Anda di halaman 1dari 7

Pandangan al-Quran Terhadap Poligami Ditinjau dari Perspektif Sosiologi

Pandangan al-Quran Terhadap Poligami Ditinjau dari Perspektif Sosiologi


(Kajian Rumah Pencerahan)
Oleh: Ubaidillah Tjanu

Pendahuluan

Allah SWT menciptakan manusia dan menjadikannya sebagai sebaik-baik
makhluk dengan memberikan akal yang mampu membedakan baik dan buruk. Allah
SWT juga menciptakan dalam diri manusia potensi kehidupan (thaqatu al-hayawiyah)
berupa kebutuhan naluri (gharaaiz) yang terdiri dari naluri beragama (gharizatu al-
tadayyun), naluri mempertahankan diri (gharizatu al-baqa) serta naluri melangsungkan
keturunan (gharizatu al-nau) dan kebutuhan jasmani (al-hajatu al-udlawiyah) yang
penampakannya berupa rasa lapar, haus, kantuk, bernafas, dan lain-lain.
1
Atas dorongan
potensi kehidupan yang dimilikinya itulah manusia menjalani kehidupannya di dunia.
Dengan kata lain, apapun yang dilakukan manusia dalam hidupnya di dunia adalah dalam
rangka memenuhi kebutuhannya tersebut. Dan untuk itu, manusia menggunakan berbagai
sarana yang ada.
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan masalah etika (akhlak-agama),
kultura (ilmu-iptek), dan profesi (amal sholeh-keahlian). Petunjuk Kitab Suci maupun
Sunnah Nabi dengan jelas menjanjikan kepada pemeluk agama (Islam) untuk
meningkatkan kesadaran beretika, berkultur, dan berprofesi.
2

Syariah dalam arti luas ajaran Islam, mencakup seluruh aspek kehidupan. Islam
dengan syariatnya menunjukkan, mengarahkan, membimbing, mendidik, dan mengajak
kepada keselamatan dunia dan akhirat. Keselamatan dunia tercermin dalam keadaan,
sikap dan perilaku hidup yang damai dan tenteram. Kedamaian dan ketenteraman hidup
inilah yang menjadi fitrah dari tujuan manusia, tentu saja yang sehat akal budinya. Agar
seluruh pemenuhan kebutuhan tersebut berjalan dengan baik dan menghasilkan
ketenangan, ketenteraman dan kebahagiaan, manusia memerlukan aturan yang
menetapkan status hukum atau memberikan penilaian terhadap perbuatan-perbuatan yang
dilakukannya (al-afaal) yang digunakan dalam rangka pemenuhan tersebut.
Menurut Syatibi sebagaimana dikutip oleh Ahmad Ali MD,
3
Islam melalui
syariatnya, adalah agama yang mengevaluasi (menilai) kehidupan seksual secara positif.
Pertautan hubungan yang integral antara spiritualitas dan seksualitas merupakan cara
yang dilakukan Nabi Muhammad dalam membawa perubahan masyarakatnya. Syahwat
seksual adalah bagian dari ciptaan dan ekspresi kebijaksanaan Tuhan. Ia membawa
masyarakat secara bersama-sama, memberikan kekuatan kepada mereka untuk
menghadapi kebenaran spiritualitas dan etis, dan memperbolehkan mereka
melangsungkan keturunan (hifz al-nasl).
Poligami, di mana seorang pria beristri lebih dari satu (poligini) dalam Islam
merupakan praktek yang diperbolehkan (mubah, tidak dilarang, namun tidak dianjurkan).
Poligami merupakan topik kajian yang selalu sengit diperdebatkan dalam diskursus fiqh
munakahat Islam.
Tak jarang sejumlah sejarahwan melancarkan serangan telak bahwa Nabi
Muhammad lah yang pertama kali memprakasai tradisi poligami, sampai-sampai ada


1
M.Ismail Yusanto dan M.Sigit Purnawan Jati, Membangun Kepribadian Islam, Khairul
Bayan Press,Jakarta, Agustus 2005, hal.239.

2
Said Agil Husin Al Munawar, Hukum Islan & Pluralitas Sosial , Penamadani, Jakarta,
2004, hal. 205.

3
Ahmad Ali MD, Syariah dan Problematika Seksualitas , Majalah Mimbar Hukum
Nomor 66, PPHI2M, Jakarta, 2008, hal.163.

Pandangan al-Quran Terhadap Poligami Ditinjau dari Perspektif Sosiologi
yang berkesimpulan bahwa salah satu penyebab cepatnya penyebaran Islam karena
penghalalan poligami, namun kemunduran dunia Islam disebabkan oleh poligami pula.
4

Sepintas lalu, kesimpulan itu seolah-olah masuk akal, tapi bila ditelusuri lebih
dalam, tudingan macam itu terlalu mengada-ada dan sukar dipertanggungjawabkan.
Sebab, sejarah membuktikan bahwa tradisi poligami sudah ada dan berkembang pesat
puluhan tahun sebelum Islam datang. Sebab, sejarah membuktikan bahwa tradisi
poligami sudah ada dan berkembang pesat puluhan tahun sebelum Islam datang.
5


A. Sejarah Poligami

Sebenarnya sistem poligami sudah meluas berlaku pada banyak bangsa sebelum
Islam sendiri datang. Di antara bangsa-bangsa yang menjalankan poligami, yaitu Ibrani,
Arab Jahiliyah dan Cisilia, yang kemudian melahirkan sebagian besar penduduk yang
menghuni Negara-negara : Rusia, Lituania, Polandia, Cekoslovakia (sekarang Ceko dan
Slovakia) dan Yugoslavia, dan sebagian dari orang-orang Jerman dan Saxon yang
melahirkan sebagian besar penduduk yang menghuni Negara-negara : Jerman, Swiss,
Belgia, Belanda, Denmark, Swedia, Norwegia, dan Inggris.
6

Poligami juga dikenal di kalangan bangsa Medes, Babilonia, Abbesinia, dan
Persia. Bahkan poligami yang dipraktekkan bangsa Yunani terkesan sangat tidak
manusiawi. Bangsa Yunani bukan saja memiliki seorang isteri yang dapat dipertukarkan
dengan yang lain, tetapi juga dapat diperjualbelikan di antara mereka pada umumnya. Di
kalangan bangsa Arab Jahiliyah, mengawini sejumlah wanita merupakan hal lumrah dan
mereka menganggap wanita itu sebagai hak milik yang bisa dibawa-bawa dan
diperjualbelikan.
7

Dan tidak benar jika dikatakan bahwa Islamlah yang mula-mula membawa sistem
poligami dan tidak benar juga bila dikatakan bahwa sistem ini hanya beredar di kalangan
bangsa-bangsa yang beragama Islam saja. Karena sebenarnya sistem poligami ini hingga
dewasa ini masih tetap tersebar pada beberapa bangsa yang tidak beragama Islam, seperti
: orang-orang asli Afrika, Hindu India, Cina , dan Jepang.
Hamdi Syafiq sebagaimana dikutip oleh Abu Salma al- Atsari
8
mengatakan : It
is not Islam that has ushered in polygamy. As historically confirmed, polygamy has been
known since ancient times a phenomenon as old as mankind itself with polygamy having
been a commonplace practice since paranoiac times . ( Islam bukanlah yang pertama
kali memperkenalkan poligami. Secara histories ditetapkan bahwa poligami telah dikenal
semenjak masa lalu,sebuah fenomena yang usianya setua manusia itu sendiri dimana
poligami telah menjadi sebuah praktek yang lazim semenjak masa Paranoiak)[Hamdi
Syafiq, Wives Rather Than Mistress].
Hamdi Syafiq menjelaskan bahwa, Ramses II, Raja Firaun yang terkenal
(berkuasa 1292-1225 SM) memiliki 8 orang isteri dan memiliki banyak selir dan budak
wanita yang memberikannya 150 putra dan putri. Dinding biara pemujaan merupakan
bukti sejarah terkuat, di mana tercantum nama-nama isteri, selir dan anak-anak dari tiap
wanita tersebut. Ratu cantik Neferteri merupakan isteri termansyhur Ramses II, yang


4
www.albahar wordpress.com, diakses tanggal 10 Desember 2013.

5
Ibid,

6
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah , Terjemah ,Alih Bahasa oleh Drs. Moh. Thalib, Al-Maarif,
Bandung, jilid 6, hal.169.

7
Syaifullah, Poligami dalam Struktur Keluarga Muslim, dalam Mimbar Hukum No. 51
Thn. XII 2001, Al Hikmah & DITBINBAPERA Islam, Jakarta, hal. 68.

8
www.hatibening.com, diakses tanggal 10 November 2013.

Pandangan al-Quran Terhadap Poligami Ditinjau dari Perspektif Sosiologi
terkenal berikutnya adalah Ratu Asiyanefer atau Isisnefer yang melahirkan puteranya,
Raja Merenbatah, yang naik tahta setelah ayah dan kakaknya mangkat.

B. Poligami Dalam Islam

Argumentasi yang sering dijadikan dasar kebolehan poligami dalam Islam adalah
firman Allah SWT yang berbunyi:

Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil (dalam hal yang bersifat
lahiriyah jika menikahi lebih dari satu), maka (nikahilah) seorang saja atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya.
9

Secara tekstual ayat 3 dalam Surat An Nisa dan hadits tersebut di atas,
merupakan dasar hukum kebolehan poligami. Namun menurut M. Quraish Shihab
sebagaimana dikutip oleh Syaifullah
10
bahwa makna ayat tersebut sering disalahpahami.
Lebih lanjut M. Quraish Shihab menguraikan bahwa ayat ini turun menyangkut sikap
sebagian orang yang ingin mengawini anak-anak yatim yang kaya lagi cantik, dan berada
dalam pemeliharaannya, tetapi tidak ingin memberinya mas kawin yang sesuai serta tidak
memperlakukannya secara adil. Jadi pada dasarnya, ayat tersebut turun untuk menolak
persepsi keliru sebagian umat Islam pada waktu itu. Penyebutan dua, tiga, atau empat
secara esensial adalah penegasan dan tuntutan berlaku adil terhadap mereka (anak-anak
yatim).
Di sisi lain, secara historis poligami sudah dipraktekan dalam kehidupan
masyarakat sebelum Islam dengan berpedoman pada syariat dan adat istiadat yang
berlaku pada masa itu. Kitab suci Yahudi dan Nasrani tidak melarang praktek poligami.
Mengawini lebih dari satu isteri sudah menjadi jalan hidup yang diakui keberadaannya.
Semua Nabi yang disebutkan dalam Kitab Talmut dan Perjanjian Lama mempunyai lebih
dari satu isteri. Demikian juga yang terjadi di kalangan bangsa Arab Jaliyah.
Teks-teks hadis poligami sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan, dan
pengembalian pada prinsip keadilan. Dari sudut ini, pernyataan poligami itu sunah
sangat bertentangan dengan apa yang disampaikan Nabi.
Apalagi dengan melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat tegas menolak
poligami Ali bin Abi Thalib RA. Anehnya, teks hadis ini jarang dimunculkan kalangan
pro poligami. Padahal, teks ini diriwayatkan para ulama hadis terkemuka: Bukhari,
Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.
11



9
QS. An Nisa (4) : 3.

10
Syaifullah, Op.cit

11
http://bacabacaquran.com/2011/04/18/muslimah-mendebat-poligami/. diakses 21
November 2013.

Pandangan al-Quran Terhadap Poligami Ditinjau dari Perspektif Sosiologi
Bahkan yang pernah disampaikan seorang pembaharu al-Azhar Kairo, Mesir,
Muhammad Abduh, yang menyatakan bahwa untuk memberi status hukum poligami
seharusnya dilakukan pengujian di lapangan dengan menanyai perempuan sebagai pihak
yang menerima akibat poligami. Jika banyak mengasilkan keburukan dari pada kebaikan,
argumen apalagikah yang mesti dipertahankan? Catatan di atas memperlihatkan dengan
pasti bahwa poligami sanggup membunuh karakter dan kepribadian perempuan.
12


C. Poligami di Indonesia

Sebagian dari masyarakat kita kurang atau tidak setuju dengan poligami dan
mereka menentang praktik poligami yang ada sekarang ini, karena efek negatifnya sangat
besar bagi keluarga dan banyak menyakiti kaum perempuan. Namun, sebagian yang lain
menyetujui poligami dengan alasan-alasan tertentu. Kelompok terakhir ini beralasan
bahwa meskipun poligami memiliki banyak resiko, tetapi bukanlah sesuatu yang dilarang
oleh agama, khususnya Islam.
Beberapa waktu yang lalu masyarakat kita dikejutkan dengan adanya pemberian
Poligami Award oleh Puspo Wardoyo, salah seorang poligam yang juga pengusaha,
kepada sekitar 40-an orang yang melakukan poligami. Tidak tanggung-tanggung, acara
itu dilaksanakan di sebuah hotel berbintang di Jakarta dan dihadiri sejumlah orang
terkenal, termasuk Ebet Kadarusman, Ratih Sanggarwati, Neno Warisman, serta Astri
Ivo. Acara ini memang tidak berjalan lancar, karena menuai banyak protes dari sebagian
orang yang menentang poligami (Pikiran Rakyat, 2 Agustus 2003). Fenomena semacam
ini sebelumnya belum pernah terjadi di tengah-tengah masyarakat kita yang sebenarnya
sudah banyak yang mempraktikkan poligami.
Kenyataannya poligami sekarang ini banyak dipraktikkan oleh kalangan public
figure kita. Sebut saja misalnya mantan wakil presiden RI, Hamzah Haz, yang memiliki
isteri tiga orang, Puspo Wardoyo (pengusaha terkenal) yang memiliki isteri empat orang,
Qomar (seorang komedian) yang juga memiliki empat orang isteri, KH. Nur Muhammad
Iskandar, SQ. (Kiai pengasuh PP. Ash Shiddiqiyah Jakarta) yang memiliki tiga orang
isteri, Mamik Slamet, Parto Patrio, dan masih banyak lagi yang lain. Mereka dengan terus
terang menyatakan bahwa mereka telah mempraktikkan poligami. Ada juga di antara
masyarakat kita yang mempraktikkan poligami dengan sembunyi-sembunyi karena
alasan-alasan tertentu. Inilah yang banyak dilakukan oleh para pejabat negara kita di era
Orde Baru, karena takut terkena ketentuan dalam PP No. 10 tahun 1983 yang mengatur
masalah poligami bagi pegawai negeri sipil dan ABRI (sekarang: TNI). Masyarakat luas
juga ada yang mempraktikkan poligami dengan semaunya sendiri tanpa terikat dengan
ketentuanketentuan yang dibuat negara maupun agama.

D. Berbagai Pandangan Para Ulama tentang Poligami

Perlu ditegaskan di sini bahwa tujuan disyariatkannya hukum Islam adalah untuk
kemaslahatan manusia. Dengan prinsip seperti ini, jelaslah bahwa disyariatkannya
poligami juga untuk kemaslahatan manusia. Poligami bertujuan untuk mewujudkan
keluarga yang baik, bukan semata-mata untuk menyenangkan suami. Dari prinsip ini juga
dapat dipahami bahwa jika poligami itu tidak dapat mewujudkan kemaslahatan, maka
poligami tidak boleh dilakukan. Karena itulah, Islam memberikan aturan-aturan yang


12
Faqihuddin Abdul Qodir, Memilih Monogami; Pembacaan atas Al-quran dan Hadis
Nabi, Pustaka Pesantren 2005.

Pandangan al-Quran Terhadap Poligami Ditinjau dari Perspektif Sosiologi
dapat dijadikan dasar untuk pelaksanaan poligami sehingga dapat terwujud kemaslahatan
tersebut.
Para ulama berbeda pendapat mengenai ketentuan poligami, meskipun dasar
pijakan mereka adalah sama, yakni mereka mendasarkan pada satu ayat dalam al-Quran,
yaitu QS. al-Nisa (4): 3 seperti di atas. Menurut jumhur (kebanyakan) ulama ayat di atas
turun setelah Perang Uhud selesai, ketika banyak pejuang Muslim yang gugur menjadi
syuhada. Sebagai konsekuensinya banyak anak yatim dan janda yang ditinggal mati ayah
atau suaminya. Hal ini juga berakibat terabaikannya kehidupan mereka terutama dalam
hal pendidikan dan masa depan mereka.
13
Kondisi inilah yang melatarbelakangi
disyariatkannya poligami dalam Islam.
Ibnu Jarir al-Thabari sangat setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa
makna ayat di atas merupakan kekhawatiran tidak mampunya seorang wali berbuat adil
terhadap harta anak yatim. Maka jika sudah khawatir kepada anak yatim, mestinya juga
khawatir terhadap perempuan. Maka janganlah menikahi mereka kecuali dengan
perempuan yang kalian yakin bisa berbuat adil, satu hingga empat orang. Sebaliknya, jika
ada kekhawatiran tidak sanggup berbuat adil ketika berpoligami, maka cukup menikahi
seorang isteri saja.
14


E. Poligami Dalam Perspektif Sosiologi

Permasalahan yang diangkat dalam poligami salah satu latar belakangnya adalah
karena persoalan poligami tampaknya masih merupakan persoalan yang mengundang
berbagai macam reaksi di tengah-tengah masyarakat, sehingga perlu kiranya dikaji
dengan memberikan sebagian kecil contoh-contoh kasus sebagai bahan perbandingan.
Penulis mengkaji dari perspektif sosiologi, melihat dampak dari suatu ajaran agama
(poligami) terhadap masyarakat sosial yang ada.
Perspektif merupakan suatu kumpulan asumsi maupun keyakinan tentang sesuatu
hal, dengan perspektif orang akan memandang sesuatu hal berdasarkan cara-cara tertentu,
dan cara-cara tersebut berhubungan dengan asumsi dasar yang menjadi dasarinya, unsur-
unsur pembentuknya dan ruang lingkup apa yang dipandangnya.
Perspektif membimbing setiap orang untuk menentukan bagian yang relevan
dengan fenomena yang terpilih dari konsep-konsep tertentu untuk dipandang secara
rasional.
Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa perspektif adalah kerangka kerja
konseptual, sekumpulan asumsi, nilai, gagasan yang mempengaruhi perspektif manusia
sehingga menghasilkan tindakan dalam suatu konteks situasi tertentu.
Dalam konteks sosiologi juga memiliki perspektif yang memandang proses sosial
didasarkan pada sekumpulan asumsi, nilai, gagasan yang melingkupi proses sosial yang
terjadi.
Dalam mengamati berbagai fenomena sosial, para teoritisi menggunakan
berbagai label dan kategori teoritis yang berbeda untuk menggambarkan ciri-ciri dan
struktur masyarakat lama yang telah runtuh dan tatanan masyarakat baru yang sedang
terbentuk. Misalnya F. Tonnnies menggunakan istilah Gemeinschaft dan Gesellschaft,
Emil Durkheim mengamati dengan solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Herbet
Spencer melihatnya dengan kategori masyarakat militer dan industri serta August Comte


13
Nasution, Khairuddin. Riba & Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad
Abduh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. I. 1996 hal. 85

14
Al-Thabari, Ibnu Jarir.. Jami al-Bayan fi Tafsir al-Quran. Beirut Daral-Fikr. Jilid IV
1978 hal. 155

Pandangan al-Quran Terhadap Poligami Ditinjau dari Perspektif Sosiologi
mengujinya dengan tiga tahap perkembangan yaitu tahap teologis, metafisik dan positif
atau ilmiah.
Terkait tentang persoalan poligami, penulis menggunakan pisau analisis
Fungsionalisme Sturktural, tokoh-tokoh perpektif ini yang dikenal luas antara lain: Talcot
Parsons, Neil Smelser.
Ciri pokok perspektif ini adalah gagasan tentang kebutuhan masyarakat (societal
needs). Masyarakat sangat serupa dengan organisme biologis, karena mempunyai
kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus dipenuhi agar masyarakat dapat melangsungkan
keberadaannya atau setidaknya berfungsi dengan baik. Ciri dasar kehidupan social,
struktur sosial muncul untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan merespon
terhadap permintaan masyarakat sebagai suatu sistem sosial. Asumsinya adalah ciri-ciri
sosial yang ada memberi kontribusi yang penting dalam mempertahankan hidup dan
kesejahteraan seluruh masyarakat atau subsistem utama dari masyarakat tersebut.
Dari perspektif dapat kita pahami bahwa poligami menjadi suatu kebtuhan
masyarakat yang mendasar terkait dengan kebutuhan secara biologis.
Pemahaman seperti ini dalam pandangan Talcot Parsons menghantarkan kita
untuk memahami masyarakat manusia dipelajari seperti mempelajari tubuh manusia:
a. Struktur tubuh manusia memiliki berbagai bagian yang saling berhubungan satu
sama lain. Oleh karena itu, masyarakat mempunyai kelembagaan yang saling terkait
dan tergantung satu sama lain.
b. Oleh karena setiap bagian tubuh manusia memiliki fungsi yang jelas dan khas,
demikian pula setiap bentuk kelembagaan dalam masyarakat. Setiap lembaga dalam
masyarakat melaksanakan tugas tertentu untuk stabilitas dan pertumbuhan
masyarakat tersebut. Functional imperative menggambarkan empat tugas utama yang
harus dilakukan:
1. Adaptation to the environment
2. Goal attainment
3. Integration
4. Latentcy
Daftar Referensi

Abdul Qodir, Faqihuddin. Memilih Monogami; Pembacaan atas Al-quran dan
Hadis Nabi, Pustaka Pesantren 2005.

Ali MD, Ahmad. Syariah dan Problematika Seksualitas , Majalah Mimbar Hukum
Nomor 66, PPHI2M, Jakarta, 2008.

Al-Thabari, Ibnu Jarir.. Jami al-Bayan fi Tafsir al-Quran. Beirut Daral-Fikr. Jilid IV
1978


Pandangan al-Quran Terhadap Poligami Ditinjau dari Perspektif Sosiologi
M.Ismail Yusanto dan M.Sigit Purnawan Jati, Membangun Kepribadian Islam, Khairul
Bayan Press,Jakarta, Agustus 2005

Husin Al Munawar, Said Agil. Hukum Islan & Pluralitas Sosial , Penamadani, Jakarta,
2004,


Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah , Terjemah ,Alih Bahasa oleh Drs. Moh. Thalib, Al-Maarif,
Bandung, jilid 6

Syaifullah, Poligami dalam Struktur Keluarga Muslim, dalam Mimbar Hukum No. 51
Thn. XII 2001, Al Hikmah & DITBINBAPERA Islam, Jakarta,

QS. An Nisa (4) : 3.

Nasution, Khairuddin. Riba & Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad
Abduh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. I. 1996

http://bacabacaquran.com/2011/04/18/muslimah-mendebat-poligami/. diakses 21
November 2013.

www.albahar wordpress.com, diakses tanggal 10 Desember 2013.

www.hatibening.com, diakses tanggal 10 November 2013.

Anda mungkin juga menyukai