Anda di halaman 1dari 8

Mata Kuliah : Teologi Feminis (B)

Dosen Pengampu : Pdt. Dr. Enta Malasinta L., D.Th


Kelompok 2
Beni Kristian Kause 16.20.22
Ilfan Dede 16.20.59
Maretha Perunika 16.20.72
Nella Ekatni 16.20.86

Identitas buku
Judul : Memperkenalkan Teologi Feminis
Penulis : Anne M. Clifford
Jumlah halaman : 445 halaman
Kota /tahun terbit : Maumere/2002
Penerbit : Ledalero
Bagian yang di bahas : Bab 1 “Mengapa” dan “Apa”-nya Teologi Feminis
Kristen. (Sub bab 4,5 dan 6).
Di sepanjang sejarah ada masa dimana perempuan sangat dipandang rendah,
dibedakan bahkan dianggap kurang sempurna. dalam hal kemanusiaan, kaum laki-
laki Christine de Pizan ( 1365-1430) merupakan seorang tokoh yang ingin bersuara
mengenai kaum perempuan dengan meyakinkan bahwa kaum perempuan adalah
insan Tuhan yang berharga, sama halnya dengan kaum laki-laki tanpa adanya
perbedaan. Pada tahun 1882 seorang perempuan dari Prancis, Hubertine Auclert
menggunakan istilah “feminisme” pertama. Demikianlah pembahasan sub bab di
awali.

GELOMBANG KETIGA FEMINISME

1. Tokoh-tokoh, tahun, dan istilah khas


Di Amerika Serikat perjuangan kaum perempuan berkulit hitam atau Afro-
Amerika berbeda dari kaum perempuan berkulit putih Ero-Amerika. Perempuan
Afro-Amerika menyebut diri mereka dengan istilah “kaum womanis’. Alice Walker,
pengarang buku The Color Purple adalah yang menciptakan istilah tersebut pada
tahun 1970-an. Istilah ‘womanis’ adalah seorang feminis hitam, yang mengacu
kepada seorang perempuan Afro-Amerika yang berani, bertanggungjawab dan
matang. Dengan istilah yang mereka buat, sebagai seorang perempuan dan seorang
berkulit hitam, mereka ingin ada sedikit tempat di dunia ini untuk memberi
kesempatan bagi mereka untuk menunjukan talenta dan kemampuan mereka.

Maria Isasi-Diaz menciptakan istilah “mujerista’’ untuk menyebut kaum


perempuan Hispanik dalam proses berteologi, yang berakar di negeri-negeri
Amerika Tengah dan Selatan, namun kini menetap di Amerika Serikat. Ada juga
perempuan-perempuan lainnya yang lebih suka menggunakan istilah “Latina”,
untuk teologinya. Realitas kaum perempuan Hispanik dan Amerika Latin di
Amerika Utara yakni mereka bergumul untuk mengatasi penindasan kemiskinan
dan perilaku budaya machista atau pola-pola laki-laki penjajah Spanyol yang
memperbudak kaum perempuan Amerindian dan melahirkan keturunan bagi
mereka. Sedangkan orang-orang Spanyol atau Portugis yang menikahi orang-orang
Afrika atau pribumi Amerika menyebut dirinya dengan istilah “mestiza”, karena
mereka merupakan ras campuran. Begitu pula dengan kaum perempuan Asia-
Amerika yang juga mengembangkan teologinya sendiri, beserta agenda-agenda
pembebasan dan hasrat mereka akan pembaharuan yang positif.

Di bagian Dunia Ketiga ada perempuan-perempuan yang berjuang melawan


seksisme dan rasialisme, tetapi juga menyinggung tentang krisis ekologis. Dalam
memperjuangkan hal ini Francoise d’Eaubone menciptakan istilah “ekofeminisme”.
Kaum perempuan ekofeminis menuntut diakhirinya bentuk-bentuk penindasan,
khususnya eksploitasi terhadap bumi. Kaum ini berupaya untuk mengakhiri segala
bentuk diskriminasi dan eksploitasi, bagi kaum perempuan ataupun kelompok
tertindas di manapun.

2. Inti pemikiran
Gerakan-gerakan yang mencakup perbedaan-perbedaan sosial dan budaya antar
ras yang dulunya diabaikan, serta tentang perilaku manusia dan kesengsaraan yang
ditanggung bumi, adalah unsur-unsur yang membentuk gelombang ketiga
feminisme.Perhatian terhadap perbedaan, mendorong feminisme Eropa dan Ero-
Amerika meneruskan warisan gelombang kedua feminisme.

Konferensi internasional tentang kaum perempuan yang diselenggarakan oleh


PBB di Beijing pada tahun 1995, dan di kota New York pada tahun 2000, tentang
kesaksian keprihatinan kaum perempuan tidak bisa disempitkan pada satu
feminisme saja.

Sandra Schneiders, seorang teolog feminis Katolik, merangkum tentang


gelombang ketiga feminisme sebagai sebuah gerakan pembebasan. Gerakan ini
mengupayakan kesetaraan sosial, politik dan ekonomi kaum perempuan dengan
kaum laki-laki dan juga menyangkut seluruh ciptaan serta menciptakan kembali
kemanusiaan seturut pola-pola keadilan ekologis.

MENGAPA TEOLOGI FEMINIS KRISTEN?

Kekristenan juga menyatakan sebuah keyakinan akan Allah yang


diwahyukan di dalam diri Yesus dan teologi Kristen itu ada karena keinginan dari
jemaat untuk memiliki pemahaman yang penuh dalam relasi iman dengan Allah dan
dalam cara yang dapat dipahami sesuai konteks. Teologi feminis juga tidak jauh
berbeda dengan keinginan yang demikian. Teologi feminis Kristen memusatkan
perhatian terhadap kaum perempuan yang di dalam keanggotaan atau keberadaannya
diabaikan dalam jemaat Allah. Teologi Kristen telah sejak lama terikat tradisi
patriarkat atau digambarkan dengan rabun senja patriarkat. Di dalam teologi Kristen
itu sendiri yang selalu menjadi hal yang sangat ekslusif ialah teologi kaum laki-laki,
kebutaan akan gender yang memusatkan perhatian terhadap persoalan maupun
kepentingan kaum laki-laki Eropa atau Ero-Amerika yang memiliki intelektual yang
cukup tinggi dan berasal dari kelas atas. Jika istilah teologi Kristen ini digunakan
maka iman akan Allah hanya dipahami dari kacamata pengalaman kaum laki-laki,
pengalaman relasi kaum perempuan dengan Allah selalu diabaikan.
Mary Baker Eddy dan Elizbeth Cady Stanton adalah kaum perempuan dalam
gelombang pertama feminisme yang menyadari ketiadaan teologi Kristen yang
dilihat dari kacamata kaum perempuan. Mereka tidak setuju dengan penggunaan
teks-teks tertentu dalam Alkitab hanya untuk menyetujui sebuah keterbatasan yang
terlalu dipaksakan atas kaum perempuan. Kaum perempuan Ero-Amerika adalah
kaum yang mempelopori gelombang kedua teologi feminis, mereka melakukan
sesuatu yang sangat baru pada saat itu, mengejar gelar di bidang teologi, mengikuti
seminari-seminari. Sejak tahun 1970-an dan juga sepanjang tahun 1980-an yang
unggul untuk dijadikan sumber teolog feminis ialah kaum perempuan berkulit putih
Ero-Amerika dan Eropa. Namun kemudian muncul kesadaran bahwa teologi mereka
pun menderita rabun senja, bentuk ideologi patriarkat masih cukup kentara. Oleh
karena hal tersebut banyak dari antara teolog feminis memperluas perhatian mereka
kemudian merangkul kaum perempuan dari berbagai lokasi sosial yang lain
termasuk juga kaum laki-laki yang ditindas oleh patriarkat. Selama tahun 1990-an,
hampir dari semua lokasi sosial kaum perempuan di seluruh bumi mulai menempuh
pendidikan di bidang teologi dan teori feminis. Di satu sisi ada sebuah tekad bersama
yaitu memahami iman akan Allah dari kacamata kaum perempuan namun ada
pengakuan dari para teolog feminis bahwa Allah itu adalah misteri.

Injil merupakan hal yang harus dibawa dalam melakukan pelayanan agar
Injil dapat menyentuh setiap ranah kehidupan manusia. Namun kadang kala para
pemimpin dan teolog menggunakan Alkitab untuk melegalkan kejahatan-kejahatan
yang ada ditengah masyarakat.

Dalam tafsiran terhadap Alkitab mengenai perempuan misalnya Kej 2-3, selama
berabad-abad banyak teolog Kristen memperlakukan perempuan tidak hanya sebagai
makhluk yang berbeda namun juga cacat. Tertulianus (±160-225) mengatakan
bahwa perempuan adalah gerbang iblis. Augustinus (354-430) berpendapat bahwa
hanya lelakilah yang merupakan citra Allah, seorang perempuan adalah citra Allah
hanya bersama dengan suaminya. Kemudian Thomas Aquinas (1225-1274) yang
dipengaruhi oleh Aristoteles, menyebut perempuan sebagai makhluk “cacat” dan
“terkutuk”. Hal ini mengakibatkan kaum perempuan dikucilkan dari peran
kepemimpinan gereja.

Dalam kebaktian minggu, khotbah sangat jarang berpusat pada bacaan-bacaan yang
menampilkan perempuan alkitabiah dalam hal positif, teks Alkitab yang membahas
mengenai perempuan tidak dimuat dalam daftar bacaan. Dalam bahasa doa dan
nyanyian dalam liturgi pun tidak jauh berbeda. Patriarkat pun melegalkan berbagai
bentuk penindasan dengan Alkitab selain dari seksisme misalnya perbudakan.
Perdagangan budak juga menjadi hal yang biasa oleh orang-orang Eropa Barat dan
Eropa Amerika. Baru pada tahun 1839 Paus Gregorius XVI mengutuk perdagangan
budak walaupun kemudian banyak uskup Katolik di wilayah selatan Amerika Serikat
beranggapan kutukan itu tidak ada sangkutan dengan perbudakan di wilayah
mereka. Ada banyak bentuk ungakapan-ungkapan lain dari patriarkat.

Tanpa adanya upaya yang gigih untuk mengatasi berbagai macam hal yang
kontra dengan inti amanat Kristen, teologi tidak dapat dilaksanakan, begitulah
pengakuan dari teologi feminis. Tujuannya hanyalah untuk memajukan secara penuh
martabat kemanusiaan baik itu kaum perempuan maupun laki-laki yang tertindas,
baik itu kaum feminis, womanis, mujerista, atau latina atau sebutan apapun yang
mewakili kelompok-kelompok sosial lain di bumi ini. Demikianlah sasaran ini
hendak dicapai yang menjadi bagian penting bagi integritas maupun vitalitas agama
Kristen.

MODEL-MODEL TEOLOGI FEMINIS

1. Teologi Feminis Revolusioner


Sebagian terbesar dipengaruhi oleh kaum feminis radikal, khususnya oleh
kelompok yang membela kebudayaan yang terpusat pada kaum perempuan dan bisa
dikatakan sebagai kaum pasca Kristen. Teologi feminis revolusioner berpandangan
bahwa agama Kristen itu adalah patriarkat yang tidak bisa disembuhkan lagi dan
anti permpuan.dari ungkapan seorang pendukung hak pilih bagi kaum perempuan
yaitu Matilda Yoslyn Gage bahwa bila kaum perempuan ingin dibebaskan, maka
mereka mesti meninggalkan agama Kristen serta kode-kode hukum patriakat
penggaruh kitab suci itu. Oleh karena itu, para teolog ini tidak segan meninggalkan
agama Kristen karena dilihatnya sangat bersikap opersif terhadap kaum perempuan
dan berpaling ke dewi-dewi atau ilah yang danggap sebagai simbol yang tepat
untuk daya keratif kaum perempuan. Sesungguhnya yang menjadi masalah
menyangkut agama Kristen adalah peran utama yang diberikan kepada pewahyuan
tentang seorang Allah adalah “laki-laki”, yang mereka yakini digunakan sebagai
alat penindasan oleh kaum patriakat terhadap kaum perempuan. Jadi karena
melihat Kekristenan bersifat operatif terhadap kaum perempuan, para teolog ini
memutuskan untuk lebih percaya kepada dewi-dewi purba dari pada agama Kristen.

2. Teologi Feminis Kristen Reformis


Berbeda dari sebelumnya, reformis tidak berupaya untuk membuat
perubahan-perubahan “sapu bersih” dan merombak total agama Kristen. Para teolog
tidak berhak mengantikan Allah yang telah diwahyukan oleh Yesus Kristus (laki-
laki), mereka berbeda dengan model revolusioner yang ingin menjadi bagian dari
suatu penguyuban yang menyembah para dewi. Yang hendak diupayakan oleh
feminis reformis adalah perubahan yang lebih moderen dalam struktur-struktur
gereja yang ada. Dalam denominasi-denominasi Protestan, kaum feminis yang
dianggap lebih konservatir adalah kaum evangeis dan kamu fundamentali, mereka
berpegang teguh pada ihwal kebal salahnya Kitab Suci serta tafsir yang harafiah
atas teks-teksnya yang bersifat patriakat, bukan hanya itu, namun juga melawan
prasangka gender dalam perlakuan terhadap kaum perempuan di dalam keluarga,
gereja dan masyarakat. Pendukung model feminis reformis ini percaya bahwa
masalah menyangkut status kelas dua dapat dipechakan. oleh sebab itu, Adapun
cara reformis dalam memecahkan masalah status kelas dua terhadap perempuan
yaitu melalui cara terjemahan Alkitab yang lebih baik dan penekanan lebih banyak
pada perikop yang berbicara tentang kesetaraan antara kaum perempuandan laki-
laki di dalam Kitab Suci.
3. Teologi Feminis Rekonstruksionis

Para teolog rekonstuksionis mencari sebuah intipati teologis yang


membebaskan kaum perempuan di dalam bingkai tradisi Kristen itu sendiri, namun
mecitakan pembaruan yang lebih dalam, suatu konstruksi yang sejati, bukan hanya
struktur gerejanya saja melainkan juga struktur di dalam masyarakat. Cara yang
dilakukan sama dengan revolusionis yaitu menafsir secara mendalam simbol dan
gagasan tradisional agama Kristen tampa melepaskan Allah yang sudah di
wahyukan Yesus Keristus.

Pembebasan yang dicari para teolog feminis rekonstruksionis bukanlah


sesuatu yang bermatra tunggal, bukan pula “rahmat murahan” yang dengna mudah
diingkarnasikan. Pembebasan itu ialah menuntut petobatan dengan meluruskan
perbuatan-perbuatan salah.

Teologi rekonstruksionis terhadap kaum feminisme tidaklah sekedar


membuat revisi dan penyesuaian atas tradisi yang sudah ada dengan menuntut
pembaharuan wawasan atas agama Kristen melainkan menyertakan pengalaman-
pengalaman kaum perempuan akan Allah dalam dialog dengan sumber utama
teologi. Guna mendirikan bangunan dalam era globalisasi feminis rekonstruksionis
Kristen sering menyertakan tiga langkah yaitu menyelisik pengalaman, kemudian
membahwa pengalaman itu kedalam dialog dengan dokumen-dokumen Kristen dan
lainnya, lalu mengembangkan berbagai strategi demi aksi atau praksis transpormatif
yang memerdekakakn.

Teologi feminis rekonstruksi tidak saja membawa ke dalam kesadaran


pengalaman-pengalaman tentang diskriminasi dan subordinasi yang perlakukan
kaum patriakat dan androsentrisme, tetapi juga menelanjanginya sebagai hal yang
tidak berasal dari Allah, atau dosa. Penderitaan yang terjadi kehidupan orang hanya
karena jenis kelamin, ras, kelas, usia, kiblat seksual atau cacat tidak mungkin
berasal dari Allah. Peka terhadap tafsir-tafsir tentang kekurangan yang terbentuk
secara budaya merupakan sebuah strategi hermeneutik penting langkah-langkah
pertama yang mutlak diperlukan dalam mengembangkan sebuah teologi feminis
rekonstruksi.

Tafsir feminis atas Kitab Suci dan ajaran-ajaran Gereja menuntut curahan
perhatian pada apa yang membebaskan dan membelenggu kamu perempuan dan
laki-laki dampak-dampak patriakat. Sebenarnya bila ajaran gereja atau tafsir dalam
teks Kitab Suci dijadikan untuk mendeskriminasi maka itu merupakan kesalahan.
Karena Yesus sendiripun mengajarkan tentang kebenaran yang memerdekakan.
Lalu yang terakhir mengenai tindakan pembebasan, hal ini sangat menekankan
pentingnya tindakan kongkret yang secara efektif mengejawantahkan religius yang
menyuarakan kebenaran dan kearifan. Ia berupaya menciptakan masyarakat yang
lebih berkeadilan dan lebih sejalan dengan pemerintahan Allah melalui Yesus
Kristus dalam perkataan dan perbuatanNya merupakan sarana penting dari teologi-
teologi feminis Kristen.

Anda mungkin juga menyukai