ABSTRAK
Pada masa sekarang di mana hampir di seluruh dunia gerakan gender yang
menuntut kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam beberapa hal, maka penelitian
tentang para sahabat perempuan menjadi sangat signifikan untuk dilakukan.
Eksistensi para sahabat perempuan (rawi hadits perempuan) dalam pengembangan
hadits Nabi memiliki peran yang sama dengan para sahabat laki-laki. Namun
kenyataannya informasi tentang mereka sangat kecil dibandingkan dengan kontribusi
yang mereka berikan. Keterlibatan para sahabat perempuan dalam transformasi hadits
menjadi salah satu bukti bahwa perempuan dalam Islam mendapat tempat yang sama
dengan laki-laki untuk menyebarkan ilmu pengetahuan yang salah satu sumbernya
berasal dari hadits Nabi.
Telah ditetapkan oleh para ulama ortodoks dan konservatif muslim bahwa
peranan perempuan dibatasi secara ketat di rumah. Tugas utama perempuan adalah
menjaga suami dan anak-anaknya. Dia tidak boleh pergi ke luar kecuali dengan izin
suami atau ayah, dan dia harus ditemani oleh keluarga dekat laki-laki yang dia tidak
boleh kawin dengannya. Ketetapan ini secara ketat diberlakukan di Arab Saudi, dan
sekarang di Afghanistan dengan direbutnya kekuasaan oleh Taliban. Kelompok
Taliban maju selangkah dan telah mengeluarkan perintah untuk mencegah kaum
perempuan, sekalipun mereka adalah kaum profesional perempuan, seperti guru,
dokter, dan perawat, untuk datang ke tempat kerja mereka. Hal seperti itu bukanlah
permintaan al-Qur’an. Al-Qur’an tidak mencegah perempuan ke luar rumah dan tidak
juga menyebutkan bahwa mereka harus ditemani oleh keluarga dekat laki-laki ketika
mereka bepergian ke luar rumah. Preskripsi ini paling mungkin dilaksanakan karena
1
Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, terj. Agus Nuryatno (Yogyakarta: LkiS, 2003), hlm. 39.
untuk melindungi kaum perempuan dari gangguan di masa lalu. Jadi, hal itu mungkin
lebih pada persoalan tindakan pencegahan daripada prinsip. Di sisi yang lain,
prinsipnya adalah al-Qur’an melengkapi perempuan dengan hak untuk mencari
nafkah sebagaimana yang tercantum dalam surah an-Nisa’ ayat 32.2
2
Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, hlm. 265.
3
Agung Danarta, Perempuan Periwayat Hadits (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 5-6.
4
Moh. Roqib, Pendidikan Perempuan (Yogyakarta: Gama Media, 2003), hlm. 48.
ilmu dari mereka, di antaranya adalah murid perempuan, namun banyak juga yang
laki-laki.
Nabi tidak pernah menutup pintu rumahnya kepada siapa pun yang ingin
belajar. Hal tersebut dimanfaatkan oleh para sahabat yang ingin mendapatkan
penjelasan dari Nabi terhadap suatu masalah tertentu. Hal tersebut juga dimanfaatkan
oleh sahabat perempuan, contohnya adalah kedatangan Zainab, istri ‘Abdullah ibn
Mas’ud yang bertanya tentang masalah nafkah kepada suami dan kerabat. Demikian
juga Su’aibah al-Aslamiyah yang ragu terhadap fatwa Abu Sanabil yang mengatakan
“kamu belum halal” beberapa hari setelah ia melahirkan bayinya sesudah suaminya
meninggal dunia. Ia lalu pergi kepada Rasulullah untuk meminta keterangan hukum
mengenai hal yang terjadi pada dirinya. Kadang mereka menghalangi perjalanan Nabi
5
Wahiduddin Khan, Agar Perempuan Tetap Jadi Perempuan (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003),
hlm.176.
untuk meminta keterangan, seperti yang terjadi pada seorang perempuan dari suku
khats’amiyah yang bertanya tentang ibadah haji orang tuanya yang sudah tua renta.
Kadang-kadang juga para sahabat perempuan menyaksikan Rasulullah menyikapi
suatu masalah yang terjadi pada suatu masyarakat, sebagaimana yang terjadi pada al-
Rubayyi’ binti al-Mu’awwidz ketika Rasulullah datang kepadanya pada subuh hari
pernikahannya. Para wanita sering malu bertanya tentang masalah yang sifatnya
pribadi, bila hal itu terjadi maka mereka tidak menanyakan masalahnya secara
langsung kepada Nabi, tetapi dengan cara mengirimkan utusan untuk menanyakannya
kepada Nabi atau bertanya kepada para istri Nabi. Demikian juga dalam kesempatan
ibadah haji, di mana pada saat itu semua kaum muslimin berkumpul, sehingga
merupakan peluang dan kesempatan untuk belajar atau menyampaikan hadits.6
Setelah Nabi wafat, para sahabat menjadi tujuan utama para muslim lain dalam
belajar hadits, khususnya sahabat yang banyak meriwayatkan hadits. Para tokoh
sahabat banyak yang terpencar dalam beberapa wilayah, begitu juga dengan para
sahabat perempuan. Mereka menyebarkan dan meriwayatkan hadits kepada orang
lain. Para senior sahabat perempuan menempuh perjalanan jauh menuju beberapa
kota. Sebagian di antara mereka ada yang tetap tinggal di wilayah tersebut hingga
wafat. Dia mengajar berbagai kalangan, baik laki-laki maupun perempuan, serta
menyebarkan petunjuk-petunjuk Rasulullah SAW. Haji wada’ mempunyai pengaruh
besar dalam penyebaran hadits, karena jumlah orang yang hadir sangat banyak. Pada
saat haji ini Rasulullah menyampaikan khutbah yang berisi hukum dan sunnah. Para
perempuan yang hadir dan mendengar khutbah Nabi saat itu, selanjutnya sangat
berperan dalam menyampaikan pembicaraan Nabi ketika mereka kembali ke negeri
asalnya.
6
Agung Danarta, Perempuan Periwayat Hadits, hlm. 107-108.
Musnadnya hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat perempuan tercatat
sebanyak 125 orang sahabat perempuan dari sekitar 700 yang meriwayatkan hadits
pada kejadian pertamanya (al-rawi al-a’la). Hal ini berarti terdapat sekitar 18% dari
jumlah sahabat perempuan di masa Nabi. Ibnu Sa’d (w.230 H) dalam kitab al Tabaqat
al-Kubra juga menulis biografi para sahabat perempuan yang meriwayatkan hadits
berikut hadits-hadits yang berbicara tentang perempuan dalam satu jilid khusus.7
7
Bahtiar Effendi, Perempuan dalam Literatur Islam Klasik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hlm. 48.
‘Abdah binti Bishr, Ummu Umar al-Thaqafiyyah, Zainab cucu dari Ali bin ‘Abdullah
bin Abbas, Nafisa binti al-Hasan bin Ziyad, Khadijah Ummu Muhammad, ‘Abdah
binti Abdurrahman, dan lain-lain. Para ulama perempuan ini berasal dari latar
belakang yang sangat beragam, yang menunjukkan bahwa status sosial dan gender
bukanlah penghalang untuk menjadi ulama Islam mumpuni.
Pada umumnya, para ahli hadits mengakui kualitas periwayatan hadits yang
berasal dari sahabat perempuan. Hal ini terutama disebabkan oleh kecenderungan
pada muhadditsin untuk tidak mempermasalahkan gender dalam periwayatan hadits.
8
Rila Setyaningsih, “Rawi Hadits Perempuan” dalam http://blog.umy.ac.id/rhilla/2013/10/12/rawi-
hadits-perempuan/, diakses tanggal 10 Januari 2015.
Dalam syarat-syarat ‘adalah (keadilan) dan idhabth (kekuatan daya ingat) yang harus
diterapkan pada seorang periwayat hadits, misalnya, tidak terdapat ketentuan bahwa
perawi harus berjenis kelamin laki-laki. Padahal dua syarat ini merupakan syarat
pokok bagi diterimanya hadits. Sebagaimana Ibnu Shalah dan An-Nawawi, mereka
juga tidak mengaitkan keadilan dengan jenis kelamin melainkan dengan kualitas-
kualitas tertentu. Sikap dan cara pandang para muhadditsin yang tidak
mempermasalahkan gender dalam periwayatan hadits dapat dilihat di hampir seluruh
kitab hadits, setidaknya kitab-kitab yang kita temukan dewasa ini. Tidak satu kitab
hadits pun, termasuk al-Kutub al-Sittah (enam kitab hadits yang terkenal), yang tidak
memuat hadits-hadits riwayat perempuan di dalamnya. Dan memang demikian,
seandainya jenis kelamin menjadi syarat diterimanya suatu hadits, maka akan sangat
banyak hadits yang tertolak sehingga akan sangat banyak pula informasi tentang
kehidupan Nabi yang tidak diketahui. Hadits-hadits yang termuat dalam satu jilid
khusus dalam Musnad al-Imam Ahmad, sebuah volume yang berisi hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh sahabat perempuan, akan tertolak dan tidak bisa dipakai. Pada jilid
ini, A’isyah, istri Nabi yang dijuluki sebagai Umm al-Mukminin (Ibu Orang
Beriman), meriwayatkan sebanyak 2210 hadits. Jilid ini juga memuat hadits-hadits
yang berasal dari sahabat perempuan lain seperti Ummu Salamah, Ummu Habibah,
Maimunah, Zainab, Shafiyah, Hafshah, Juwairiyah, serta ratusan sahabat yang lain.
Keterangan ini menunjukkan bahwa tidak mungkin mengabaikan peran perempuan
dalam tradisi periwayatan hadits.
Dalam kitab-kitab yang berisi penilaian kritis tentang kualitas seorang rawi (al-
jahru wa al-ta’dil), para kritikus mengakui tingkat kepercayaan (tsiqqah) perawi
perempuan. Melalui penelusuran terhadap beberapa karya yang secara khusus memuat
nama-nama periwayat hadits yang tidak dipercaya, lemah, dan tidak boleh dipakai
riwayatnya, ditemukan bahwa nama-nama perawi perempuan yang dikategorikan
tertuduh dusta, atau ditinggalkan haditsnya, hampir-hampir tidak ada. Imam An-
Nasa’i dalam kitabnya yang berjudul Al-Dhu’afa wa Al-Matrukin berupaya membuat
daftar nama perawi yang termasuk dalam kategori dha’if (lemah) dan ditinggalkan
haditsnya. Dari sekian nama yang berhasil terkumpul, hanya terdapat satu nama
seorang rawi perempuan yang riwayatnya dikategorikan lemah. Bahkan, menurutnya
hadits yang diriwayatkannya pun tidak masuk dalam kelompok hadits yang
ditinggalkan, melainkan tidak dianjurkan penggunaannya. An-Nasa’i dikenal sebagai
seorang kritikus yang sangat ketat dan teliti dalam melakukan kritik (mutasyaddid)
atas riwayat. Oleh karena itu, hasil kritik di atas mencerminkan suatu situasi di mana
riwayat hadits yang berasal dari sahabat perempuan jauh lebih baik daripada yang
berasal dari perawi laki-laki.9 Selain itu, ada komentar menarik yang dikemukakan
oleh Al-Zahabi dalam kitabnya, yakni bahwa beliau tidak menemukan satu perawi
perempuan pun yang tertuduh dusta dan ditinggalkan haditsnya. Mengenai
perempuan-perempuan yang dikategorikan lemah (dha’if), semata-mata karena tidak
adanya informasi lebih jauh tentang latar belakang kehidupan mereka. Komentar lain
yang menggambarkan penghargaan tinggi terhadap keterpercayaan perawi perempuan
ini ditunjukkan oleh muhadditsin dalam kitab yang dikarang oleh Asy-Syaukani yakni
kitab Nail al-Authar. Asy-Syaukani menyatakan bahwa tidak ada satu ulama’ pun
yang menolak khabar yang disampaikan seorang perempuan hanya karena ia
perempuan. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa betapa banyak sunnah yang diterima
umat berasal dari seorang sahabat perempuan. Kenyataan ini tidak diingkari oleh
orang yang paling dekat pengetahuannya dengan sunnah.
Dari uraian di atas, baik dari segi jumlah maupun kualitas, dalam tradisi
periwayatan hadits perempuan tidak saja telah ambil peran dalam proses transmisi
hadits Nabi, akan tetapi juga telah menunjukkan kualitas keagamaan dengan tingkat
integritas, intelektualitas, dan keterpercayaan yang tinggi. Dalam semangat yang
demikian, sejauh tradisi periwayatan hadits diamati, perbedaan jenis kelamin laki-laki
atau perempuan sama sekali tidak menjadi dasar penentuan apakah sebuah hadits
diterima atau ditolak. Keterlibatan para sahabat perempuan dalam transformasi hadits
menjadi salah satu bukti bahwa perempuan dalam Islam mendapat tempat yang sama
dengan laki-laki untuk menyebarkan ilmu pengetahuan yang salah satu sumbernya
berasal dari hadits Nabi. Banyak perilaku dan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh
mereka. Nama-nama seperti Hafshah, Ummu Habibah, Maimunah, Ummu Salamah,
dan A’isyah, sudah tidak asing bagi kalangan santri yang belajar hadits. Begitu juga
setelah Rasulullah SAW wafat, para sahabat perempuan, khususnya istri-istri Nabi,
banyak yang menjadi rujukan atau tumpuan tempat bertanya tentang berbagai hal
terkait dengan perilaku dan sabda Nabi .
9
Bahtiar Effendi, Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, hlm. 52.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Bahtiar. 2002. Perempuan dalam Literatur Islam Klasik. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Khan, Wahiduddin. 2002. Agar Perempuan Tetap Jadi Perempuan. Jakarta: Serambi
Imu Semesta.