Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

Tafsir Ayat Poligami


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Studi Tafsir Ayat Ahkam
Dosen Pengampu: Dr. H.Mahmudin Bin Bunyamin, LC.MA

Disusun Oleh:

Marsella Tria Amanda Hanum (2131030012)

Yuli Eka Lestari (2131030070)

KELAS B

ILMU AL QUR'AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN

LAMPUNG 2022

Jalan Letnan kolonel haji Endro Suratmin, Sukarame,kecamatan


Sukarame,Kota Bandar Lampung,Lampung 35131
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Poligami pada masa sekarang ini merupakan sebuah fenomena sosial dalam
masyarakat, dimana fenomena poligami pada saat ini menemui puncak
kontroversinya, begitu banyak tanggapan-tanggapan dari khalayak mengenai
poligami, baik yang pro ataupun kontra. Masalah poligami bukanlah masalah baru
lagi, begitu banyak pertentangan didalamnya yang sebagian besar dinilai karena
perbedaan pandangan masyarakat dalam memberikan sudut pandang pada berbagai
hal yang terkait masalah poligami baik ketentuan, batasan, syarat, masalah hak,
kewajiban dan kebebasan serta hal-hal lainnya.
Dalam islam, masalah poligami juga tidak serta merta diperbolehkan dan masih
juga berupa perkara yang masuk dalam konteks "pertimbangan", hal ini terbukti
dalam ayat-ayat ataupun suatu riwayat yang dijadikan dasar sumber hukum dalam
perkara poligami sendiri juga terikat aturan- aturan, syarat-syarat serta ketentuan lain
berupa yang kesanggupan, keadilan dan faktor lainnya yang harus dipenuhi dalam
berpoligami. Di Indonesia sendiri juga terdapat kebijakan hukum yang mengatur
masalah poligami diantaranya terdapat dalam Undang-undang Perkawinan (UUP)
dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

2. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian poligami?


2. Apa saja ayat-ayat tentang poligami?
3. Bagaimana kebijakan hukum di Indonesia yang mengatur masalah poligami?
4. Bagaimana syarat, rukun dan himah dalam berpoligami?
PEMBAHASAN

a. Pengertian Poligami

Secara etimologis, istilah poligami berasal dari bahasa yunani terdiri dari dua pokok
kata, yaitu Polu dan Gamein. Polu berarti banyak, Gamein berarti kawin. Jadi Poligami
berarti perkawinan yang banyak1

Adapun dalam istilah kitab-kitab fiqih poligami disebut dengan ta’addud al-zaujat
yang berarti banyak isteri, sedangkan secara istilah diartikan sebagai kebolehan mengawini
perempuan dua, tiga, atau empat, kalau bisa berlaku adil. Jumhur ulama membatasi poligami
hanya empat wanita saja2. Kendatipun banyaknya poligami pada masyarakat kita ini belum
pernah diselidiki secara research apa sebenarnya motif dan sebabnya, namun pada kenyataan
nya kebanyakan poligami dilakukan oleh masyarakat kita tidak sesuai dengan segala
ketentuan, sehingga poligami yang dilakukan itu sangat jauh dari hikmah-hikmah dan
rahasianya yang terkandung didalamnya. Kebolehan untuk melakukan poligami menurut
islam dalam banyak kenyataan sering diterapkan dengan cara membabi buta, maksudnya
seperti sekehendak hati saja layaknya, dengan tanpa memperhatikan dan mengindahkan
syarat-syarat yang harus dipenuhi.

b. Sejarah Poligami

Sejarah Poligami Dari wikipedia dijelaskan bahwa poligami merupakan praktik


pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang
bersangkutan). Perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki kepada lebih dari satu wanita
merupakan pemahaman umum tentang poligami, dengan arti bahwa laki-laki dalam berumah
tangga harus membagi cinta dan kasih sayangnya kepada beberapa istri yang dimiliki, dan hal
ini mampu mengundang tanggapan positif dan negatif orang lain tehadap moral yang dimiliki
oleh pelaku poligami.3

Konsep poligami (ta’addud al-zaujāt) dalam ilmu fikih secara umum dipahami sebagai
seorang suami dalam waktu bersamaan yang mengumpulkan dua sampai empat istri.

1
Bibit Suprapto, Liku-Liku Poligami (Yogyakarta : Al Kautsar, 1990), h. 11
2
Supardi Mursalim , Menolak Poligami Studi tentang Undang Undang Perkawinan dan Hukum Islam
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), h. 16
3
Muhammad Yahya, Poligami Dalam Perspektif Nabi saw, h. 3.
Poligami tidak dapat diketahui secara pasti awal mula kemunculannya. Sejak ribuan tahun
silam, sebelum datangnya Islam poligami sudah menjadi tradsi yang dianggap wajar4

Banyaknya bukti yang menajdi dasar dikatakannya poligami bukanlah ajaran dari agama
Islam. Negara-negara yang melakukan praktik poligami seperti Rusia, Yugosliva,
Cekoslovakia, Jerman, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia dan Inggris. Demikian juga
beberapa dari bangsa Timur seperti bangsa Ibrani dan Arab. Dari kesemuanya itu menurut
catatan sejarah melakukan praktik poligami. Jadi para penulis barat yang mengklaim bahwa
poligami berawal dari ajaran agama Islam tidaklah benar. Sebab, negara-negara yang
disebutkan di atas melakukan poligami jauh sebelum Islam datang di muka bumi ini dan
bahkan berkembang pesat di negeri Afrika, India, Cina dan Jepang yang pada dasarnya tidak
menganut agama Islam. 5

Poligami sendiri berasal dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan penggalan kata poli dan
polus yang artinya banyak, dan kata gemein atau gamos, yang artinya kawin atau perkawinan.
Maka, ketika kedua kata ini digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak. Dalam
Islam, arti dari poligami adalah perkawinan yang dilakukan lebih dari satu dengan memiliki
batasan yang telah ditentukan, yang pada umumnya dipahami sampai dengan empat wanita.
Ada pula yang memahami bahwa poligami dalam Islam bisa sampai Sembilan atau lebih.
Akan tetapi, poligami dengan batasan sampai dengan empat istri ini lebih umum dipahami
dengan dukungan dari sejarah, sebab Rasulullah saw. Melarang umatnya melakukan
pernikahan lebih dari empat wanita.6

Agama Nasrani pada awalnya tidak melarang atau mengharamkan poligami, landasan
diperbolehkannya karena dalam kitab Injil tidak satupun ayat yang melarang keras
melakukan poligami. Berbeda dengan agama Yunani dan Romawi yang memang dari awal
memarang melakukan poligami. Setelah mereka memeluk agama Kristen, mereka tetap
menjalankan monogami yang dianggap sebagai ajaran dari nenek monyang mereka terdahulu
yang melarang poligami. Oleh karena itu, orang-orang Kristen bangsa Eropa tetap
melaksanakan perkawinan dengan asas monogami. Dengan demikian, ajaran mengenaai
monogami ini bukan murni dari agama Kristen, melainkanajaran lama yang mereka anut.

4
Nasaruddin Umar, Ketika fikih Membela Perempuan (Jakarta: PT. Gramedia, 2014), h. 126
5
Alhamdani, Risalah Nikah: Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1972), h. 79-80
6
Muhammad Yahya, Poligami Dalam Perspektif Nabi saw, h. 3.
Gereja kemudian menjadikan larangan poligami sebagai peraturan dan ajaran dari agama,
meskipun pada dasarnya dalam kitab Injil tidak disebutkan larangan poligami.7

c. Poligami Rasulullah saw

Praktik poligami yang dilakukan oleh Rasulullah saw. sangat jauh berbeda dengan
poligami yang terjadi sekarang ini. Oleh karena itu, untuk bisa memahami dengan jelas
maksud dan tujuan dari praktik poligami Rasulullah dapat dilihat dari persoalan atau sebab
mengapa beliau berpoligami. Diantaranya:

Pertama, Rasulullah diutus untuk menyebarkan kasih dan sayang kepada seluruh alam
oleh Allah swt. Kedua, Rasulullah diutus menjadi contoh suri tauladan untuk umat manusia.
Ketiga, Rasulullah diutus untuk melindungi dan mengangkat martabat kaum wanita, anak-
anak yatim, para budak, dan kaum tertindas lainnya. Keempat, Rasulullah menyuruh umatnya
untuk berumah tangga untuk membentuk keluarga yang sejahtera, bahagia dan
menumbuhkan generasi Islami yang kuat dimasa depan. Bukan semata-mata untuk
menyalurkan fitrah seksnya.

pan. Bukan semata-mata untuk menyalurkan fitrah seksnya. Kelima, dengan banyaknya
wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah saw. maka perlu mengkaji agar makna yang
terkandung menjadi jelas dan dicontohkan secara nyata sesuai dengan makna kandungannya.
Dengan mengetahui makna yang tersirat, maka dengan jelas terlihat alasan-alasan dibalik
praktik poligami yang dilakukan Rasulullah tersebut.

Praktik poligami Rasulullah saw. secara jelas tidak berdasar pada kebutuhan biologis,
atau hanya untuk mendapatkan keturunan. Dalam perkawinan Rasulullah, poligami yang
beliau lakukan dengan mengawini perempuan yang sudah lanjut usia kecuali Aisyah, dan
juga poligami dilakukan bukan pada kondisi atau situasi yang normal, melainkan dalam
situasi perang jihad, perjuangan dan pengabdian yang tujuan utamanya untuk berdakwa dan
menegakkan syiar Islam. 8

Dengan mengetahui sejarah poligami yang dilakukan Rasulullah saw. berserta alasan
serta tujuannya yang mempunyai prinsip mulia,secara jelas sangat jauh berbeda dengan
poligami yang berkembang dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, yang melupaka

7
Alhamdani, Risalah Nikah: Hukum Perkawinan Islam, h. 80

8
Muhammad Saleh Ridwan, Perkawinan Dalam Prespektif Hukum Islam dan Hukum Nasional (Makassar: Alauddin
University Press, 2014), h. 59.
unsur keadilan di dalamnya sebagai syarat utama dalam melakukan poligami tetapi
mengedepankan pemenuhan nafsu biologis.9

d. Ayat tentang poligami

Di dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang membahas tentang pernikahan, namun dalam
hal hukum-hukum pernikahan, akan kami utarakan beberapa ayat saja, seperti di bawah ini :

1. Q.S An-Nisa’ ayat 3

َ ‫اب لَ ُك ْم ِّمنَ النِّ َس ۤا ِء َم ْث ٰنى َوثُ ٰل‬


‫ث َور ُٰب َع ۚ فَاِ ْن ِخ ْفتُ ْم اَاَّل تَ ْع ِدلُوْ ا‬ َ َ‫ َما ط‬l‫ فِى ْاليَ ٰتمٰ ى فَا ْن ِكحُوْ ا‬l‫َواِ ْن ِخ ْفتُ ْم اَاَّل تُ ْق ِسطُوْ ا‬
‫ا‬lۗ ْ‫ك اَ ْد ٰنٓى اَاَّل تَعُوْ لُو‬
َ ِ‫ت اَ ْي َمانُ ُك ْم ۗ ٰذل‬
ْ ‫فَ َوا ِح َدةً اَوْ َما َملَ َك‬

Artinya: “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku
adil, maka (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang
demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”

Asbabun nuzul:

Asbabun nuzul dari ayat 3 surat An-Nisa diatas, sebagaimana disebutkan didalam ash
shahihain adalah bahwa Urwah bin az Zubeir bertanya kepada Aisyah tentang firman Allah

‫ فِى ْاليَ ٰتمٰ ى‬l‫طُوْ ا‬l ‫ َواِ ْن ِخ ْفتُ ْم اَاَّل تُ ْق ِس‬, maka Aisyah berkata, “Wahai anak saudara perempuanku
sesungguhnya anak perempuan yatim” ini berada di dalam perawatan walinya, ia
menyertainya di dalam hartanya, lalu walinya tertarik dengan harta dan kecantikan anak
perempuan yatim itu dan menginginkan untuk menikahinya dan tidak berlaku adil terhadap
maharnya, dia memberikan mahar kepadanya tidak seperti orang lain memberikan mahar
kepadanya. Maka mereka dilarang untuk menikahi anak-anak perempuan yatim kecuali
apabila mereka dapat berlaku adil terhadap anak-anak perempuan yatim itu dan memberikan
kepada anak-anak perempuan yatim itu yang lebih besar dari kebiasaan mereka dalam hal
mahar. Maka para wali itu pun disuruh untuk menikahi wanita-wanita lain yang disenanginya
selain dari anak-anak perempuan yatim itu.”

9
Muhammad Saleh Ridwan, Perkawinan Dalam Prespektif Hukum Islam dan Hukum Nasional, h.
Ayat 3 dari surat An-Nisa ini turun pada tahun kedelapan setelah Rasulullah Saw.
berhijrah ke Madinah setelah meninggalnya Khodijah Ra. pada bulan Ramadhan tahun
kesepuluh kenabian dan juga setelah beliau Saw. menikahi seluruh istrinya dan wanita
terakhir yang dinikahinya adalah Maimunah pada tahun ke-7 H. Ayat ini pula masih
berhubungan dengan ayat selanjutnya, yaitu:

‫صد ُٰقتِ ِه َّن نِحْ لَةً ۗ فَاِ ْن ِط ْبنَ لَ ُك ْم ع َْن َش ْي ٍء ِّم ْنهُ نَ ْفسًا فَ ُكلُوْ هُ هَنِ ۤ ْيـًٔا َّم ِر ۤ ْيـًٔا‬
َ ‫َو ٰاتُوا النِّ َس ۤا َء‬

Artinya: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian
itu dengan senang hati.” (Q.S An-Nisa:4)

Surat An-Nisa ayat 4 ini mengandung dua hal pokok. Pertama, kewajiban suami
َ ‫“ َو ٰاتُوا النِّ َس ۤا َء‬Berikanlah
memberi maskawin kepada istri yang ditunjukkan frasa  ً‫صد ُٰقتِ ِه َّن نِحْ لَة‬
wanita-wanita yang kalian nikahi maskawinnya secara suka rela”. Namun ulama mufassir
berbeda pendapat dalam memaknai kata nihlah. Apakah maknanya sebagai kewajiban,
sebagai pemberiaan dan hibah, atau dari kesenangan hati (‘an thibi nafsin). Ibnu Abbas,
Qatadah Ibnu Juraij, dan Ibnu Zaid menafsirkan bahwa makna nihlah pada Surat An-Nisa
ayat 4 adalah kewajiban. Sebab secara bahasa kata “nihlah” bermakna agama, syariat dan
mazhab sehingga substansi makna ayat adalah “Berikanlah kepada para wanita mahar-mahar
mereka karena hal itu merupakan ajaran agama yang wajib dilakukan.”

Al-Kalbi menafsirkan nihlah pada Surat An-Nisa ayat 4 dengan makna pemberian dan
hibah sehingga substansi makna ayat adalah “Berikanlah kepada para wanita mahar-mahar
mereka, karena mahar merupakan pemberian.” Ulama lain mengatakan, Allah menjadikan
pemenuhan syahwat seksual dan memperoleh keturunan dari akad nikah sebagai manfaat
yang sama-sama menjadi hak suami dan istri. Allah memerintahkan suami untuk memberi
mahar kepada istri sebagai pemberian yang murni dari perintah Allah semata. Sementara Abu
Ubaidah menafsirkan kata “nihlah” dengan makna dari kesenangan hati. Sebab kata “nihlah”
secara bahasa tidak hanya bermakna pemberian, namun pemberian tanpa imbalan apapun
sehingga substansi makna ayat adalah “Berikanlah kepada para wanita mahar-mahar mereka
karena hal itu merupakan pemberian dari kesenangan hati, atau dari kerelaan.” Artinya, Allah
memerintahkan suami untuk memberikan mahar kepada istrinya tanpa tuntutan imbalan
apapun darinya10

Kedua, permasalahan pokok yang dijelaskan dalam Surat An-Nisa ayat 4 adalah
kebolehan suami memakan atau memanfaatkan maskawin yang telah diberikan kepada istri
bila memang diperkenan olehnya secara sukarela. Hal itu ditunjukkan dalam frasa ۗ ‫ط ْبنَ لَ ُك ْم‬
ِ ‫فَاِ ْن‬
‫ع َْن َش ْي ٍء ِّم ْنهُ نَ ْفسًا فَ ُكلُوْ هُ هَنِ ۤ ْيـًٔا َّم ِر ۤ ْيـًٔا‬ “Lalu bila mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedap lagi baik akibatnya.” Imam Ahmad As-Shawi (1175-1241 H) menjelaskan, maksud
“makanlah” dalam ayat adalah pemanfaatan secara mutlak, tidak terbatas pada makan.
Artinya suami dapat memanfaatkan mahar yang telah diberikannya kepada istri untuk
berbagai kepentingan asal mendapatkan kerelaan dari istri. Secara lugas Imam Fakhruddin
Ar-Razi (544-606 H) menyatakan, hal itu boleh dilakukan oleh suami apabila istri benar-
benar merelakannya, bukan karena akhlak dan perilaku buruk suami terhadap istri. Demikan
ini menunjukkan bahwa suami wajib berhati-hati dalam pemanfaatnya atas mahar yang telah
diberikan kepada istrinya, sebab syaratnya adalah kerelaan istri. Bila istri tidak rela, maka
haram dan tidak  diperbolehkan.

Kesimpulan ayat ini yaitu: ayat ini membahas tentang bila seseorang yang ingin
menikahi anak yatim tanpa memberinya mahar yang sesuai. Dan jika mereka khawatir tidak
mampu berlaku adil, maka haruslah diurungkan niat untuk menikahinya. Lalu carilah
perempuan lain yang merdeka dengan alasan yang sama. Apabila ingin menikahi lebih dari
satu perempuan namun tidak sanggup berlaku adil, maka nikahilah saja satu perempuan yang
mereka sukai.

2. Qs An-Nisa’ : 129

َ  ‫ اَ ْن تَ ْع ِدلُوْ ا بَ ْينَ النِّ َسٓا ِء َولَوْ َح َرصْ تُ ْم فَاَل تَ ِم ْيلُوْ ا ُك َّل ْال َمي ِْل فَتَ َذرُوْ هَا َكا ْل ُم َعلَّقَ ِة‬l‫َولَ ْن تَ ْستَ ِط ْيع ُۤوْ ا‬
l‫ۗ واِ ْن تُصْ لِحُوْ ا‬
‫َوتَتَّقُوْ ا فَاِ َّن هّٰللا َ َكا نَ َغفُوْ رًا َّر ِح ْي ًما‬

"Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu) walaupun kamu sangat
ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu
cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan

10
Fakhruddin Ar-Razi, Mafatihul Ghaib (Beirut, Darul kutub Al- 'ilmiyyah : 1421 H / 2000 M) Juz IX halaman 147
perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah Maha Pengampun,
Maha Penyayang." (QS. An-Nisa' 4: Ayat 129)

Asbab annuzul

Sebab turunnya ayat ini memaparkan dan berkaitan erat dengan kehidupan rumah
tangga Nabi Muhammad SAW, khususnya rasa cinta beliau kepada Sayyidah ‘Aisyah yang
begitu besar melebihi rasa cinta beliau kepada istri-istri lainnya. Oleh Karenanya ayat ini
mengaskan bahwa seorang suami tidak bisa berbuat adil kepada istri-istrinya.

Munasabah Ayat

Sepintas ayat ini seakan-akan bertentangan dengan surat al-Nisa>’ ayat 3 yang
menjelaskan bahwa boleh berpoligami jika bisa berlaku adil. Sedangkan ayat ini secara tegas
menjelaskan bahwa para suami tidak bisa berlaku adil kepada istri-istrinya.

Kalau kita melihat sebab turunnya, ayat ini menjelaskan tentang kehidupan rumah
tangga Nabi Muhammad SAW, khususnya kecintaan beliau yang sangat besar kepada
Sayyidah Khadijah melebihi rasa cinta beliau kepada istri-istri yang lain.

Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa yang dimaksud perilaku adil yang dituntut dalam
ayat ini adalah hal-hal yang sifatnya zahiriyah dan mampu untuk dilakukan. Sedangkan
perilaku adil yang dinegasikan dalam ayat ini adalah dalam masalah cinta, rasa sayang, dan
hubungan suami istri.

e. Hukum Poligami di Indonesia

Negara Indonesia sebagai negara hukum, memiliki peraturan tersendiri mengenai


perkawinan, yang tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1974. Dalam pasal 3 (1) UU No.
1/1974 undang-undang tersebut secara jelas bahwa hukum perkawinan di Indonesia
menganut asas monogami yang diperuntukkan bagi laki-laki maupun bagi perempuan.
Akan tetapi, dalam undang-undang ini pula terdapat pengecualian, seorang suami bisa
beristri lebih dari satu orang apabila ada izin dari pihak yang bersangkutan, dalam hal
ini istri terdahulu. Adanya pengecualian ini berlandaskan pada agama yang tidak
mengharamkan praktik poligami.11

11
Muhammad Saleh Ridwan, Perkawinan Dalam Prespektif Hukum Islam dan Hukum Nasional, h. 86-87.
Berkaitan dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia yang tidak
memberikan kelonggaran terhadap poligami, kecuali dalam keadaan yang mendesak
sehingga tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh, sejalan dengan ajaran Islam yang
memberikan syarat ketat terhadap calon pelaku poligami. Oleh karena itu, jika syarat-
syarat yang ditentukan telah terpenuhi maka pelaku poligami tidak akan mengalami
kesulitan dalan berumah tangga akibat dari tuntutan istri-istrinya.12

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1/1974)


juga secara tegas tidak memperbolehkan poligami kecuali jika pihak yang bersangkutan
memberikan izin persetujuan.13

Begitu pula dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 55 dinyatakan bahwa laki-
laki bisa beristri lebih dari satu orang sampai empat orang dengan syarat suami harus
mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya, dan apabila syarat tersebut
dikhawatirkan tidak terpenuhi maka suami dilarang beristri lebih dari satu.14

Dari beberapa dasar dan aturan yang telah dikemukakan dapat dipahami bahwa
asas perkawinan adalah monogamy yang bersifat mutlak, tetapi monogami terbuka,
sebab menurut pasal 3 (1) UU No. 1/1974 dikatakan bahwa seorang suami hanya boleh
mempunyai seorang istri begitu pula sebaliknya. Tetapi, pada pasal 3 (2) UU No.
1/1974 yang menyatakan bahwa “pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami
untuk beristri lebih dari satu orang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan. Dengan adanya ayat (20 ini berarti Undang-Undang ini menganut asas
monogami terbuka, oleh karena itu tidak tertutup kemungkinan dalam keadaaan tertentu
seorang suami melakukan poligami yang tentunya dengan pengawasan pengadilan.15

Melihat beberapa peraturan hukum yang berlaku di Indonesia, tidak ada


satupun peraturan yang melarang secara tegas pelaku poligami. Karena, jika dilihat
peraturan-peraturan tersebut memberikan cela dengan syarat adanya persetujuan dari
pihak yang bersangkutan, dalam hal ini istri.

f. Rukun, Syarat serta Hikmah Berpoligami


12
Umar Syihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran, h. 120-121.

13
Muhammad Yahya, Poligami Dalam Perspektif Nabi saw, h. 246
14
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan
Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, h. 166.
15
Muhammad Yahya, Poligami Dalam Perspektif Nabi saw, h. 247.
Para ulama menyebutkan dua syarat yang Allah swt.sebut dalam al-Qur’an ketika
seorang lelaki hendak berpoligami, dan syarat lainnya yang disebutkan dalam hadist
Rasulullah saw.:16

1. Jumlah istri paling banyak adalah empat, dan tidak boleh lebih.

2. Bisa berbuat dan berlaku adil antara istri-istrinya.

3. Adanya kemampuan jasmani dan nafkah dalam bentuk harta.

Ketiga syarat yang dikemukakan di atas harus terpenuhi. Baik itu syarat satu, dua dan
tiga membolehkan seorang lelaki yang hendak berpoligami untuk menikahi sampai empat
perempuan secara adil. Hukum berlaku adil yang disebut di atas adalah fardhu atau
wajib. Jadi, meninggalkannya adalah dosa dan pelanggaran.17

Alasan dalam berpoligami juga harus jelas dan mampu diterima oleh akal. Maka,
dapat dikemukakan uraian yang menjadi bahan berfikir terhadap dibolehkannya
berpoligami sebagai berikut:18

 Poligami harus dilakukan dalam kondisi tertentu, artinya tidak dalam kondisi normal.
misalnya jika istri sudah lanjut usia atau sakit, sehingga dikhawatirkan suami tidak
bisa menjaga kehormatan dirinya jika tidak melakukan poligami.

 Pernikahan merupakan sebab terjalinnya hubungan (kekeluargaan) dan


keterikatan di antara sesama manusia. Dengan kata lain, melakukan poligami
menjadi sebab terjalinnya hubungan dan kedekatan antara banyak keluarga, dan ini
pula salah satu sebab poligami yang dilakukan oleh Rasulullah saw.

 Poligami merupakan sebab terjaganya kehormatan sejumlah besar wanita dan


terpenuhinya kebutuhan hidup mereka yang berupa nafkah, tempat tinggal,
memiliki keturunan dan anak yang banyak, dan ini merupakan tuntutan syariat.

 Laki-laki yang memiliki nafsu syahwat yang tinggi, sehingga bawaannya tidak
cukup baginya mempunyai seorang istri, sedangkan dia tidak mau terjerumus dalam
hal-hal yang melanggar syariat

16
Muhammad Yahya, Poligami Dalam Perspektif Nabi saw, h. 134
17
Muhammad Yahya, Poligami Dalam Perspektif Nabi saw, h. 134
18
Muhammad Yahya, Poligami Dalam Perspektif Nabi saw, h. 139.
 Terkadang setelah menikah istri mandul, sehingga memilih poligami daripada
perceraian.

Al-Jurjani dalam kitabnya, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu menjelaskan ada


empat hikmah yang dikandung poligami. Pertama, kebolehan poligami yang dibatasi
sampai empat orang yang menunjukkan bahwa manusia sebenarnya terdiri dari empat
campuran dalam tubuhnya. Jadi menurutnya, sangatlah pantas laki-laki itu beristri
empat. Kedua, batasan empat juga sesuai dengan empat jenis mata pencaharian laki-
laki; pemerintahan, perdagangan, pertanian dan industry. Ketiga, bagi seorang suami
yang memiliki empat orang istri berarti ia mempunyai waktu senggang selama tiga hari dan
ini merupakan waktu yang cukup untuk mencurahkan kasih sayang.19

Adalah al-Athar dalam bukunya Ta’addud al-Zawzat mencatat empat dampak


negative poligami. Pertama, poligami dapat menimbulkan kecemburuan di antara para
istri. Kedua, menimbulkan rasa kekhawatiran istri kalau-kalau suami tidak dapat
bersikap bijaksana dan adil. Ketiga, anak-anak yang lahir dari ibu yang berlainan sangat
rawan perkelahian, permusuhan dan saling cemburu. Keempat, kekacauan dalam bidang
ekonomi. Bisa saja pada awalnya suami memiliki kemampuan untuk poligami, namun
bukan mustahil suatu saat akan mengalami kebangkrutan, maka yang akan menjadi
korban akan lebih banyak.20

PENUTUP

Kesimpulan

19
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan
Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, h. 160
20
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum
Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, h. 161.
Poligami adalah laki-laki memiliki istri lebih dari satu sampai empat orang.
Dalam pandangan Islam, poligami boleh dilakukan jika memenuhi syarat yang sudah
jelas dalam al-Qur’an yaitu, mampu berlaku adil. Adil yang dimaksud disini meliputi
beberapa bagian, yaitu: adil dalam pembagian waktu, adil dalam nafkah, adil dalam
tempat tinggal dan adil dalam biaya anak.

Poligami Rasulullah berbeda dengan poligami yang kita lihat sekarang ini.
Praktek poligami Rasulullah di sini bukan berlandaskan kebutuhan biologis, tetapi ada
beberapa pertimbangan diantaranya ingin memberi kehormatan untuk janda,
mengangkat derajat para janda dan wanita yang menawarkan dirinya untuk dinikahi.
Dalam masa sekarang poligami hanya berlandaskan kebutuhan biologis, dan melupakan
unsur keadilan di dalamnya.

Implikasi

Dengan adanya makalah ini diharapkan mampu untuk mengetahui hukum


poligami yang sebenarnya, dengan mempertimbangkan praktik poligami yang dilakukan
Rasulullah saw disertai dengan pertimbangan beberapa sudut pandang dari berbagai
ulama.

DAFTAR PUSTAKA

Suprapto, Bibit. Liku-Liku Poligami (Yogyakarta : Al Kautsar, 1990)


Mursalim, Supardi. Menolak Poligami Studi tentang Undang Undang Perkawinan
dan Hukum Islam (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007)

Ar-Razi, Fakhrudin.Mafatihul Ghaib (Beirut, Darul kutub Al- 'ilmiyyah : 1421 H /


2000 M)

Muhammad Saleh Ridwan, Perkawinan Dalam Prespektif Hukum Islam dan Hukum
Nasional,

Umar Syihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran, h. 120-121.

Yahya, Muhammad.Poligami Dalam Perspektif Nabi saw.Makassar: Alauddin


University Perss, 2013.

Nuruddin,Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia:


Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI.Cet. V.
Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014.

Anda mungkin juga menyukai