Anda di halaman 1dari 5

Penafsiran Fatima Mernissi terhadap Ayat-ayat Bias Gender

Feminisme berasal dari bahasa Latin, yaitu femina yang artinya perempuan. Secara umum
feminisme adalah paham tentang kesetaraan kedudukan antara laki-laki dan perempuan.
Dalam konteks feminisme Islam, feminisme tidak muncul dari satu pemikiran teoritis dan
Gerakan tunggal yang berlaku bagi seluruh perempuan di seluruh negeri Islam. Secara
umum, feminisme Islam adalah alat analisis maupun Gerakan yang selalu bersifat historis-
kontekstual dalam menjawab masalah-masalah perempuan yang aktual menyangkut
ketidakadilan dan ketidaksejajaran dipandang dari perspektif agama. Menurut feminis
Islam, teks dalam al-Qur’an merupakan teks yang sesungguhnya membebaskan perempuan.
Artinya bukan teks yang bermasalah, melainkan bagaimana teks itu dibaca dan
diinterpretasikan yang sesungguhnya membuat banyak masalah untuk perempuan.
Fatima Mernissi berpandangan bahwa sudah berabad-abad kaum Muslim membaca teks al-
Qur’ān secara bias. Teks-teks sekunder seperti kompilasi hadits dan kitab-kitab fiqh
mengandung banyak muatan yang sesungguhnya bertentangan dengan semangat teks al-
Qur’ān yang membebaskan perempuan.
Ada tiga strategi untuk membongkar pembacaan yang bias tersebut oleh tokoh feminisme,
pertama, dengan merujuk kembali pada ayat-ayat al-Qur’ān untuk mengoreksi kesalahan-
kesalahan cerita-cerita yang berkembang di antara kaum Muslim. Kedua, dengan merujuk
ayat-ayat yang sesungguhnya dengan jelas menekankan pada kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan, dan digunakan untuk menentang interpretasi yang menekankan hal sebaliknya.
Ketiga, mendekonstruksi atau membaca ulang ayat-ayat yang selama ini kerap dikutip
sebagai sumber justifikasi ketidakadilan relasi gender.
Salah satu persoalan yang dibicarakan dalam feminisme adalah soal patriarki. Misalnya
ketika interpretasi ayat-ayat al-Qur’ān yang dilakukan oleh para fuqaha dengan nuansa
patriarkinya yang sangat kental sehingga mendiskreditkan perempuan. Mernissi
mengatakan:
“Jika hak-hak perempuan merupakan masalah bagi sebagian kaum laki-laki Muslim
modern, hal itu bukanlah karena al-Qur’ān ataupun Nabi, bukan pula karena tradisi
Islam, melainkan semata-mata karena hak-hak tersebut bertentangan dengan
kepentingan kaum elit laki-laki.”1
Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa di tengah sikap kritisnya, Mernissi sebenarnya
masih mempunyai prasangka yang positif terhadap al-Qur’ān, Nabi dengan hadistnya dan
tradisi Islam. Ia yakin bahwa al-Qur’ān, hadist Nabi dan Islam sendiri amat menghargai
perempuan, Mernissi tidak percaya jika ada doktrin yang mengatakan bersumber dari
ketiganya mendiskreditkan perempuan, maka hal itu perlu dikritisi, bisa jadi ada pihak-
pihak tertentu yang telah “memanfaatkan” momen ini.2
Mernissi ini tampak sangat dominan dalam pemikiran hermeneutikanya. Sensitifitas
Mernissi terhadap masalah perempuan memang sangat menonjol. Sebagai seorang sosiolog
sekaligus feminis, ia ingin menunjukkan bahwa Islam itu ramah terhadap perempuan.
Adapun mengenai kajian historisnya, Mernissi tidak hanya melibatkan situasi pada waktu
ketika ayat itu muncul. Data historis tersebut tetap ia gunakan untuk dijadikan sebagai
pertimbangan dan bahan uji dengan situasi kontemporer masa kini. Pada level ini Mernissi
mencoba menunjukkan bahwa ayat itu tidak hanya milik umat Islam masa lalu, umat Islam

1
Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), h. xxi.
2
Limmatus Sauda’, “Hadits Misoginis dalam Perspektif Fatima Mernissi” dalam Jurnal Keilmuan Tafsir Hadits
Vol. 4 No. 2 2014, h.303.
yang selamanya meyakini al-Qur’ān. Namun agak aneh ketika umat Islam masa kini masih
memahami teks keagamaan (al-Qur’ān dan hadist) dengan pemahaman orang-orang
terdahulu yang sudah jelas mengalami perbedaan tempat dan waktu.
Pendekatan historis dilakukan Mernissi untuk mendapatkan gambaran sosiologis di sekitar
asbab an-nuzul, sehingga akan dengan mudah untuk melanjutkan kajiannya pada
pendekatan yang kedua.
Mernissi memanfaatkan sumber-sumber ilmiah Arab untuk melokalisir fakta- fakta historis,
tapi ia kemudian bersandar pada ideologi Kristen-Eropa untuk menafsirkan mereka.
Ideologi inilah yang memandang ‘harem’ dan ‘ḥ ijāb’ sebagai lokasi utama penindasan dan
subordinasi perempuan, yang karenanya mereduksi kompleksitas struktur sosial politik
menjadi sekedar persoalan gender dan seksualitas. 3
Ḥ ijāb yang terdapat dalam Q.S al-Ahzab [33]:53:
“... Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka
mintalah dari belakang tabir ...”
Para fuqaha mengkaji ayat tersebut yang memiliki makna sebagai pembatas antara
perempuan dan laki-laki. Artinya, jika laki-laki yang bukan mahram berbicara dengan isteri-
isteri Nabi, mereka harus berḥ ijāb dan melakukan pembicaraannya tersebut dari balik tabir.
Dengan demikian, laki-laki yang bukan mahram itu tidak dapat melihat sosok isteri-isteri
Nabi. Isteri-isteri Nabi hanya diperbolehkan keluar rumah untuk keperluan yang mendesak,
dan jika keluarpun mereka harus menutup wajah dan bagian tubuh lainnya. Jadi pengertian
ḥ ijāb menurut fuqaha adalah mencegah isteri-isteri Nabi bertemu dengan laki-laki non-
mahram tanpa ḥ ijāb serta menyembunyikan sosok mereka dari penglihatan kaum laki-laki.
Menutup tubuh secara keseluruhan, termasuk wajah jika mereka ke luar rumah untuk suatu
keperluan, dianggap pengganti tabir.
Pemaknaan ḥ ijāb berarti bentuk langsung pemasangan tirai antara sahabat Nabi dengan
para isteri-isteri Nabi di dalam rumah. Menutup seluruh tubuh perempuan berarti
menghalangi laki-laki untuk melihat perempuan, namun tidak menghalangi kaum
perempuan melihat kaum laki-laki. Menurut Fadwa, kesopanan (modesty) – kesopanan-rasa
malu-pemingitan— mempresentasikan pemberlakuan etnosentris dalam budaya Arab Islam.
Menurut Mernissi ayat ḥ ijāb di atas diturunkan untuk memisahkan dunia kaum perempuan
dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan pada masalah- masalah rumah
tangga dan melarang akses mereka ke dalam kawasan publik. Penetapan ḥ ijāb pastilah tidak
perlu dalam suatu kondisi di mana kedua jenis kelamin terpisah dan kaum perempuan telah
terhalang dari kehidupan publik. Jika saja konteks historisnya diketahui secara mendalam,
pelembagaan ḥ ijāb merupakan pemahaman masyarakat patriarki yang telah mengakar kuat
dalam kehidupan perempuan.4Berdasarkan pemahaman ini terjadi pemisahan, bahwa hanya
laki-laki yang boleh memasuki sektor publik. Sedangkan perempuan hanya berperan
domestik. Menurut Mernissi penafsiran semacam ini harus dibongkar dengan
mengembalikan makna berdasarkan konteks historisnya.
Dengan memahami asbāb al-nuzul ayat ḥ ijāb, diketahui bahwa ia memuat dua peristiwa
yang terjadi pada dua ‘alam’ yang sama sekali berbeda pada waktu yang bersamaan: di satu
sisi, wahyu Allah kepada Nabi, yang merupakan ‘alam intelektual’, di sisi lain turunnya

3
Fadwa el-Ghundi, Jilbab Antara Kesalehan Kesopanan dan Perlawanan (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta), h.
58-60.
4
Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), h. xxi.
sebuah kain ḥ ijāb (penutup), sebuah obyek material, sebuah kain tirai yang ditarik oleh Nabi
antara diri beliau dengan seorang laki-laki yang berada pada pintu masuk dari kamar
pengantin beliau.5
Ayat ḥ ijāb ‘diturunkan’ di kamar tidur dari pasangan pengantin baru untuk melindungi
privasi dan ‘mengusir’ orang ketiga, yaitu Anas Ibnu Malik sahabat Nabi. Anas dilarang
masuk dengan (ditariknya) ḥ ijāb sebagai peringatan dan simbol bagi suatu masyarakat yang
terlalu mengganggu privasi. Anas sendiri sebagai saksi yang menceritakan peristiwa
tersebut. Jika seseorang menyadari akibat yang ditimbulkan dari peristiwa itu terhadap
kehidupan kaum perempuan Muslim sesudahnya, maka perspektif yang diberikan Anas
menjadi sangat penting. Nabi baru saja menikah dan ingin segera berduaan dengan
isterinya, Zainab. Dia tidak bisa mengusir sekelompok kecil tamu “tidak berperasaan” yang
melakukan obrolan. Kain penutup (ḥ ijāb) merupakan jawaban Allah bagi suatu masyarakat
yang memiliki adat kasar, yang dengan sikap kekurangpekaannya telah menyakiti seorang
Nabi yang sangat halus perangai dan perasaannya. 6 Sebagaimana penafsiran al-Tabari yang
menceritakan ucapan Anas Ibnu Malik:
“Sebagaimana yang disebutkan dalam Al Bukhari dan Muslim dari Anas bahwa Nabi
tatkala menikah dengan Zainab binti Jahsy beliau mengundang masyarakat untuk
menghadiri pernikahannya. Lalu mereka makan dan duduk serta berbincang-bincang.
Maka Nabi beranjak berdiri tetapi mereka tidak juga bangkit dari tempat duduknya.
Maka beliau berdiri, lalu masuk dan datang kemudian kembali masuk. Namun mereka
masih juga tetap duduk. Lalu Nabi masuk dan kembali lagi dan saya (Anas) mengabarkan
kepada beliau bahwa mereka telah pulang. Maka beliau masuk dan aku pun ikut masuk,
kemudian beliau memasang ḥijāb antara beliau dan saya, dan Allah menurunkan ayat
ini.”
Ayat ḥ ijāb, sangat terkait dengan keterbatasan tempat tinggal Nabi bersama beberapa
isterinya dan semakin besarnya jumlah sahabat yang berkepentingan dengannya. Untuk
mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan (ayat ḥ ijāb ini turun setelah kejadian
tuduhan palsu/hadist al-ifk terhadap 'Aisyah), Umar mengusulkan agar dibuat sekat (ḥ ijāb)
antara ruang tamu dan ruang privat Nabi. Tetapi, tidak lama kemudian turunlah ayat ḥ ijāb.
Pada ayat selanjutnya al-asbāb nuzul Q.S al-Ahzāb [33]: 59, turun setelah datangnya
pengaduan Saudah, isteri Nabi yang berbadan besar sehingga mudah dikenali bahwa ia baru
saja ditegur Umar bin Khattab karena keluar rumah. Nabi berkata bahwa ia diperbolehkan
keluar rumah untuk suatu keperluan. Lalu turunlah ayat tersebut, di mana isteri-isteri Nabi
diwajibkan untuk memakai ḥ ijāb. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa isteri-isteri Nabi
keluar rumah untuk buang hajat, lalu diganggu kaum munafik, kemudian turunlah ayat
tersebut.
Selain karena faktor kondisional seperti yang digambarkan di atas, ayat ini juga turunnya
lebih bersifat politis, diskriminatif dan elitis. Bersifat politis karena ayat ini turun di saat
kondisi sosial pada saat itu tidak aman. Gangguan terhadap perempuan-perempuan Islam
sangat gencar. Semua ini dalam rangka menghancurkan agama Islam. Maka ayat itu ingin
melindungi perempuan Islam dari pelecehan itu. Bersifat elitis dan diskriminatif karena
dengan ayat ini, ingin membedakan status perempuan Islam yang merdeka dan budak. Di
sini dapat dilihat ambiguitas Islam dalam melihat posisi budak. Satu sisi ingin

5
Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), h. xxi.

6
Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), h. xxi.
menghilangkan perbudakan, di sisi lain masih mempertahankannya dalam strata
masyarakat Islam.
Pemahaman yang demikian ini, nampaknya dipengaruhi oleh pemikiran Qasim Amin, yang
menurutnya penutupan wajah dengan cadar dan pengucilan perempuan (ḥ ijāb) dari
masyarakat bukan merupakan sejarah Islam, tetapi merupakan konstruksi sosial dari
masyarakat patriarkhi, karena tidak satu pun dalam nash yang tegas menyebutkannya.
Mernissi mengkritisi praktik pemisahan perempuan oleh kaum konservatif sebagai
pelembagaan otoritarianisme laki-laki yang dilakukan dengan memanipulasi teks suci. 7
Masalahnya bukan apakah ḥ ijāb itu Islami atau tidak, seperti disebutkan dalam al-Qur’ān
untuk membedakan perempuan Mukmin sejak zaman Nabi. Persoalan yang relevan bagi
kaum feminis Muslim sekarang ini adalah unsur pilihan dalam hubungannya dengan
busana, dan apakah memilih berḥ ijāb atau tidak itu merupakan hak perempuan. Dengan
begitu bahwa ayat ini bukanlah untuk justifikasi pemisahan peran laki-laki dan perempuan.
Nabi tidak menganggap pertemuan laki-laki dengan perempuan sebagai hal yang
bertentangan dengan kesucian dan kemuliaan seorang perempuan. Artinya, Nabi melihat
kebiasaan yang berlangsung di kalangan masyarakat Madinah waktu itu sebagai suatu yang
baik, tidak perlu ditolak. Di samping itu, Nabi pun tidak melihat ḥ ijāb secara umum sebagai
suatu keluhuran mutlak bagi kaum perempuan, karena keluhuran dan kesucian kaum
perempuan terletak pada rasa malu.8Dengan begitu pembauran antara laki-laki dengan
perempuan yang dibatasi oleh rasa malu tidak dianggap sebagai sesuatu yang bertentangan
dengan keluhuran, kemuliaan, dan harga diri seorang laki-laki.
Menurut Mernissi, Q.S al-Ahzāb [33]: 53, dipandang oleh kebanyakan fuqaha sebagai dasar
dari lembaga ḥ ijāb. Kitab-kitab fiqih selalu mencurahkan satu bab khusus tentang “ayat
ḥ ijāb” ini. Ayat ini bukanlah satu-satunya yang menjelaskan turunnya ḥ ijāb, tetapi
merupakan ayat pertama dari serangkaian ayat serupa yang mengakibatnya terpilihnya
ruang (space) Muslim. Jika dicermati ayat ini akan mengungkap bahwa maksud Allah adalah
berkaitan dengan cara yang bijaksana untuk menghadapi suatu situasi tertentu. Allah
menghendaki untuk membiasakan kepada para sahabat Nabi sopan santun tertentu yang
tampaknya tidak mereka miliki, misalnya bila memasuki rumah harus meminta izin.
Sebagai tambahan bagi pedoman sopan santun (etiket), bagian terakhir dari ayat tersebut
menyentuh kepada masalah lain, yaitu keputusan Allah untuk melarang orang-orang
Muslim menikahi isteri-isteri Nabi setelah sepeninggalannya. Ayat tentang ḥ ijāb tersebut
diakhiri dengan kata-kata: “Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Nabi Saw, dan tidak
(pula) menikahi isteri- isterinya sesudah dia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat
besar (dosanya) di sisi Allah.
Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa ḥ ijāb yang secara lughawi berarti “kain
penutup/tabir”, diturunkan bukan untuk meletakkan satu pembatas antara laki-laki dan
perempuan, tetapi antara dua orang laki-laki. Jikapun ḥ ijāb diartikan sebagai penutup
kepala yang menjadi perlindungan terhadap kehormatan dan keselamatan seorang
perempuan tidak mesti terletak pada selembar kain.

7
Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), h. xxi.

8
Abu Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita Jilid 3, h. 89.

Anda mungkin juga menyukai