Identitas buku:
Pendahuluan
Tokoh utama pada bagian ini adalah Anne E. Carr. Ia adalah biarawati dari
Kongregasi Suster cinta Kasih dari Santa perawan Maria. Carr menerukan
pengabdian dalam biara itu melalui pendidikan. Setelah tamat Fakultas Studi-studi
Agama di Universitas Chicago pada tahun 1971, Carr mengajar di Kolese
Mundelein, Universitas Indiana, serta Fakultas Studi-studi Agama di Universitas
Chocago. Pada tahun 1997 ia menerima penghargaan bergengsi, John Courtney
Murray Award dari katan para teolog Amerika sebagai pengakuan atas beragam
prestasi akademiknya.1
1
Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis (Maumere: Penerbit Ledalero
Meumere, 2002), 238.
2
Ibid., 232-244.
1
Pada tahun 1970-an semakin banyak kaum perempuan di dalam Gereja-Gereja ini
yang menyuarakan keinginan mereka untuk ditahbiskan sebagai imam, karena
mereka merasa bahwa ini merupakan panggilan dari Allah kepada mereka untuk
melayani jemaat-jemaat.
2
pergerakan kaum perempuan. Pengakuan Yohanes XXII akan martabat
perempuan yang melekat kuat dalam kodratnya sebagai manusia, mandapat
sambutan dan pujian.
3
mendesak agar para uskup ini memfasilitasi pelibatan secara meluas dari kaum
perempuan di dalam berbagai pelayanan, termasuk ditahbiskan sebagi imam. Di
waktu yang sama, sekelompok perempuan katolik merencanakan Konferensi
Tahbisan Kaum Perempuan yang pertama yang dimana diselenggarakan di Detroit
dengan jumlah dua belas ribu perempuan berkumpul guna meluncurkan seruan
bagi tahbisan kaum perempuan menjadi imam.
Ketiga dalil itulah nanti yang akan ditanggapi dan dikritisi oleh Anne Carr
dan teolog Katolik yang lain.
4
diberikan secara absah kepada kaum perempuan (no. 6). Karena tidak ada bukti
gereja katolik Roma pernah mentahbiskan perempuan di dalam sejarahnya yang
panjang, maka dokumen itu menyimpulkan bahwa Roh Kudus sendiri menentang
hal itu.
Teolog Katolik Roma yang juga ikut menanggapi argumen dari Kitab Suci
adalah Raymond Brown. Raymond bependapat bahwa apabila seseorang
5
berpendapat bahwa tidak ada imam perempuan dalam Perjanjian Baru, klaim itu
keliru. Mengacu kepada 1 Ptr. 2:5’ Why: 5: 10, istilah “imam” dikenakan kepada
orang-orang Kristen hanya dalam arti luas sebagai imamat keumatan. Raymond
selanjutnya menegaskan kalau seseorang menyatakan bahwa kaum perempuan
tidak merayakan Ekaristi pada masa Perjanjian Baru, “sama sekali tidak ada
kemungkinan untuk membuktikan hal itu.
Ketiga, argumen dari simbol: adalah arti simbolis imam yang bertindak
secara in persona Christi. In persona Christi berarti bahwa saat perayaan Ekaristi
para imam bertindak seturut peran Kritus sampai kepada citra-Nya yang terdalam.
Oleh sebab itu dituntut mesti laki-laki. Tanggapan lazim terhadap in persona
Christi ini adalah ia bersifat tafsiran fisikalis. Tafsiran fisikalis mengabaikan
kenyataan bahwa Kristus yang bangkit tidak lagi merasa sebagai seorang laki-laki.
Dan lagi tafsiran ini mengabaikan bahwa semua orang yang sudah dibaptis
dipanggil untuk menjadikan hidup mereka serupa dengan rupa Kritus (Rm. 8: 29).
Selain itu dalam pemahaman Kriten, Yesus mati bukan untuk menyelamat laki-
laki saja, oleh sebab Ia laki-laki. Tapi yang penting adalah bahwa Yesus adalah
sungguh-sungguh manusia.
6
Hoffan. Elizabeth berpendapat bahwa ihwal kemuridan yang semartbat yang
dicari orang di dalam seruan mereka bagi tahbisan kaum perempuan tidak akan
terjadi, kecuali ada perubahan besar di dalam cara bagaimana Gereja Katolik
ditata sebagai suatu pranta hierarkis. Elizabeth tidak percaya bahwa tahbisan
kaum perempuan akan menyelesaikan berbagai persoalan yang bertalian dengan
patriakat di dalam Gereja. Lagi, kaum perempuan yang memimpin perayaan
Ekaristi tidak akan mengubah pola bahasa atau gambaran tentang Allah yang
berlaku sekarang ini.
3
Ibid., 245.
7
Kaum Perempuan Ero-Amerika dan Gereja Katolik
Mary Frances Clarke (1804-1887)
Mary Frances Clarke, seorang perempuan awam Katolik asal Irlandia.
Bersama dengan empat perempuan lainnya berkelana ke Amerika Serikat guna
melayani para imigran Irlandia di Amerika Utara. Mereka tiba di Philadelphia
pada tahun 1833 dan mendirikan Kongregasi Suster Cinta Kasih dari Santa
Perawan Maria dengan bantuan Terrence J. Donaghoe, yang juga bertindak
sebagai imam superior. Pendidikan menjadi karya utama dari kelompok ini.
Setelah kematian Donaghoe pada tahun 1869, harta milik kepunyaannya
(Kongregasi Suster Cinta Kasih dari Santa Perawan Maria) pun diwariskan
kepada Clarke.
Clarke merupakan seorang perempuan yang memiliki kearifan praktis, yang
memungkinkan biara para suster Kongregasi Suter Cinta Kasih dari Santa
Perawan Maria menjadi lembaga resmi. Ia juga mempunyai kemampuan untuk
mencintai orang-orang lain, teristimewa sesama susternya.4 Ia mempunyai
peranan penting terkait kemajuan dan eksistensi dari organisasi Kongregasi Suster
Cinta Kasih dari Santa Perawan Maria.
Kaum perempuan Katolik Ero-Amerika. Dalam sejarahnya kaum
perempuan Katolik, berperan aktif di dalam gereja melalui keterlibatan di paroki.
Kaum perempuan Katolik dengan talentanya memperkaya pertumubuhan rohani,
memberi dorongan spiritual dan bahkan membantu orang-orang yang
membutuhkan pertolongan. Kaum perempuan Katolik ini banyak ambil bagian
dalam berbagai serikat, seperti “Catholic Daugthers of America” dan “Ladies of
Charity.” Hal ini dilakukan, seperti memberikan materi bantuan kepada kaum
miskin dan orang sakit.5
Di Amerika Utara, sejumlah besar kaum perempuan Ero-Amerika
mendarmakan hidupnya demi pelayanan kepada umat Allah sebagai anggota
komunitas kaum perempuan yang khusus dibentuk untuk tujuan bersangkutan.
4
Ibid, 248.
5
Ibid., 245-246.
8
Komunitas ini secara teknik disebut “komunitas religius.” Para anggota dari
komunitas ini mengikrarkan kaul-kaul publik, seperti kaul kemiskinan, kemurnian
dan ketaatan. Salah satu perempuan kaum berkaul ini ialah, Anne E. Carr anggota
dari “Kongregasi Suster Cinta Kasih dari Santa Perawan Maria.” Kelompok
kaum perempuan religius ini didirikan oleh Mary Frances Clarke.
“Sejak Konsili Vatikan II, jumlah kaum perempuan berkaul di dalam gereja
Katolik Roma merusut secara dramatis. Semakin sedikit kaum perempuan yang
bergabung dengan komunitas religius ini. Namun semakin banyak pula jumlah
kaum perempuan yang diberdayakan untuk melayani orang-orang lain di dalam
berbagai pelayanan gerejani dan non gerejani. Sebelum Konsili Vatikan II hanya
kaum klerus tertahbislah yang melayani, tetapi sesudah Konsili Vatikan II terbuka
bagi semua fungsi-fungsi non tahbis, seperti untuk membagikan komuni suci, dan
mengunjungi orang-orang sakit dan lain sebagainya. Hal ini dapat kita kenal
dengan istilah ‘pelayanan.’6
Beberapa kaum perempuan Katolik ini juga, ikut ambil bagian dalam
organisasi-oragnisasi advokasi untuk kaum perempuan, seperti Konferensi
Tahbisan Kaum Perempuan dan Organisasi Gereja Perempuan. Konferensi
Tahbisan Kaum Perempuan adalah sebuah organisasi Katolik, yang didirikan pada
tahun 1976 di Amerika Serikat beberapa bulan setelah pertemuan yang
menyerukan tahbisan bagi kaum perempuan diselanggarakan di Detroit (1975).
Selama 20 tahun berikutnya begitu banyak organisasi-organisasi yang serupa
didirikan di berbagai negeri, seperti Inggris, Irlandia, Australia, Kanada, Selandia
Baru dan Afrika Selatan. Pada tahun 1996, pada Sinode Kaum Perempuan Eropa
di Gmundsen, Austria, Organisasi Tahbisan Kaum Perempuan Sedunia (WOW)
didirikan. Pada tahun 1998, Konferensi Tahbisan Kaum Perempuan yang pertama
diselanggarakan di London guna menggalang sebuah kampanye di seluruh dunia
bagi tahbisan kaum perempuan di dalam gereja Katolik.7
Organisasi gereja-Perempuan menyebut dirinya sebagai suatu pergerakan
oikumenis Internasional dari berbagai komunitas dan jaring kaum perempuan
6
Ibid., 246.
7
Ibid, 249.
9
dengan julukan “sahabat-sahabat pencari keadilan” yang memiliki suatu wawasan
bersama: transformasi gereja-gereja Kristen agar dapat membebaskan umat Allah
dari patriakat. Gereja-Perempuan lahir di Amerika dalam sebuah konferensi yang
bertajuk “gereja-Perempuan Angkat Bicara” yang diselanggarakan di Chicago
pada tahun 1983. Konferensi ini merupakan upaya dari berbagai organisasi-
organisasi, seperti: kaum perempuan Katolik Roma dari Konferensi Tahbisan
Kaum Perempuan (WOC), Aliansi Kaum Perempuan untuk Teologi, Etika dan
Ritus (WATER), Las Hermenes, serta Koalisi Nasional Para BIarawati Amerika,
dan organisasi-oragnisasi lainnya. Kerena alasan ini maka istilah “Women-
Church” menggantikan “Wowan Church”.8
“Gereja-Perempuan” itu mengajak kaum perempuan untuk membedah jati
diri mereka sebagai gereja, serta merumuskan wawasan pengarah bagi gereja-
gereja Kristen sekarang ini. Organisasi ini memiliki jaringan kerja tingkat
nasional, namun sebagian terbesar terdiri dari kelompok-kelompok kaum
perempuan akar rumput. Sasaran organisasi ini terbilang sederhana, yaitu:
mengembangkan jemaat-jemaat yang bebas dari seksime. Di Amerika Serikat,
organisasi ini pada umumnya memuasatkan perhatiannya pada ihwal memberi
tempat bagi kaum perempuan (dan kaum laki-laki yang mendukung kemuridan
yang semartabat) agar dapat berkumpul untuk beribadah dan berdoa sehingga citra
rasa kaum perempuan tentang Allah dapat diwujudkan.9
8
Ibid, 249-250.
9
Ibid.
10