya
ayat-ayat tersebut mestinya dipahami semangat (ruh) atau ideal moral, yakni semangat
keadilan yang ada dibalik teks yang legal formal tersebut. Semangat keadilan itulah yang
muhkamat atau qathi’, sedangkan teknis operasionalnya dapat dipandang mashi zanni, seiring
dengan akulturasi dan kebutuhan zaman.

E. Implikasi Keilmuan dari Pemikiran Amina Wadud


Gagasan Wadud sebagai feminis ditujukan untuk membangun identitas diri
perempuan sebagai manusia, yang selama ini dirasa telah “dirampas” oleh bentuk-bentuk
pemahaman keagamaan yang bias terhadap kelaki-lakian. Pandangan mengenai identitas diri
perempuan dirasakan Wadud sebagai hal yang sangat penting karena hal ini secara simbolik
merefleksikan kekuatan identitas Islam dalam konteks muslim yang beragam.
Kontribusi terpenting Wadud dalam kaitannya dengan wacana tafsir al-Qur’an adalah
upayanya untuk memperlihatkan kaitan teoritis dan metodologis khususnya antara penafsiran
al-Qur’an dengan hal-hal yang memunculkannya (siapa dan bagaimana). ”Apa yang
dikatakan al-Qur’an? bagaimana al-Qur’an mengatakan? apa yang dikatakan terhadap al-
Qur’an? dan siapa yang mengatakannya? Terakhir apa yang sebenarnya dikehendaki (sisi
fundamental) dari rangkaian teks tersebut (al-Qur’an)?. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini
membawanya kepada kritik terhadap penafsiran tradisional mengenai teks-teks tentang
perempuan dalam al-Qur’an yang selama ini terkesan skirptual-parsial dan ironinya memihak
pada laki-laki sebagai ”agency”. Berangkat dari kritik ini Wadud kemudian berupaya untuk
mengajukan gagasan pemikiran, kerangka kerja, metodologi, dan tentu saja penafsirannya
terhadap al-Qur’an yang lebih egaliter menurutnya.
Penafsiran al-Qur’an model Amina Wadud setidaknya merupakan upaya keduanya
untuk menolak wacana Islam-patriakhi yang dikemukakan oleh umat Islam yang cendrung

26
Amina Wadud, Qur’an and Woman,…hlm. 88.

12
bervisi tradisional-konservatif. Ini terlihat melalui penafsiran-penafsiran secara literal-
tekstual terhadap ayat-ayat yang menempatkan posisi perempuan termarginalkan, dan
menempatkan posisi laki-laki lebih dari perempuan. Melalui hal itu Wadud berupaya
mengkosntruk metode, pendekatan dan praktek penafsiran yang lebih sesuai dengan ”nalar”
feminis, yakni kesetaraan laki-laki dan perempuan. Kemudian tafsir semacam ini (berkarakter
feminis) menjadi semacam ”gerakan” dari keduanya dalam memperkokoh wacana feminis
Islam sebagaimana juga yang dilakukan oleh feminis muslim lain seperti Qasim Amin, Rifaat
Hasan, Asghar Ali Engineer, dll. Sikap semacam ini sebenarnya merupakan konsekuensi
27
logis dari diktum yang menyatakan bahwa al-Qur’an s}alih likulli> zama>n wa maka>n ,
bahwa al-Qur’an tetap fleksibel tanpa kehilangan prinsip dasarnya.
Salah Hal yang perlu dipertimbangkan ulang dari tawaran hermenutik tafsir Wadud
ialah pada model yang digunakan oleh Wadud dalam memahami al-Qur’an, yang cenderung
eksklusif. Wadud bukan saja meyakini penafsiran bercorak patriakhis disebabkan karena laki-
laki yang melakukannya, namun dengan menggunakan pengalaman perempuan (prior texts),
dan terkesan ”memaksa” perempuan untuk menjadi penafsir sendiri atas al-Qur’an yang bisa
menghindarkan penafsiran kedalam ”bias gender” tersendiri. Padahal tepat-tidaknya
penafsiran bukan disebabkan oleh jenis kelamin, melainkan perspektif yang meliputi orang
yang menafsirkan. Perspektif yang patriakhis bisa dimiliki baik oleh laki-laki maupun
perempuan. Selain itu tingkat kapasitas intelektual dalam memahami metode dan seprangakt
penafsiran juga perlu menjadi hal yang dipertimbangkan.
Selain itu jikalau seluruh ayat-ayat perempuan mesti ditafsirkan dengan ”gaya
perempuan” maka secara tidak langsung konsep egaliter perlu dilihat lagi, bisa saja disatu
waktu laki-laki termarginalkan, dan potensi-potensi yang dimiliki oleh laki-laki dalam proses
penafsiran tidak maksimal dan bahkan terberdayakan secara utuh. Bukankah pengalaman
setiap manusia itu berbeda-beda, dan tawaran dari penulis alangkah bijaknya dalam proses
penafsiran tersebut laki-laki dan perempuan menjadi partner, tanpa membedakan diferensisasi
antara kodrat dan jenis kelamin, dan saling melengkapi pengetahuan dan berbagi
pengalaman, implikasinya dapat meminimalisir bahkan jauh dari hasil tafsiran yang terkesan
bias gender.

27
Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an; Qiraat Mua’shirah (Damaskus; Ahali li al-Nasr wa at
Tauzi’. 1992). hlm. 19.

13
F. Kesimpulan
Dalam tipologi arab kontemporel Amina Wadud tergolong dalam kelompok
reformistik dengan metode dekontruksi dan rekontruksi. Wadud sangat menentang terhadap
golongan fundamentalis.
Pendekatan Amina Wadud:
 Feministik ; Pendekatan yang didasarkan pada pandangan hidup perempuan
 Sosio-Historis-Kultural; Pendekatan ini ada kaitannya dengan pengalaman dan
pergumulan para perempuan Afrika-Amerika dalam upaya memperjuangkan keadilan
gender. Jadi, ketika hendak menafsirkan al-Qur’an maka mufasir harus
memperhatikan situasi sosio-historis kultural
Metodologi Amina Wadud:
 Dekontruktif-rekontruktif; Amina medekontruksi dan merekonstruksi model penfsiran
klasik yang penuh bias patriarkhi. Asumsi dasarnya adalah bahwa al-Qur’an
merupakan sumber nilai tertinggi yang secara adil mendudukan laki-laki dan
perempuan setara (equal).
 Argumentatif-teologis
 Hermeneutik-filosofis
Ciri utamanya: pengakuan bahwa dalam kegiatan penafsiran, seorang mufasir selalu
didahului oleh persepsinya terhadap teks yang disebut sebagai pra-pemahaman yang muncul
karena seorang penafsir senantiasa dikondisikan oleh situasi dimana ia terlibat dan sekaligus
mempengaruhi kesadarannya. Menurut Amina wadud penafsiran mengenai perempuan ada
tiga corak :
 Tafsir Tradisional: model penafsiran yang menggunkan pokok bahasan tertentu sesuai
dengan minat dan kemampuan mufasirnya. Model ini bersifat atomistik.
 Tafsir Reaktif : tafsir yang berisi reaksi para pemikir modern terhadap sejumlah
hambatan yang dialami perempuan yang dianggap berasal dari al-Qur’an.
 Tafsir Holistik : tafsir yang menggunkan metode penafsiran yang komprehensif dan
mengkaitkannya dengan berbagai persoalan sosial, moral, ekonomi, politik, serta isu-
isu perempuan yang muncul di era kontemporer. Model penafsiran inilah yang mirip
dengan apa yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman.[] Wallahu ‘alam bi al-shawwab

14
KEPUSTAKAAN
Ali b. Aimad al-Wahidi, Asbab an-nuzul (Beirut: Dar al-ma’rifa. 1968).

Barlas, Asma “Amina Wadud’s Hermenutics of the Qur’an: Women Rereading Sacred texts”
dalam Suha Taji-Farouki (ed) Modren Muslim Intellectuals and The Qur’an,
(London; Oxford University Press, 2004).
Baidowi, Ahmad. Tafsir Feminis ; Kajian Perempuan dalam al-Qur’an dan Para Mufassir
Kontemporer, (Bandung; Nuansa, 2005).
Esack, Farid, Qur’an Liberation and Pluralism, (USA: Oxford, 1998)
Ismail, Nurjannah, Perempuan dalam Pasungan;Bias Laki-laki dalam Penafsiran,
(Yogyakarta: LkiS. 2003).
Ibn Katsir, Imaduddin Abul Fida Ismail bin al-Khatib Abu Hafs Umar, Tafsir Ibn Katsir,
(Cairo: Mu’asasah Kurtubah. 2000).
Khuzman, Charlez (ed). Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-
Isu Global , (Jakarta; Paramadina, 2003).
Mustaqim, Abdul. “Amina Wadud Menuju Keadilan Gender,” dalam Khudori Soleh (ed),
Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta; Jendela, 2006).
Nasution¸Khairuddin. Fazlur Rahman tentang Perempuan, (Yogyakarta, Tafazza dan
Academia, 2002).
ar-Razi, Fakhruddin. Tafsir al-Kabir, (Beirut; Dar al-Fikr, 1995).
Syahrur, Muhammad. al-Kitab wa al-Qur’an; Qiraah Mu’ashirah. (Damaskus: Ahali li al-
Nasr wa at Tauzi’. 1992).
Stowasser, Barbara Frayer-. Reinterpretasi Gender; Wanita dalam al-Qur’an, Hadis, dan
Tafsir. Terj. H.M.Mochtar Zoerni (Bandung; Pustaka Hidayah, 2001).
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina,
1999).
Wadud, Amina, Inside the Gender Jihad, Women’s Reform in Islam, (England: Oneworld
Publication, 2008).
-------------------, Qur’an and Woman; Reading the Secred Text from a Woman’s Perspective,
(New York: Oxford University Press, 1999).

15

Anda mungkin juga menyukai