Anda di halaman 1dari 4

Tugas Analisis Eksegesis Biblika (BI 4810) – Richard John Konieczny

Kritik Feminisme – Hakim-hakim 19


Nama Mahasiswa: Ridwan Tangkilisan (20151050238, No. Box: 083)

PENDAHULUAN

Tidak dapat dipungkiri bahwa Hakim-hakim 19 merupakan teks yang mengandung


muatan gender, bahkan muatan yang cukup ekstrem karena mengandung nilai kekerasan yang
dilakukan oleh pria terhadap perempuan. Tentu saja ini menimbulkan kegelisahan bagi para
perempuan karena munculnya banyak tafsiran yang mendiskreditkan peran perempuan pada
zaman tersebut. Muncul banyak perdebatan dan sorotan mengenai derajat perempuan.
Misalnya mengenai hak, peran, dan kegunaannya. Tentu saja muncul ekstrem lainnya yang
menolak pandangan bahwa perempuan lebih rendah dari pria dan hanya menjadi alat pemuas
bagi pria. Kritik ini muncul dari pandangan yang mengidentifikasi dirinya sebagai kaum
feminisme. Pada makalah ini, penulis akan membahas mengenai kritik feminisme berikut
dengan tafsiran yang dilakukan oleh kaum feminis terhadap Hakim-hakim 19.

KRITIK FEMINISME

Pada dasarnya kritik feminisme berkonsentrasi pada hak politik, sosial, dan ekonomi
dari perempuan. Feminisme sebagai ideologi memang sulit dinilai tanggal kemunculannya
karena cukup berkembang juga di dunia sekular dan langsung menginhabitasi area
humanisme bahkan sains. Secara umum, ada beberapa pendekatan interpretasi di dalam
kritik feminisme. Pertama yang dikembangkan oleh Phyllis Trible, yaitu hermeneutika
revisionis. Trible menganggap bahwa budaya patriarkal membentuk Alkitab menjadi sekam,
sedangkan Alkitab bagian pada intinya (kernel) seharusnya adalah non-patriarkal.1 Kedua,
hermeneutika kesetiaan (hermeneutics of loyalty). Pandangan ini melihat bahwa masalah dari
Alkitab adalah legitimasinya yang mendiskriminasikan perempuan, termasuk juga
interpretasi yang dilakukan oleh kaum perempuan.2 Ketiga, hermeneutika penolakan.
Pandangan ini menolak seluruh interpretasi tradisional Kristen karena mereka tidak
menganggap Alkitab sebagai otoritas. Mereka menganggap Alkitab telah menciptakan
sejarah milik laki-laki saja, bukan seluruh umat manusia.3 Namun sejauh ini penulis
feminisme yang paling umum dipakai adalah pandangan dari Elizabeth Schussler Fiorenza.
Ia menekankan aspek pengalaman perempuan untuk diutamakan di dalam praktik gereja.
Pandangannya biasa disebut hermeneutika pembebasan (liberation-hermeneutical).4
Meskipun terlihat banyak perbedaan, namun mereka memiliki beberapa ciri-ciri utama dan
kesamaan dari kritik feminisme secara umum.
Pertama, seperti pada kritik-kritik lain, kritik feminisme juga muncul karena adanya
ketidakpuasan terhadap keadaan dunia yang ada pada saat itu.5 Kedua, kritik feminisme akan
menggunakan berbagai macam bidang dan metode untuk mencapai tujuannya. Tujuan kritik
feminisme secara umum adalah untuk merefleksikan dan meningkatkan perspektif gender
perempuan sehingga tidak ada proses maskulinisasi, termasuk juga tidak ada proses
feminisasi dari sebuah penulisan. Bagi mereka, gender adalah kekuatan, hirarki, dan
dominasi yang harus dihilangkan dalam prasuposisi dan diskursus masa kini. Malahan tujuan

1
Stanley E. Porter, Dictionary of Biblical Criticism and Interpretation (London: Routledge, 2009),
107.
2
Silvia Schroer and Sophia Bietenhard, Feminist Interpretation of the Bible and the Hermeneutics of
Liberation (London: Sheffield Academic, 2003), 167–168.
3
Letty M. Russell, Dictionary of Feminist Theologies (Louisville: Westminster John Knox, 1996), 140.
4
Porter, Dictionary of Biblical Criticism and Interpretation, 107–108.
5
Steven L. McKenzie and Stephen R. Haynes, To Each Its Own Meaning: An Introduction to Biblical
Criticisms and Their Application (Louisville: Westminster John Knox, 2000), 268–269.
dan identitas kritik feminisme terbagi menjadi banyak golongan. Namun pada intinya semua
memiliki sasaran kritik dan tujuan yang sama. Sasaran kritik dari mereka adalah literatur,
sejarah, paradigma filosofis, psikologis, terutama sosiologis dari budaya Barat. 6 Ketiga,
kritik feminisme berusaha untuk memulihkan dan menggapai kembali nilai-nilai dan suara-
suara dari kehidupan yang telah terlewatkan bahkan dihilangkan. Tujuan ini muncul dari
anggapan mereka yang menganggap bahwa sepanjang sejarah, perempuan tidak dianggap dan
tidak diperbolehkan untuk mengungkapkan pengalaman dan perasaaan mereka. Bahkan di
dalam Alkitab pun penulisan pengalaman perempuan, misalnya Rahel, Sara, dan lainnya
ditulis oleh laki-laki, bukan perempuan. Oleh sebab itu, pria juga perlu untuk melihat
perspektif perempuan dan perempuan juga perlu diberikan peran dalam komunitas.7
Kritik feminisme melihat Alkitab sebagai teks alien karena tidak ditulis oleh
perempuan atau tidak mengandung pemikiran perempuan di dalamnya. Mereka bertanya
mengapa Alkitab perlu dibaca. Bahkan ada kaum feminis liberal atau biasa disebut sebagai
mainline feminist yang menolak Alkitab sebagai wahyu Allah. Mereka percaya bahwa itu
tulisan patriarkal yang mengkaritakurkan perempuan sehingga menghapus kemuliaan dari
kaum perempuan.8 Meskipun demikian, ada juga kaum feminis injili atau biasa disebut
sebagai biblical feminist yang juga percaya pada otoritas Alkitab sebagai firman Allah yang
tidak salah.9 Kaum feminis injili mengakui bahwa Alkitab memiliki otoritas karena Alkitab
memiliki kesaksian atas pekerjaan Allah yang melakukan pembebasan bagi dunia yang
berguna untuk kepentingan dari ciptaan-Nya.10 Namun yang menjadi unik adalah pada
umumnya mereka menolak kanon yang ada sejak tradisi Ortodoks karena proses kanonisasi
tersebut. Mieke Bal menyatakan bahwa Alkitab ditulis oleh pria dan berdasarkan prioritas
maupun dominasi dari pria. Orang yang mendominasi biasanya akan memantapkan posisinya
lalu selanjutnya akan melindungi posisinya tersebut. Pada hal ini, pria menggunakan
pembenaran melalui mitologi yang cukup kredibel dan realistis.11 Oleh sebab itu, kaum
feminis menolak Alkitab yang dihasilkan oleh kaum pria sehingga mereka memiliki Alkitab
sendiri yaitu The Woman’s Bible yang dikembangkan oleh Elizabeth Stanton.12

PENAFSIRAN HAKIM-HAKIM 19 MENURUT KRITIK FEMINISME

Kaum feminis menyatakan bahwa Hakim-hakim 19 bertujuan merendahkan nilai diri


atau derajat dari kaum perempuan. Phyllis Trible dalam bukunya Texts of Terror
menyatakan bahwa teks ini digunakan oleh kaum pria untuk meneror kaum perempuan. Ia
mengatakan bahwa teks ini menggambarkan kekuatan pria yang horor, kebrutalan dan
kemenangan atas ketidakberdayaan perempuan, termasuk di dalamnya melalui
penyalahgunaan dan penghancuran. Bukan sekedar teror, tetapi teror yang juga mengandung
pengkhianatan besar.13

6
Ibid., 269.
7
Steven L. McKenzie and M. Patrick Graham, The History of Israel’s Traditions: The Heritage of
Martin Noth (Sheffield: Academic, 1994), 270.
8
Pamela Dickey Young, Feminist Theology/Christian Theology: In Search of Method (Minneapolis:
Fortress, 1990), 15–16.
9
Guenther Haas, “Patriarchy as an Evil That God Tolerated: Analysis and Implications for the
Authority of Scripture,” Journal of the Evangelical Theological Society 38, no. 3 (1995): 322.
10
Elisabeth Schüssler Fiorenza, Bread Not Stone: The Challenge of Feminist Biblical Interpretation
(Boston: Beacon, 1984), 13.
11
Mieke Bal, Lethal Love: Feminist Literary Readings of Biblical Love Stories. (Bloomington: Indiana
University, 1993), 110.
12
Elizabeth Cady Stanton, The Woman’s Bible (Boston: Northeastern University, 1993).
13
Phyllis Trible, Texts of Terror: Literary-Feminist Readings of Biblical Narratives (Philadelphia:
Fortress, 1997), 65.
Kaum feminis menjelaskan bahwa tindakan serong dari sang gundik di ayat 2 tidak
dapat diartikan bahwa sang gundik telah melakukan hubungan intim dengan orang lain.
Alasannya adalah secara tekstual di dalam narasi ini tidak ada bukti yang cukup untuk sampai
kepada kesimpulan tersebut. Pada ayat 2-3, diperlihatkan bahwa sang gundik pergi ke rumah
ayahnya dan sang suami menjemput kembali sang istri. Pada budaya timur dekat kuno, tidak
mungkin sang gundik berani pulang ke rumah orang tuanya jika ia telah berbuat zinah seperti
demikian dan tidak mungkin juga sang suami menjemputnya ke rumah orang tuanya.14 Oleh
sebab itu, frasa berlaku serong di ayat 2 dapat diartikan sebagai bahwa sang gundik pergi
meninggalkan suaminya, bukan berbuat zinah atau hal lainnya.15 Memang Alkitab tidak
memberikan alasan mengapa sang gundik meninggalkan suaminya, namun kemungkinan
besar sang gundik menerima perlakuan yang kasar dari suaminya. Hal ini bisa disimpulkan
karena ketika melihat perlakuan selanjutnya dari orang Lewi yang terhadap istrinya. 16
Selanjutnya pada ayat 22, sejumlah orang yang menghampiri rumah tersebut meminta
supaya mereka dapat “memakai” orang-orang yang ada di rumah itu. Kata pakai (yada)
dalam konteks ini dapat diartikan sebagai pemerkosaan masal.17 Namun Fewell berpendapat
lain, ia mengaggap bahwa kata yada dapat dijelaskan sebagai tindakan penyiksaan dan
penghinaan yang mereka lakukan. Ia menolak pandangan bahwa kata yada ini memiliki
muatan seksual, apalagi mengenai hubungan seks.18
Selanjutnya, kaum feminis memfokuskan penafsirannya pada ayat 27, yaitu pagi hari
ketika orang Lewi membuka pintu rumah dan pergi ke luar untuk melanjutkan perjalanannya.
Orang Lewi tersebut segera pergi ke luar tanpa memperhatikan keadaan dari gundiknya. Ia
seperti sama sekali tidak memikirkan istrinya sampai perempuan tersebut tergeletak. 19 Sejak
mulanya, perempuan itu mendapat kemalangan yang berlimpah. Ia ditinggalkan ayahnya,
dikhianati oleh suaminya, diserahkan kepada orang-orang jahat, diperkosa bahkan disiksa
oleh banyak laki-laki. Ketika fajar tiba, penyiksaan itu telah selesai, namun pintu yang ingin
ia capai telah tertutup bagi dia.20 Trible memberikan kritik terhadap penulisan “perempuan
itu, gundiknya” sebagai indikasi bahwa ia memiliki inferioritas di dalam penderitaannya,
tercermin dari penulisan “tergeletak.” Ia juga menilai bahwa kalimat “Bangunlah, marilah
kita pergi” merupakan sebuah kalimat yang tidak mengandung rasa simpati dan prihatin
ketika melihat keadaan sang gundik yang tergeletak tidak berdaya. Laki-laki pada teks ini
bertindak seperti seolah-olah tidak terjadi apa-apa pada sang gundik.21 Memang tidak jelas
bagaimana keadaan sang gundik pada saat itu, apakah dia sudah mati atau masih sekarat,
yang jelas tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya.22 Bahkan penulis tidak memberikan
info yang jelas mengenai kapan perempuan tersebut mati, apakah ketika tergeletak atau
ketika dipotong-potong. Semua ini merupakan rangkaian tindakan yang menunjukkan bahwa
apapun yang terjadi bagi perempuan itu, ia tetap berada di bawah kekuasaan dari tuannya
(laki-laki).23 Bagi Trible, laki-laki (baik pemeran maupun penulis) menempatkan perempuan
ini sebagai orang yang paling rendah, bahkan tidak menganggapnya sebagai manusia.24

14
Gale A. Yee, Judges and Method: New Approaches in Biblical Studies (Minneapolis: Fortress, 2007),
83.
15
Carol L. Meyers, ed., Women in Scripture (Cambridge: Eerdmans, 2000), 249.
16
Carol Ann Newsom and Sharon H. Ringe, Women’s Bible Commentary with Apocrypha (Louisville:
Westminster, 1998), 80.
17
Trent C. Butler, Judges (Grand Rapids: Zondervan, 2014), 423.
18
Newsom and Ringe, Women’s Bible Commentary, 81.
19
Trible, Texts of Terror, 78.
20
Newsom and Ringe, Women’s Bible Commentary, 81.
21
Trible, Texts of Terror, 79.
22
Meyers, Women in Scripture, 249.
23
Trible, Texts of Terror, 80.
24
Ibid.
Kisah horor seperti ini akan menebarkan teror dan kekacauan sehingga menjadi senjata yang
ampuh untuk melakukan diskriminasi dan pengucilan terhadap perempuan.25

PENUTUP

Kritik feminisme melihat Hakim-hakim 19 sebagai tulisan yang mendiskreditkan


perempuan. Bukan sekedar itu, Hakim-hakim 19 dinilai juga sebagai teks yang berfungsi
menebarkan horor dan teror bagi para perempuan menggunakan tulisan yang mengandung
kekerasan agar posisi dan dominasi laki-laki pada saat itu tidak teracncam. Teks ini
memperlihatkan bagaimana laki-laki memperlakukan perempuan dengan tidak sepantasnya,
bahkan dengan sangat tidak wajar. Anehnya, ini dicatat dan dimasukkan ke dalam kanon
sehingga beberapa sarjana kritik feminisme akan menolak Alkitab sebagai wahyu Allah.
Seluruh mazhab kritik feminisme sepakat bahwa bagian ini ingin menunjukkan bahwa laki-
laki ingin melindungi posisi dan dominasi mereka. Mereka percaya bahwa perlu ada
pembebasan dan pembangunan dari kaum perempuan di dalam dunia ini supaya strategi laki-
laki melalui teks ini tidak boleh sampai terjadi. Perempuan tidak perlu merasa takut dan
dikucilkan oleh laki-laki melalui teks ini, melainkan bangkit dan membuktikan diri.

DAFTAR PUSTAKA

Bal, Mieke. Lethal Love: Feminist Literary Readings of Biblical Love Stories. Bloomington:
Indiana University, 1993.
Butler, Trent C. Judges. Grand Rapids: Zondervan, 2014.
Fiorenza, Elisabeth Schüssler. Bread Not Stone: The Challenge of Feminist Biblical
Interpretation. Boston: Beacon, 1984.
Haas, Guenther. “Patriarchy as an Evil That God Tolerated: Analysis and Implications for the
Authority of Scripture,.” Journal of the Evangelical Theological Society 38, no. 3
(1995): 321–336.
McKenzie, Steven L., and M. Patrick Graham. The History of Israel’s Traditions: The
Heritage of Martin Noth. Sheffield: Academic, 1994.
McKenzie, Steven L., and Stephen R. Haynes. To Each Its Own Meaning: An Introduction to
Biblical Criticisms and Their Application. Louisville: Westminster John Knox, 2000.
Meyers, Carol L., ed. Women in Scripture. Cambridge: Eerdmans, 2000.
Newsom, Carol Ann, and Sharon H. Ringe. Women’s Bible Commentary with Apocrypha.
Louisville: Westminster, 1998.
Porter, Stanley E. Dictionary of Biblical Criticism and Interpretation. London: Routledge,
2009.
Russell, Letty M. Dictionary of Feminist Theologies. Louisville: Westminster John Knox,
1996.
Schroer, Silvia, and Sophia Bietenhard. Feminist Interpretation of the Bible and the
Hermeneutics of Liberation. London: Sheffield Academic, 2003.
Stanton, Elizabeth Cady. The Woman’s Bible. Boston: Northeastern University, 1993.
Trible, Phyllis. Texts of Terror: Literary-Feminist Readings of Biblical Narratives.
Philadelphia: Fortress, 1997.
Yee, Gale A. Judges and Method: New Approaches in Biblical Studies. Minneapolis:
Fortress, 2007.
Young, Pamela Dickey. Feminist Theology/Christian Theology: In Search of Method.
Minneapolis: Fortress, 1990.

25
Yee, Judges & Method, 85–87.

Anda mungkin juga menyukai