Anda di halaman 1dari 16

PENDIDIKAN ISLAM DAN PEREMPUAN

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Kapita Selekta
Pendidikan Islam

Dosen Pengampu : Dr. Syarifuddin Idris, M.Pd.I

Pemakalah :

Risfi Oktalia 2111202

Haykal Aji Payuga 2111194

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SYAIKH ABDURRAHMAN SIDDIQ

BANGKA BELITUNG

2023

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur tidak henti –hentinya peulis panjatkan atas kehadiran
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayahnya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Pendidikan Islam dan
Perempuan” dapat terselesaikan dengan baik. Tidak lupa juga penulis haturkan
sholawat serta salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, berserta
keluarganya, para sahabatnya, dan semua umatnya yang selalu istiqomah sampai
akhir zaman. Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini tidak akan selesai
tanpa adanya bantuan, bimbangan, dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Irawan, M.S.I. selaku rektor Institut Islam Negeri Syaikh


Abdurrahman Siddik Bangka Belitung.

2. Dr. Hadarah, M.Ag. selaku dekan Institut Isalm Negeri Syaikh


Abdurrahman Siddik Bangka Belitung.

3. Dr. Syarifuddin Idris, M. Pd. I selaku dosen pengampu mata kuliah


penelitian tindakan kelas penulis merasa bahwa penulisan tugas akhir ini masih
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, dengan kehadiran hati penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun bagi perbaikan di masa yang
akan datang.

Bangka, 07-03-2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ 2

DAFTAR ISI ................................................................................................... 3

BAB I ............................................................................................................4

PENDAHULUAN ...........................................................................................4

A. Latar Belakang........................................................................................4

B. Rumusan Masalah ..................................................................................5

C. Tujuan .....................................................................................................5

BAB II ..............................................................................................................6

PEMBAHASAN ................................................................................................6

A. Pendidikan Wanita Zaman Dahulu...........................................................6

B. Beberapa Pendapat tentang PendidikanWanita Zmaan dahulu...............10

C. Pengertian Pendidikan Islam...................................................................12

BAB III ............................................................................................................14

PENUTUP .......................................................................................................14

A. Kesimpulan ...........................................................................................14

B. Saran......................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................15

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebenarnya islam tidak membedakan antara wanita dan laki-laki dalam


pendidikan. Islam memberikan kesempatan yang sama antara laki-laki dan
perempuan dalam menuntut ilmu. Selain ditemui pengajaran bagi anak anak
perempuan, pengajaran bagi wanita juga ada. K.Hitti menandaskan bahwa anak
anak perempuan juga dibolehkan mengikuti sekolah dasar, Fayyaz Mahmud
menegaskan bahwa pada masa Dinasti Abbasiyah, anak perempuan juga
mempunyai kesempatan belajar dimaktab maktab. Akan tetapi tidak banyak data
yang menerangkan bahwa wanita pun belajar dilembaga pendidikan tinggi.

Dalam sistem pendidikan islam dimasa klasik, pendidikan islam bukanlah


diperuntukkan hanya laki laki saja. Wanita pun tidak dilarang kemasjid untuk
mengikuti pelajaran. Akan tetapi, apakah mereka mereka dibolehkan berlibat
langsung dengan murid laki laki. Memang dalam kitab aghani. Sebagaimana
dijelaskan oleh Syalabi, ditemukan teks menerangkan adanya dua kasus yang
meriwayatkan bahwa ada dua oarang wanita yang telah mengikuti pelajaran pada
sekolah dasar. Kedua perempuan tersebut adalah seorang wanita hamba sahaya,
bukan orang merdeka. Oleh karena itu, Syalabi menolak bahwa pengajaran untuk
budak dapat dinilai sebagai pendidikan karena pengajaran untuk budak hanyalah
untuk menaikkan harga mereka dengan cara mengajar mereka membaca dan
menulis. Dengan demikian, riwayat tersebut tidak bisa dipakai sebagai sejarah
bahwa anak perempuan merdeka pernah mengikuti pengajaran tingkat dasar
dikuttab bersama murid laku-laki.

Perempuan tidak memperoleh pelajaran terbuka dengan laki-laki akan


tetapi mereka memperoleh pelajaran dengan cara mendatangkan guru kerumah
mereka privat mereka.

4
Pengajaran wanita menurut Munirudin Ahmad, ada indikasi yang
menunjukkan bahwa ada kelompok belajar wanita akan tetapi dilaksanakn dengan
terpisah. Misalnya Ahmad bin Hanbal ang mengjarkan kelas wanita pada sore
hari. Kelas wanita biasanya dilaksanakan dirumah seorang ulama tertentu.
Sedangkan wanita yang tidak dari keluarga ulama mereka belajar kepada ayah
mereka atau mendatangkan guru pribadi.

Menurut Jonathan Berkey, Alasan pemisahan pendidikan murid wanita


dan murid laki laki dalam pendidikan islam adalah karena kehadiran wanita
ditengah kaum laki laki dianggap tabu dan dikhawatirkan akan menganggu
konsentrasi belajar siswa laki-laki. Karena ancaman inilah, Al-Din bin Jama’ah
sebagaimana dikutip oleh Berkey, melarang wanita belajar dimadrasa atau berada
disuatu tempat dimana siswa biasanya lewat atau melengok kehalaman sekolah
melalui jendela.

B. Rumusan Masalah

1. Bgaimana Pendidikan Wanita Zaman Dahulu


2. Bagaiama Pendapat Pendidikan Wanita Zaman Dahulu
3. Apa pengertian Pendidikan Islam

C. Tujuan

1. Untuk Mengetahui Pendidikan Islam Zaman Dahuluu


2. Untuk Memahami Pendapat tentang Pendidikan Wanita Zaman Dahulu
3. Agar paham pengertian pendidikan Islam

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pendidikan Wanita Pada Zaman Dahulu

Para wanita Arab sebelum datangnya Islam telah mempunyai hak


dan kesempatan belajar yang terkenal pada masa itu, maka di kalangan
wanita telah terdapat wanita-wanita tukang tenung dan penyai’r-penya’ir
dan orang-orang yang mempunyai pengetahuan dalam menulis. Di dalam
buku-buku yang berbahasa Arab disebutkan banyak sekali nama-nama
wanita yang terkenal pada masa jahiliyah dan masa permulaan Islam.

Nabi Muhammad Saw, hadir di tengah bangsa Arab pada abad ke 6


M yang menganut system relasi kuasa Patriarkhis, sebagaimana bangsa-
bangsa di bagia dunia lain pada saat itu. Sistem patriarkhisme telah lama
ada dalam masyarakat ini. Ia adalah sebuah sistem di mana laki-laki
diposisikan sebagai pengambil keputusan atas kehidupan masyarakat.
Dalam system ini pula terbentuk pola pembagian kerja berdasarkan jenis
kelamin. Laki-laki bekerja dan beraktualisasi pada ruang publik dan
perempuan pada ruang domestic. Posisi dan peran perempuan seperti ini
meniscayakan rendahnya pengalaman, pengetahuan dan keterampilan
perempuan. Perempuan juga tidak menjadi makhluk dengan kemandirian
penuh, sebagaimana laki-laki. Perempuan sangat tergantung kepada laki-
laki. Ia menjadi “konco wingking” dan “swarga nunut, neroko katut”.
Umar bin Khattab menginformasikan situasi ini. Ia mengatakan:

“Kami semula, pada periode pra Islam (jahiliyah), sama sekali


tidak menganggap (terhormat, penting) kaum perempuan. Ketika Islam

6
datang dan Tuhan menyebut mereka, kami baru menyadari bahwa ternyata
mereka juga memiliki hak-hak mereka atas kami1”.

Pendidikan wanita dalam Islam tidak terlepas pada sejarah awal


penyebaran Islam di masa Nabi Muhammad SAW, Islam mengajarkan
persamaan status pria dengan wanita dalam aspek-aspek spritual dan
kewajiban keagamaan dan yang membedakan adalahnya akhlak yang baik
dan buruk. Sebagaimana di contohkan pada masa Nabi masih hidup
seorang wanita bangsawan dan berketurunan tinggi dari kalangan Quraisy
penah mencuri dan karenanya ia dikenakan hukuman. Dan ada seseorang
yang ingin membelanya. Kemudia Nabi mengambil sikap, seraya berkata,
“apakah engkau akan membela seseorang dalam hukum yang telah
ditentukan Tuhan ?”. Selanjutnya beliau berpidato yang isinya
menyebutkan. ”Wahai manusia sesungguhnya orang-orang sebelum kamu
menjadi sesat, karena apabila seorang bangsawan mencuri, mereka
membiarkannya, dan apabila orang-orang lemah mencuri mereka
menegakan hukum terhadapnya, Demi Allah sekiranya Fathimah anaka
Muhammad mencuri, Muhammad akan memotong tangannya”.

Kalau kita teliti tentang kandungan matan hadits diatas, sangat


jelas kedudukan wanita dan pria sama kedudukannya dalam hukum.
Demikian pula dalam keagamaan, mereka akan mendapat pahala yang
sama. Allah menegaskan posisi wanita dalam Al Quran sebagai berikut :

“Dan para wanita mendapat hak yang seimbang dengan


kewajibannya menurut cara yang makruk. Akan tetapi para suami
mempunyai satu tingkatan dari pada isterinya”

1. Pendidikan Wanita Pada masa Nabi SAW

1 Al-Bukhârî, Muhammad bin Ismâ’il, al-Shahih, ed. Musthafa Dib al-Bughâ, (Beirut: Dar Ibn
Katsir, 1987), kitab: al-Libâs, no. hadits: 5055, Juz V, hlm. 2197. Lihat juga: Al-‘Asqallânî, Ibn
Hajar, Fath al-Bârî fi Syarh Shahîh al-Bukhârî, (Bairut: Dar al-Fikr, 1414H/1993), Juz X, hlm.
314.
7
Pada zaman Nabi SAW, wanita mulai mendapatkan kedudukan
yang terhormat dan sederajat dengan kaum pria, karena sebelumnya pada
zaman jahiliyah, kaum wanita mendapatkan kedudukan yang sangat
rendah dan hina, hingga kelahiran seorang anak perempuan dalam
keluarga dianggap suatu yang aib dan harus membunuh anak itu semasa
bayi.

Pada masa ini, Nabi meyamakan kedudukan wanita dan pria dalam
hal menuntut ilmu sebagai manifestasi ayat ini diriwayatkan pula dari Nabi
s.a.w bahwa beliau menganjurkan agar istrinya diajarkan menulis, dan
untuk ini beliau berkata kepada Asy-Syifa’ (seorang penulis di masa
jahiliyah) tidak maukah Anda mengajar mantera kepada Hafsah
sebagaimana engkau telah mengajarkannya menulis.

2. Pendidikan Wanita Pada masa Sahabat

Pada masa ini telah banyak bermunculan ahli ilmu agama dan
pengetahuan, seperti Sitti Hafsah isteri Nabi pandai menulis, dan ‘Aisyah
binti Sa’ad juga pandai menulis. Siiti Aisyah isteri Nabi pandai membaca
Al Quran dan tidak pandai menulis tetapi beliau adalah seorang ahli fiqh
yang terkenal sebagaimana diakui oleh ‘Urwah bin Zuabair seorang ahli
fiqh yang termasyhur dalam hal ini beliau berkata : “belum pernah saya
melihat seorang yanglebih ‘alim dalam ilmu Fiqh, ilmu kedokteran dan
ilmu syi’ir selain dari ‘Aisyah”. Kemudian adapula Ummu Salamah dapat
membaca dan tidak pandai menulis, Al-Khansa’ seorang penyair yang
loyal, nasionalis dan pejuang. Hindun binti ‘‘tabah, Laila binti Salma dan
Sitti Sakinah binti al-Husain, seorang ahli yang mahir dalam bidang sya’’r.
Demikian pula ‘Aisyah binti Talhah seorang yang ahli dalam kritik syi’ir.

Pada masa kemelut politik pertentangan antara Khalihah Ali


dengan Mu’awwiyah, ada beberapa wanita yang terkenal ikut dalam
kancah politik, seprti Hindun binti ‘Idi bin Qais, ‘Akrasyah binti al-

8
Athrusy dll yang mereka itu membantu ‘Ali melawan Mu’awiyah. Setelah
itu Mu’awiyah tertarik menggunakan wanita dalam kancah politik
kerajaan, maka tersebutlah al-Khaizuran dan Syajaratud-Durr.

3. Pendidikan Wanita Pada masa Dinasti Abasiyah

Pada masa ini, agama Islam telah tersebar luas, demikian juga
kebudayaan serta kemajuan pada masa Bani Abbas di bagian Timur dan
Barat, telah memunculkan para wanita yang ikut serta dalam kegiatan
intelektual dan kesenian, pengatahuan agama, sastera dan kesenian. Para
budak wanita mempunyai kesempatan yang besar untuk mempersiapkan
diri dalam bidang satera dan kesenian sehingga harga budak wanita
menjadi lebih tinggi sesuai dengan kecakapan yang dimilkinya. Wanita-
wanita yang terkenal dalam bidang pengetahuan dan syi‘ir antara lain,
‘Aliyah binti al-Mahdi, Fadhlun, ‘Aisyah binti Ahmad bin Qadim al-
Qurthubiyah, Lubna, Walladah binti al-Khalifah al-Mustakfi Billah,
Qamar.

Sebagian wanita adapula yang ahli dibidang ilmu agama dan hadits
dan para sarjana wanita Muslimah yang terkenal jujur dalam ilmu dan
amanah dalam riwayatnya. Seorang ahli hadits yang terbesar bernama Al-
Hapiz az-Zahabi dalam menyaring rijalul hadits yang telah mengeluarkan
hadits sebanyak 4000 perawi hadits dan dalam hal ini beliau berkata, “saya
tidak melihat dari kalangan wanita orang yang terkena tuduhan dan tidak
pula orang-orang yang mencoreng nama mereka (sebagai perawi hadits
yang terpercaya). Wanita-wanita yang terkenal dalam perawi hadits adalah
Karimah Al-Marwaziyah dan Sayyidah Al-Wuzara’.

Ibnu Abi Ushaibi’ah menyebutkan dalam bukunya Thabaqatul


Athibba’ tentang dua orang wanita yang bekerja sebagai dokter dan
mereka mengobati wanita-wanita istna Khalifah al-Mansur di ANdalus.

9
Diantara mereka andalah Zainab, seorang dokter mata yang terkenal dari
Bani Uwad.

Apabila kita bandingkan kondisi pendidikan dan peranan wanita


Islam abad pertangahan dengan wanita yang ada di Eropa Kristen maka
akan sangat terlihat perbedaan yang mencolok, di Griek (Eropa) kecuali
Sparta dan Plato, saat itu wanita tidak diberikan persamaan hak dalam
pendidikan dan sosial sebagai mana yang diperoleh oleh laki-laki, mereka
menganggap wanita sebagai benda yang dapat menjamin kepuasan dan
kesenangan mereka, walaupun mereka mencapai peradaban yang tinggi
dan kemajuan dalam ilmu pengetahuan.

B. Beberapa Pendapat Tentang Pendidikan Wanita

Adalah kewajiban bagi wanita untuk memperoleh pendidikan ilmu


agama seperti shalat, puasa, zakat, haji, sebagaimana kewajiban untuk
berdagang dan bertransaksi. Jika suaminya tidak mampu untuk
memberikan padanya ilmu tersebut, maka wanita tersebut menurut Islam
wajib untuk mencarinya. Shaikh Usman dan Fodio, seorang guru terkenal
dari Nigeria mengatakan dalam Irshad al-Ikhwan,”Jika sisuami tidak
mengizinkannya, maka si istri dibolehkan keluar mencari ilmu tanpa
seizinnya, dan tidak ada kesalahan baginya dan pula tidak dosa baginya
karena itu. Peraturan ini seharusnya mendorong para suami agar
mendukung istrinya dalam mencari ilmu, sewajib bagi suami untuk
menafkahi keluarganya, sesungguhnya ilmu adalah utama (dan wajib
dipelihara dan diamalkan)”.

Ibnu Rusyd, filsuf muslim besar abad pertengahan, menyampaikan


pandangan yang cemerlang tentang hal ini. Ia mengatakan :

10
“Sepanjang para perempuan tumbuh dan besar dengan kecerdasan
dan kapasitas intelektual yang cukup, maka tidaklah mustahil, kita akan
menemukan di antara mereka para filosof/kaum bijak-bestari, para
pemimpin public-politik dan semacamnya. Memang ada orang yang
berpendapat bahwa perempuan seperti itu jarang ada, apalagi ada hukum-
hukum agama yang tidak mengakui kepemimpinan politik perempuan,
meski sebenarnya ada juga hukum agama yang membolehkannya. Akan
tetapi sepanjang perempuan-perempuan di atas ada, maka itu
(kepemimpinan perempuan) bukanlah hal yang tidak mungkin1”.

Dari sini, Ibnu Rusyd kemudian menyatakan : “Maka adalah jelas,


bahwa perempuan perlu terlibat (berperan serta) bersama laki-laki dalam
perang dan sejenisnya. Adalah layak pula bagi kita memberikan
kesempatan kepada mereka untuk bekerja pada bidang-bidang
sebagaimana yang dikerjakan laki-laki. Hal itu bisa terjadi hanya manakala
mereka memiliki akses yang sama dengan laki-laki (antara lain) dalam
bidang seni musik dan matematika2”.

Akan tetapi dalam praktek persamaan spiritual, tidak selalu


disertakan dengan persamaan dalam bidang intelektual di antara wanita
dan pria. Hal ini dapat kita lihat kadang-kadang dalam bidang pendidikan.
Studi tentang pendidikan bagi wanita dalam umat Islam memperlihatkan
dua pendapat yang berbeda yaitu yang menerima dan bahkan yang
menolak.

1. Pendapat yang menolak pendidikan Wanita

Para ulama yang menolak pendidikan wanita , yaitu tidak boleh


mengajar wanita selain agama dan Al Quran, dan dilarang mengajarkan
menulis. Wanita yang diberi pelajaran menulis diserupakan dengan ular

1 Ibnu Rusyd al-Hafid, Talkhish al-Siyasah li Aflathon, (Beirut: Dar al-Kutub, tt) hlm. 125.

2 Ibnu Rusyd al-Hafid, Talkhish al-Siyasah li Aflathon, (Beirut: Dar al-Kutub, tt) hlm. 126
11
yang menghirup racun. Pendukung pendapat ini mengambil dasar dari Ali
bin Abi Thalib yang menjumpai seorang pria yang sedang mengajarkan
menulis kepada seorang wanita, lalu beliau menegur, “jangan kamu
menambah kejahatan dengan kejahatan.” Selanjutnya pendukung pendapat
ini meriwayatkan bahwa ‘Umar bin Khattab melarang wanita belajar
menulis. Disamping itu mereka menisbahkan para wanita dengan
kekurangan dari segi akal dan agama, dan kekurangan ini merupakan
faktor yang menyebabkan tidak boleh mengajarkan pengetahuan kepada
para wanita.

2. Pendapat yang memperbolehkan pendidikan Wanita

Para pendukung yang memberi pengajaran kepada wanita dengan


menggunakan dalil-dalil dari hadits Nabi yang menganjurkan untuk
memberi pengajaran kepada wanita, sebagian dari hadits tersebut ialah,
“menuntut ilmu diperlukan atas setiap muslim dan muslimah”. “setiap
orang yang memilki walidah (hamba) dan mengajarkannya serta
mendidiknya, kemudian ia memerdekakannya dan mengawininya, maka ia
akan mendapat dua buah pahala.”

C. Pengertian Pendidikan Islam

Sebagai agama kemanusiaan (religious of humanity), ajaran Islam mencakup


dan melingkupi semua aspek hidup dan perikehidupan. Islam, sejak awal
kelahiranya telah mengajarkan dan mengapresiasi prinsip-prinsip hak asasi
manusia (HAM). Penghormatan dan penghargaan terhadap manusia dan
kemanusiaan menjadi ajaran pokok dan penting di dalam Islam. Di antara
ajaran pokok tersebut adalah tentang tata cara yang mesti dilakukan manusia
dalam berilmu, beramal dan menjalin hubungan (ta’aruf) dengan sesama
manusia dan seluruh makhluk Tuhan lainnya1. Dalam konteks hak asasi

1 Imam Machali, “Islam Memandang Hak Asasi Pendidikan”, Media pendidikan, 27 (1) 2013:
14-15.
12
pendidikan, ajaran Islam sangat menaruh perhatian terhadap umatnya yang
menuntut ilmu pengetahuan.

Banyak ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits yang menganjurkan dan


mengagungkan setiap orang yang berilmu, bahkan hukum menuntut ilmu itu
wajib bagi setiap manusia, baik laki-laki, perempuan, anak-anak maupun
dewasa, dan dalam memperoleh akses pendidikan memperoleh hak yang
sama. Islam berarti penyerahan diri dan kepatuhan. Secara istilah, Islam
digunakan sebagai nama agama dan tatanan kehidupan yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW melalui wahyu dari Allah SWT yang termuat dalam al-
Qur’an dan al-Hadits.

Mengenai Pendidikan, Sayid Sabiq, dalam kitabnya yang berjudul


“Islamuna”, bahwa pendidikan adalah usaha untuk mempersiapkan anak baik
dari segi jasmani, segi akal, dan segi rohaninya sehingga dia menjadi anggota
masyarakat yang bermanfaat, baik untuk dirinya maupun bagi umatnya1, hal
senada juga disampaikan oleh Athiyah al-Abrasyi, mendefiniskan pendidikan
sebagai upaya untuk mempersiapkan individu agar ia dapat hidup dengan
kehidupan yang sempurna2.

Sementara itu, Anwar Jundi, dalam kitabnya “at-Tarbiyyah wa Binaul Ajyal fi


Dhau’il Islam”, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan adalah
menumbuhkan manusia dengan pertumbuhan yang terus menerus sejak ia
lahir sampai meninggal dunia3. Dari ketiga definisi yang dikemukakan
tersebut, nampak jelas tidak mengandung perbedaan yang prinsipil, malah
saling memberikan penguatan bahwa pendidikan itu sebagai usaha
mempersiapkan dan menumbuhkan individu manusia dari sejak ia lahir
sampai akhir hayat untuk memiliki kekuatan jasmani, akal, dan rohani bagi

1 Sayid Sabiq, Islamuna, (Beirut: Darul Kitab al-Arabi, tt), th.

2 Athiyah al-Abrasy, At-Tarbiyatul Islamiyah wa Falasafatuha, (Mesir: Baitu Halbi, 1969),


hlm. 48.

3 Anwar Jundi, At-Tarbiyah wa Bina’ul Ajyal fi Dhau’il Islam, (Beirut: Darul Kitab, 1975),
hlm. 160.
13
manusia, tidak hanya pada diri lelaki, tetapi juga perempuan berdasarkan
nilai-nilai keislaman.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebagai kesimpulan makalah ini, Islam memberikan persamaan


hak dan kewajiban dalam menuntut ilmu bagi waita sebagaimana laki-
laki, namun yang menjadi perhatian khusus adalah tentang penekan
pendidikan akhlaq. Sebagai contoh Ibnu Urdun berpendapat bahwa anak-
anak perempuan harus mempelajari shalat dan agama serta menambahkan
pelajaran-pelajaran yang lain, akan tetapi ia tidak sepakat mengajarkan
syi’ir dan menulis kepada anak perempuan, serta ia tidak menyetujui
memberikan pendidikan anak perempuan bersama-sama dengan anak
laki-laki dalam sebuah tempat, meskipun ada pendapat yang
membolehkan belajar bersama-sama antara anak perempuan dan anak
laki-laki.

B. Saran

Demikian Makalah dari kelompok kami, masih banyak


kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Oleh karena itu, kami harap
para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang sifatnya
membangun guna dapat menghasilkan pengetahuan baru yang
menyempurnakan makalah ini.

14
DAFTAR PUSTAKA

Al-Bukhârî, Muhammad bin Ismâ’il, al-Shahih, ed. Musthafa Dib al-Bughâ,


(Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), kitab: al-Libâs, no. hadits: 5055, Juz V, hlm. 2197.
Lihat juga: Al-‘Asqallânî, Ibn Hajar, Fath al-Bârî fi Syarh Shahîh al-Bukhârî,
(Bairut: Dar al-Fikr, 1414H/1993), Juz X.

Anwar Jundi, At-Tarbiyah wa Bina’ul Ajyal fi Dhau’il Islam, (Beirut: Darul


Kitab, 1975).

Asrohah, Hanun, M.Ag, Sejarah Pendidikan Islam. PT. Logos Wacana Ilmu,
Jakart.1999

Athiyah al-Abrasy, At-Tarbiyatul Islamiyah wa Falasafatuha, (Mesir: Baitu


Halbi, 1969).

Fahmi, Asma Hasan,.Dr, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Bulan


Bintang, Jakarta 1979

Imam Machali, “Islam Memandang Hak Asasi Pendidikan”, Media


pendidikan, 27 (1) 2013.

Ibnu Rusyd al-Hafid, Talkhish al-Siyasah li Aflathon, (Beirut: Dar al-Kutub,


tt).

Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah Dan Filsafat Pendidikan Islam, Angkasa
Bandung, 1983

15
Zuhairini, Dra, dkk Sejarah Pendidikan Islam, , Bumi Aksara bekerjasama dengan
Direktorat Jenderal Lembaga Pengembangan Pendidikan Islam
Departemen Agama, Jakarta, 1999

16

Anda mungkin juga menyukai