Anda di halaman 1dari 25

Khitan sesungguhnya kelanjutan dari

tradisi Ibrahim As.


Dialah orang yang pertama kali
dikhitan.
Khitan dalam Pandangan
Selain proses bedah kulit bersifat fisik,

Islam dan Kesehatan

khitan Ibrahim juga dimaksudkan


sebagai
simbol dan ikatan perjanjian suci
(mtsq)
antara dia dengan Tuhannya, Allah.
Seseorang tidak diperkenankan
memasuki kawasan suci Kalam Ilahi

Khitan yang melambangkan


kesucian
itu kemudian diikuti pengikut
Ibrahim,
laki-laki dan perempuan, hingga
kini.
Para antropolog menemukan,
budaya
khitan telah populer di masyarakat
semenjak pra-Islam yang dibuktikan
dengan ditemukannya mumi
perempuan di Mesir Kuno abad ke-

Khitan yang melambangkan kesucian


itu kemudian diikuti pengikut Ibrahim,
laki-laki dan perempuan, hingga kini.
Para antropolog menemukan, budaya
khitan telah populer di masyarakat
semenjak pra-Islam yang dibuktikan
dengan ditemukannya mumi
perempuan di Mesir Kuno abad ke-16
SM yang memiliki tanda clitoridectomy
(pemotongan yang merusak alat
kelamin).

Pada abad ke-2 SM, khitan perempuan


dijadikan ritual dalam prosesi perkawinan.
Dalam penelitian lain ditemukan khitan
telah dilakukan bangsa pengembara
Semit, Hamit dan Hamitoid di Asia Barat
Daya dan Afrika Timur, beberapa bangsa
Negro di Afrika Timur dan Afrika Selatan.
Di Indonesia sendiri, tepatnya di Museum
Batavia, terdapat benda kuno yang
memperlihatkan zakar telah dikhitan.

Tujuan khitan
Khitan bagi lelaki dilakukan dalam bentuk hampir
sama di semua tempat, yaitu pemotongan kulit
kepala penis.
Sedangkan khitan bagi perempuan dilakukan
berbeda-beda:
1. sebatas membasuh ujung klitoris;
2. menusuk ujung klitoris dengan jarum;
3. membuang sebagian klitoris;
4. membuang seluruh klitoris; dan
5. membuang labia minora (bibir kecil vagina)
serta seluruh klitoris, kemudian hampir seluruh
labia majora (bibir luar vagina) dijahit, kecuali
sebesar ujung kelingking untuk pembuangan
darah menstruasi.

Secara medis, khitan bagi lelaki


memiliki implikasi positif.
Lapisan kulit penis terlalu panjang
sehingga sulit dibersihkan.
Bila tidak dibersihkan, kotoran yang
biasa disebut smegma mengumpul
sehingga dapat menimbulkan infeksi
pada penis serta kanker leher rahim
pada perempuan yang
disetubuhinya.

Secara medis juga dibuktikan, bagian


kepala penis peka terhadap
rangsangan karena banyak
mengandung syaraf erotis sehingga
kepala penis yang tidak disunat lebih
sensitif daripada yang disunat dan
Sunat membantu mencegah ejakulasi
dini.

Khitan Perempuan
Secara medis, khitan bagi perempuan belum
ditemukan keuntungannya.
Praktik amputasi alat kelamin perempuan
tidak terlepas dari nilai kultur masyarakat.
Perempuan dianggap tidak berhak menikmati
kepuasan seksual sebab dia hanya pelengkap
kepuasan seksual lelaki.
Di samping itu, sebagian masyarakat meyakini
perempuan memiliki nafsu seksual lebih tinggi
dibanding lelaki. Cara efektif untuk mereduksi
seksual perempuan ini, menurut mereka,
adalah dengan mengkhitannya.

Khitan Perempuan
Secara medis, khitan bagi perempuan belum
ditemukan keuntungannya.
Praktik amputasi alat kelamin perempuan
tidak terlepas dari nilai kultur masyarakat.
Perempuan dianggap tidak berhak menikmati
kepuasan seksual sebab dia hanya pelengkap
kepuasan seksual lelaki.
Di samping itu, sebagian masyarakat meyakini
perempuan memiliki nafsu seksual lebih tinggi
dibanding lelaki. Cara efektif untuk mereduksi
seksual perempuan ini, menurut mereka,
adalah dengan mengkhitannya.

Pandangan Hukum Islam


Al-Quran tidak menjelaskan khitan,
namun ada beberapa hadis yang
menerangkan hal itu.
Pertama, riwayat dari Utsman bin
Kulaib bahwa kakeknya datang kepada
Nabi Muhammad SAW dan berkata:
"Aku telah masuk Islam." Lalu Nabi
SAW bersabda: "Buanglah darimu
rambut kekufuran dan berkhitanlah."

Kedua, riwayat dari Harb bin Ismail:


"Siapa yang masuk Islam, maka
berkhitanlah walaupun sudah besar."
Ketiga, riwayat dari Abu Hurairah: "Bersih
itu ada lima: khitan, mencukur bulu
kemaluan, memotong kumis, menggunting
kuku, dan mencabut bulu ketiak."
Keempat, riwayat dari Ibn Abbas: "Khitan
itu disunahkan bagi laki-laki dan
dimuliakan bagi perempuan."

Meskipun banyak hadis menunjukkan


pensyariatan khitan, ternyata itu belum
memberi kejelasan secara pasti tentang
status hukumnya.
Sayid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah
menegaskan, "Semua hadis yang
berkaitan khitan perempuan adalah dhaif,
tidak ada satu pun yang shahih".
Dengan demikian secara ex officio bisa
dikatakan khitan perempuan merupakan
masalah ijtihadiyah.

Wahbah al-Zuhaily dalam al-Fiqh al-Islami


wa Adillatuh mendeskripsikan perbedaan
ulama mazhab tentang hukum khitan.
"Khitan bagi laki- laki menurut mazhab
Hanafi dan Maliki adalah sunnah muakkad
(sunah yang dekat kepada wajib),
sedangkan khitan bagi perempuan
dianggap kemuliaan, asal tidak berlebihan
sehingga ia tetap mudah merasakan
kenikmatan seksual.
Menurut Imam Syafii, khitan wajib bagi
laki-laki dan perempuan.

Perumusan hukum khitan juga harus


mempertimbangkan tujuan pensyariatan
hukum.
Imam al-Syathibi dalam al-Muwafaqat fiy
Ushul al-Syariah mengatakan;
Syariat Islam bertujuan mewujudkan
kemaslahatan manusia, di dunia dan akhirat.
Cita kemaslahatan dapat direalisasikan jika
lima unsur pokok dapat terpelihara, yaitu
pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta.

Mengikuti konsep di atas, tampak


khitan lelaki bertujuan memelihara
jiwa, baik suami maupun istrinya.
Dengan mempertimbangkan hal ini,
khitan bagi lelaki menjadi wajib demi
mendatangkan kebaikan (maslahah)
dan menghindari kerusakan
(mafsadah).

Praktik khitan bagi perempuan di


masyarakat agaknya dimaksudkan
sebagai kontrol terhadap seksualitas
perempuan.
Dengan demikian, praktik khitan yang
membuang sebagian atau seluruh
klitoris, bahkan menjahit labia majora
menjadi dibenarkan dalam nalar
masyarakat patriark.

Sejumlah penelitian menemukan, praktik


pemotongan klitoris menyebabkan
perempuan mengalami kesulitan orgasme.
Dengan teori tujuan pensyariatan hukum,
disimpulkan praktik pemotongan klitoris
menimbulkan kemudaratan sehingga tidak
absah dilaksanakan.
Hal ini berbeda dari praktik khitan yang
hanya sekadar membasuh atau mencolek
ujung klitoris dengan jarum.

Nabi Muhammad SAW memerintahkan


kepada Ummu Athiyyah, tukang khitan
perempuan di Madinah: "Jangan berlebihan,
karena hal itu adalah bagian kenikmatan
perempuan dan kecintaan suami."
Dalam riwayat lain disebutkan: "Sentuh
sedikit saja dan jangan berlebihan, karena
hal itu penyeri wajah dan bagian
kenikmatan suami." (HR Abu Daud)

Ada dua pendekatan dalam memahami hadis di


atas.
Pertama, dilihat dari asbab al-wurud hadis.
Sebelum Islam datang, masyarakat Arab terbiasa
mengkhitan perempuan dengan membuang seluruh
klitoris dengan alasan agar dapat mengurangi
kelebihan seksual perempuan, yang pada gilirannya
dapat memagari dekadensi moral masyarakat Arab
ketika itu.
Sewaktu Nabi mendengar Ummu Athiyyah
mengkhitan dengan cara demikian, Nabi langsung
menegur agar praktik khitannya harus diubah sebab
dapat menimbulkan kurangnya kenikmatan seksual
perempuan.

Kedua, redaksi (matan) hadis terdapat


ungkapan isymii wa laa tunhikii
(sentuh sedikit saja dan jangan
berlebihan). Kata isymam, secara
etimologis, berarti mencium bau.
Dengan gaya bahasa yang tinggi, Nabi
Muhammad SAW memerintahkan
khitan perempuan dengan cara seperti
halnya mencium bau sehingga tidak
merusak klitoris.

Sedangkan kata laa tunhikii


merupakan lafaz larangan (al-nahy)
yang bermakna pasti, artinya
"pastikan jangan berlebihan".
Dengan demikian secara teks dapat
dipahami, Nabi tidak pernah
memerintahkan khitan dengan
merusak alat reproduksi.

Justru sebaliknya, khitan yang


diajarkan Nabi diharapkan dapat
memberi keceriaan, kenikmatan, dan
kepuasan seksual bagi perempuan.
Menurut Islam, hak memperoleh
kepuasan seksual antara lelaki dan
perempuan sama. Artinya, kepuasan
dan kenikmatan seksual adalah hak
sekaligus kewajiban bagi suami dan
istri secara paralel (QS 2: 187).

Cara pelaksanaan khitan inilah yang


menimbulkan permasalahan.
Sebagian masyarakat beranggapan
agama telah melegitimasi praktik
khitan yang mengamputasi organ
seksual perempuan.
Padahal, agama mana pun tidak
akan melegalisasi perusakan
demikian.

Oleh karena itu, jangan sampai karena


praktik yang keliru lalu secara serta-merta
tradisi indah yang bernilai ibadah dan
beresensikan simbol ikatan suci dengan
Allah itu diperangi begitu saja.
Sebaiknya dicarikan jalan tengah,
substansi khitan dipertahankan namun
praktik kelirunya yang dihindari.
Penawaran ini pada gilirannya menjadi
tugas para ulama, dokter, dan kita semua
untuk merumuskannya.

Anda mungkin juga menyukai