Anda di halaman 1dari 19

PROPOSAL SKRIPSI

KHITAN BAGI PEREMPUAN DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM DAN


FIQIH PEREMPUAN

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Penelitian

Oleh:
Ratna
NIM. 19112111012

Pembimbing:
1. Jakaria M.Sali, M.Ud
2. Dr. Iskandar, M.Sy

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSYIYAH


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUPANG

2022
A. Latar Belakang
Khitan yang dalam bahasa lain sering juga disebut sunat, merupakan
amalan atau praktik yang sudah sangat lama dikenal dalam masyarakat
manusia, dan diakui oleh agama-agama di dunia. Khitan tidak hanya
diberlakukan untuk laki-laki, tetapi juga bagi anak perempuan. Bahkan dalam
berbagai kebudayaan, khitan dianggap sebagai peristiwa penting layaknya
suatu peristiwa perkawinan. Kesakralan khitan tampak dalam perayaan
upacara yang diselenggarakan untuk peristiwa satu ini. Akan tetapi, fenomena
kesakralan tersebut banyak dijumpai hanya untuk khitan laki-laki, sedangkan
untuk perayaan khitan perempuan jarang terlihat atau bahkan sama sekali tidak
pernah dijumpai. Khitan perempuan tidak begitu masyhur sebagaimana khitan
laki-laki.1
Penerapan khitan pada umat muslim dilakukan pertama kali oleh Nabi
Ibrahim As. yang sejak itu kaum muslim diperintahkan untuk mengikutinya.
Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 123 yang berbunyi:
ْ ‫ثُ َّم اَ ْو َح ْينَٓا اِلَيْكَ اَ ِن اتَّبِ ْع ِملَّةَ اِ ْب ٰر ِه ْي َم َحنِ ْيفًا ۗ َو َما َكانَ ِمنَ ا ْل ُم‬
َ‫ش ِر ِكيْن‬ 2

Khitan berawal pada tradisi Nabi Ibrahim as. Beliau adalah orang yang
pertama kali dikhitan. Pelaksanaan khitan Nabi Ibrahim AS tersebut menjadi
simbol dan tanda ikatan perjanjian suci (mitsaq) antara dia dengan Allah.
Khitan adalah suatu kegiatan yang telah menjadi tradisi di berbagai belahan
dunia dan sampai sekarang masih di lakukan oleh penganut Islam, Yahudi,
dan sebagian penganut Kristen. Namun bagi penganut Koptik Kristen dan
Yahudi, khitan bukanlah hanya sebagai suatu proses bedah kulit bersifat fisik
semata, akan tetapi juga menunjuk arti dan esensi kesucian.3
Khitan laki-laki adalah pemotongan kulit pada ujung kemaluan laki-
laki (kulup) dengan tujuan untuk meningkatkan kesehatan dan memperoleh
kenikmatan jima‟ yang optimal. Sedangkan khitan perempuan ialah tradisi
kuno yang dilakukan dengan menggores bagian ujung faraj-nya.4

1
Faqihuddin Abdul Kodir, Qira‟ah Mubadalah, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2019), hal. 613.
2
Terj : ”Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim
seorang yang lurus”. (QS. An-Nahl : 123).
3
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan Refleksi Kiai Atas Tafsir Wacana Agama Dan
Gender, Yogyakarta: IRCiSoD, 2019), hal. 101-102.
4
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Cairo: Dar al-Fikr, 1987), Juz I, hal. 36.

1
Khitan tidak hanya berlaku untuk laki-laki, akan tetapi juga untuk anak
perempuan. Praktik khitan pada perempuan telah lama dikenal sejak zaman
Mesir Kuno. Hal itu di buktikan dengan ditemukannya fenomena khitan pada
mummi perempuan yang hidup pada abad ke-16 SM (16 SM) jauh sebelum
Islam datang. Praktik khitan ini juga masih berlangsung di beberapa Negara
Arab seperti Sudan, Yaman, dan sebagian Negara Teluk dan bahkan di
Indonesia.5
Khitan bagi perempuan merupakan implementasi pemikiran yang
salah, yang tersebar di tengah-tengah pemeluk agama lain. Tradisi khitan
selain terjadi pada bangsa Arab Jahiliyah, juga merupakan suatu kebiasaan
yang terjadi sebelum Islam, kebiasaan Fir’aun, bangsa Sudan dan Venesia.
Mereka mengkhitan perempuan dengan cara yang berbeda-beda. Setelah
memeluk agama Islam, mayoritas mereka tetap melestarikan budaya ini,
sehingga mereka disadarkan oleh generasi-generasi sesudahnya, dan pada
akhirnya mereka yakin bahwa budaya khitan pada perempuan ini bukan
merupakan ajaran islam. Sebab dalam Islam tidak ada perintah yang
mengharuskan ataupun melarang khitan bagi perempuan.6
Terkait hukum khitan bagi perempuan, para ulama pun berbeda
pendapat. Namun umumnya, di kalangan masyarakat yang mempraktikkannya
ada kepercayaan, jika organ vital bagian luar (external genital) perempuan
dikhitan, maka hal itu dapat menenangkan nafsu seksual dan dapat membantu
mereka untuk mudah mengendalikannya, sehingga mereka tetap dapat
menjaga kehormatan dirinya sampai menikah (makrumah).7
Khitan perempuan pada mulanya hanya merupakan tradisi masyarakat,
bukan ajaran agama. Akan tetapi ketika agama berjumpa dengan tradisi itu,
maka kemudian agama memberi respon. Respon agama yang mengakomodir
tradisi itu kemudian menjadi ajaran. Ketika ajaran itu tersebar ke wilayah lain
di luar masyarakat yang mempraktikkan khitan perempuan tersebut, maka

5
Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual (Jakarta: Gema Insani, 2003), hal. 303.
6
Ajen Dianawati. Pengetahuan Populer Remaja: Pendidikan Seks Untuk Remaja.
(Tanggerang: Kawan Pustaka, 2003) hal.15
7
Masayu Maishita Maisarah, “Polemik Khitan Perempuan: Tinjaun dari Berbagai
Aspe”, Jurnal Al-Hudda, Vol. 7 (2017) hal.70.

2
ajaran yang semula hanya respon itu juga ikut terbawa menjadi salah satu
ritual keagamaan yang bersifat tradisional.8
Khitan bagi perempuan dilakukan dengan cara memotong bagian dari
kulit yang ada di atas vagina, yaitu di atas pembuka liang vagina.9 Namun
dalam hal ini Rasulallah SAW mengingatkan bahwa dalam memotongnya
tidak boleh berlebihan. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh
Rasulallah dalam sabdanya:

‫اشمى وال تنهكى فان ذلك اححظى للمراة واحب ال البعل‬10

Predikat “kemuliaan/makrumah” dalam hal khitan perempuan secara


sederhana difahami sebagai dukungan para ulama kepada praktik khitan
perempuan. Dukungan ini termasuk suatu hal yang biasa dalam suatu
komunitas budaya, karena perempuan cenderung memiliki kedudukan yang
lemah dan perempuan tersubordinasi oleh kaum laki-laki, oleh karena itu
perempuan dituntut untuk menjaga kesuciannya sebelum adanya ikatan yang
sah, dengan menghilangkan bagian yang mudah terangsang sehingga
menghindarkan perempuan dari godaan yang dapat merusak kehormatannya.11
Khitan dengan pemotongan kulup bagi lelaki secara medis dapat
meningkatkan kesehatan dan akan menambah kenikmatan serta memperlama
berlangsungnya hubungan seksual, sehingga lelaki dapat menikmati
pemenuhan kebutuhan biologisnya secara optimal dan menyenangkan.
Sebaliknya, khitan perempuan justru sangat negatif dari sudut kebutuhan
seksual karena akan mengurangi kenikmatan, bahkan bagi sebagian
perempuan bisa menimbulkan trauma psikologis yang berat dan bahkan
praktik itu dapat berujung kematian.12
Khitan perempuan banyak mengalami pro dan kontra baik dari segi
agama maupun kesehatan. Berbagai penolakan dikalangan organisasi-

8
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996),
hal. 332.
9
Muhammad Azzam Abdul Aziz, Fiqih Ibadah, (Jakarta: Amzah, 2015), hal. 22
10
Terj “jika kamu mengkhitan (perempuan), potonglah pada bagian terdekat, janganlah
kamu memotongnya terlalu dalam, karena hal itu membuat indah wajah dan menyenangkan suami”.
(H.R. Abu Dawud)
11
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Tafsir Wacana Agama
dan Gender,hal. 116.
12
Ibd. Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Tafsir Wacana Agama dan
Gender,hal. 104-105

3
organisasi serta lembaga-lembaga pemberdayaan perempuan dan aktivis
kesetaraan gender. Adanya pendapat bahwa khitan hanya berlaku bagi kaum
pria menimbulkan wacana dan kontroversi dalam beberapa tahun terakhir
sehingga banyaknya tuntutan penghapusan praktik khitan bagi perempuan
oleh berbagai kalangan seringkali mencuat. Alasan yang dikemukakan adalah
bahwa praktik khitan dinilai merusak hak reproduksi perempuan dan
merampas hak kesehatan serta hak kepuasan seksual perempuan.13
Beragam tata cara pelaksanaan khitan bagi perempuan yang tidak
jarang berimplikasi terhadap adanya dlarar (bahaya) bagi perempuan. Dalam
praktik khitan perempuan di Indonesiapun terdapat beragam tata cara ada
yang menggunakan cara menggores, memotong, mengerik, menusuk,
mencubit dan menindik insisi dan eksisi.14
Pada tradisi dimasa silam di Indonesia, pelaksanaan khitan perempuan
dilakukan sebelum mereka memasuki masa mestruasi. Praktik khitan banyak
dilakukan dengan mengandalkan tenaga yang kurang berkompeten, sehingga
tak sedikit dari para perempuan mengalami akibat buruk dari praktik yang di
lakukan.15
Ketepatan teknik atau yang digunakan dalam mengkhitan perempuan
sangatlah penting, selain itu juga harus dilakukan oleh orang yang
berkompeten guna mencegah terjadinya berbagai resiko yang tidak di
inginkan. Hal ini terdapat dalam Bab II pasal 2 ayat (2) dalam Peraturan
Menteri Kesehatan (PMK) No.1636/MENKES/PPER/XI/2010 Tentang Sunat
Perempuan, “tenaga kesehatan tertentu yang dapat memberikan pelayanan
sunat perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dokter, bidan,
dan perawat yang telah memiliki suarat izin praktik, atau suarat izin kerja”.16
Menanggapi PMK No.1636 Tahun 2010 tersebut, Menteri Kesehatan
mengeluarkan peraturan terbarunya yaitu PERMENKES No.6 Tahun 2014
Tentang Pencabutan PERMENKES No.1636/MENKES/PER/XI/2010
13
Mesraini, “Khitan Perempuan: Antara Mitos dan Legitimasi Doktrinal Keislaman”. Jurnal
Perempuan, no. 26 (2002): hal. 23.
14
Agus Hermanto, “Khitan Perempuan Antara Tradisi dan Syari‟ah”. Jurnal Studi Agama
dan Pemikiran Islam, Vol. 10 no. 1 (2016): hal. 258-259.
15
Auf Klarung, “Khitan bagi Perempuan Ditinjau dari Kesehatan dan Islam”,diakses
tanggal 28 April 2020.
16
Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 672, PMK RI
No.1636/MENKES/PER/XI/2010 Tentang Sunat Perempuan, Bab II, Pasal 2, Ayat (2),
tertanggal 28 Desember 2010.

4
Tentang Sunat Perempuan. Menteri menilai, khitan bagi perempuan hingga
saat ini tidak termasuk tindakan kedokteran, karena pelaksanaannya tidak
berdasarkan indikasi medis dan belum terbukti bermanfaat bagi kesehatan.
Selain itu, khitan perempuan juga dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan
dinamika perkembangan kebijakan global.17
Salah seorang Tokoh Feminis Muslim bernama Faqihuddin Abdul
Kodir, dalam bukunya “Qira‟ah Mubadalah”, menjelaskan bahwa khitan
adalah isu kesehatan dan kenikmatan seks. Menurutnya, kaum perempuan
dirugikan dari segi cacat fisik dan kesakitan yang dialami pada saat masih bayi
dan juga dirugikan dalam hal kenikmatan seksual yang diakui sebagai hak
mereka dari segi agama.
Menurut Faqihuddin Abdul Kodir, laki-laki dan perempuan memiliki
hak yang sama untuk memperoleh kesehatan dan kenikmatan seks, maka laki-
laki sebaiknya dikhitan dan perempuan sebaiknya tidak dikhitan. Kendati pun
dikalangan ulama terdapat yang menganjurkan khitan perempuan, tetapi ketika
nyata-nyata khitan perempuan tersebut mengakibatkan kerusakan anatomi
tubuh perempuan, sehingga tidak lagi mampu menikmati seks secara
maksimal, bahkan sebagian praktik bisa membawa pada kematian dan trauma
yang berkepanjangan, maka khitan bisa menjadi haram dan harus dihentikan.18
Trauma yang berkepanjangan dalam hal ini dapat terjadi karena anak
perempuan dikhitan pada masa yang telah melewati batas usia bayi ataupun
balita dan dampak khitan tersebut terhadap kesehatan reproduksi, seperti
pendarahan yang serius, nyeri yang hebat, infeksi luka, gangguan
berhubungan seks, gangguan buang air kecil dan rasa sakit saat menstruasi.
Sekalipun padangan ulama fiqih klasik banyak yang membolehkan,
tetapi sebagian besar ijtihad ulama kontemporer, terutama yang dari Al-Azhar
Mesir, mengharamkan khitan perempuan. Begitu pula dengan Kiai Faqihuddin
Abdul Kodir, beliau berpendapat khitan perempuan bukan bagian dari Agama,
tetapi adata istiadat yang dahulu di bolehkan karena belum di temukan secara
medis relasinya dengan dampak buruk terhadap kesehatan perempuan.
Sekarang, setelah ditemukan secara nyata damapak tersebut, Kiai Faqihuddin
17
Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 185, PERMENKES Nomor
6 Tahun 2014 Tentang Pencabutan PMK Nomor: 1636/MENKES/PER/XI/2010 Tentang Sunat
Perempuan, Menimbang: Huruf (b), tertanggal 7 Februari 2014.
18
Ibd.Faqihuddin Abdul Kodir, Qira‟ah Mubadalah, (Yogyakarta:IRCiSoD,2019): hal. 387

5
memandangnya ssebagai sesuatu yang harus di tinggalkan dan bahkan
dilarang.19
Berdasarkan narasi dan pernyataan di atas, maka penulis tertarik untuk
mengangkat tema tersebut ke dalam sebuah skripsi berjudul Khitan Bagi
Perempuan Dalam Prespektif Hukum Islam Dan Fiqih Perempuan.
B. Rumusan Masalah
Bedasarkan latar belakang yang telah di paparkan diatas, beberapa masalah
yang dapat diidentifikasikan ialah sebagai berikut
1. Bagaimana urgensi Khitan Bagi Perempuan?
2. Bagaimana Pandagan Hukum Islam dan Fiqih Perempuan tentang khitan
perempuan?
C. Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui Urgensi Khitan terhadap Perempuan.
b. Untuk mengetahui bagaimana pandanagan hukum Islam dana Fiqih
perempuan terhadap Khitan Perempuan.
2. Manfaat Penlitian
a. Secara teoris
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan juga
penjelasan mengenai khitan bagi perempuan dalam prespektif Hukum
Islam dan fiqih Wanita, sehingga dapat memberi manfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum islam serta sebagai
bahan bacaan dan kepustakaan.
b. Secara Praktis
a) Untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
b) Memberikan wawasan dan pengalaman praktis dibidang penelitian
mengenai Khitan Bagi Perempuan dalam Preskpektif Hukum Islam
dan Fiqih Perempuan
c) Hasil penelitian ini sangat berarti bagi peneliti karena dapat
menambah wawasan pengetahuan bagi mahasiswa Fakultas Agama
Islam khususnya prodi Ahwal Al- Asyakhshiyah
D. Kerangka Teori

19
Ibd.Faqihuddin Abdul Kodir, Qira‟ah Mubadalah, (Yogyakarta:IRCiSoD,2019): hal. 387-
388

6
1. Pengertian Khitan
Kata khitan berasal dari bahasa arab ً ‫ا‬gg‫ َخ ْتن‬- ُ‫ يختِن‬- َ‫ َختَ ن‬, yang
mempunyai arti memotong. Ada juga yang berpendapat bahwasanya kata
al-khatn untuk anak laki-laki saja sedangkan untuk anak perempuan
menggunakan istilah al-khafadh. Adapun menurut istilah khitoan itu
adalah memotong sebagian anggota tertentu, bagi laki-laki adalah dengan
memotong atau menghilangkan kulit yang menutupi hasyafah (kepala
dzakar) supaya hasyafah tersebut menjadi terbuka. Sedangkan bagi
perempuan adalah dengan memotong sebagian kecil dari kulit colum yang
berbentuk seperti jengger ayam jantan yang berada di atas bagian
kemaluan perempuan supaya colum tersebut terbuka.20
Khitan juga disebut “sunat” merupakan amalan atau praktik yang
sudah dikenal di masyarakat yang telah diakui agama-agama di dunia.
Khitan tidak hanya diberlakukan untuk laki-laki, tetapi juga terhadap
perempuan. Dalam berbagai kebudayaan sering kali dipandang sebagai
peristiwa sakral seperti halnya perkawinan. Kesakralannya tampak dalam
hal-hal yang dilakukan (diselenggarakan) untuk itu. Akan tetapi, fenomena
kesakralan dengan upacaranya itu memang terlihat hanya berlaku pada
khitan anak laki-laki. Untuk khitan anak perempuan jarang terlihat adanya
nuansa sakral tersebut.
Khitan dilakukan dengan memotong sedikit ujung klitoris yang
terletak dibgiaan atas vagina untuk tujuan memperlemah syahwat. Khitan
di sunnahkaan sekaligus berfungsi sebagai kemuliaan.21
Kemudian, khitan menurut syariat sebagaimana didefinisikan oleh
ulama adalah memotong sebagian yang khusu dari anggota tubuh yang
khusus.22 Definisi ini telah dikomentari oleh banyak ulama, diantaranya
yaitu :
1. Al-Mawardi mengatakan, “khitan bagi laki-laki adalah memotong kulit
yang menutupi kepala zakar, dan yang sunnah adalah memotongnya
hingga pangkal kepala zakar, paling sedikit memotong kulit yang

20
Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Anak, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2004) cet 1, hal. 64-
65.
21
Ghozi M, dkk., Fiqih Sunnah Wanita (Jakarta Pusat: Pena Pundi Aksara, 2007), hal.17.
22
Majdi Sayyid Ibrahim, 50 Nasihat Rasulullah untuk Kaum Wanita (Bandung: Mizania,
2007), hal.30.

7
menutupi kepala tersebut. Sedangkan khitan bagi perempuan adalah
memotong kulit yang ada di atas vagina, di atas masuknya zakar.”
2. Imam Al-Haramain mengatakan, “yang semestinya, khitan bagi laki-
laki adalah memotong qalafah, yaitu kulit yang menutupi kepala zakar
hingga tidak terasa sedikit pun kulit yang menutupinya.”
3. Imam An-Nawawi mengatakan, “yang wajib bagi laki-laki adalah
memotong seluruh kulit yang menutupi kepala zakar hingga kelihatan
keseluruhan, dan yang wajib wanita adalah memotong sedikit kulit
yang ada di atas vagina.”23
Dalam ilmu fiqh, Khitan dipahami sebagai memotong sebagian
anggota tubuh tertentu. Pada praktiknya khitan anak laki-laki berbeda
dengan khitan bagi anak wanita, khitan anak laki-laki didefinisikan oleh
al-Mawardi dengan pemotongan kulit yang menutup hasyafah atau kepala
penis, sedangkan bagi seorang wanita adalah dengan memotong bagian
atas (klentit) dari kemaluan seorang wanita diatas tempat masuknya penis,
yang berbentuk seperti biji kurma atau seperti jengger ayam. Sedangkan
menurut Sayyid Sabiq khitan bagi laki laki adalah dengan pemotongan
kulit yang menutupi hasyafah agar tidak menyimpan kotoran dan mudah
untuk dibersihkan ketika kencing, dan dapat menikmati kenikmatan
bersetubuh dan untuk wanita adalah dengan memotong bagian atas dari
kemaluannya.24
Menurut Sayyid Sabiq mengatakan bahwa khitan ialah memotong kulit
yang menutupi ujung kemaluan agar tidak terjadi penumpukan kotoran,
dapat menahan kencing dan memberikan kenikmatan yang luar biasa
dalam bersenggama. Sedangkan untuk perempuan ialah memotong bagian
atas yang muncul ke permukaan dari kemaluan.25
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:

ْ‫شةَ قَالَت‬
َ ‫ب عَنْ عَاِئ‬ َ ‫س ِعي ِد ْب ِن ا ْل ُم‬
ِ َّ‫سي‬ ُ ‫َح َّدثَنَا َأبُو نُ َع ْي ٍم قَا َل َح َّدثَنَا‬
َ ْ‫س ْفيَانُ عَنْ َعلِ ِّي ْب ِن زَ ْي ٍد عَن‬

23
Ibd. Majdi Sayyid Ibrahim, 50 Nasihat Rasulullah untuk Kaum Wanita (Bandung: Mizania,
2007), hal. 31
24
Ibd. Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Tafsir Wacana Agama dan
Gender, hal. 123
25
Husain Mahmud, Fiqh Wanita, ( Yokyakarta: LKIS, 2009), hal. 50-51.

8
‫َان‬ َ َ‫ب اَأْل ْربَ ِع ثُ َّم َأ ْلز‬
ِ ‫ق ا ْل ِختَانَ بِا ْل ِخت‬ ِ ‫ش َع‬ َ َ‫سلَّ َم ِإ َذا َجل‬
ُّ ‫س َبيْنَ ال‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ ‫سو ُل هَّللا‬ ُ ‫قَا َل َر‬
‫سل‬ْ ‫فَقَ ْد َو َج َب ا ْل ُغ‬26

Maka dengan demikian kita dapat memahami yang bahwa dari segi
bahasa, khitan itu dapat diartikan dengan alat kelamin baik itu pada orang
laki-laki atau mereka yang wanita. Khitan disebut dengan Khafadh apabila
ditunjukkan kepada wanita, khitan juga disebut ‘idzar bagi yang laki-laki
namun terkadang juga digunakan untuk keduanya baik laki-laki maupun
wanita, dan sedangkan orang yang tidak dikhitan disebut dengan aghlaf
dan aqlaf. Tentang penyebutan istilah seperti diatas Abu Syammah
mengatakan bahwa dalam pengertian ahli bahasa, baik laki-laki maupun
wanita bisa disebut dengan ‘idzar, sedangkan istilah khifadh hanya
terkhusus kepada mereka yang wanita. Al-Jauhari juga berkata demikian
yang bahwa kebanyakan ahli bahasa menyebutkan bahwa khifadh lebih
banyak penggunaannya untuk permpuan.27
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa khitan adalah
perbuatan memotong bagian kemaluan laki-laki dan wanita yang harus
dipotong, untuk laki-laki yakni memotong kulup atau kulit yang menutupi
bagian ujungnya sehingga seutuhnya terbuka. Pemotongan kulit ini
dimaksudkan agar ketika buang air kecil mudah dibersihkan, karena syarat
dalam ibadah adalah kesucian. Sedangkan pada wanita yaitu memotong
ujung clitoris yang ada pada kemaluan wanita.Dalam Al-Qur’an terdapat
berbagai landasan hukum terhadap berbagai macam permasalahan yang
terjadi, tak terkecuali masalah khitan ini, selain dalam al-Qur’an, di dalam
hadits juga banyak yang berbicara masalah khitan, dan juga dalam
Peraturan Menteri Kesehatan RI, di antaranya landasan hukum dalam Al-
Qur’an yaitu sebagai berikut ini:
a. Al-Quran
d) Surat al-Baqorah ayat 124:
‫س اِ َما ًما قَا َل َو ِمنْ ُذ ِّريَّتِ ْي ۗ قَا َل اَل يَنَا ُل‬ ٍ ٰ‫َواِ ِذ ا ْبت َٰلٓى اِ ْب ٰر ٖه َم َربُّ ٗه بِ َكلِم‬
ِ ‫ت فَاَتَ َّم ُهنَّ ۗ قَا َل اِنِّ ْي َج‬
ِ ‫اعلُ َك لِلنَّا‬
ٰ
َ‫ َع ْه ِدى الظّلِ ِمي ْۗن‬28
e) Surat al-Nahal ayat 123:
26
Terj “Apabila seseorang duduk di antara empat bagian tubuh istrinya (antara dua pahanya
dan dua bahunya) dan dua kamaluan telah bertemu maka wajiblah mandi”. (HR. Muslim)
27
Imam Zaki al-Barudi, Tafsir Wanita..., hal. 32

9
ْ ‫ثُ َّم اَ ْو َح ْينَٓا اِلَ ْي َك اَ ِن اتَّبِ ْع ِملَّةَ اِ ْب ٰر ِه ْي َم َحنِ ْيفًا ۗ َو َما َكانَ ِمنَ ا ْل ُم‬29
‫ش ِر ِكي‬
f) Surat al-Nisa ayat 125 :
‫سنٌ َّواتَّبَ َع ِملَّةَ اِ ْب ٰر ِه ْي َم َحنِ ْيفًا ۗ َوات ََّخ َذ هّٰللا ُ اِ ْب ٰر ِه ْي َم‬ ‫هّٰلِل‬
ِ ‫سلَ َم َو ْج َه ٗه ِ َو ُه َو ُم ْح‬
ْ َ‫سنُ ِد ْينًا ِّم َّمنْ ا‬
َ ‫َو َمنْ اَ ْح‬
‫ َخلِ ْياًل‬30
b. Hadis
Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda :
‫ب َوتَ ْقلِي ُم اَأْل ْظفَا ِر َونَ ْتفُ اآْل بَا ِط‬ ُّ َ‫ستِ ْحدَا ُد َوق‬
ِ ‫ص الشَّا ِر‬ ٌ ‫ ْلفِ ْط َرةُ َخ ْم‬31
ْ ‫س ا ْل ِختَانُ َوااِل‬
Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad Ibn Hambal :
َ ِّ‫سنَّةٌ لِل ِّر َجا ِل َم ْك ُر َمةٌ لِلن‬
‫سا ِء‬ ُ ُ‫ا ْل ِختَان‬32
Dari Siti Aisyah Nabi Muhammad SAW bersabda:

‫اع ِّي عَنْ َع ْب ِد ال َّر ْح َم ِن ْب ِن‬ ِ ‫سلِ ٍم عَنْ اَأْل ْو َز‬


ْ ‫سى ُم َح َّم ُد بْنُ ا ْل ُمثَنَّى َح َّدثَنَا ا ْل َولِي ُد بْنُ ُم‬ َ ‫َح َّدثَنَا َأبُو ُمو‬
‫سو ُل‬ ُ ‫س ُل فَ َع ْلتُهُ َأنَا َو َر‬
ْ ‫شةَ قَالَتْ ِإ َذا َجا َوزَ ا ْل ِختَانُ ا ْل ِختَانَ فَقَ ْد َو َج َب ا ْل ُغ‬ َ ‫س ِم عَنْ َأبِي ِه عَنْ عَاِئ‬ ِ ‫ا ْلقَا‬
‫س ْلنَا‬ ْ َ
َ َ‫سلَّ َم فاغت‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ ‫هَّللا‬33

E. Penelitian Relevan

28
Terj “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah
dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan
menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari
keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”. (Al-Baqarah ayat
124).
29
Terj “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), Ikutilah agama Ibrahim seorang
yang hanif. Dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”. (Al-Nahl
ayat123)
30
Terj “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan
dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang
lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya. Kepunyaan Allah-lah apa yang di
langit dan apa yang di bumi, dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu”. (Al-
Nisa ayat 125).
31
Terj “(Sunnah) fitrah itu ada lima, berkhitan, mencukur rambut sekitar kemaluan,
mencukur kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak”. (HR. Bukhari dan Muslim)
32
Terj ”Khitan merupakan sunnah (yang harus diikuti) bagi laki-laki dan perbuatan mulia bagi
wanita”. (HR. Ahmad Ibn Hmbal)
33
Terj “Telah menceritakan kepada kami bahwa Abu Musa Muhammah bin Al-utsanna
berkata; kepada kami Al Walid bin Muslim dari Auza’i dari Abdurrahman bin Al- Qosim dari ayahnya
dari Aisyah ia berkata: “jika khitan bertemu khitan maka wajib mandi. Aku pernah melakukannya
dengan Rasulullah saw, lalu kami mandi junub”. (HR. Tirdmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)

10
Dari beberapa literature yang telah penulis baca, terdapat beberapa
karya tulis tentang khitan yang menjadi acuan awal dan perbandingan penulis,
di antaranya:
1. Skripsi Malik Ibrahim yang berjudul “Khitan bagi perempuan
Berdasarkan Prespektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia”.
Fokus Pembahasan dari skripsi Malik Ibrahim adalah lebih pada hukum
khitan bagi perempuan dalam prespektif Hukum Islam dan Hukum Positif.
Deri hasil penelitianya, Malik Ibrahim mendapatkan kesimpulan bahwa
hukum khitan bedasarkan hukum positif dalam hal ini peraturan mentri
kesehatan Republik Indonesia dan hukum Islam dalam bingkai analisis
Fatwa MUI terhadap praktik khitan terhadap perempuan secara garis besar
tidak saling bertentangan, akan tetapi cara pandang pemerintah dalam hal
ini yaitu kemenkes, bahwa praktik khitan terhadap perempuan masih
belum ditemukannya kemanfaatan bagi perempuan dan ini termasuk
dianggap sebuah budaya khusunya orang-orang muslim maka tidak perlu
diatur oleh peraturan pemerintah yaitu peraturan kementrian kesehatan.
2. Skripsi, Lukliul Maknun yang berjudul “fatwa MUI N0. 9A Tahun 2008
dan Permenkes N0.6 Tahun 2014 Tentang Khitan Perempuan Dalam
prespektif Maqashid Al-Syarii’ah. Dari hasil penelitianya, Lukliul
mendapatkan sebuah kesimpulan bahwa dengan berlandaskan pada
ayatayat al-quran dan hadits-hadits yang menerangkan tentang syariat
khitan perempuan, maka diputuskanlah fatwa MUI yang menjelaskan
bahwa hukum khitan bagi perempuan ialah makrumah (pemuliaan bagi
perempuan), dengan alasan bahwa khitan perempuan merupakan salah satu
dari syariat agama dan jika dilakukan dengan benar dan sesuai dengan
syariat Islam, maka tidak akan membahayakan kesehatan. Pencabutan ini
berdasarkan pada banyaknya fenomena yang terjadi di masyarakat
Indonesia khususnya masyarakat pedesaan, dimana khitan bagi perempuan
ini dilakukan dengan alat yang tidak steril (silet), dan pemotongannya
(klitoris) dengan berlebihan sehingga mengakibatkan banyak pendarahan
juga banyak mengakibatkan kematian pada perempuan yang di khitan.
Sedangkan dianggap dapat menjaga jiwa seorang perempuan, karena
khitan yang dilakukan dengan cara yang benar akan menimbulkan dampak
baik terutama kepada kesehatan perempuan tersebut. Banyak manfaat yang
11
akan di dapat untuk perempuan yang telah di khitan dengan batas-batas
yang telah ditentukan, terutama ketika setelah berumah tangga,
diantaranya ialah: dapat menstabilkan syahwat dari seorang perempuan
ketika berhubungan badan dengan suaminya.
3. Skripsi, Nur Azizah yang bejudul “Analisis Hukum Islam Tetang Khitan
Perempuan Menurut faqihuddin Abdul Kodir ( Studi Pada Buku Qira’ah
Mubadallah)”. Fokus penelitian dalam skripsi ini dalah Analisis Hukum
Islam Tentang Khitan Perempuan yang berpatokan pada buku Qira’ah
Mubaddalah. Dari penelitian tersebut, Nur Azizah mengambil kesimpulan
bahwa Kiyai Faqihuddin berpendapat bahwa khitan perempuan termasuk
melukai bagian tubuh, karena dilakukan dengan memotong bagian klitoris
yang dimana bagian tersebut merupakan area sensitif terhadap rangsangan,
pemotongan tersebut dapat memberikan dampak pada perempuan yaitu
sulit untuk merasakan puncak kenikmatan seksual ketika berhubungan
intim, sehingga dengan alasan ini Kiai Faqihuddin berpendapat bahwa
hukum khitan perempuan adalah haram dan harus dihentikan.
F. Metode Penelitian
Setiap penelitian selalu menggunakan sebuah metode. Metode
penelitian yaitu tata cara bagaimana suatu penelitian dilakukan yang meliputi
teknik penelitian dan prosedur penelitian. Adapun metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini 1adalah sebagai berikut:
1. Jenis penellitian
Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian normatif atau
penelitian kepustakaan (library research) yang dilakukan dengan cara
menelah data-data primer, seperti buku-buku, artikel, dan jurnal, serta
PERMENKES yang kesemuanya berkaitan dengan khitan perempuan.
Hal tersebut sesuai dengan apa yang telah dijelaskan oleh Soerjono
Soekanto dan Sri Mamuji dalam bukunya, bahwa penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka,
dapat juga dinamakan sebagai penelitian hukum normatif (penelitian
hukum doktrinal) atau penelitian hukum kepustakaan).34 Metode ini

34
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji (eds), Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hal.13.

12
digunakan untuk menguraikan secara sistematis terhadap Khitan Bagi
Perempuan Dalam Prespektif Hukum Islam dan Fiqih Perempuan
2. Sumber Data
Guna memperoleh bahan hukum yang akurat untuk penulisan proposal
ini, maka bahan-bahan hukum tersebut diperoleh melalui dua cara yaitu
sumber bahan hukum primer dan sumber bahan hukum sekunder. Untuk
lebih jelasnya, berikut ini akan di uraikan tentang sumber data tersebut,
yaitu:
a) Data primer
Sumber data primer adalah sumber yang menjadi acuan utama
yang dibutuhkan dalam sebuah penelitian. Sumber data primer
dalam penelitian ini adalah Al-Quran, Hadis, dan buku-buku fiqih
perempuan.
b) Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah yang menunjagi dai pada sumber
data primer. Adapun data sekunde yang dapat digunakan untuk
mendukung penelitian ini antara lain jurnaal, artikel, dan karyaa ilmiah
dari media cetak maupun yang bersumber dari internet yang relevan
dengan judul penelitian.
3. Pengumpulan Data
Dalam pelaksanaan penelitian ini, teknik pengumpulan data yang
penulis gunakan adalah pengumpulan data literer, yaitu dengan
mengumpulkan bahan-bahan pustaka yang berkesinambungan (koheren)
dengan objek pembahasan yang diteliti. Adapun cara yang akan dilakukan
dengan metode membaca, memahami, mengklasifikasi dan menyimpulkan
isi dari buku-buku yang berkaitan dengan Khitan Bagi Perempuan Dalam
Prespektif Hukum Islam Dan Fiqih Perempuan.
4. Analisis Data
Analisis data adalah upaya mencari dan menata secara teratur catatan
hasil dari observasi, wawancara, literatur dan dokumentasi untuk
meningkatkan pemahaman dari peneliti tentang kasus yang diteliti dan
menyajikannya dengan cara memilih mana yang penting sehingga mudah
dipahami oleh diri senidir maupun orang lain. Analisis data yang penulis

13
gunakan adalah analisis data kualitatif artinya apabila semua data sudah
terkumpul kemudian simpukan secara rinci dan logis.
Adapun langkah-langkah dalam menganalisis data kualitatif adalah
sebagai berikut :
a. Reduksi data
Reduksi data merupakan proses pemilihan, penyederhanaan,
pengabstrakan dan transformasi data lalu membuang data yang tidak
perlu digunakan sehingga data tersebut dapat menghasilkan informasi
yang sangat bermakna dan memudahkan untuk membuat kesimpulan.
b. Display data
Display data atau penyajian data merupakan kegiatan
menyusun informasi sehingga memudahkan dalam menarik
kesimpulan. Bentuk penyajian data kualitatif dapat berupa teks naratif,
grafik, jaringan, dan bagan. Bentuk-bentuk ini menggabungkan
informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu dan mudah
dipahami, sehingga dapat memudahkan untuk melihat apa yang sudah
tejadi, apakah kesimpulan tersebut sudah tepat atau sebaliknya
melakukan analisis kembali.
c. Kesimpulan dan verivikasi
Upaya penarikan kesimpulan dilakukan oleh peneliti secara
terus-menerus selama berada dilapangan. Dari awal pengumpulan data
hingga pemaknaan data yang disajikan kedalam sebuah pernyataan.
Kesimpulannya ditangani secara teratur, sehingga data-datanya lebih
rinci dan mengakar dengan kokoh. Kesimpulan-kesimpulan itu juga di
verivikasi selama penelitian berlangsung dengan cara memikirkan
kembali selama penulisan, serta meninjau ulang catatan lapangan.35
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam memahami gambaran secara keseluruhan
tentang skripsi ini, maka di bawah ini dicantumkan sistematika pembahasan.
Secara garis besar, skripsi ini terdiri dari lima bab, dimana penulisan skripsi
ini berdasarkan sistematika sebagai berikut:
Bab I: Pendahuluan

35
Ahmad Rijali, “Analisis Data Kualitatif” Jurnal Alhadharah 17, no.33, (Januari-Juni 2018):
81-95 : hal. 85-94

14
Terdiri dari penegasan judul, latar belakang masalah, fokus dan
sub-fokus penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, kajian penelitian terdahulu yang relevan, metode penelitian,
dan sistematika pembahasan.
Bab II: Landasan Teori
Merupakan uraian tinjauan kepustakaan yang menjadi sudut
pandang bagi objek penelitian. Pada bab ini penulis membahas
landasan teori tentang khitan perempuan dalam tinjauan hukum Islam
terdiri atas pengertian khitan, dasar hukum khitan perempuan, sejarah
khitan, waktu pelaksanaan khitan perempuan, khitan, manfaat khitan
perempuan, dalil khitan bagi perempuan. Dan pandangan Khitan dalm
Fiqih Perempuan.
Bab III: Deskripsi Objek Penelitian
Membahas tentang khitan dalam prespektif Islam yang memuat
pendapat para ulama dan argumentasinya tentang hukum khitan bagi
perempuan
Bab IV: Analisis Penelitian
Berisi pandangan fiqih perempuan tentang khitan bagi perempuan
dan anlisi hukum Islam mengenai pandangan fiqih Perempuan.
Bab V: Penutup
Merupakan bab terakhir sekaligus sebagai penutup dari seluruh
pembahasan yang ada. Menjelaskan kesimpulan hasil penelitian yang
berisikan jawaban dari perumusan masalah dan rekomendasi
merupakan usulan yang berhubungan dengan pemecahan masalah yang
dibahas bertolak dari kelebihan dan kekurangan penelitian yang
bersifat akademis.

15
H. Jadwal Penelitian

Bulan
No Rencana Kegiatan Des Jan Mar Apr
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Persiapan
a. Observasi
b. Identifikasi Masalahh
c. Penentuan Tindakan
d. Pengajuan judul
e. Pengajuan proposal
f. Bimbingan dan Revis
2. Pelaksanaan
a. Seminar Proposal
b. Pengumpulan Data
Penelitian
3. Penyususan Skripsi
a. Penulisan laporan
b. Seminar Hasil
c. Ujian Skripsi

16
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Aryani Aini, Khitan Bagi Wanita, Haruskah?. Jakarta: Rumah Fiqih Publishin
Alhafidz Ahsin W, Fikih Kesehatan, Jakarta: Amzah. 2007.
Ahsin W Alhafidz, Fikih Kesehatan, Jakarta: Amzah, 2007
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Dipenogoro, 2005
Ghozi M, dkk., Fiqih Sunnah Wanita, Jakarta Pusat: Pena Pundi Aksara, 2007
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Tafsir Wacana
Agama dan Gender.
Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Anak, Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2004

Kodir Faqihuddin Abdul, Qira’ah mubadalah, IRCiSoD, 2019.

Lexy Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Roska Karya,


2000

Majdi Sayyid Ibrahim, 50 Nasihat Rasulullah untuk Kaum Wanita, Bandung:


Mizania, 2007
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji (eds), Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Bandung : Alvabeta
CV, 2013

Sabiq Sayyid, Fiqh as-Sunnah, Jakarta: Cakrawala Publishing. 2008.


S. Nasution, Metode Research (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), hlm. 128
Utomo, Setiawan Budi. Fiqh Aktual. Jakarta: Gema Insani. 2003.

Jurnal
Dianawati, Ajen. "Pendidikan seks untuk remaja." (2003).
Ghazali, T “Fenomena Khitan WanitaDalam Prespektif Hukum Islam”. : Jurnal
Hukum Islam dan Ekonomi Syariah 10 no 2 (2021)
Hakim, L “Khitan Perempuan dalam Prespektif Hukum Islam”. : Jurnal Ilmiah Ar-
Risalah: Media Ke-Islaman, Pendidikan dan Hukum Islam,15 no 1 (2017)
139-147.
Hakim, Budi Rahmat "Khitan Perempuan; Sebuah Tinjauan Maslahat.": Jurnal An-
Nahdhah 6 no 11 (2013): 1-14.

17
Hermanto, a. “Khitan Perempuan Antara Tradisi dan Syari’ah”. Kalam 10, no 1
(2016) 257-294
Maisarah, M. M “Polemik Khitan Perempuan :Tinjaun dari Berbagai Aspek”. Jurnal
Al-Huda, 7, no 69-96.
Mustafa, Ilham, and Ihdi Aini. "Problematika Khitan bagi Perempuan Perspektif
Hadis." Al FAWATIH: Jurnal Kajian Al Quran dan Hadis 1.1 (2020): 78-91.
Skripsi
Ibrahim, M. Khitan Terhadap Perempuan Bedasarkan Perspektif Hukum Islam dan
hukum Positif (Studi Analisis Fatwa Mui NO. 9A Tahun 2008) (Bachelor's
thesis, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).
Liana, Susi, “Khitan bagi Anak Perempuan dalam Permenkes Nomor
1636/Menkes/Per/2010 (Analisis Menurut Perspektif Hukum Islam)” Skripsi,
UIN Ar-Raniry Banda Aceh. 2018.
Maknun, L. (2017). Fatwa MUI no. 9A tahun 2008 dan PERMENKES No. 6 tahun
2014 tentang khitan bagi perempuan dalam perspektif maqashid al-
syari’ah (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim).
NUR, A. (2022). ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG KHITAN PEREMPUAN
MENURUT FAQIHUDDIN ABDUL KODIR (Studi pada Buku Qira’ah
Mubadalah) (Doctoral dissertation, UIN RADEN INTAN LAMPUNG).
Web
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Dipenogoro,
2005), h.19 https://tafsirweb.com/558-surat-al-baqarah-ayat-html (diakses, 11
November 2022)

Klarung, Auf, “Khitan bagi Perempuan Ditinjau dari Kesehatan dan Islam”,
https://www.kompasiana.com/aufklarung/552b74786ea834c7 538b45b2/khitan-bagi-
perempuan-ditinjau-dari-kesehatan- dan-islam diakses tanggal 28 April 2020.

18

Anda mungkin juga menyukai