Anda di halaman 1dari 20

HERMENEUTIKA AL-QUR`AN VERSI

AMINA WADUD MUHSIN

Tugas Ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hermeneutika
Al-Qur`an Pada Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuludin dan
Dakwah IAIN Bone

Dosen: Ruslan Sangaji,. S.Ag,. M.Ag.

Oleh:

Alfhi Syahar
762312019003

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE


2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah swt. yang telah

melimpahkan rahmat, taufik serta hidayahnyalah sehingga penyusun mampu

menyelesaikan makalah ini sesuai dengan apa yang telah diharapkan. Shalawat

menyertai salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad saw.

Serta ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah

ikut berpartisispasi dalam penyelesaian tugas ini.

Penyusunan tugas ini ditujukan untuk memberikan penjelasan terkait tafsir

ayat aqidah. Semoga apa yang saya sampaikan melalui makalah ini dapat

menambah pengetahuan serta wawasan kita serta dapat bernilai ibadah di sisi

Allah swt.

Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam tugas kami ini, oleh

karena itu kami sangat mengharap adanya kritik dan saran yang bersifat

membangun demi kesempurnaan tugas ini.

Watampone, 15 Juni 2022

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................1

DAFTAR ISI............................................................................................................2

BAB I.......................................................................................................................3

PENDAHULUAN....................................................................................................3

A. Latar Belakang..............................................................................................3

B. Rumusan Masalah.........................................................................................4

C. Tujuan Penulisan...........................................................................................4

BAB II................................................................................................................5

PEMBAHASAN......................................................................................................5

A. Riwayat Hidup Amina Wadud Muhsin.........................................................5

B. Corak Pemikiran Amina Wadud Muhsin......................................................8

C. Penafsiran Wadud Muhsin Terkait Hak dan Peran Wanita.........................10

BAB III............................................................................................................19

A. Kesimpulan..................................................................................................19

B. Saran............................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................20

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan terjadi pada semua bidang ilmu. Tak

terkecuali bidang ilmu-ilmu al-Qur‟an. Di Barat lahir seorang tokoh perempuan

yang menghebohkan dunia Islam pada saat itu, bahkan hingga saat ini. Namanya

adalah Amina Wadud Muhsin. Ia seorang Profesor Islamic Studies yang pernah

menjadi imam shalat Jum‟at. Dalam jum‟atan tersebut, imamnya perempuan,

khatibnya perempuan dan barisan makmumnya bercampur aduk antara laki-laki

dan perempuan. Sejak 1400 tahun lebih Islam di sebarkan oleh Nabi Muhammad,

baru Amina Wadud-lah orang yang berani menjadi imam shalat Jum‟at. Amina

Wadud melakukan hal tersebut tentu bukan asal-asalan, namun juga memiliki

dasar. Dasar yang di pakai olehnya adalah hermeneutika tauhid. Dalam hal

ibadah, seseorang tidak boleh di halangi hanya karena jenis kemanin, asalkan

bertauhid, ia boleh beribadah. Selain itu, factor kondisi geografis dimana Amina
Wadud tinggal juga menjadi alasan utmanya untuk melakukan hal itu.

Yang menjadi janggal adalah ketika metode dari Bibel (hermenutika) ini

diaplikasikan kedalam al-Qur‟an perbedaan kevalidan data dan sejarah. Untuk itu

wajar, jika memang umat Islam menilainya berbeda-beda, ada yang menolak

ataupun menerima. Dalam hal ini, penulis akan mencoba memaparkan tentang

hermeneutika yang digagas oleh seorang feminis Muslim kontroverisial di zaman

sekarang, yakni Amina Wadud Muhsin.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana riwayat hidup seorang Amina Wadud Muhsin?

3
2. Bagaimana corak pemikiran Amina Wadud Muhsin?

3. Bagaimana penafsiran Amina Wadud Muhsin terkait hak dan peran

wanita?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui riwayat hidup seorang Amina Wadud Muhsin

2. Untuk mengetahui corak pemikiran yang digunakan Amina Wadud

Muhsin

3. Untuk mengetahui penafsiran Amina Wadud Muhsin terkait hak dan peran

wanita

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup Amina Wadud Muhsin

Amina Wadud lahir dengan nama Maria Teasley di Bethesda Maryland

Amerika Serikat pada tahun 1952. Ayahnya seorang pengkhotbah Kristen

Metodis. Sedangkan Ibunya keturunan budak Muslim Arab, Barbar di Afrika.

Pada tahun 1972 ia mengucapkan shahadat untuk masuk Islam di University of

Pennsylvania tempat ia belajar sampai dia menerima gelar BS pada tahun 1975

yang sebelumnya menjadi praktisi Buddish dalam waktu yang cukup singkat yaitu

satu tahun. Pada tahun 1974 namanya resmi diubah menjadi Amina Wadud, yang

sengaja dipilih untuk mencerminkan afiliasi agamanya.

Dia mendapat gelar MA dalam Studi Timur Dekat, gelar Ph.D dalam

bahasa Arab, serta studi Islam dari University of Michigan pada tahun 1988.

Selama studi, ia juga aktif belajar bahasa Arab di Universitas Amerika Kairo,

kemudian dilanjutkan dengan studi al-Qur’an dan tafsir di Universitas Kairo, serta
mengambil kursus filsafat di Universitas al-Azhar. Sebelum menjadi profesor

Agama dan Filsafat di Virginia Commonwealth University (VCU) pada tahun

1992, ia menghabiskan waktunya untuk mengajar di dua Negara yaitu Malaysia6

dan Lybia.

Setelah menulis buku “Qur’an and Women, Rereading The Sacred Text

from a Women’s Prespective” yang sangat monumental tersebut, Wadud

mendapat banyak undangan untuk menyampaikan gagasannya tentang studi

gender pada konferensi di beberapa Negara bagian Amerika Serikat, bahkan di

seluruh dunia. Diantara prestasi Wadud yang lain adalah sebagai anggota

istimewa di “Sister in Islam”, sebuah organisasi yang didirikan oleh perempuan

5
Muslim yang peduli dengan penindasan yang dihadapi perempuan. Sehingga pada

tahun 2001, ia diundang oleh Colin Powel untuk menghadiri jamuan makan

malam Ramadan di Gedung Putih.1

Sejak muda, Amina Wadud dikenal sebagai tokoh yang aktif di non

government organization (NGO/LSM) yang peduli secara intensif

memperjuangkan hak-hak wanita, baik berkaitan dengan pendidikan, pekerjaan

dan relasi-relasi yang lain. Keterlibatannya yang intensif dan kepeduliannya yang

jauh tersebut, telah membawa dampak pada dirinya, yaitu penokohan dan

pembawa gerbong feminisme, karena ia penancap tembok bagi lahirnya

feminisme baru di negaranya. Ia juga aktif di organisasi ISTAC, sebuah organisasi

yang bertujuan untuk menghidupkan kembali kajian Islam yang bersifat meta-

modern, yang dipimpin oleh Naquib Alatas. Organisasi ini kemudian dijadikan

master plan oleh organisasi Konferensi Islam Alternatif (KIA). Selain itu ia juga

menjabat sebagai anggota penasehat PMU (Progressive Muslim Union of North

America) yang didanai oleh Kecia Ali, sebuah asosiasi penelitian tentang program

perempuan dalam kajian agama yang berada di Harvard Divinity School. 11

Sebagai seorang feminis yang berkecimpung dalam wacana pembebasan

perempuan, Amina Wadud ingin mencoba mendobrak dominasi laki-laki terhadap

perempuan dalam segala hal. Keinginannya tersebut didasarkan atas asumsi

bahwa al-Quran merupakan sumber nilai tertinggi yang secara adil mendudukkan

laki-laki dan perempuan setara (equal). Salah satu contoh adalah tindakan

kontroversial yang dilakukannya pada pertengahan bulan Maret 2005. Ia menjadi

Imam sekaligus khatib dalam shalat Jum’at di Synod House at the Cathedral of St.

John the Divine, salah satu gereja di Manhattan, New York, dan diikuti oleh

sekitar seratus orang jama’ah laki-laki dan perempuan.

1
Labibul Wildan, “Hermeneutika Komunikatif Amina Wadud Muhsin” Indonesian Journal
of Islamic Communication, Vol. 1, No. 2, Desember 2018, h. 38-39.

6
Adapun karya Amina Wadud yang merupakan master piecenya adalah

Quran And Woman; Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective.

Karya monumentalnya ini merupakan satu-satunya karya yang menjelaskan pokok

pikiran Amina Wadud tentang cara membaca (menafsirkan) ayat-ayat al-Quran,

terutama ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah perempuan, serta contoh-

contoh aplikatif terhadap metodologi dan pendekatan yang digunakannya dalam

menafsirkan ayat-ayat al-Quran.

Amina Wadud menuturkan bahwa karyanya tersebut terwujud melalui dua

tahap perkembangan. Pertama, ketika ia sedang menyelesaikan studi tingkat

sarjana di Universitas Michigan antara tahun 1986-1989. Meskipun tidak

mengalami banyak hambatan, namun proyek awal ini tidak mendapatkan

dukungan antusias kecuali dukungan dari Dr. Alton Becker (Pete). Kedua, ketika

ia datang ke Malaysia pada tahun 1989. Di sini, ia bertemu dengan Dr. Chandra

Muzaffar yang kemudian banyak memberikan masukanmasukan kepadanya

terhadap karyanya ini.

Selain karya tersebut, ada juga artikel-artikelnya yang lain, semisal Quran

And Woman yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Al-Quran

Dan Perempuan. Artikel tersebut merupakan entery point dari karya master

piecenya di atas. Artikel lainnya adalah In Search of a Woman’s Voice in Quranic

Hermeneutics. Artikel ini ditulis Amina Wadud dengan dua tujuan, yaitu pertama,

menghadapi tantangan mainstream yang selama ini digunakan dalam diskursus

Islam yang selalu memarjinalkan atau menolak manfaat dan keuntungan dari

pendapat perempuan. Kedua, untuk memperluas potensi pemahaman pribadi (self

understanding) di antara orang-orang Islam.2

2
Khozainul Ulum,”Amina Wadud Muhsin dan Pemikirannya Tentang Poligami” Al-
Hikmah Jurnal Studi Keislaman, Vol. 7, No. 1, Maret 2017, h. 11-12

7
B. Corak Pemikiran Amina Wadud Muhsin3

1. Penerapan Model Tafsir

Dari paparan pemikiran Amina Wadud di atas, dapat ditarik kesimpulan

bahwa model tafsir yang dipakai oleh Amina Wadud adalah tafsir tematik-

holistik atau yang disebut oleh Fazlur Rahman dengan teori hermeneutik

(hermeneutical theory). Tafsir tematik (maudû‘i) adalah memahami al-

Quran dengan cara mencari korelasi ayat-ayat yang setema dan yang

terpencar di pelbagai ayat, sehingga dapat dipahami ajarannya secara utuh

dan jelas. Sedangkan tafsir holistik (kulliy) adalah tafsir yang

menggunakan seluruh metode penafsiran dan mengaitkan dengan berbagai

persoalan sosial, moral, ekonomi, politik, termasuk isu-isu perempuan

yang muncul di era modern.

Model tafsir yang dipakai Amina Wadud sebenarnya pernah ditawarkan

oleh Fazlur Rahman, dan diakuinya sendiri, sebenarnya ia terinspirasi

untuk menggunakan model tafsir tersebut dalam kajiannya yang tertuang

dalam karyanya Quran And Woman; Rereading the Sacred Text from a

Woman's Perspective. Hal ini seperti yang ia katakan : "Thus, I attempt to

use the method of Qur'anic interpretation proposed by Fazlur Rahman"

Bukti bahwa Amina Wadud menggunakan tafsir tematik-holistik

berkenaan dengan ayat poligami adalah ia mengkaitkan Q.S. an-Nisâ' ayat

3 dengan surat yang sama, yaitu Q.S. an-Nisâ' ayat 2 dan 129, juga dengan

Q.S. al-Baqarah ayat 187 dan Q.S. ar-Rûm ayat 21. Selanjutnya, ia juga

menganjurkan untuk mempertimbangkan keadilan sosial yang meliputi

kesamaan dalam hal kasih sayang, dukungan spiritual, moral dan

3
Khozainul Ulum,”Amina Wadud Muhsin dan Pemikirannya Tentang Poligami” Al-
Hikmah Jurnal Studi Keislaman, Vol. 7, No. 1, Maret 2017, h. 18-20

8
intelektual sebagai bagian dari perlakuan adil terhadap para isteri. Bukti

lain adalah penyangkalannya terhadap tiga pembenaran umum yang

selama ini dijadikan alasan oleh pendukung poligami.

2. Mazhab feminis dalam penafsiran Amina Wadud Muhsin

Berkaitan dengan mazhab penafsiran feminis, Abdul Mustaqim

mengkategorikan Amina Wadud dalam aliran feminis rasional. Mazhab

feminis ini berangkat dari keyakinan bahwa karena Allah maha adil, maka

Islam membawa misi keadilan terhadap siapapun, walaupun berbeda

agama dan jenis kelamin. Menurut mazhab ini, al-Quran hadir dengan

mengedepankan wacana keadilan dan kesetaraan gender.

Hal ini senada dengan pernyataan Amina Wadud bahwa ia menentang

keras asumsi yang meyakini bahwa perempuan lebih rendah atau tidak

sederajat dengan laki-laki. Menurutnya, asumsi tersebut tidak hanya

mempengaruhi kedudukan masyarakat tapi juga mempengaruhi penafsiran

tentang kedudukan perempuan menurut al-Quran.

Memang ada beberapa perbedaan antara laki-laki dan perempuan, namun

perbedaan itu tidak terkait dengan sifat-sifat dasar mereka, lebih-lebih

nilai-nilai yang telah dinisbahkan kepada setiap perbedaan tersebut, karena

seandainaya perbedaan tersebut terkait dengan sifat dasar atau nilai-nilai,

maka akan menggambarkan perempuan sebagai manusia lemah, inferior,

berpembawaan jahat, tidak cakap secara intelektual dan kurang memadai

secara spiritual. Penilaian-penilaian tersebut telah digunakan untuk

mengklaim bahwa perempuan tidak cocok untuk melaksanakan tugas-

tugas tertentu atau menjalankan fungsifungsi tertentu dalam masyarakat.

9
Al-Quran sendiri tidak menafikan perbedaan antara laki-laki dan

perempuan atau menghapuskan signifikansi fungsional pembedaan gender

yang telah membantu masyarakat berjalan lancar dan memenuhi

kebutuhannya. Bahkan, hubungan-hubungan fungsional yang harmonis

dan saling mendukung antara laki-laki dan perempuan dapat dipahami

sebagai bagian dari tujuan al-Quran berkenaan dengan masyarakat.

Namun, al-Quran tidak menganjurkan atau mendukung peran tunggal atau

definisi tunggal tentang seperangkat peran yang dikhususkan bagi laki-laki

dan perempuan di semua budaya.


C. Penafsiran Amina Wadud Terkait Hak dan Peran Wanita

Dalam pembahasan ini, penulis mencoba menampilkan beberapa contoh

penafsiran Amina Wadud dengan model hermeneutikanya tekait masalah hak dan

peran wanita, diantaranya adalah sebagai berikut;4

1. Derajat dan fadhala

Al-Qur’an mengakui bahwa kita berjalan dengan berbagai sistem sosial

yang memiliki beberapa perbedaan fungsional. Hubungan yang

ditunjukkan Al-Qur’an antara perbedaan-perbedaan yang bersifat duniawi

ini dengan takwa adalah penting dalam bahasan Amina Wadud.

Menurutnya, karena perbedaan utama wanita adalah kemampuannya

melahirkan anak, maka kemampuan ini dianggap sebagai fungsinya yang

utama. Penggunaan kata utama mempunyai konotasi negatif sehingga dari

kata ini, tersirat anggapan bahwa wanita hanya bisa menjadi ibu. Al-

Qur’an tidak pernah menyatakan bahwa fungsi tersebut adalah fungsi

4
Aniqoh, “Hermeneutika Al-Qur`an Amina Wadud Muhsin” Revelatia: Jurnal Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir Vol. 2, No. 2, November 2021, h. 132-138

10
utama wanita. Fungsi itu menjadi utama bila dilihat dari kesinambungan

ras manusia.

Terlepas dari itu, Amina mengutip sebuah ayat yang membedakan derajat

antara pria dan wanita, yang artinya: ”Wanita-wanita yang ditalak,

hendaknya menahan diri (menunggu) tiga kali quru`. Tidak boleh mereka

menyembunyikan apa yang dijadikan Allah dalam rahimnya. Dan suami-

suaminya berhak rujuk padanya dalam masa iddah tersebut, jika mereka

(para suami tersebut) menghendaki ishlah. Para wanita mempunyai hak

yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan

tetapi para suami, memiliki satu tingkat (derajat) kelebihan daripada

istrinya. Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana (QS, 2: 228).

Ayat ini menunjukkan bahwa derajat yang dimaksud di atas adalah hak

menyatakan cerai kepada istri. Sebenarnya wanita bisa saja minta cerai,

tetapi hal ini dikabulkan setelah adanya campur tangan pihak yang

berwenang (misalnya hakim). Amina Wadud berpendapat, beranggapan

bahwa makna derajat dalam ayat ini sama dengan kebolehan kesewenang-

wenangan laki-laki terhadap wanita, akan bertentangan dengan nilai

kesamaan (keadilan) yang diperkenalkan dalam al-Qur`an sendiri untuk

setiap individu, karena setiap nafs akan memperoleh ganjaran sesuai

dengan apa yang dia upayakan. Adapun, kata ma’ruf diletakkan

mendahului kata darajah untuk menujukkan bahwa hal tersebut dilakukan

terlebih dahulu. Dengan demikian, hak dan tanggung jawab wanita dan

pria adalah sama. Selanjutnya, Amina Wadud juga concern dalam

menafsirkan kata qawwam dan fadhdhala yang terdapat dalam surah an-

Nisâ` ayat 34. Menurutnya, dua kata tersebut erat kaitannya dengan kata

penghubung bi. Di dalam sebuah kalimat, maknanya adalah karakteristik

11
atau isi sebelum kata bi adalah ditentukan berdasarkan apa-apa yang

diuraikan setelah kata bi. Dalam ayat tersebut, pria-pria qawwamuuna ‘ala

(pemimpinpemimpin bagi) wanita-wanita hanya jika disertai dua keadaan

yang diuraikan berikutnya. Keadaan pertama adalah mempunyai atau

sanggup membuktikan kelebihannya, sedang persyaratan kedua adalah jika

mereka mendukung kaum wanita dengan menggunakan harta mereka. Jika

kedua kondisi ini tidak dipenuhi, maka pria bukanlah pemimpin bagi

wanita.

Dalam tulisan lain, Amina Wadud menjelaskan bahwa kata bi di atas

berkaitan dengan ma fadhdhlallah (apa yang telah Allah lebihkan untuk

laki-laki, yakni warisan), dan nafkah yang dia berikan kepada istrinya.

Meski menurutnya, kelebihan warisan antara laki-laki dan perempuan

masih dalam perdebatan. Dimana bagian warisan absolute pria tidak selalu

berbanding dua dengan wanita. Jumlah sesungguhnya sangat tergantung

pada kekayaan milik keluarga yang akan diwariskan. Lebih jauh, Amina

Wadud menjelaskan bahwa nafkah sebagai seorang pemimpin hendaknya

diterapkan dalam kaitannya hubungan kedua belah pihak dalam

masyarakat secara keseluruhan. Salah satu pertimbangannya adalah

tanggung jawab dan hak seorang wanita. Amina Wadud menambahkan

bahwa wanita tidak perlu dibebani dengan tanggung jawab tambahan yang

hanya dia sendiri yang bisa mengembannya.

2. Poligami dan perceraian

Dalam hal ini, Amina Wadud membahas surah an-Nisâ` ayat 3, yang

artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-

hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), Maka

nikahilah wanita-wanita lain yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.

12
kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, maka nikahilah

seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu

adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” Ayat ini tentang

perlakuan terhadap anak yatim. Sebagian wali laki-laki yang bertanggung

jawab, untuk mengelola kekayaan anak-anak yatim perempuan tidak bisa

diharapkan untuk mengelola dengan adil harta tersebut. Solusinya adalah

dengan menikahi anak yatim tersebut. Menurut Amina Wadud ada tiga

pembenaran umum terhadap poligami yang tidak ada persetujuan langsung

dalam Al-Qur’an, yaitu: Pertama, Finansial, dalam konteks masalah

ekonomi seperti pengangguran, seorang laki-laki yang mampu secara

finansial hendaknya mengurus lebih dari satu istri. Lagi-lagi, pola pikir ini

mengasumsikan bahwa semua wanita adalah beban finansial, pelaku

reproduksi, tapi bukan produsen. Kedua, Dasar pemikiran lain untuk

berpoligami difokuskan pada wanita yang tidak dapat mempunyai anak.

Ketiga, Jika kebutuhan seksual seorang laki-laki tidak dapat terpuaskan

oleh seorang istri, dia harus mempunyai istri lebih dari satu. Alasan ini

jelas tidak Qur’ani karena berusaha menyatujui nafsu laki-laki yang tidak

terkendali.

Sedangkan terkait masalah perceraian, merupakan pilihan hukum antara

pasangan yang telah menikah, setelah mereka tidak bisa menyatukan

perbedaan yang timbul antara keduanya. Tetapi keadaan yang telah

dibahas tadi, yang mengizinkan pria memiliki darajah (kelebihan) atas

wanita, telah dianggap sebagai indikasi adanya ketaksejajaran dalam al-

Qur`an- yaitu pria memiliki hak talak. Tidak seperti wanita, kaum pria bisa

saja berkata “saya ceraikan kamu” untuk memulai tata cara perceraian. Al-

Qur`an memang tidak menyebutkan adanya wanita-wanita yang meminta

13
talak dari suaminya, sehingga kenyataan ini digunakan untuk mengambil

kesimpulan bahwa wanita tidak memiliki hak talak. Kesimpulan terakhir

sangat bertolak belakang dengan adat istiadat zaman pra-Islam dimana

wanita dapat dengan mudahnya memalingkan wajahnya untuk

menunjukkan penolakannya atas hubungan perkawinan dengan seorang

pria. Tidak ada satu petunjukpun dalam al-Qur`an yang mengisyaratkan

bahwa seluruh kewenangan talak ini harus direnggut dari kaum wanita.

Yang lebih penting lagi menurutnya, hendaknya persoalan rujuk atau cerai

dilakukan dengan cara ma’ruf dan menguntungkan kedua belah pihak.

Berkaitan dengan Poligami dan perceraian tersebut bisa terlaksana harus

ada aqad pernikahan yang dilaksanakan diantara keduanya. Hal ini tidak

memberi solusi dalam pernikahan, artinya antara suami istri harus

mengetahui peran dan tanggungjawab masing-masing. Jika pernikahan

yang dilakukan tidak bisa memenuhi tujuan yang telah disebutkan

sebelumnya, maka akan mengakibatkan berpisahnya suatu keluarga

terutama suami istri. Bahkan Poligami dan perceraian adalah pintu darurat

yang bisa dibuka apabila ada problem yang tidak bisa diselesaikan diantara

keduanya. Apabila pernikahan hanya mendatangkan malapetaka dan

permusuhan, Allah membukakan jalan keluar untuk perdamaian dengan

cara talak (perceraian). Sebab menurut asalnya hukum talak itu makruh,

berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW berikut ini: Dari Ibnu Umar

Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam

bersabda: "Perbuatan halal yang paling dibenci Allah ialah cerai.( Riwayat

Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Hakim. Abu Hatim

lebih menilainya hadits mursal).

3. Pembagian warisan dan persaksian bagi perempuan

14
Teori kesetaraan laki-laki dan perempuan dilawan dengan pendapat, yaitu

bahwa laki-laki dan perempuan sesungguhnya memang tidak setara.

Terbukti pembagian harta warisan antara laki-laki dan perempuan tidak

sama, bahkan dua banding satu. Ketentuan ini dianggap sebagai hal yang

pasti, karena dhahir ayat memang menyatakan semacam ini, sebagaimana

yang tertuang dalam surah an-Nisâ’ ayat 11 dan 12.

Tentang pembagian harta warisan, Amina Wadud mengkritik penafsiran

lama yang menganggap bahwa dua banding satu (laki-laki dan perempuan)

merupakan satusatunya rumusan matematis. Menurutnya teori tersebut

tidak benar, sebab ketika diteliti ayat-ayat tentang waris satu persatu,

ternyata rumusan dua banding satu hanya merupakan salah satu ragam dari

model pembagian harta waris laki-laki dan perempuan. Pada

kenyataannya, jika hanya ada satu anak perempuan, maka bagiannya

separuh dari keseluruhan harta warisan. Perlu dicatat bahwa Amina

Wadud tidak terlalu panjang lebar ketika bicara masalah pembagian

warisan. Hanya saja beliau memberikan semacam pertimbangan ketika

seseorang hendak melakukan pembagian warisan, yaitu: Pertama,

pembagian warisan itu untuk keluarga dan kerabat laki-laki dan

perempuan yang masih hidup. Kedua, sejumlah kekayaan bisa dibagikan

semua. Ketiga, pembagian kekayaan juga harus memperhitungkan keadaan

orang-orang yang ditinggalkan, manfaatnya bagi yang ditinggalkan dan

manfaat harta warisan itu sendiri.

Berbicara tentang persaksian dalam muamalah, al-Qur’an menyebutkan

dalam surah al-Baqarah ayat 282: …Apabila kamu bermuamalah, tidak

secar tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya…

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari lakilaki diantara kalian .

15
Jika tidak ada dua orang laki-laki maka boleh seorang laki-laki dan dua

orang perempuan. dari saksi-saksi yang kamu ridhoi, supaya jika yang

seorang lupa , maka seseorang yang lagi dapat mengingatkannya. Ayat

tersebut mesti harus dipahami dalam konteks apa ia turun, bagaimana

situasi sosio-historis yang melingkupi ketika ayat itu turun. Para ulama

klasik umumnya memang cenderung memahami secara tekstual, dan

kurang berani melakukan terobosan baru untuk menafsirkan secara lebih

kontekstual. Dalam hal ini Fazlur Rahman, nampaknya salah seorang yang

berani mengartikan berbeda dengan mengatakan bahwa: Kesaksian

perpemuan dianggap kurang bernilai dibanding laki-laki, tergantung dari

daya ingat yang dimiliki perempuan tersebut. Jika perempuan tersebut

memiliki pengetahuan tentang masalah transaksi keuangan, maka ia juga

membuktikan kepada masyarakat, bahwa ia mampu sejajar dengan laki-

laki.

Pemahaman ayat tersebut sesungguhnya sangat sosiologis, karena pada

waktu itu, perempuan mudah dipaksa. Jika saksi yang dihadirkan hanya

seorang perempuan, maka ia bisa dipaksa agar memberi kesaksian palsu.

Berbeda jika ada dua perempuan, mereka bisa saling mendukung, saling

mengingatkan satu sama lain tidak hanya menyebabkan si individu

perempuan menjadi berharga, tetapi juga dapat membentuk benteng

kesatuan guna mengadapi saksi yang lain. Jadi, dengan kata lain adanya

persaksian dua perempuan yang seakan disetarakan dengan satu laki-laki

lebih disebabkan oleh adanya hambatan sosial pada waktu turunnya ayat,

yaitu tidak adanya pengalaman bagi perempuan untuk masalah transaksi

pada muamalah. Di samping itu, seringkali terjadi pemaksaan terhadap

perempuan, dalam saat yang bersamaan sesungguhnya al-Quran tetap

16
memandang perempuan sebagai saksi yang potensial. Implikasi teoritis

dari pemikiran tersebut adalah bahwa ketika kondisi zaman sudah berubah,

di mana perempuan telah mendapatkan kesempatan pengalaman yang

cukup dalam persoalan transaksi atau muamalah, apalagi hal itu memang

sudah menjadi profesinya, maka perempuan dapat menjadi saksi secara

sebanding dengan laki-laki. Jadi, persoalannya bukan pada jenis

kelaminnya apakah laki-laki atau perempuan, melainkan pada kredibilitas

dan kapabilitas ketika diserahi untuk menjadi saksi dalam kasus apa pun

itu. Apalagi hukum waris dan persaksian merupakan bagian dari

muamalah bukan ibadah magdoh atau ibadah yang sudah ditentukan syarat

dan ketentuannya dalam syariat Islam. Sehingga hukum dan praktiknya

ketika mendapat kasus tertentu bisa berubah demi menjungjung tinggi

prinsip keadilan. Sebagaimana Surah Al-Maidah ayat 8 Allah befirman

bahwa keadilan lebih dekat kepada ketakwaan. Jadi dasar hukum yang ada

di dalam Alquran adalah keadilan karena adil itu lebih dekat kepada

takwa.

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Amina Wadud lahir dengan nama Maria Teasley di Bethesda Maryland

Amerika Serikat pada tahun 1952. Ayahnya seorang pengkhotbah Kristen

Metodis. Pada tahun 1974 namanya resmi diubah menjadi Amina Wadud, yang

sengaja dipilih untuk mencerminkan afiliasi agamanya.

Model tafsir yang dipakai oleh Amina Wadud adalah tafsir tematik-

holistik atau yang disebut oleh Fazlur Rahman dengan teori hermeneutik

(hermeneutical theory). Tafsir tematik (maudû‘i) adalah memahami al-Quran

dengan cara mencari korelasi ayat-ayat yang setema dan yang terpencar di

pelbagai ayat, sehingga dapat dipahami ajarannya secara utuh dan jelas.

Sedangkan tafsir holistik (kulliy) adalah tafsir yang menggunakan seluruh metode

penafsiran dan mengaitkan dengan berbagai persoalan sosial, moral, ekonomi,

politik, termasuk isu-isu perempuan yang muncul di era modern.

B. Saran

Dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata kesempurnaan. Maka

demikian kami penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak

kekurangan dan tidak menutup kemungkinan adanya kesalahan, maka dari itu

kami menginginkan agar pembaca dapat mencari tahu kebenaran suatu ilmu yang

kami paparkan jika yang ada dalam makalah ini didapati suatu kesalahan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Aniqoh, “Hermeneutika Al-Qur`an Amina Wadud Muhsin” Revelatia: Jurnal

Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Vol. 2, No. 2, November 2021.

Khozainul Ulum,”Amina Wadud Muhsin dan Pemikirannya Tentang Poligami”

Al-Hikmah Jurnal Studi Keislaman, Vol. 7, No. 1, Maret 2017.

Labibul Wildan, “Hermeneutika Komunikatif Amina Wadud Muhsin” Indonesian

Journal of Islamic Communication, Vol. 1, No. 2, Desember 2018.

19

Anda mungkin juga menyukai