Anda di halaman 1dari 10

Mata Kuliah : Teologi Feminis

Dosen Pengampu : Pdt. Enta Malasinta L., D.Th


Tugas : Laporan Bacaan
Nama Kelompok:
Apriliano Kuruniawan (16.20.15)
Ronaldo (16.21.11)
Yoppy Aprianto (16.21.37)

Identitas buku:

Judul Buku : Memperkenalkan Teologi Feminis


Penulis Buku : Anne M. Clifford
Penerbit : Penerbit Ledalero Maumere
Tahun Terbit : 2002
Cetakan : Ke-1
Jumlah halaman : 445 halaman

Pendahuluan

Tokoh utama pada bagian ini adalah Anne E. Carr. Ia adalah biarawati dari
Kongregasi Suster cinta Kasih dari Santa perawan Maria. Carr menerukan
pengabdian dalam biara itu melalui pendidikan. Setelah tamat Fakultas Studi-studi
Agama di Universitas Chicago pada tahun 1971, Carr mengajar di Kolese
Mundelein, Universitas Indiana, serta Fakultas Studi-studi Agama di Universitas
Chocago. Pada tahun 1997 ia menerima penghargaan bergengsi, John Courtney
Murray Award dari katan para teolog Amerika sebagai pengakuan atas beragam
prestasi akademiknya.1

Uraian Laporan Buku


Kaum Perempuan dan Sakramen Tahbisan Imamat 2
Di dalam era gelombang kedua feminime pada masa 1970-an, yaitu gereja
Katolik Roma, Gereja Episkopal Protestan, dan Gereja Persekutuan Anglikan.

1
Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis (Maumere: Penerbit Ledalero
Meumere, 2002), 238.
2
Ibid., 232-244.

1
Pada tahun 1970-an semakin banyak kaum perempuan di dalam Gereja-Gereja ini
yang menyuarakan keinginan mereka untuk ditahbiskan sebagai imam, karena
mereka merasa bahwa ini merupakan panggilan dari Allah kepada mereka untuk
melayani jemaat-jemaat.

Menanggapi fenomena itu, seorang feminis Anne Carr mengatakan


“persoalan menyangkut tahbisan jabatan imamat menampilkan suatu simbol
penting akan kurangnya kehadiran kaum perempuan di dalam kehidupan resmi
Gereja-gereja. Gereja-gereja Persekutuaan Anglikan secara resmi mentahbiskan
kaum perempuan di dalam kehidupan resmi Gereja yang berlangsung di
Hongkong pada tahun 1971 dan di Kanada pada tahun 1976. Pada tahun yang
sama, yakni tahun 1976 dimana Gereja Episkopal di Amerika Serikat pada sidang
rayanya menyetujui tahbisan kaum perempuan. Pada tahun 1977, perempuan
Anglikan pertama ditahbiskan di Selandia Baru.

Melihat kaum perempuan Anglikan dna Episkopalian mengupayakan


tahbisan di dalam Gereja-gereja mereka, kaum perempuan Katolik Roma juga
memulai seruan untuk mengtahbiskan perempuan sebagai imam di dalam Gereja
mereka. Semua ini berasal dari gagasan-gagasan teologis baru dari Konsili
Vatikan II (1962-1965), seperti “umat Allah”, pengakuan bahwa Gereja secara
keseluruhan dipanggil kepada kekudusan, serta pengakuan atas martabat serta
talenta kaum laki-laki dan perempuan awam, bertemu dengan gagasan yang
dilahirkan oleh gelombang kedua pergerakan kaum perempuan.

Kaum perempuan Katolik mulai melihat hal baru dalam keterlibatan


mereka di dalam Gereja, terutama keterlibatan yang lebih aktif. Keterlibatan ini
juga mencangkup berbagai pelayanan gerejawi yang selama ini hanya dilayani
oleh laki-laki saja. Pada tahun 1936, Paus Yohanes XXII, mengeluarkan
undangan untuk Konsili Vatikan II, menaruh perhatian pada kesadaran yang
semakin meningkat dari kaum perempuan dalam sebuah ensiklik yang dibaca
secara luas. Berdasarkan sikap Paus tersebut, beberapa kalangan dalam kaum
feminis merasa yakin bahwa Paus sudah menyendengkan perhatiannya pada

2
pergerakan kaum perempuan. Pengakuan Yohanes XXII akan martabat
perempuan yang melekat kuat dalam kodratnya sebagai manusia, mandapat
sambutan dan pujian.

Kurangnya keadilan sosial bagi kaum perempuan yang dibahas pada


“Konsistusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini (tahun 1965)” dari
Konsili Vatikan II adalah sebagai bagian tanda-tanda zaman. Konsistusi ini
menekankan bahwa “kaum perempuan menuntut kesamaan dengan kaum laki-laki
berdasarkan hukum dan dalam kenyataan, bila kesamaan belum mereka
peroleh”(no.9), “setiap jenis diskriminasi, entah bersifat sosial atau budaya, entah
berdasarkn jenis kelamin, suku, warna kulit, kondisi sosial, bahasa atau agama
harus diatasi dan disingkirkan”(no. 29), lalu hak asasi pribadi dari seorang
perempuan “ untuk menentukan status hidupnya atau menempuh pendidikan atau
meraih manfaat-manfaat budaya yang sama seperti dipandang wajar bagi kaum
laki-laki” tidak boleh diingkari (no. 29).

Pernyataan-pernyataan tentang kaum perempuan ini diarahkan kepada


masyarakat sekuler. Pertanyaan yang belum dijawab adalah tentang perlakuan
terhadap kaum perempuan oleh Gereja Katolik Roma sendiri. Sejak Konstitusi
Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, pemilahan antara apa yang berlaku
di tengah masyarakat madani dan di dalam Gereja Katolik Roma senantiasa
dipertahankan, khususnya menyangkut tahbisan kaum perempuan. Sikap seperti
inilah yang dipertanyakan logikanya oleh kaum feminis. Bagaimana pemimpin
Gereja mengatasi penyangkalan yang tampak gamblang terhadap hak dan
kemerdekaan kaum perempuan untuk menentukan status hidup tertentu di dalam
Gereja sebagai imam?.

Pada tahun 1974, dalam rangka persiapan untuk Dasawarsa Perempuan


Perserikatan Bangsa-Bangsa (1975-1985), Koferensi Para Pemimpin Biarawati
(LCWR) di Amerika Serikat (yang terdiri dari wakil-wakil dari sebagian terbesar
komunitas kaum perempuan religius berkaul dalam Gereja Katolik Roma)
mengirimkan resolusi kepada Konferensi Wali Gereja Amerika Serikat yang

3
mendesak agar para uskup ini memfasilitasi pelibatan secara meluas dari kaum
perempuan di dalam berbagai pelayanan, termasuk ditahbiskan sebagi imam. Di
waktu yang sama, sekelompok perempuan katolik merencanakan Konferensi
Tahbisan Kaum Perempuan yang pertama yang dimana diselenggarakan di Detroit
dengan jumlah dua belas ribu perempuan berkumpul guna meluncurkan seruan
bagi tahbisan kaum perempuan menjadi imam.

Di tahun yang sama pula, Paus Paulus VI mengumumkan bahwa Komisi


Teologi Kepausan dan Komisi Kitab Suci Kepausan akan mempelajari peran
perempuan di dalam pelayanan, termasuk persoalan menyangkut tahbisan imam.
Kongresigasi Suci untuk Pengajaran Iman (CDF), dengan persetujuan Paulus VI,
menerbitkan sebuah deklarasi berjudul “Menyangkut Persoalan Izin bagi Kaum
Perempun untuk Imamat Jabatan” guna menjelaskan mengapa para pemimpin
Gereja Katolik Roma tidak menganggap dirinya berwenang untuk mengijinkan
kaum perempuan untuk ditahbiskan menjadi imam (no.5). Pada waktu yang sama
CDF juga juga menerbitkan sebuah deklarasi sebagai tanggapan terhadap tahbisan
Protestan, serta perhatian yang besar terhadap pergerakan tahbisan kaum
perempuan di dalam Gereja Katolik AS.

Deklarasi ini mengandung beberapa pemikiran yang indah tentang


pentingnya kaum perempuan bagi Yesus dan pelayanan-Nya, namun menentang
tahbisan kaum perempuan untuk imamat sakramental dengan menyodorkan 3
dalil:

1. Tradisi Gereja yang sejak lama dipertahankan


2. Kesaksian Kitab suci
3. Simbol religius menyangkut in persona Christi

Ketiga dalil itulah nanti yang akan ditanggapi dan dikritisi oleh Anne Carr
dan teolog Katolik yang lain.

Pertama, argumen dari tradisi: Inter Insignores mengatakan bahwa tradisi


Gereja tidak memberi landasan apapun bagi tahbisan kuam perempuan. Gereja
Katolik Roma tidak pernah menganut pendapat bahwa tahbisan imam dapat

4
diberikan secara absah kepada kaum perempuan (no. 6). Karena tidak ada bukti
gereja katolik Roma pernah mentahbiskan perempuan di dalam sejarahnya yang
panjang, maka dokumen itu menyimpulkan bahwa Roh Kudus sendiri menentang
hal itu.

Kedua, argumen dari Kitab Suci: menurut Inter Insignores, Perjanjian


Baru tidak memberi bukti apapun bahwa Yesus mengangap perempuan yang
manapun layak untuk jabatan iamamt. Bahkan Maria, ibu Yesus sendiri tidak
terhitung di antara kedua belas rasul (no. 13, 14, 19).

Menanggapi kedua argumen itu, Anne Carr menunjukan bahwa Allah


bukanlah sosok seksual; Allah adalah Roh yang melampaui seksualitas manusia.
Anne juga menanggapi argumen bahwa seorang imam mestinya laki-laki karena
Yesus itu sendiri adalah laki-laki, sama seperti kedua belas rasulnya yang
semuanya adalah laki-laki. Ia berpendapat jumlah rasul yang adalah dua belas
memiliki pertalian dengan kedua belas suku Israel. Angka dua belas
menggarisbawahi inklusivitas komunitas Yesus. Persoalannya adalah jumlah dua
belas, bukan soal jenis kelamin dari para rasul itu. kenyataan Yesus dan kedua
belas rasul yang ditampilkan sebagai laki-laki tidak menafikan keterlibatan kaum
perempuan yang sangat erat dalam pelayanan Yesus.

Anne juga mamberi perhatian pada sebuah sudur pandang lain


menyangkut perempuan yang ditemukan dalam Kitab Suci. Ia menulis
“Keyakinan kuno akan ketidaktahiran dan godaan seksual mereka membuat kaum
perempuan tidak cocok untuk ditahbiskan. Singkatnya, padangan sosial dan
politik menyangkut inferioritas kaum perempuan telah membentuk ‘peran
subordinasi kaum ini di dalam Gereja.” Akan tetapi, semuanya itu bukanlah apa
yang dikatakan Kitab Suci sebagai makhluk seksual; karena Kitab Suci juga
memaklumkan bahwa ciptaan itu baik adanya, maka seksualitas kaum perempuan
bukanlah kejahatan melainkan kebaikan, bagi dari kebaikan ciptaan.

Teolog Katolik Roma yang juga ikut menanggapi argumen dari Kitab Suci
adalah Raymond Brown. Raymond bependapat bahwa apabila seseorang

5
berpendapat bahwa tidak ada imam perempuan dalam Perjanjian Baru, klaim itu
keliru. Mengacu kepada 1 Ptr. 2:5’ Why: 5: 10, istilah “imam” dikenakan kepada
orang-orang Kristen hanya dalam arti luas sebagai imamat keumatan. Raymond
selanjutnya menegaskan kalau seseorang menyatakan bahwa kaum perempuan
tidak merayakan Ekaristi pada masa Perjanjian Baru, “sama sekali tidak ada
kemungkinan untuk membuktikan hal itu.

Ketiga, argumen dari simbol: adalah arti simbolis imam yang bertindak
secara in persona Christi. In persona Christi berarti bahwa saat perayaan Ekaristi
para imam bertindak seturut peran Kritus sampai kepada citra-Nya yang terdalam.
Oleh sebab itu dituntut mesti laki-laki. Tanggapan lazim terhadap in persona
Christi ini adalah ia bersifat tafsiran fisikalis. Tafsiran fisikalis mengabaikan
kenyataan bahwa Kristus yang bangkit tidak lagi merasa sebagai seorang laki-laki.
Dan lagi tafsiran ini mengabaikan bahwa semua orang yang sudah dibaptis
dipanggil untuk menjadikan hidup mereka serupa dengan rupa Kritus (Rm. 8: 29).
Selain itu dalam pemahaman Kriten, Yesus mati bukan untuk menyelamat laki-
laki saja, oleh sebab Ia laki-laki. Tapi yang penting adalah bahwa Yesus adalah
sungguh-sungguh manusia.

Persoalan tahbiskan kaum perempuan menjadi imam merupakan masalah


yang pelik dalam Gereja Katolik Roma. Karena persoalan ini terus melebar
diantara orang-orang Katolik Roma, Paus Yohanes II mengupas perkara tahbisan
perempuan ini dalam surat apostolik “Tentang Tahbisan dan Kaum Perempuan”.
Paus Yohanes II mendasarkan argumen kepada Puas Paulus VI bahwa Gereja
Katolik Roma “tidak memiliki hak dan kewenangan apa pun untuk memberikan
tahbisan kepada kaum perempuan. Namum meskipun begitu, semasa
kepausannya, Paus Yohanes II telah banyak menulis dokumen gerejawi yang
menegaskan martbata, kesetaraan serta talenta kaum perempuan.

Penyuaraan kaum feminis Katolik supaya perempuan bisa ditahbiskan


menjadi imam tidak semuanya setuju. Beberapa feminis Katolik tidak mendukung
hal itu. Tokoh yang mencolok adalah Elisabeth Schussler Fiorenza dan Loretta

6
Hoffan. Elizabeth berpendapat bahwa ihwal kemuridan yang semartbat yang
dicari orang di dalam seruan mereka bagi tahbisan kaum perempuan tidak akan
terjadi, kecuali ada perubahan besar di dalam cara bagaimana Gereja Katolik
ditata sebagai suatu pranta hierarkis. Elizabeth tidak percaya bahwa tahbisan
kaum perempuan akan menyelesaikan berbagai persoalan yang bertalian dengan
patriakat di dalam Gereja. Lagi, kaum perempuan yang memimpin perayaan
Ekaristi tidak akan mengubah pola bahasa atau gambaran tentang Allah yang
berlaku sekarang ini.

Loretta sendiri memuji penegasan Yohanes Paulus II yang melarang


tahbisan kaum perempuan. Ia yakin bahwa ajaran ini mesti ditegakan dan
dipertahankan oleh karena ajaran tersebut merupakan sebuah tradisi yang sudah
berusia dua ribu tahun. Dalam satu wawancara, Loretta mengatakan, “Ada satu
ruang bagi kami kuam perempuan. Kami tidak merasa kecewa bahwa hal itu tidak
mencakup tahbisan imamat. Saya tidak percaya bahwa kami memiliki hak per se.
Saya yakin apabila gereja memanggil kaum perempuan untuk menempati
kedudukan tertentu, kami mesti mengangapnya sebagai privilese, dan bukan hak.

Persoalan seputar tahbisan kaum perempuan di dalam Gereja Katolik


sungguh ruwet dan rumit. Terutama mengenai tradisi. Seperti diterangkan di atas,
dalam tradisi Gereja Katolik tidak pernah mentahbiskan perempuan menjadi
imam. Saking peliknya masalah ini, untuk mengakhiri uraian bagian ini, Anne M.
Clifford “memperkirakan” bahwa masalah ini menjadi sentral untuk apa yang
akan terjadi pada Gereja pada tahun-tahun yang akan datang.

Kaum Perempuan dan Gereja-gereja Mereka3


Pada umumnya kaum perempuan memiliki tradisi selama berabad-abad
menyangkut keterlibatan mereka dengan pelayanan sebagai pengikut Kristus,
yang menjadi suatu cara menghayati iman mereka secara sarat makna. Itu
sebabnya pada bagian ini tidak bisa melihat secara keseluruhan, melainkan hanya
beberapa hal yang mencolok saja.

3
Ibid., 245.

7
Kaum Perempuan Ero-Amerika dan Gereja Katolik
Mary Frances Clarke (1804-1887)
Mary Frances Clarke, seorang perempuan awam Katolik asal Irlandia.
Bersama dengan empat perempuan lainnya berkelana ke Amerika Serikat guna
melayani para imigran Irlandia di Amerika Utara. Mereka tiba di Philadelphia
pada tahun 1833 dan mendirikan Kongregasi Suster Cinta Kasih dari Santa
Perawan Maria dengan bantuan Terrence J. Donaghoe, yang juga bertindak
sebagai imam superior. Pendidikan menjadi karya utama dari kelompok ini.
Setelah kematian Donaghoe pada tahun 1869, harta milik kepunyaannya
(Kongregasi Suster Cinta Kasih dari Santa Perawan Maria) pun diwariskan
kepada Clarke.
Clarke merupakan seorang perempuan yang memiliki kearifan praktis, yang
memungkinkan biara para suster Kongregasi Suter Cinta Kasih dari Santa
Perawan Maria menjadi lembaga resmi. Ia juga mempunyai kemampuan untuk
mencintai orang-orang lain, teristimewa sesama susternya.4 Ia mempunyai
peranan penting terkait kemajuan dan eksistensi dari organisasi Kongregasi Suster
Cinta Kasih dari Santa Perawan Maria.
Kaum perempuan Katolik Ero-Amerika. Dalam sejarahnya kaum
perempuan Katolik, berperan aktif di dalam gereja melalui keterlibatan di paroki.
Kaum perempuan Katolik dengan talentanya memperkaya pertumubuhan rohani,
memberi dorongan spiritual dan bahkan membantu orang-orang yang
membutuhkan pertolongan. Kaum perempuan Katolik ini banyak ambil bagian
dalam berbagai serikat, seperti “Catholic Daugthers of America” dan “Ladies of
Charity.” Hal ini dilakukan, seperti memberikan materi bantuan kepada kaum
miskin dan orang sakit.5
Di Amerika Utara, sejumlah besar kaum perempuan Ero-Amerika
mendarmakan hidupnya demi pelayanan kepada umat Allah sebagai anggota
komunitas kaum perempuan yang khusus dibentuk untuk tujuan bersangkutan.

4
Ibid, 248.
5
Ibid., 245-246.

8
Komunitas ini secara teknik disebut “komunitas religius.” Para anggota dari
komunitas ini mengikrarkan kaul-kaul publik, seperti kaul kemiskinan, kemurnian
dan ketaatan. Salah satu perempuan kaum berkaul ini ialah, Anne E. Carr anggota
dari “Kongregasi Suster Cinta Kasih dari Santa Perawan Maria.” Kelompok
kaum perempuan religius ini didirikan oleh Mary Frances Clarke.
“Sejak Konsili Vatikan II, jumlah kaum perempuan berkaul di dalam gereja
Katolik Roma merusut secara dramatis. Semakin sedikit kaum perempuan yang
bergabung dengan komunitas religius ini. Namun semakin banyak pula jumlah
kaum perempuan yang diberdayakan untuk melayani orang-orang lain di dalam
berbagai pelayanan gerejani dan non gerejani. Sebelum Konsili Vatikan II hanya
kaum klerus tertahbislah yang melayani, tetapi sesudah Konsili Vatikan II terbuka
bagi semua fungsi-fungsi non tahbis, seperti untuk membagikan komuni suci, dan
mengunjungi orang-orang sakit dan lain sebagainya. Hal ini dapat kita kenal
dengan istilah ‘pelayanan.’6
Beberapa kaum perempuan Katolik ini juga, ikut ambil bagian dalam
organisasi-oragnisasi advokasi untuk kaum perempuan, seperti Konferensi
Tahbisan Kaum Perempuan dan Organisasi Gereja Perempuan. Konferensi
Tahbisan Kaum Perempuan adalah sebuah organisasi Katolik, yang didirikan pada
tahun 1976 di Amerika Serikat beberapa bulan setelah pertemuan yang
menyerukan tahbisan bagi kaum perempuan diselanggarakan di Detroit (1975).
Selama 20 tahun berikutnya begitu banyak organisasi-organisasi yang serupa
didirikan di berbagai negeri, seperti Inggris, Irlandia, Australia, Kanada, Selandia
Baru dan Afrika Selatan. Pada tahun 1996, pada Sinode Kaum Perempuan Eropa
di Gmundsen, Austria, Organisasi Tahbisan Kaum Perempuan Sedunia (WOW)
didirikan. Pada tahun 1998, Konferensi Tahbisan Kaum Perempuan yang pertama
diselanggarakan di London guna menggalang sebuah kampanye di seluruh dunia
bagi tahbisan kaum perempuan di dalam gereja Katolik.7
Organisasi gereja-Perempuan menyebut dirinya sebagai suatu pergerakan
oikumenis Internasional dari berbagai komunitas dan jaring kaum perempuan

6
Ibid., 246.
7
Ibid, 249.

9
dengan julukan “sahabat-sahabat pencari keadilan” yang memiliki suatu wawasan
bersama: transformasi gereja-gereja Kristen agar dapat membebaskan umat Allah
dari patriakat. Gereja-Perempuan lahir di Amerika dalam sebuah konferensi yang
bertajuk “gereja-Perempuan Angkat Bicara” yang diselanggarakan di Chicago
pada tahun 1983. Konferensi ini merupakan upaya dari berbagai organisasi-
organisasi, seperti: kaum perempuan Katolik Roma dari Konferensi Tahbisan
Kaum Perempuan (WOC), Aliansi Kaum Perempuan untuk Teologi, Etika dan
Ritus (WATER), Las Hermenes, serta Koalisi Nasional Para BIarawati Amerika,
dan organisasi-oragnisasi lainnya. Kerena alasan ini maka istilah “Women-
Church” menggantikan “Wowan Church”.8
“Gereja-Perempuan” itu mengajak kaum perempuan untuk membedah jati
diri mereka sebagai gereja, serta merumuskan wawasan pengarah bagi gereja-
gereja Kristen sekarang ini. Organisasi ini memiliki jaringan kerja tingkat
nasional, namun sebagian terbesar terdiri dari kelompok-kelompok kaum
perempuan akar rumput. Sasaran organisasi ini terbilang sederhana, yaitu:
mengembangkan jemaat-jemaat yang bebas dari seksime. Di Amerika Serikat,
organisasi ini pada umumnya memuasatkan perhatiannya pada ihwal memberi
tempat bagi kaum perempuan (dan kaum laki-laki yang mendukung kemuridan
yang semartabat) agar dapat berkumpul untuk beribadah dan berdoa sehingga citra
rasa kaum perempuan tentang Allah dapat diwujudkan.9

8
Ibid, 249-250.
9
Ibid.

10

Anda mungkin juga menyukai