Anda di halaman 1dari 12

Nihayatul Chusna

PERAN PEREMPUAN DALAM PERIWAYATAN HADITS


NABI SAW

ABSTRAK

Kaum muslimin menempatkan sunnah Nabi Muhammad SAW sebagai sumber


ajaran Islam yang kedua setelah kitab suci al-Qur’an. Pada masa Nabi dan sahabat
peran perempuan telah ada, hanya saja mayoritas umat Islam zaman dahulu maupun
sekarang dangkal dalam memahami ajaran agamanya, bahkan karena kesalahan dalam
menafsirkan teks-teks keagamaan. Dalam sejarah periwayatan hadits tidak bisa
dilupakan peranan kaum perempuan. Sebenarnya sangatlah wajar jika banyak kaum
perempuan yang berperan pada masa periwayatan hadits, karena Islam memberikan
hak-hak yang baru yang tadinya tidak ada sebelum datangnya Islam. Banyak ayat baik
secara harfiyah maupun nilai atau semangatnya membawa perbaikan yang sangat
besar terhadap status perempuan Arabia sebelum Islam. Penerbit Islam Barat saja
mengakui hal itu, Marcel A. Boisard mengakui kenyataan bahwa Islam berbicara
kepada laki-laki dan perempuan dan memperlakukan mereka “hampir sama”. Lebih
dari itu hak-hak perempuan telah dilindungi, baik secara yuridis maupun hukum, hak
milik pribadi, dan hak waris.

Pada masa sekarang di mana hampir di seluruh dunia gerakan gender yang
menuntut kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam beberapa hal, maka penelitian
tentang para sahabat perempuan menjadi sangat signifikan untuk dilakukan.
Eksistensi para sahabat perempuan (rawi hadits perempuan) dalam pengembangan
hadits Nabi memiliki peran yang sama dengan para sahabat laki-laki. Namun
kenyataannya informasi tentang mereka sangat kecil dibandingkan dengan kontribusi
yang mereka berikan. Keterlibatan para sahabat perempuan dalam transformasi hadits
menjadi salah satu bukti bahwa perempuan dalam Islam mendapat tempat yang sama
dengan laki-laki untuk menyebarkan ilmu pengetahuan yang salah satu sumbernya
berasal dari hadits Nabi.

Kata kunci: Perempuan, peran perempuan dan periwayatan hadits


Posisi Perempuan Pada Zaman Sebelum dan Sesudah Islam Muncul

Dalam masyarakat pra-Islam, posisi perempuan sangatlah rendah. Opini publik


tentang perempuan dalam sejarah masyarakat, kapan pun dan di mana pun selalu
terdapat kesan yang bersifat merendahkan perempuan dan dunia ini menjadi dunia
laki-laki. Orang Arab sebelum Islam demikian benci kepada perempuan sehingga
mereka membinasakan anak-anaknya yang perempuan dengan menanamnya hidup-
hidup karena perempuan lemah, tidak bisa perang, dan juga lemah dalam bekerja
sehingga dianggap mengganggu. Struktur masyarakat kesukuan adalah patriarkis, dan
secara umum perempuan diberi status yang sangat rendah. Para janda dari bapaknya
dapat diwarisi. Al-Qur’an merujuk praktik ini dan melarangnya sebagaimana terdapat
dalam surah an-Nisa’ ayat 22 yang artinya, ”Dan janganlah kamu kawini perempuan-
perempuan yang telah dikawini oleh ayahmu, kecuali apa yang telah terjadi pada
masa lampau. Sesungguhnya perbuatan itu sangat keji juga dibenci, dan seburuk-
buruknya jalan”.1 Ada banyak adat dan kebiasaan buruk berkaitan dengan persoalan
perempuan di zaman Jahiliyah. Al-Qur’an sangat meningkatkan status sosial
perempuan dan meletakkan norma-norma yang jelas, sebagai penentangan terhadap
adat dan kebiasaan kaum Jahiliyah tersebut. Meskipun keinginan Allah SWT adalah
memberikan status yang setara kepada perempuan, konteks sosial tidak mengakuinya
secara langsung, dan dalam kebijaksanaan-Nya, Dia memperbolehkan laki-laki
mempunyai satu tingkat superioritas di atas perempuan.

Telah ditetapkan oleh para ulama ortodoks dan konservatif muslim bahwa
peranan perempuan dibatasi secara ketat di rumah. Tugas utama perempuan adalah
menjaga suami dan anak-anaknya. Dia tidak boleh pergi ke luar kecuali dengan izin
suami atau ayah, dan dia harus ditemani oleh keluarga dekat laki-laki yang dia tidak
boleh kawin dengannya. Ketetapan ini secara ketat diberlakukan di Arab Saudi, dan
sekarang di Afghanistan dengan direbutnya kekuasaan oleh Taliban. Kelompok
Taliban maju selangkah dan telah mengeluarkan perintah untuk mencegah kaum
perempuan, sekalipun mereka adalah kaum profesional perempuan, seperti guru,
dokter, dan perawat, untuk datang ke tempat kerja mereka. Hal seperti itu bukanlah
permintaan al-Qur’an. Al-Qur’an tidak mencegah perempuan ke luar rumah dan tidak
juga menyebutkan bahwa mereka harus ditemani oleh keluarga dekat laki-laki ketika
mereka bepergian ke luar rumah. Preskripsi ini paling mungkin dilaksanakan karena
1
Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, terj. Agus Nuryatno (Yogyakarta: LkiS, 2003), hlm. 39.
untuk melindungi kaum perempuan dari gangguan di masa lalu. Jadi, hal itu mungkin
lebih pada persoalan tindakan pencegahan daripada prinsip. Di sisi yang lain,
prinsipnya adalah al-Qur’an melengkapi perempuan dengan hak untuk mencari
nafkah sebagaimana yang tercantum dalam surah an-Nisa’ ayat 32.2

Perempuan mendapat posisi yang terhormat saat kehidupan masyarakat Islam


berada pada masa Rasulullah SAW. Kaum perempuan pada saat itu mendapat
perlakuan yang tidak berbeda dengan kaum laki-laki. Apabila laki-laki berperan
dalam dunia publik, perempuan juga tidak ada larangan untuk berperan dalam medan
yang sama. Perempuan berpartisipasi secara bebas dalam urusan perang yang secara
ketat merupakan wilayah yang didominasi laki-laki. Kita menemukan di dalam
Shahih Bukhari, salah satu kumpulan hadist yang otentik menyebutkan bahwa
perempuan muslim secara aktif membantu mereka yang luka dalam perang Uhud.
Bahkan, kedekatan kaum perempuan dengan Rasulullah SAW sendiri hampir tidak
ada batasnya, misalnya, ketika kaum laki-laki memiliki sebuah kelompok pengajian
dengan Rasulullah SAW, perempuan merasa tidak mau ketinggalan.

Majelis Ilmu bagi Perempuan

Rasulullah menganggap bahwa majelis pengajian cukup diadakan untuk kaum


laki-laki saja, nanti kaum laki-laki yang akan meneruskan pengetahuan yang telah
didapatkan kepada kaum perempuan. Tindakan ini diprotes oleh kaum perempuan
karena mereka memang mempunyai minat untuk menuntut ilmu. Atas protes ini,
akhirnya Rasulullah memutuskan untuk membuka majelis ta’lim bagi kaum
perempuan.3 Sebagaimana ungkapan dari Athiyah bahwa Islam menyerukan adanya
kemerdekaan, persamaan, dan kesempatan yang sama antara yang kaya dan yang
miskin dalam bidang pendidikan di samping penghapusan sistem-sistem kelas-kelas
dan mewajibkan setiap muslim laki-laki dan perempuan untuk menuntut ilmu, serta
memberikan kepada setiap muslim itu segala macam jalan untuk belajar, bila mereka
memperlihatkan adanya minat dan bakat.4 Pada masa ini, perempuan telah
memainkan peran penting sebagai periwayat hadits. Mereka meriwayatkan hadits dari
para guru mereka yang juga perempuan, tetapi tidak sedikit di antaranya yang mereka
riwayatkan dari guru laki-laki. Sebagaimana halnya dengan para murid yang belajar

2
Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, hlm. 265.
3
Agung Danarta, Perempuan Periwayat Hadits (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 5-6.
4
Moh. Roqib, Pendidikan Perempuan (Yogyakarta: Gama Media, 2003), hlm. 48.
ilmu dari mereka, di antaranya adalah murid perempuan, namun banyak juga yang
laki-laki.

Majelis-majelis ilmu pada masa Rasulullah SAW adalah peluang untuk


memperoleh pendidikan dan nasihat kenabian. Pembentukan kejiwaan memberikan
kekuatan dan persiapan untuk meraih ilmu dan pengetahuan, sehingga terbukalah
berbagai saluran yang memungkinkan kaum perempuan untuk ikut serta dalam
majelis-majelis keilmuan beserta kaum muslim yang lain. Itu sebabnya banyak
kalangan wanita muslimah yang ikut menyaksikan dan menghadiri syiar keagamaan,
seperti datang ke Masjidil Haram, ikut shalat berjama’ah, ikut perayaan-perayaan, dan
menunaikan haji. Perempuan biasa ikut berjama’ah shalat maghrib-isya’, dan
terkadang mereka membawa anak-anaknya yang masih kecil. Nabi selalu memberikan
perhatian khusus terhadap kekhusyukan shalat secara ketat dan penuh. Kendati
demikian, perhatiannya yang begitu besar kepada perempuan membuat beliau
terkadang, ketika mendengar bayi menangis, mempercepat shalat itu. Beliau pernah
mengatakan, “Kadang-kadang ketika berdiri untuk shalat, aku berniat memperpanjang
shalat itu. Kemudian, aku mendengar seorang bayi menangis. Maka aku mempercepat
shalat itu, dengan niat tidak ingin menyusahkan ibu anak tersebut”. 5 Ini merupakan
salah satu bentuk wujud kepedulian Nabi terhadap perempuan. Dalam sebuah majelis,
para shahabiyah dapat mendengar langsung pengajaran agama yang diberikan
langsung oleh Nabi dan mereka juga dapat berdialog secara langsung. Di samping itu,
kaum perempuan sahabat juga memiliki majelis di mana Nabi khusus mengajarkan
ilmu kepada mereka.

Nabi tidak pernah menutup pintu rumahnya kepada siapa pun yang ingin
belajar. Hal tersebut dimanfaatkan oleh para sahabat yang ingin mendapatkan
penjelasan dari Nabi terhadap suatu masalah tertentu. Hal tersebut juga dimanfaatkan
oleh sahabat perempuan, contohnya adalah kedatangan Zainab, istri ‘Abdullah ibn
Mas’ud yang bertanya tentang masalah nafkah kepada suami dan kerabat. Demikian
juga Su’aibah al-Aslamiyah yang ragu terhadap fatwa Abu Sanabil yang mengatakan
“kamu belum halal” beberapa hari setelah ia melahirkan bayinya sesudah suaminya
meninggal dunia. Ia lalu pergi kepada Rasulullah untuk meminta keterangan hukum
mengenai hal yang terjadi pada dirinya. Kadang mereka menghalangi perjalanan Nabi

5
Wahiduddin Khan, Agar Perempuan Tetap Jadi Perempuan (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003),
hlm.176.
untuk meminta keterangan, seperti yang terjadi pada seorang perempuan dari suku
khats’amiyah yang bertanya tentang ibadah haji orang tuanya yang sudah tua renta.
Kadang-kadang juga para sahabat perempuan menyaksikan Rasulullah menyikapi
suatu masalah yang terjadi pada suatu masyarakat, sebagaimana yang terjadi pada al-
Rubayyi’ binti al-Mu’awwidz ketika Rasulullah datang kepadanya pada subuh hari
pernikahannya. Para wanita sering malu bertanya tentang masalah yang sifatnya
pribadi, bila hal itu terjadi maka mereka tidak menanyakan masalahnya secara
langsung kepada Nabi, tetapi dengan cara mengirimkan utusan untuk menanyakannya
kepada Nabi atau bertanya kepada para istri Nabi. Demikian juga dalam kesempatan
ibadah haji, di mana pada saat itu semua kaum muslimin berkumpul, sehingga
merupakan peluang dan kesempatan untuk belajar atau menyampaikan hadits.6

Setelah Nabi wafat, para sahabat menjadi tujuan utama para muslim lain dalam
belajar hadits, khususnya sahabat yang banyak meriwayatkan hadits. Para tokoh
sahabat banyak yang terpencar dalam beberapa wilayah, begitu juga dengan para
sahabat perempuan. Mereka menyebarkan dan meriwayatkan hadits kepada orang
lain. Para senior sahabat perempuan menempuh perjalanan jauh menuju beberapa
kota. Sebagian di antara mereka ada yang tetap tinggal di wilayah tersebut hingga
wafat. Dia mengajar berbagai kalangan, baik laki-laki maupun perempuan, serta
menyebarkan petunjuk-petunjuk Rasulullah SAW. Haji wada’ mempunyai pengaruh
besar dalam penyebaran hadits, karena jumlah orang yang hadir sangat banyak. Pada
saat haji ini Rasulullah menyampaikan khutbah yang berisi hukum dan sunnah. Para
perempuan yang hadir dan mendengar khutbah Nabi saat itu, selanjutnya sangat
berperan dalam menyampaikan pembicaraan Nabi ketika mereka kembali ke negeri
asalnya.

Peran Perempuan sebagai Ahli Hadits

Kisah mengenai perempuan yang meriwayatkan suatu tindakan atau ucapan


yang datang dari Nabi telah muncul bersamaan dengan dimulainya periwayatan
hadist. Para sahabat perempuan (sahabiyat) dikenal sebagai generasi awal Islam yang
berperan besar dalam proses transmisi hadits dari generasi pertama ke generasi
selanjutnya. Ahmad ibn Hanbal (w.241 H), salah seorang imam fiqh dari empat
madzhab yng dikenal dalam pemikiran hukum Islam, menulis satu jilid khusus dalam

6
Agung Danarta, Perempuan Periwayat Hadits, hlm. 107-108.
Musnadnya hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat perempuan tercatat
sebanyak 125 orang sahabat perempuan dari sekitar 700 yang meriwayatkan hadits
pada kejadian pertamanya (al-rawi al-a’la). Hal ini berarti terdapat sekitar 18% dari
jumlah sahabat perempuan di masa Nabi. Ibnu Sa’d (w.230 H) dalam kitab al Tabaqat
al-Kubra juga menulis biografi para sahabat perempuan yang meriwayatkan hadits
berikut hadits-hadits yang berbicara tentang perempuan dalam satu jilid khusus.7

Peran perempuan dalam periwayatan hadits cenderung menurun bersamaan


dengan terjadinya alih generasi. Pada generasi sahabat, generasi yang hidup bersama
Nabi SAW di Madinah, jumlah perempuan periwayat hadits lebih dari seribu orang.
Pada masa tabi’in jumlah ini menurun drastis. Ibnu Hibban, salah seorang yang hidup
pada masa setelah wafatnya Nabi, dalam kitabnya tentang para perawi yang
terpercaya al-Tsiqat menyebutkan 90 tabi’in perempuan periwayat hadits. Jumlah ini
hanya 1,9% dari jumlah tabi’in, berbeda dengan sahabiyat yang mencapai 16,5% dari
jumlah sahabat. Penurunan jumlah yang sangat berarti ini sering kali dihubungkan
dengan kedudukan khas sahabat perempuan sebagai presaseden dan model awal peran
kaum perempuan dalam masyarakat Islam yang berbeda dengan kedudukan kaum
perempuan setelah masa Nabi. Generasi perempuan setelah masa Nabi sulit untuk
dibandingkan dengan generasi shahabiyat, suatu periode sejarah Islam yang
dipandang ideal. Faktor politik dan budaya yang cenderung meminggirkan perempuan
turut menyumbangkan terjadinya penurunan jumlah perempuan dalam periwayatan
hadits. Studi yang dilakukan Leila Ahmed, seorang intelektual-aktivis perempuan di
dunia Islam kontemporer, dalam Women and Gender in Islam mencoba menunjukkan
bukti-bukti historis yang berperan dalam perjalanan sejarah Islam. Para era tabi’in
(generasi setelah sahabat), perempuan memegang posisi penting sebagai ahli perawi
hadits. Hafsah, putri Ibnu Sirin, Ummu ad-Darda’ dan Amrah binti Abdurrahman,
adalah sebagian kecil dari ahli periwayat hadits pada periode ini. Ummu ad-Darda’
oleh Iyas bin Muawiyyah dianggap lebih unggul (rajih) dibanding muhaddits terkenal
Al Hasan Al Basri dan Ibnu Sirin. Amrah dianggap memiliki otoritas tinggi dalam
meriwayatkan hadits yang berasal dari A’isyah. Di antara muridnya adalah Abu Bakar
bin Hazm, hakim terkemuka di Madinah yang mendapat perintah untuk menulis
seluruh hadits yang berasal dari riwayat Amrah binti Abdurrahman. Selain itu, ada
nama-nama muhaddits (ahli hadits) perempuan seperti ‘Abidah al-Madaniyyah,

7
Bahtiar Effendi, Perempuan dalam Literatur Islam Klasik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hlm. 48.
‘Abdah binti Bishr, Ummu Umar al-Thaqafiyyah, Zainab cucu dari Ali bin ‘Abdullah
bin Abbas, Nafisa binti al-Hasan bin Ziyad, Khadijah Ummu Muhammad, ‘Abdah
binti Abdurrahman, dan lain-lain. Para ulama perempuan ini berasal dari latar
belakang yang sangat beragam, yang menunjukkan bahwa status sosial dan gender
bukanlah penghalang untuk menjadi ulama Islam mumpuni.

Sebagai contoh, Abidah Al Madaniyyah adalah seorang hamba sahaya (budak)


dari Muhammad bin Yazid. Ia belajar hadits dari sejumlah ulama Madinah. Konon,
Abidah meriwayatkan puluhan ribu hadits dari otoritas guru-guru haditsnya di
Madinah tersebut. Zainab binti Sulaiman (wafat. 142H/759M), kebalikan dari Abidah.
Dia lahir sebagai seorang putri bangsawan. Ayahnya adalah sepupu As-Saffah,
pendiri dinasti Abbasiyah dan gubernur Basrah (Irak), Oman, dan Bahrain selama
masa khalifah Al Manshur. Zainab yang mendapat pendidikan yang baik dapat
menguasai hadits dan terkenal sebagai salah satu muhaddits paling terkemuka pada
masanya, dan banyak ulama laki-laki yang pernah menjadi muridnya.
Pada abad keempat hijriah atau kesepuluh masehi, terdapat nama Fatimah binti
Abdurrahman As-Sufiyyah (wafat 312H/924H), Fatimah cucu dari Abu Daud
(penyusun kitab Sunan Abu Daud), Amat Al Wahid (wafat 377H/ 987M), putri dari
mufti terkemuka Al Muhamili, Ummu Al Fath Amat As-Salam (wafat, 390H/999M),
putri dari hakim Abu Bakar Ahmad Ahmad (w. 350H/961M). Jumuah binti Ahmad,
dan lain-lain yang pengajian haditsnya banyak dikunjungi orang.
Banyaknya muhaddits perempuan berlanjut hingga abad kelima dan keenam hijriah
atau ke-11 dan ke-12 masehi. Fatimah binti Al Hasan bin Ali bin Ad-Daqqaq Al
Qusyairi dipuji tidak hanya karena ketakwaan dan keindahan kaligrafinya, tetapi juga
karena penguasaan hadits dan kualitas sanad yang dia ketahui. Muhaddits perempuan
lain adalah Karimah Al Marwaziyyah (w. 464H/1070M) yang dianggap memiliki
otoritas terbaik atas kitab hadits Sahih Al Bukhari. Al Khatib Al Baghdadi dan Al
Humaidi adalah sebagian dari murid-muridnya.8

Kualitas Periwayatan Hadits Perawi Perempuan

Pada umumnya, para ahli hadits mengakui kualitas periwayatan hadits yang
berasal dari sahabat perempuan. Hal ini terutama disebabkan oleh kecenderungan
pada muhadditsin untuk tidak mempermasalahkan gender dalam periwayatan hadits.
8
Rila Setyaningsih, “Rawi Hadits Perempuan” dalam http://blog.umy.ac.id/rhilla/2013/10/12/rawi-
hadits-perempuan/, diakses tanggal 10 Januari 2015.
Dalam syarat-syarat ‘adalah (keadilan) dan idhabth (kekuatan daya ingat) yang harus
diterapkan pada seorang periwayat hadits, misalnya, tidak terdapat ketentuan bahwa
perawi harus berjenis kelamin laki-laki. Padahal dua syarat ini merupakan syarat
pokok bagi diterimanya hadits. Sebagaimana Ibnu Shalah dan An-Nawawi, mereka
juga tidak mengaitkan keadilan dengan jenis kelamin melainkan dengan kualitas-
kualitas tertentu. Sikap dan cara pandang para muhadditsin yang tidak
mempermasalahkan gender dalam periwayatan hadits dapat dilihat di hampir seluruh
kitab hadits, setidaknya kitab-kitab yang kita temukan dewasa ini. Tidak satu kitab
hadits pun, termasuk al-Kutub al-Sittah (enam kitab hadits yang terkenal), yang tidak
memuat hadits-hadits riwayat perempuan di dalamnya. Dan memang demikian,
seandainya jenis kelamin menjadi syarat diterimanya suatu hadits, maka akan sangat
banyak hadits yang tertolak sehingga akan sangat banyak pula informasi tentang
kehidupan Nabi yang tidak diketahui. Hadits-hadits yang termuat dalam satu jilid
khusus dalam Musnad al-Imam Ahmad, sebuah volume yang berisi hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh sahabat perempuan, akan tertolak dan tidak bisa dipakai. Pada jilid
ini, A’isyah, istri Nabi yang dijuluki sebagai Umm al-Mukminin (Ibu Orang
Beriman), meriwayatkan sebanyak 2210 hadits. Jilid ini juga memuat hadits-hadits
yang berasal dari sahabat perempuan lain seperti Ummu Salamah, Ummu Habibah,
Maimunah, Zainab, Shafiyah, Hafshah, Juwairiyah, serta ratusan sahabat yang lain.
Keterangan ini menunjukkan bahwa tidak mungkin mengabaikan peran perempuan
dalam tradisi periwayatan hadits.

Dalam kitab-kitab yang berisi penilaian kritis tentang kualitas seorang rawi (al-
jahru wa al-ta’dil), para kritikus mengakui tingkat kepercayaan (tsiqqah) perawi
perempuan. Melalui penelusuran terhadap beberapa karya yang secara khusus memuat
nama-nama periwayat hadits yang tidak dipercaya, lemah, dan tidak boleh dipakai
riwayatnya, ditemukan bahwa nama-nama perawi perempuan yang dikategorikan
tertuduh dusta, atau ditinggalkan haditsnya, hampir-hampir tidak ada. Imam An-
Nasa’i dalam kitabnya yang berjudul Al-Dhu’afa wa Al-Matrukin berupaya membuat
daftar nama perawi yang termasuk dalam kategori dha’if (lemah) dan ditinggalkan
haditsnya. Dari sekian nama yang berhasil terkumpul, hanya terdapat satu nama
seorang rawi perempuan yang riwayatnya dikategorikan lemah. Bahkan, menurutnya
hadits yang diriwayatkannya pun tidak masuk dalam kelompok hadits yang
ditinggalkan, melainkan tidak dianjurkan penggunaannya. An-Nasa’i dikenal sebagai
seorang kritikus yang sangat ketat dan teliti dalam melakukan kritik (mutasyaddid)
atas riwayat. Oleh karena itu, hasil kritik di atas mencerminkan suatu situasi di mana
riwayat hadits yang berasal dari sahabat perempuan jauh lebih baik daripada yang
berasal dari perawi laki-laki.9 Selain itu, ada komentar menarik yang dikemukakan
oleh Al-Zahabi dalam kitabnya, yakni bahwa beliau tidak menemukan satu perawi
perempuan pun yang tertuduh dusta dan ditinggalkan haditsnya. Mengenai
perempuan-perempuan yang dikategorikan lemah (dha’if), semata-mata karena tidak
adanya informasi lebih jauh tentang latar belakang kehidupan mereka. Komentar lain
yang menggambarkan penghargaan tinggi terhadap keterpercayaan perawi perempuan
ini ditunjukkan oleh muhadditsin dalam kitab yang dikarang oleh Asy-Syaukani yakni
kitab Nail al-Authar. Asy-Syaukani menyatakan bahwa tidak ada satu ulama’ pun
yang menolak khabar yang disampaikan seorang perempuan hanya karena ia
perempuan. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa betapa banyak sunnah yang diterima
umat berasal dari seorang sahabat perempuan. Kenyataan ini tidak diingkari oleh
orang yang paling dekat pengetahuannya dengan sunnah.

Dari uraian di atas, baik dari segi jumlah maupun kualitas, dalam tradisi
periwayatan hadits perempuan tidak saja telah ambil peran dalam proses transmisi
hadits Nabi, akan tetapi juga telah menunjukkan kualitas keagamaan dengan tingkat
integritas, intelektualitas, dan keterpercayaan yang tinggi. Dalam semangat yang
demikian, sejauh tradisi periwayatan hadits diamati, perbedaan jenis kelamin laki-laki
atau perempuan sama sekali tidak menjadi dasar penentuan apakah sebuah hadits
diterima atau ditolak. Keterlibatan para sahabat perempuan dalam transformasi hadits
menjadi salah satu bukti bahwa perempuan dalam Islam mendapat tempat yang sama
dengan laki-laki untuk menyebarkan ilmu pengetahuan yang salah satu sumbernya
berasal dari hadits Nabi. Banyak perilaku dan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh
mereka. Nama-nama seperti Hafshah, Ummu Habibah, Maimunah, Ummu Salamah,
dan A’isyah, sudah tidak asing bagi kalangan santri yang belajar hadits. Begitu juga
setelah Rasulullah SAW wafat, para sahabat perempuan, khususnya istri-istri Nabi,
banyak yang menjadi rujukan atau tumpuan tempat bertanya tentang berbagai hal
terkait dengan perilaku dan sabda Nabi .

9
Bahtiar Effendi, Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, hlm. 52.
KESIMPULAN

Perempuan mendapat posisi yang terhormat saat kehidupan masyarakat Islam


berada pada masa Rasulullah SAW. Kaum perempuan pada saat itu mendapat
perlakuan yang tidak berbeda dengan kaum laki-laki. Pada masa ini, perempuan telah
memainkan peran penting sebagai periwayat hadits. Mereka meriwayatkan hadits dari
para guru mereka yang juga perempuan, tetapi tidak sedikit di antaranya yang mereka
riwayatkan dari guru laki-laki. Nabi tidak pernah menutup pintu rumahnya kepada
siapa pun yang ingin belajar. Hal tersebut dimanfaatkan oleh para sahabat yang ingin
mendapatkan penjelasan dari Nabi terhadap suatu masalah tertentu. Hal tersebut juga
dimanfaatkan oleh sahabat perempuan, contohnya adalah kedatangan Zainab, istri
‘Abdullah ibn Mas’ud yang bertanya tentang masalah nafkah kepada suami dan
kerabat. Setelah Nabi wafat, para sahabat menjadi tujuan utama para muslim lain
dalam belajar hadits, khususnya sahabat yang banyak meriwayatkan hadits. Para
tokoh sahabat banyak yang terpencar dalam beberapa wilayah, begitu juga dengan
para sahabat perempuan. Mereka menyebarkan dan meriwayatkan hadits kepada
orang lain. Kisah mengenai perempuan yang meriwayatkan suatu tindakan atau
ucapan yang datang dari Nabi telah muncul bersamaan dengan dimulainya
periwayatan hadist. Para sahabat perempuan (sahabiyat) dikenal sebagai generasi awal
Islam yang berperan besar dalam proses transmisi hadits dari generasi pertama ke
generasi selanjutnya. Peran perempuan dalam periwayatan hadits cenderung menurun
bersamaan dengan terjadinya alih generasi. Pada generasi sahabat, generasi yang
hidup bersama Nabi SAW di Madinah, jumlah perempuan periwayat hadits lebih dari
seribu orang. Pada masa tabi’in jumlah ini menurun drastis. Dari segi jumlah maupun
kualitas, dalam tradisi periwayatan hadits perempuan tidak saja telah ambil peran
dalam proses transmisi hadits Nabi, akan tetapi juga telah menunjukkan kualitas
keagamaan dengan tingkat integritas, intelektualitas, dan keterpercayaan yang tinggi.
Dalam semangat yang demikian, sejauh tradisi periwayatan hadits diamati, perbedaan
jenis kelamin laki-laki atau perempuan sama sekali tidak menjadi dasar penentuan
apakah sebuah hadits diterima atau ditolak. Keterlibatan para sahabat perempuan
dalam transformasi hadits menjadi salah satu bukti bahwa perempuan dalam Islam
mendapat tempat yang sama dengan laki-laki untuk menyebarkan ilmu pengetahuan
yang salah satu sumbernya berasal dari hadits Nabi.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Engineer, Asghar. 2003. Pembebasan Perempuan. Yogyakarta: LkiS.


Danarta, Agung. 2013. Perempuan Periwayat Hadits. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Effendi, Bahtiar. 2002. Perempuan dalam Literatur Islam Klasik. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.

Khan, Wahiduddin. 2002. Agar Perempuan Tetap Jadi Perempuan. Jakarta: Serambi
Imu Semesta.

Roqib. Moh. 2003. Pendidikan Perempuan. Yogyakarta: Gama Media.

Setyaningsih, Rila. “Rawi Hadits Perempuan” dalam http://blog.umy.ac.id/rhilla/rawi-


hadits-perempuan/ diakses tanggal 10 Januari 2015 pukul 10.50 WIB.

Anda mungkin juga menyukai