Anda di halaman 1dari 7

PERGAULAN LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN

Dr. Yusuf Qardhawi (1/3)


 
PERTANYAAN
 
Banyak perkataan dan fatwa seputar masalah (boleh tidaknya)
laki-laki bergaul dengan perempuan (dalam satu tempat). Kami
dengar diantara ulama ada yang mewajibkan wanita untuk tidak
keluar dari rumah kecuali ke kuburnya, sehingga ke masjid
pun mereka dimakruhkan. Sebagian lagi ada yang
mengharamkannya, karena takut fitnah dan kerusakan zaman.
 
Mereka mendasarkan pendapatnya pada perkataan Ummul Mu'minin
Aisyah r.a.: "Seandainya Rasulullah saw. mengetahui apa yang
diperbuat kaum wanita sepeninggal beliau, niscaya beliau
melarangnya pergi ke masjid."
 
Kiranya sudah tidak samar bagi Ustadz bahwa wanita juga
perlu keluar rumah ketengah-tengah masyarakat untuk belajar,
bekerja, dan bersama-sama di pentas kehidupan. Jika itu
terjadi, sudah tentu wanita akan bergaul dengan laki-laki,
yang boleh jadi merupakan teman sekolah, guru, kawan kerja,
direktur perusahaan, staf, dokter dan sebagainya.
 
Pertanyaan kami, apakah setiap pergaulan antara laki-laki
dengan perempuan itu terlarang atau haram? Apakah mungkin
wanita akan hidup tanpa laki-laki, terlebih pada zaman yang
kehidupan sudah bercampur aduk sedemikian rupa? Apakah
wanita itu harus selamanya dikurung dalam sangkar, yang
meskipun berupa sangkar emas, ia tak lebih sebuah penjara?
Mengapa laki-laki diberi sesuatu (kebebasan) yang tidak
diberikan kepada wanita? Mengapa laki-laki dapat
bersenang-senang dengan udara bebas, sedangkan wanita
terlarang menikmatinya? Mengapa persangkaan jelek itu selalu
dialamatkan kepada wanita, padahal kualitas keagamaan,
pikiran, dan hati nurani wanita tidak lebih rendah daripada
laki-laki?
 
Wanita - sebagaimana laki-laki - punya agama yang
melindunginya, akal yang mengendalikannya, dan hati nurani
(an-nafs al-lawwamah) yang mengontrolnya. Wanita,
sebagaimana laki-laki, juga punya gharizah atau keinginan
yang mendorong pada perbuatan buruk (an-nafs al-ammarah
bis-su). Wanita dan laki-laki sama-sama punya setan yang
dapat menyulap kejelekan menjadi keindahan serta membujuk
rayu mereka.
 
Yang menjadi pertanyaan, apakah semua peraturan yang ketat
untuk wanita itu benar-benar berasal dari hukum Islam?
 
Kami mohon Ustadz berkenan menjelaskan masalah ini, dan
bagaimana seharusnya sikap kita? Dengan kata lain, bagaimana
pandangan syariat terhadap masalah ini? Atau, bagaimana
ketentuan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi yang sahih, bukan kata
si Zaid dan si Amr.
 
Semoga Allah memberi taufik kepada Ustadz untuk menjelaskan
kebenaran dengan mengemukakan dalil-dalilnya.
 
JAWABAN
 
Kesulitan kita - sebagaimana yang sering saya kemukakan -
ialah bahwa dalam memandang berbagai persoalan agama,
umumnya masyarakat berada dalam kondisi ifrath (berlebihan)
dan tafrith (mengabaikan). Jarang sekali kita temukan sikap
tawassuth (pertengahan) yang merupakan salah satu
keistimewaan dan kecemerlangan manhaj Islam dan umat Islam.
 
Sikap demikian juga sama ketika mereka memandang masalah
pergaulan wanita muslimah di tengah-tengah masyarakat. Dalam
hal ini, ada dua golongan masyarakat yang saling
bertentangan dan menzalimi kaum wanita.
 
Pertama, golongan yang kebarat-baratan yang menghendaki
wanita muslimah mengikuti tradisi Barat yang bebas tetapi
merusak nilai-nilai agama dan menjauh dari fitrah yang lurus
serta jalan yang lempang. Mereka jauh dari Allah yang telah
mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya untuk
menjelaskan dan menyeru manusia kepada-Nya.
 
Mereka menghendaki wanita muslimah mengikuti tata kehidupan
wanita Barat "sejengkal demi sejengkal, sehasta demi
sehasta" sebagaimana yang digambarkan oleh hadits Nabi,
sehingga andaikata wanita-wanita Barat itu masuk ke lubang
biawak niscaya wanita muslimah pun mengikuti di belakangnya.
Sekalipun lubang biawak tersebut melingkar-lingkar, sempit,
dan pengap, wanita muslimah itu akan tetap merayapinya. Dari
sinilah lahir "solidaritas" baru yang lebih dipopulerkan
dengan istilah "solidaritas lubang biawak."
 
Mereka melupakan apa yang dikeluhkan wanita Barat sekarang
serta akibat buruk yang ditimbulkan oleh pergaulan bebas
itu, baik terhadap wanita maupun laki-laki, keluarga, dan
masyarakat. Mereka sumbat telinga mereka dari
kritikan-kritikan orang yang menentangnya yang datang silih
berganti dari seluruh penjuru dunia, termasuk dari Barat
sendiri. Mereka tutup telinga mereka dari fatwa para ulama,
pengarang, kaum intelektual, dan para muslihin yang
mengkhawatirkan kerusakan yang ditimbulkan peradaban Barat,
terutama jika semua ikatan dalan pergaulan antara laki-laki
dan perempuan benar-benar terlepas.
 
Mereka lupa bahwa tiap-tiap umat memiliki kepribadian
sendiri yang dibentuk oleh aqidah dan pandangannya terhadap
alam semesta, kehidupan, tuhan, nilai-nilai agama, warisan
budaya, dan tradisi. Tidak boleh suatu masyarakat melampaui
tatanan suatu masyarakat lain.
 
Kedua, golongan yang mengharuskan kaum wanita mengikuti
tradisi dan kebudayaan lain, yaitu tradisi Timur, bukan
tradisi Barat. Walaupun dalam banyak hal mereka telah
dicelup oleh pengetahuan agama, tradisi mereka tampak lebih
kokoh daripada agamanya. Termasuk dalam hal wanita, mereka
memandang rendah dan sering berburuk sangka kepada wanita.
 
Bagaimanapun, pandangan-pandangan diatas bertentangan dengan
pemikiran-pemikiran lain yang mengacu pada Al-Qur'anul Karim
dan petunjuk Nabi saw. serta sikap dan pandangan para
sahabat yang merupakan generasi muslim terbaik.
 
Ingin saya katakan disini bahwa istilah ikhtilath
(percampuran) dalam lapangan pergaulan antara laki-laki
dengan perempuan merupakan istilah asing yang dimasukkan
dalam "Kamus Islam." Istilah ini tidak dikenal dalam
peradaban kita selama berabad-abad yang silam, dan baru
dikenal pada zaman sekarang ini saja. Tampaknya ini
merupakan terjemahan dari kata asing yang punya konotasi
tidak menyenangkan terhadap perasaan umat Islam. Barangkali
lebih baik bila digunakan istilah liqa' (perjumpaan),
muqabalah (pertemuan), atau musyarakrah (persekutuan)
laki-laki dengan perempuan.
 
Tetapi bagaimanapun juga, Islam tidak menetapkan hukum
secara umum mengenai masalah ini. Islam justru
memperhatikannya dengan melihat tujuan atau kemaslahatan
yang hendak diwujudkannya, atau bahaya yang
dikhawatirkannya, gambarannya, dan syarat-syarat yang harus
dipenuhinya, atau lainnya.
 
Sebaik-baik petunjuk dalam masalah ini ialah petunjuk Nabi
Muhammad saw., petunjuk khalifah-khalifahnya yang lurus, dan
sahabat-sahabatnya yang terpimpin.
 
Orang yang mau memperhatikan petunjuk ini, niscaya ia akan
tahu bahwa kaum wanita tidak pernah dipenjara atau diisolasi
seperti yang terjadi pada zaman kemunduran umat Islam.
 
Pada zaman Rasulullah saw., kaum wanita biasa menghadiri
shalat berjamaah dan shalat Jum'at. Beliau saw. menganjurkan
wanita untuk mengambil tempat khusus di shaf (baris)
belakang sesudah shaf laki-laki. Bahkan, shaf yang paling
utama bagi wanita adalah shaf yang paling belakang. Mengapa?
Karena, dengan paling belakang, mereka lebih terpelihara
dari kemungkinan melihat aurat laki-laki. Perlu diketahui
bahwa pada zaman itu kebanyakan kaum laki-laki belum
mengenal celana.
 
Pada zaman Rasulullah saw. (jarak tempat shalat) antara
laki-laki dengan perempuan tidak dibatasi dengan tabir sama
sekali, baik yang berupa dinding, kayu, kain, maupun
lainnya. Pada mulanya kaum laki-laki dan wanita masuk ke
masjid lewat pintu mana saja yang mereka sukai, tetapi
karena suatu saat mereka berdesakan, baik ketika masuk
maupun keluar, maka Nabi saw. bersabda:
 
"Alangkah baiknya kalau kamu jadikan pintu ini untuk wanita"
 
Dari sinilah mula-mula diberlakukannya pintu khusus untuk
wanita, dan sampai sekarang pintu itu terkenal dengan
istilah "pintu wanita."
PERGAULAN LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN Dr. Yusuf Qardhawi
(2/3)
 
Kaum wanita pada zaman Nabi saw. juga biasa menghadiri
shalat Jum'at, sehingga salah seorang diantara mereka ada
yang hafal surat "Qaf." Hal ini karena seringnya mereka
mendengar dari lisan Rasulullah saw. ketika berkhutbah
Jum'at.
 
Kaum wanita juga biasa menghadiri shalat Idain (Hari Raya
Idul Fitri dan Idul Adha). Mereka biasa menghadiri hari raya
Islam yang besar ini bersama orang dewasa dan anak-anak,
laki-laki dan perempuan, di tanah lapang dengan bertahlil
dan bertakbir.
 
Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Athiyah, katanya:
 
"Kami diperintahkan keluar (untuk menunaikan shalat dan
mendengarkan khutbah) pada dua hari raya, demikian pula
wanita-wanita pingitan dan para gadis."
 
Dan menurut satu riwayat Ummu Athiyah berkata:
 
"Rasulullah saw. menyuruh kami mengajak keluar kaum wanita
pada hari raya Fitri dan Adha, yaitu wanita-wanita muda,
wanita-wanita yang sedang haid, dan gadis-gadis pingitan.
Adapun wanita-wanita yang sedang haid, mereka tidak
mengerjakan shalat, melainkan mendengarkan nasihat dan
dakwah bagi umat Islam (khutbah, dan sebagainya). Aku (Ummu
Athiyah) bertanya, 'Ya Rasulullah salah seorang diantara
kami tidak mempunyai jilbab.' Beliau menjawab, 'Hendaklah
temannya meminjamkan jilbab yang dimilikinya.'"1
 
Ini adalah sunnah yang telah dimatikan umat Islam di semua
negara Islam, kecuali yang belakangan digerakkan oleh
pemuda-pemuda Shahwah Islamiyyah (Kebangkitan Islam). Mereka
menghidupkan sebagian sunnah-sunnah Nabi saw. yang telah
dimatikan orang, seperti sunnah i'tikaf pada sepuluh hari
terakhir bulan Ramadhan dan sunnah kehadiran kaum wanita
pada shalat Id.
 
Kaum wanita juga menghadiri pengajian-pengajian untuk
mendapatkan ilmu bersama kaum laki-laki di sisi Nabi saw.
Mereka biasa menanyakan beberapa persoalan agama yang
umumnya malu ditanyakan oleh kaum wanita. Aisyah r.a. pernah
memuji wanita-wanita Anshar yang tidak dihalangi oleh rasa
malu untuk memahami agamanya, seperti menanyakan masalah
jinabat, mimpi mengeluarkan sperma, mandi junub, haid,
istihadhah, dan sebagainya.
 
Tidak hanya sampai disitu hasrat mereka untuk menyaingi kaum
laki-laki dalam menimba-ilmu dari Rasululah saw. Mereka juga
meminta kepada Rasulullah saw. agar menyediakan hari
tertentu untuk mereka, tanpa disertai kaum laki-laki. Hal
ini mereka nyatakan terus terang kepada Rasulullah saw.,
"Wahai Rasulullah, kami dikalahkan kaum laki-laki untuk
bertemu denganmu, karena itu sediakanlah untuk kami hari
tertentu untuk bertemu denganmu." Lalu Rasulullah saw.
menyediakan untuk mereka suatu hari tertentu guna bertemu
dengan mereka, mengajar mereka, dan menyampaikan
perintah-perintah kepada mereka.2
 
Lebih dari itu kaum wanita juga turut serta dalam perjuangan
bersenjata untuk membantu tentara dan para mujahid, sesuai
dengan kemampuan mereka dan apa yang baik mereka kerjakan,
seperti merawat yang sakit dan terluka, disamping memberikan
pelayanan-pelayanan lain seperti memasak dan menyediakan air
minum. Diriwayatkan dari Ummu Athiyah, ia berkata:
 
"Saya turut berperang bersama Rasulullah saw. sebanyak tujuh
kali, saya tinggal di tenda-tenda mereka, membuatkan mereka
makanan, mengobati yang terluka, dan merawat yang sakit."3
 
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Anas:
 
"Bahwa Aisyah dan Ummu Sulaim pada waktu perang Uhud sangat
cekatan membawa qirbah (tempat air) di punggungnya kemudian
menuangkannya ke mulut orang-orang, lalu mengisinya lagi."4
 
Aisyah r.a. yang waktu itu sedang berusia belasan tahun
menepis anggapan orang-orang yang mengatakan bahwa
keikutsertaan kaum wanita dalam perang itu terbatas bagi
mereka yang telah lanjut usia. Anggapan ini tidak dapat
diterima, dan apa yang dapat diperbuat wanita-wanita yang
telah berusia lanjut dalam situasi dan kondisi yang menuntut
kemampuan fisik dan psikis sekaligus?
 
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa enam orang wanita mukmin turut
serta dengan pasukan yang mengepung Khaibar. Mereka memungut
anak-anak panah, mengadoni tepung, mengobati yang sakit,
mengepang rambut, turut berperang di jalan Allah, dan Nabi
saw memberi mereka bagian dari rampasan perang.
 
Bahkan terdapat riwayat yang sahih yang menceritakan bahwa
sebagian istri para sahabat ada yang turut serta dalam
peperangan Islam dengan memanggul senjata, ketika ada
kesempatan bagi mereka. Sudah dikenal bagaimana yang
dilakukan Ummu Ammarah Nusaibah binti Ka'ab dalam perang
Uhud, sehingga Nabi saw. bersabda mengenai dia, "Sungguh
kedudukannya lebih baik daripada si Fulan dan si Fulan."
 
Demikian pula Ummu Sulaim menghunus badik pada waktu perang
Hunain untuk menusuk perut musuh yang mendekat kepadanya.
 
Imam Muslim meriwayatkan dari Anas, anaknya (anak Ummu
Sulaim) bahwa Ummu Sulaim menghunus badik pada waktu perang
Hunain, maka Anas menyertainya. Kemudian suami Ummu Sulaim
Abu Thalhah, melihatnya lantas berkata, "Wahai Rasulullah,
ini Ummu Sulaim membawa badik." Lalu Rasululah saw. bertanya
kepada Ummu Sulaim, "Untuk apa badik ini? Ia menjawab, "Saya
mengambilnya, apabila ada salah seorang musyrik mendekati
saya akan saya tusuk perutnya dengan badik ini." Kemudian
Rasulullah saw. tertawa.5
 
Imam Bukhari telah membuat bab tersendiri didalam Shahih-nya
mengenai peperangan yang dilakukan kaum wanita.
 
Ambisi kaum wanita muslimah pada zaman Nabi saw. untuk turut
perang tidak hanya peperangan dengan negara-negara tetangga
atau yang berdekatan dengan negeri Arab seperti Khaibar dan
Hunain saja tetapi mereka juga ikut melintasi lautan dan
ikut menaklukkan daerah-daerah yang jauh guna menyampaikan
risalah Islam.
 
Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Anas bahwa
pada suatu hari Rasulullah saw. tidur siang di sisi Ummu
Haram binti Mulhan - bibi Anas - kemudian beliau bangun
seraya tertawa. Lalu Ummu Haram bertanya, "Mengapa engkau
tertawa, wahai Rasulullah?" Beliau bersabda, "Ada beberapa
orang dari umatku yang diperlihatkan kepadaku berperang fi
sabilillah. Mereka menyeberangi lautan seperti raja-raja
naik kendaraan." Ummu Haram berkata, "Wahai Rasulullah,
doakanlah kepada Allah agar Dia menjadikan saya termasuk
diantara mereka." Lalu Rasulullah saw. mendoakannya.6
 
Dikisahkan bahwa Ummu Haram ikut menyeberangi lautan pada
zaman Utsman bersama suaminya Ubadah bin Shamit ke Qibris.
Kemudian ia jatuh dari kendaraannya (setelah menyeberang)
disana, lalu meninggal dan dikubur di negeri tersebut,
sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli sejarah.7
 
Dalam kehidupan bermasyarakat kaum wanita juga turut serta
berdakwah: menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari
perbuatan munkar, sebagaimana firman Allah:
 
"Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan
sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang
lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah
dari yang munkar..." (at-Taubah: 71 )
 
Diantara peristiwa yang terkenal ialah kisah salah seorang
wanita muslimah pada zaman khalifah Umar bin Khattab yang
mendebat beliau di sebuah masjid. Wanita tersebut menyanggah
pendapat Umar mengenai masalah mahar (mas kawin), kemudian
Umar secara terang-terangan membenarkan pendapatnya, seraya
berkata, "Benar wanita itu, dan Umar keliru." Kisah ini
disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam menafsirkan surat
an-Nisa', dan beliau berkata, "Isnadnya bagus." Pada masa
pemerintahannya, Umar juga telah mengangkat asy-Syifa binti
Abdullah al-Adawiyah sebagai pengawas pasar.
 
Orang yang mau merenungkan Al-Qur'an dan hadits tentang
wanita dalam berbagai masa dan pada zaman kehidupan para
rasul atau nabi, niscaya ia tidak merasa perlu mengadakan
tabir pembatas yang dipasang oleh sebagian orang antara
laki-laki dengan perempuan.
 
Kita dapati Musa - ketika masih muda dan gagah perkasa -
bercakap-cakap dengan dua orang gadis putri seorang syekh
yang telah tua (Nabi Syusaib; ed.). Musa bertanya kepada
mereka dan mereka pun menjawabnya dengan tanpa merasa
berdosa atau bersalah, dan dia membantu keduanya dengan
sikap sopan dan menjaga diri. Setelah Musa membantunya,
salah seorang di antara gadis tersebut datang kepada Musa
sebagai utusan ayahnya untuk memanggil Musa agar menemui
ayahnya. Kemudian salah seorang dari kedua gadis itu
mengajukan usul kepada ayahnya agar Musa dijadikan
pembantunya, karena dia seorang yang kuat dan dapat
dipercaya.
 
Marilah kita baca kisah ini dalam Al-Qur'an:
 
"Dan tatkala ia (Musa) sampai di sumber air negeri Madyan ia
menjumpai disana sekumpulan orang yang sedang meminumi
(ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu,
dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa
berkata, 'Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu.?)' Kedua
wanita itu menjawab, 'Kami tidak dapat meminumi (ternak
kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan
(ternaknya), sedangkan bapak kami adalah orang tua yang
telah lanjut umurnya.' Maka Musa memberi minum ternak itu
untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat
yang teduh lalu berdoa, 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat
memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.'
Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua
wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata, 'Sesungguhnya
bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap
(kebaikan)-mu memberi minum (ternak)kami.' Maka tatkala Musa
mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya
cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata, 'Janganlah kamu
takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu.'
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, 'Ya bapakku,
ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena
sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya.'" (al-Qashash: 23-26)
 
(Bagian 1/3, 2/3, 3/3)
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
 

Anda mungkin juga menyukai