Anda di halaman 1dari 9

Nama : Nihayatul Husna

NIM : 14531024

Mata Kuliah : Studi Qur’an Indonesia

TELAAH KARAKTERISTIK KITAB TAFSIR AL-IBRIZ

KARYA BISRI MUSTAFA

Abstrak

Dalam artikel ini akan dibahas mengenai karakteristik kitab tafsir al-Ibriz
yang ditulis dalam bahasa Jawa dengan bertuliskan Arab pegon. Sebelum itu,
penulis akan memaparkan sedikit tentang setting-historis dari pengarang kitab
tafsir tersebut, yakni KH. Bisri Mustafa. Mengingat bahasa manusia demikian
banyak ragamnya, sedangkan setiap bahasa mencerminkan pola budaya tertentu,
maka problem terjemahan dan penafsiran merupakan problem pokok dalam
diskursus tafsir al-Qur’an. Demikian pula tafsir al-Ibriz, ia ditulis dalam bahasa
Jawa dengan menggunakan huruf Arab pegon karena tafsir ini memang hendak
menyapa pembacanya dari kalangan Muslim Jawa yang sebagian besar masih
tinggal di pedesaan dan kurang mengerti bahasa Arab. Pilihan bahasa yang
digunakan oleh penafsir tentu memiliki argumentasi tersendiri, bukan asal-
asalan.

A. Setting Historis Kehidupan KH. Bisri Mustafa

KH. Bisri Mustafa lahir pada tahun 1915 M/ 1334 H di daerah kampung
Sawahan gang Palem, Rembang, Jawa Tengah. Nama ayah beliau adalah H. Zainal

1
Mustafa, sedangkan ibunya adalah Siti Khadijah. Nama Bisri Mustafa ini sebenarnya
bukanlah nama asli beliau, sebelumnya sejak kecil beliau telah diberi nama Mashadi
yang kemudian diganti menjadi Bisri Mustafa setelah melaksanakan haji bersama
kedua orang tuanya pada tahun 1923. Pada saat haji inilah sang ayah meninggalkan
Bisri Mustafa dan dimakamkan di Jeddah.

Pada tahun 1925, Bisri Mustafa menimba ilmu di sebuah pesantren daerah
Bulu Manis, Kajen, Pati yang ketika itu diasuh oleh KH. Hasbullah untuk belajar
agama. Akan tetapi, beliau tidak kerasan dan akhirnya kembali lagi ke Rembang.
Selain itu, beliau juga sempat belajar di sekolah Ongko Loro, yakni Sekolah Rakyat
untuk pribumi selama empat tahun dan mendapatkan sertifikat pada tahun 1926.
Selanjutnya, Bisri Mustafa melanjutkan rihlah ‘ilmiyyahnya ke Pondok Pesantren
Kasingan, Rembang di bawah asuhan KH. Cholil. Pada awalnya, Bisri Mustafa sama
sekali tidak berminta untuk menimba ilmu di pesantren sehingga hasil yang dicapai
pada awal-awal beliau mondok dirasa belum memuaskan dan kemudian memutuskan
untuk tidak kembali ke pesantren. Beberapa bulan kemudian pada awal tahun 1930,
beliau diperintahkan kembali ke Pesantren Kasingan untuk belajar agama dan
mondok pada KH. Cholil. Karena Bisri Mustafa belum siap untuk mengaji langsung
pada KH. Cholil, akhirnya beliau terlebih dahulu mengaji kepada Suja’i yang
merupakan ipar dari KH. Cholil.

Pada saat itu, Bisri Mustafa hanya mempelajari kitab Alfiyyah ibn Malik
hingga akhirnya beliau sangat menguasai kitab tersebut. Satu tahun kemudian, Bisri
Mustafa mulai ikut mengaji kitab Fathul Mu’in dengan sungguh-sungguh
sebagaiamana ketika beliau mempelajari kitab Alfiyyah ibn Malik. Setelah selesai
belajar kedua kitab tersebut, maka barulah beliau mempelajari kitab-kitab yang lain,
seperti Fathul Wahhab, Jami’ul Jawami’, Uqudul Juman, dll.

Pada tahun 1932, Bisri Mustafa minta restu kepada KH. Cholil untuk pindah
ke Pesantren Termas, Pacitan yang diasuh oleh KH. Dimyati. Akan tetapi sayangnya
permintaan tersebut ditolak oleh KH. Cholil dengan maksud untuk menahan Bisri
Mustafa agar tidak jauh-jauh dari KH. Cholil. Hal tersebut dilakukan karena KH.
Cholil ingin menjodohkan Bisri Mustafa dengan putrinya yang bernama Marfu’ah

2
yang masih berusia 10 tahun. Akhirnya pernikahan mereka berdua pun berlangsung
pada tahun 1935 dengan dikaruniai beberapa anak, diantaranya adalah Cholil Bisri,
Mustafa Bisri, Adib Bisri, Audah, Najihah, Labib, Nihayah, dan Atikah. Sebagai
seorang menantu Kyai, mau tidak mau beliau harus ikut mengajar kitab-kitab kepada
para santri. Karena Bisri Mustafa merasa belum cukup dengan ilmu yang dimiliki,
akhirnya ia menggunakan metode belajar candak kulak (belajar sambil mengajar).
Beliau belajar atau bermusyawarah membaca kitab kepada Kyai seniornya, yakni
Kyai Kamil dan Kyai Fadholi di Karanggeneng, Rembang. Hasil dari musyawarah
itulah yang kemudian diajarkan oleh Bisri Mustafa kepada para santrinya.

Merasa tidak sanggup dengan semua ini, akhirnya Bisri Mustafa bertekad
untuk memperdalam ilmunya di Makkah. Akhirnya pada saat musim haji tiba pada
tahun 1936, beliau menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah dan menetap di
sana selama satu tahun dan baru pulang pada saat musim haji berikutnya. Selama di
sana, beliau belajar kepada KH. Bakir, Syekh Umar Chamdan al-Maghribi, Syekh
Maliki, Sayyid Amin, Syekh Hasan Masysysat, Sayyid Alawi, dan Kyai Abdul
Muhaimin. Setelah setahun di Makkah, akhirnya Bisri Mustafa kembali ke tanah air
dan membantu KH. Cholil untuk mengasuh Pesantren Kasingan, Rembang.

Setelah merasa cukup, akhirnya Bisri Mustafa kembali ke kampong


halamannya kemudian bersama keluarga mendirikan sebuah pesantren yang diberi
nama Raudhatut Thalibin. Singkat cerita akhirnya beliau wafat pada hari Rabu
tanggal 17 Februari 1977/ 27 Shafar 1397 H, menjelang Ashar di RSU Karyadi
Semarang karena serangan jantung, tekanan darah tinggi dan gangguan pada paru-
paru.1

B. Karakteristik Tafsir al-Ibriz


a. Latar Belakang Penulisan

Sebagai seorang ulama yang cukup produktif, tentunya Bisri Mustafa


memiliki banyak karya, baik dalam bidang tafsir, hadis, nahwu, sharaf, akidah,

1
Hairul Umamah, “Penafsiran Al-Hikmah dalam Al-Qur’an (Studi Kitab Tafsir Al-Ibriz li Ma’rifati
Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz )”, Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2016, hlm. 47-50.

3
tasawuf, maupun fiqh. Dari beberapa karya tersebut bahasa yang digunakan pun
bervariasi, ada yang menggunakan bahasa Arab, ada yang berbahasa Jawa
bertuliskan Arab Pegon, ada yang berbahasa Indonesia bertuliskan Arab Pegon,
dan ada juga yang berbahasa Indonesia bertuliskan Latin. Nah, dari sekian banyak
karya yang dihasilkan oleh Bisri Mustafa, kitab tafsir al-Ibriz lah yang
menggunakan bahasa Jawa bertuliskan Arab Pegon. Kitab inilah yang kemudian
melonjakkan nama beliau di kalangan masyarakat, khususnya di pesantren Jawa.
Menariknya, selain digunakan oleh masyarakat Jawa pada umumnya, ternyata
kitab ini juga banyak mendapat perhatian dari para cendekiawan seperti Hasbi as-
Siddiqi, Khadijah Nasution, dan Martin Van Bruinessen. Selain itu juga, dalam
surat yang dikirimkan oleh Ulil Abshor Abdalla yang merupakan menantu dari
Mustafa Bisri (Gus Mus) dari Boston, Amerika Serikat menyatakan bahwa ada
seorang professor muda yang sangat tertarik kepada tafsir al-Ibriz dan meminta
Ulil untuk menerjemahkan sebagian dari tafsir al-Ibriz untuk dimasukkan dalam
buku yang sudah dipersiapkan terbit dalam beberapa tahun mendatang.2 Tidak
diketahui secara pasti kitab tafsir al-Ibriz ini ditulis, tetapi kitab tafsir ini selesai
ditulis pada tanggal 28 Januari 1960.

Oleh Mustafa Bisri, seperti dinyatakan dalam kata pengantar, karya tafsir
ini sengaja ditulis dalam Bahasa Jawa, dengan tujuan supaya orang-orang lokal,
Jawa, mampu memahami kandungan al-Qur’an dengan seksama. Karya tafsir ini
ditampilkan dengan ungkapan yang ringan dan gampang dicerna oleh orang awam
sekalipun. Dan sebagai penguatan argumentasi di dalam karya ini, Bisri Mustafa
banyak menukil hasil pemikiran ulama-ulama sebelumnya.

Dalam hal ini, Bisri Mustafa menuturkan, “Dene bahan-bahanipun


tarjamah tafsir ingkang kawulo segahaken puniko, mboten sanes inggih naming
metik saking tafsir-tafsir mu’tabarah, kados Tafsir al-Jalalain, Tafsir al-Baidhowi,
Tafsir al-Khazin, lan sak panunggilanipun”. (Adapun bahan-bahan terjemah tafsir
yang kami suguhkan ini, tak lain hanya memetik dari kitab-kitab tafsir yang

2
Hairul Umamah, “Penafsiran Al-Hikmah dalam Al-Qur’an (Studi Kitab Tafsir Al-Ibriz li Ma’rifati
Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz ), hlm. 57.

4
mu’tabar, seperti Tafsir al-Jalalain, Tafsir al-Baidhowi, Tafsir al-Khazin, dan
sebagainya. Dari tuturan ini, dua point penting bisa diambil: karya ini disebutnya
sebagai tarjamah-tafsir dan bahan-bahannya diambil dari tafsir-tafsir mu’tabar
karya para ulama terdahulu.

Namun demikian, bukan berarti pemikiran Bisri Mustafa tenggelam sama


sekali ditelan gelombang pemikiran ulama-ulama sebelumnya. Ungkapan itu tak
lain sebagai penggambaran atau tepatnya pengakuan, bahwa tafsirnya lebih
banyak menukil pendapat ulama-ulama sebelumnya ketimbang pendapat
pribadinya. Hanya saja sayangnya, Bisri Mustafa jarang sekali menyebutkan
sumber-sumber asal penafsirannya, misalnya ada kitab ini atau itu. Ketiadaan
penyebutan sumber ini, pada akhirnya akan memberi kesan bahwa kitab al-Ibriz
memang betul-betul murni pemikiran sang penulis dan bukan hasil ‘cukilan’ dari
kitab-kitab tafsir sebelumnya. Jarangnya penyebutan sumber ini, praktis
menyisakan kesulitan tersendiri bagi penulis untuk melacak warna pemikiran
yang bertaburan dalam tafsir al-Ibriz ini. Pemikiran al-Suyuti, al-Khazin, atau al-
Baidhawi kah yang paling dominan mewarnai al-Ibriz, semuanya masih samar-
samar.

Adapun kegiatan penyusunan kitab tafsir ini dibantu oleh santrinya Kyai
Wildan dari Kendal dan Kyai Bakir dari Comal Pemalang3. Setidaknya,
kemunculan tafsir al-Ibriz ini bisa dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu eksternal dan
internal.

1. Eksternal: kekrisisan sedang melanda bangsa dan tanah air Indonesia, baik
dari faktor ekonomi, politik dan sosial budaya. Masyarakat muslim tidak
mampu untuk menggali pesan-pesan al-Qur’an dikarenakan rendahnya
pemahaman umat pada masa itu. Beliau menulis kitab tafsir ini dengan
bahasa daerah Jawa supaya masyarakat dapat memahami dan mengerti
pesan-pesan al-Qur’an dengan mudah.

3
Mohammad Sholihin, Penafsiran KH. Bisri Mustafa terhadap Ayat-ayat Mutasyabihat dalam
Tafsir al-Ibriz. Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007.

5
2. Internal: kehidupannya sebagai manusia yang dengan berusaha untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Dengan menulis kitab tafsir ini beliau mampu
mencukupi kehidupan rumah tangganya, sehingga ia dapat membeli tanah,
membangun rumah dan menyekolahkan anaknya, di samping imbalan
pahala yang menjadi harapannya4.
b. Sistematika Tafsir al-Ibriz

Sebuah kitab tafsir yang ditulis oleh seorang mufassir pastinya memiliki
sistematika yang berbeda-beda satu sama lain. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh
perbedaan latar belakang pengetahuan, pengalaman serta tujuan yang ingin
dicapai. Adapun sistematika yang digunakan oleh Bisri Musatafa dalam kitab
tafsir al-Ibriznya dapat dijumpai dalam muqaddimah tafsirnya yang dipaparkan
secara jelas, di antaranya, yakni:

1. Dipun serat ing tengah mawi makna gandul (Al-Qur’an ditulis di bagian
tengah dengan menggunakan makna gandul)
2. Tarjamahipun tafsir kaserat ing pinggir kanthi tandha nomor, nomoripun
ayat dhumawah ing akhiripun. Nomor tarjamah ing awalipun. (Terjemah
tafsir ditulis di pinggir dengan menggunakan tanda nomor di mana nomor
ayat terletak di akhir, sedangkan nomor terjemah terletak di awal).
3. Keterangan-keterangan sanes mawi tandha tanbihun, fa’idah, muhimmah,
qishshah, lak sak panunggalipun. (Keterangan-keterangan lain
menggunakan tanbih, faidah, muhimmah, qishshah, dll.)

Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, pertama-tama Bisri Mustafa


menulis redaksi ayat secara sempurna terlebih dahulu, kemudian diterjemahkan
kata per kata menggunakan bahasa jawa bertuliskan Arab pegon secara miring ke
bawah lengkap dengan dhamirnya, inilah yang biasanya disebut dengan makna
gandul. Selanjutnya pada bagian luar kolom (kanan kiri) diberikan keterangan dan
penjelasan dan kadang-kadang juga diberikan contoh kisah yang ada kaitannya
dengan pokok pembahasan serta persoalan yang ada di masyarakat. Jika

4
Nur Said Anshori, Penafsiran Ayat-Ayat Tentang Syirik (Kajian Tafsir al-Ibriz Karya Bisri
Mustafa), Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2008.

6
dicermati, dapat dikatakan bahwa sistematika yang digunakan Bisri Mustafa
dalam kitab tafsirnya sangat kental dengan nuansa kedaerahan dan
ketradisionalannya yang bercorak kepesantrenan. Adapun dalam menafsirkan
ayat, beliau menggunakan tartib mushafi, dengan urut dimulai dengan surat al-
Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.

c. Metode dan Corak

Adapun metode yang digunakan oleh Bisri Mustafa adalah metode tafsir
tahlili (analitis) yang memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosakata
diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat yang disertai dengan
membahas munasabah ayat. Di samping itu juga mengemukakan asbabun-nuzul
dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, sahabat, dan para tabi’in.

Sejauh pengamatan penulis, corak tafsir al-Ibriz tidak memiliki


kecenderungan dominan pada satu corak tertentu. Al-Ibriz cenderung bercorak
kombinasi antara fiqhi, adabi ijtima’i (sosial-kemasyarakatan) dan shufi. Dalam
artian, penafsir akan memberikan tekanan khusus pada ayat-ayat tertentu yang
bernuansa hukum, tasawuf atau sosial kemasyarakatan. Corak kombinasi antara
fiqhi, adabi ijtima’i dan shufi ini harus diletakkan dalam artian yang sangat
sederhana. Sebab jika dibandingkan dengan kitab-kitab tafsir yang bercorak
tertentu sangat kuat seperti misalnya tafsir Ahkam al-Qur’an karya al-Jashshash
yang bercorak fiqhi, maka tafsir al-Ibriz jauh berada di bawahnya.

d. Sumber Penafsiran
Para ulama tafsir mengatakan bahwa mengetahui sumber-sumber tafsir
merupakan salah satu syarat harus dimiliki seorang mufassir, sumber-sumber
tafsir tersebut dapat dijadikan referensi bagi produk-produk penafsiran. Hal ini
dimaksudkan agar dapat memahami dan menafsirkan al-Qur’an, mufassir tersebut
dapat menghasilkan suatu produk penafsiran yang dapat di pertanggungjawabkan.
Dalam penulisan tafsir al-Ibriz ini, penulis melihat bahwasanya Bisri Mustofa
menggunakan beberapa sumber penafsiran, di antaranya:
1. Al-Qur’an

7
2. Hadis Nabi
3. Riwayat sahabat dan tabi’in
4. Kisah-kisah israiliyyat
5. Pendapat mufassir terdahulu

Kesimpulan

Dari beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:


Tafsir al-Ibriz karya KH. Bisri Mustafa disusun dengan menggunakan metode
tahlili, yakni suatu metode yang menjelaskan al-Qur’an secara kata per-kata
sesuai tertib susunan ayat al-Qur’an, dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiiri
surah an-Nas. Makna kata per-kata disusun dengan sistem makna gandul di dalam
kolom, sedangkan penjelasannya (tafsirnya) diletakkan di bagian luarnya. Makna
gandul ini dibarengi dengan analisis bahasa yang berguna untuk mengungkap
struktur bahasa. Dari sisi karakteristik, tafsir al-Ibriz sangat sederhana dalam
menjelaskan kandungan ayat al-Qur’an. Corak tafsirnya tidak memiliki
kecenderungan dominan pada satu corak tertentu, bisa dikatakan tafsir ini
merupakan kombinasi berbagai corak tafsir tergantung isi tekstualnya. Adapun
sumber penafsiran yang digunakan oleh Bisri Mustafa dalam tafsir al-Ibriz adalah
Al-Qur’an, hadis Nabi, riwayat sahabat dan tabi’I, kisah-kisah israiliyyat, dan
pendapat mufassir terdahulu.

8
9

Anda mungkin juga menyukai