Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam
Disusun oleh :
Puji syukur kehadirat Allah Subhana Wa Ta’ala Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Tugas
pada Makalah yang berjudul “Poligami Dan Konsep Manusia Dalam Islam“ tepat pada
waktunya.
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata
kuliah Pendidikan Agama Islam. Selain itu, Makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang Poligami dan Konsep Manusia dalam Islam bagi para pembaca dan juga
bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ny. R. Suad, S.Ag, M.Pdi selaku dosen
pada mata kuliah Pendidikan Agama Islam yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan kita tentang hal tersebut. Kami juga mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
Makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Poligami pada masa sekarang ini merupakan sebuah fenomena sosial dalam
masyarakat, dimana fenomena poligami pada saat ini menemui puncak kontroversinya,
begitu banyak tanggapan-tanggapan dari khalayak mengenai poligami, baik yang pro
ataupun kontra. Masalah poligami bukanlah masalah baru lagi, begitu banyak pertentangan
didalamnya yang sebagian besar dinilai karena perbedaan pandangan masyarakat dalam
memberikan sudut pandang pada berbagai hal yang terkait masalah poligami baik
ketentuan, batasan, syarat, masalah hak, kewajiban dan kebebasan serta hal-hal lainnya.
Dalam islam, masalah poligami juga tidak serta merta diperbolehkan dan masih juga
berupa perkara yang masuk dalam konteks "pertimbangan", hal ini terbukti dalam ayat-ayat
ataupun suatu riwayat yang dijadikan dasar sumber hukum dalam perkara poligami sendiri
juga terikat aturan- aturan, syarat-syarat serta ketentuan lain berupa yang kesanggupan,
keadilan dan faktor lainnya yang harus dipenuhi dalam berpoligami. Di Indonesia sendiri
juga terdapat kebijakan hukum yang mengatur masalah poligami diantaranya terdapat
dalam Undang-undang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Manusia adalah makhluk yang spesial yang Allah ciptakan. Namun seperti apakah
konsep manusia dalam islam?
PEMBAHASAN
Kata poligami secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu polus yang berarti
banyak dan gamos yang bebarti perkawinan. Bila pengertian ini digabungkan maka akan
berarti suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari seorang. Sistem perkawinan bahwa
seorang laki-laki mempunyai lebih seorang istri dalam waktu yang bersamaan, atau seorang
perempuan mempunyai suami lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan, pada
dasarnya disebut poligami.
Pengertian poligami menurut bahasa indonesia adalah sistem perkawinan yang salah
satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenis di waktu yang bersamaan. Para
ahli membedakan istilah bagi seorang laki-laki yang mempunyai lebih dari seorang istri
dengan istilah poligini yang berasal dari kata polus berarti banyak dan gune berarti
perempuan. Sedangkan bagi seorang istri yang mempunyai lebih dari seorang suami disebut
poliandri yang berasal dari kata polus yang berarti banyak dan andros berarti laki-laki.
Jadi kata yang tepat bagi seorang laki-laki yang mempunyai istri lebih dari seorang
dalam waktu yang bersamaan adalah poligini bukan poligami. Meskipun demikian, dalam
perkataan sehari-hari yang dimaksud dengan poligami itu adalah perkawinan seorang laki-
laki dengan lebih dari seorang perempuan dalam waktu yang bersamaan. Yang dimaksud
poligini itu menurut masyarakat umum adalah poligami.
Poligami sudah berlaku sejak jauh sebelum datangnya Islam. Orang-orang Eropa
yang sekarang kita sebut Rusia, Yugoslavia, Cekoslovakia, Jerman, Belgia, Belanda, Denmark,
Swedia dan Inggris semuanya adalah bangsa-bangsa yang berpoligami. Demikian juga
bangsa-bangsa timur seperti bangsa Ibrani dan Arab, mereka juga berpoligami. Karena itu
tidak benar apabila ada tuduhan bahwa islamlah yang melahirkan aturan tentang poligami,
sebab nyatanya aturan poligami yang berlaku sekarang ini juga hidup dan berkembang di
negeri-negeri yang tidak menganut islam, seperti Afrika, India, Cina dan Jepang. Tidaklah
benar kalau poligami hanya terdapat di negeri-negeri Islam.
Agama Nasrani pada mulanya tidak mengharamkan poligami karena tidak ada satu
ayat pun dalam injil yang secara tegas melarang poligami. Apabila orang-orang Kristen di
eropa melaksanakan monogami tidak lain hanyalah karena kebanyakan bangsa Eropa yang
kebanyakan Kristen pada mulanya seperti orang Yunani dan romawi sudah lebih dulu
melarang poligami, kemudian setelah mereka memeluk kristen mereka tetap mengikuti
kebiasaan nenek moyang mereka yang melarang poligami. Dengan demikian peraturan
tentang monogami atau kawin hanya dengan seorang istri bukanlah peraturan dari agama
Kristen yang masuk ke negara mereka, tetapi monogami adalah peraturan lama yang sudah
berlaku sejak mereka menganut agama berhala. Gereja hanya meneruskan larangan
poligami dan menganggapnya sebagai peraturan dari agama, padahal lembaran-lembaran
dari kitab injil sendiri tidak menyebutkan adanya larangan poligami.
Pada masa sekarang ini, mungkin pendapat yang pertama sekali menarik perhatian
kita ialah pendapat dari golongan anti poligami, yang mengatakan bahwa melarang poligami
adalah salah satu keharusan untuk menerapkan kebebasan wanita. Mereka meninjau
poligami itu sebagai sistem masyarakat primitif, yang kemudian meningkat dan menurun
sejalan dengan meningkat dan menurunnya keadaan wanita. Membebaskan wanita dari
sistem poligami itu adalah suatu langkah untuk memajukan wanita itu, karena poligami itu
sudah tidak sesuai lagi dengan zaman modern, dimana wanita sudah memperoleh hak-
haknya dengan sempurna, tanpa adanya sesuatu kekeruangan. Sedang poligami itu adalah
suatu sistem perkawinan yang menitik beratkan kesejahteraan laki-laki dengan
mengorbankan kedudukan dan kemuliaan wanita.
Pendukung poligami tidak melihat adanya hubungan antara poligami itu dengan
primitif atau modernya masyarakat. Karena kehidupan seorang laki-laki bersama-sama
dengan beberapa orang wanita itu adalah kenyataan yang ada di kalangan masyarakat,
dalam semua negara dan sepanjang masa, baik dengan nama poligami ataupun dengan
nama yang berarti sama dengannya. Dan adalah suatu kesalahan kalau poligami
dihubungkan dengan masyarakat primitif, disaat-saat banyaknya teman-teman wanita dari
seorang laki-laki merupakan suatu kenyataan yang ada di dalam masyarakat yang modern.
Poligami adalah salah satu usaha untuk membimbing wanita, untuk meningkatkan dari
suasana kehidupan yang diliputi oleh kegelisahan, kehinaan dan terlantar, menuju
kehidupan berkeluarga yang mulia dan keibuan yang mulia, dimana wanita merasakan
kebahagiaan, kesucian dan kemuliaan dibawah naungannya. Poligami juga merupakan salah
satu penerapan dari kebebasan wanita dan terlaksananya apa yang dikehendakinya, karena
sebenarnya laki-laki itu tidak berpoligami tanpa kemauan wanita.
Walaupun poligami itu megharuskan adanya tambahan bagi istri yang pertama,
namun peraturan poligami tidak menyebabkan adanya halangan bagi istri yang pertama
atau yang baru untuk menjadi ratu rumahtangganya, dan bebas bertindak dalam segala
urusannya. Karena peraturan agama dan undang-undang serta tradisi di negara-negara
islam menetapkan bahwa setiap wanita yang sudah berkeluarga akan memiliki rumah yang
tersendiri dan tidak menyebabkan salah seorang dari istri-istri itu boleh berkuasa terhadap
yang lain.
Dari segi ini para pendukung poligami itu berpendapat bahwa poligami adalah suatu
sistem kehidupan masyarakat yang andaikata merupakan tekanan terhadap wanita demi
kepentingan laki-laki, maka mestinya lebih pantas untuk tiap-tiap wanita, bahwa ia tidak
mau menikah dengan seorang laki-laki yang sudah pernah menikah dan kalau hal itu
dipraktekkan maka tidak mungkin lagi laki-laki berpoligami. Disamping itu, kalau kita
misalkan bahwa poligami itu menyebabkna timbulnya semacam perasaan sakit pada istri
yang lama, maka pihak lain justru dalam waktu yang bersamaan juga menimbulkan harapan
di dalam jiwa istri yang baru, yang memberikan kemungkinan kepadanya untuk hidup
sebagai istri dalam pengayoman rumahtangga yang mulia.
Islam membolehkan poligami dengan jumlah wanita yang terbatas dan tidak
mengharuskan umatnya melaksanakan monogami mutlak dengan pengertian seorang laki-
laki hanya boleh beristri seorang wanita dalam keadaan dan situasi apapun dan tidak
pandang bulu apakah laki-laki itu kaya atau miskin, hiposeks atau hiperseks, adil atau tidak
adil secara lahiriyah. Islam pada dasarnya menganut sistem monogami dengan memberikan
kelonggaran dibolehkannya poligami terbatas. Pada prinsipnya seorang laki-laki hanya
memiliki seorang istri dan sebaliknya seorang istri hanya memiliki seorang suami. Tetapi
islam tidak menutup diri adanya kecenderungan laki-laki beristri banyak sebagaimana yang
sudah berjalan dahulu kala. Islam tidak menutup rapat kemungkinan adanya laki-laki
tertentu berpoligami, tetapi tidak semua laki-laki harus berbuat demikian karena tidak
semua mempunyai kemampuan untuk berpoligami.
Poligami dalam islam dibatasi dengan syarat-syarat tertentu, baik jumlah maksimal
maupun persyaratan lain seperti :
a) Jumlah istri yang boleh dipoligami paling banyak empat orang wanita. Seandainya
salah satu diantaranya ada yang meninggal atau diceraikan, suami dapat mencari ganti yang
lain asalkan jumlahnya tidak melebihi empat orang pada yang waktu yang bersamaan (QS
4:3)
b) Laki-laki itu dapat berlaku adil terhadap isri-istri dan anak-anaknya yang menyangkut
masalah-masaah lahiriah seperti pembagian waktu jika pemberian nafkah dan hal-hal yang
menyangkut kepentingan lahir. Sedangkan masalah batin, tentu saja selamanya manusia
tidak mungkin dapat berbuat adil secara hakiki.
Dasar pokok islam yang membolehkan poligami adalah firman Allah SWT :
ًفَ َوا ِح َدة تَ ْع ِدلُوا َأاَّل ِخ ْفتُ ْم ْفَِإن َو ُربَا َع َوثُاَل َث َم ْثنَى سا ِء ِ تُ ْق َأاَّل ِخ ْفتُ ْم َْوِإن
َ َط َما فَا ْن ِك ُحوا ا ْليَتَا َمى ِفي سطُوا
َ ِّالن َ ِمن لَ ُك ْم اب
تَ ُعولُوا َأاَّل َأ ْدنَى َذلِ َك َأ ْي َمانُ ُك ْم ْ َملَ َكت َما َأ ْو
Arab-Latin: Wa in khiftum allā tuqsiṭụ fil-yatāmā fangkiḥụ mā ṭāba lakum minan-nisā`i
maṡnā wa ṡulāṡa wa rubā', fa in khiftum allā ta'dilụ fa wāḥidatan au mā malakat
aimānukum, żālika adnā allā ta'ụlụ
Artinya: ”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Qs. An Nisa :3)
Berlaku adil yang dimaksudkan adalah perlakuan yang adil dalam meladeni istri, seperti :
pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriah. Islam memang memperbolehkan
poligami dengan syarat-syarat tertentu. Dan ayat tersebut membatasi diperbolehkannya
poligami hanya empat orang saja. Namun, apabila akan berbuat durhaka apabila menikah
dengan lebih dari seorang perempuan maka wajiblah ia cukupkan dengan seorang saja.
Syari'at islam membolehkan poligami dengan batasan sampai empat orang dan
mewajibkan berlaku adil kepada mereka, baik dalam urusan pangan, tempat tinggal, serta
lainnya yang bersifat kebendaan tanpa membedakan antara istri yang kaya dengan istri yang
miskin, yang berasal dari keturunan tinggi dengan yang rendah dari golongan bawah. Bila
suami khawatir berbuat zalim dan tidak mampu memenuhi semua hak-hak mereka, maka ia
diharamkan berpoligami. Bila sanggup dipenuhinya hanya tiga maka baginya haram
menikah dengan empat orang. Jika ia hanya sanggup memenuhi hak dua orang istri maka
haram baginya menikahi tiga orang. Begitpun juga kalau ia khawatir berbuat zalim dengan
mengawini dua orang perempuan, maka haram baginya melakukan poligami.
Sebagaimana dalam firman Allah pada surat An Nisa: 8. Dalam sebuah hadits Nabi SAW juga
disebutkan :
شقُّهُ َماِئ ٌل ْ َمنْ َكا نَتْ لَهُ اِ ْم َرَأتَا ِن فَ َما َل اِلَى: قَا َل.عَن اَبِى ه َُر ْي َرةَ انَّ النَّبِ َّي صم.
ِ احدَا ُه َما َجا َء يَ ْو َم اقِيَا َم ِة َو
Artinya : Dari Abu hurairah r.a. sesungguhnya Nabi SAW. bersabda : “Barangsiapa yang
mempunyai dua orang istri lalu memberatkan kepada salah satunya, maka ia akan datang
hari kiamat nanti dengan punggung miring”.(HR. Abu Daud, Tirmizi, Nasa'i dan Ibnu Hiban).
Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.
Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa : 129)
Kalau ayat tersebut seolah-olah bertentangan dengan masalah berlaku adil pada ayat 3
surat An-Nisa, diwajibkan berlaku adil, sedangkan ayat 129 meniadakan belaku adil. Pada
hakikatnya kedua ayat tersebut tidaklah bertentangan karena yang dituntut disini adalah
adil dalam masalah lahiriah, bukan kemampuan manusia. Berlaku adil yang ditiadakan
dalam ayat ini adalah adil dalam masalah cinta dan kasihsayang.
Praktik poligami dalam masyarakat Indonesia modern juga didukung oleh adanya
kebijakan hukum dalam pemerintahan Indonesia. Hukum Perkawinan sebagaimana terdapat
dalam Undang-undang Perkawinan (UUP) nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
(KHI) memperbolehkan poligami, walaupun terbatas hanya sampai empat orang istri.
Ketentuan ini tercantum dalam pasal 3 dan 4 UUP dan pasal 55-59 KHI. UUP inkonsistensi.
Dalam pasal 3 ayat 1 ditegaskan tentang azas monogami, tetapi ayat berikutnya
memberikan kelonggaran kepada suami untuk berpoligami walau terbatas hanya sampai
empat istri. Adapun kebolehan poligami dalam KHI terdapat pada bab IX pasal 55 sampai
denga 59, antara lain menyebutkan syarat utama poligami harus berlaku adil terhadap istri-
istri dan anak-anaknya (pasal 55 ayat 2). Namun ironisnya, pada pasal 59 dinyatakan
bahwa :
"Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk
beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur diatur dalam
pasal 55 ayat 2 dan 5, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin
setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan
Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau
kasasi."
Pasal tersebut mengindikasikan lemahnya posisi istri, karena jika istri menolak memberikan
persetujuan untuk poligami, Pengadilan Agama dapat mengambil alih kedudukannya
sebagaipemberi izin, meskipun di akhir pasal tersebut terdapat klausul yang memberikan
kesempatan kepada istri untuk untuk mengajukan banding.
Alasan yang dipakai Pengadilan Agama untuk memberikan izin poligami kepada suami
antara lain :
2. Istri menderita cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
Mengenai prosedur atau tata cara poligami yang resmi diatur oleh Islam memang tidak ada
ketentuan secara pasti, namun di Indonesia dengan Kompilasi Hukum Islamnya, telah
mengatur hal tersebut.
1) Suami yang berhak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan
agama, yang pengajuannya telah diatur dengan peraturan pemerintah.
2) Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari
pengadian agama tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pengadilan agama hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari
satu orang apabila :
Persetujuan tersebut tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau istri-istrinya
tidak memungkinkan dimintai pesetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri-istrinya sekurang-kurangnya dua tahun atau
karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim.
Kemudian, dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan kepada suaminya untuk
beristri lebih dari satu orang. Berdasarkan salah satu alasan tersebut diatas, maka
pengadilan agama dapat menetapkan pemberian izin setelah memeriksa dan mendengarkan
istri yang bersangkutan di persidangan pengadilan agama dan terhadap penetapan ini, istri
atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
Larangan tersebut tetap berlaku, meskipun istri-istrinya telah ditalak raj'i masih dalam masa
iddah.
1. Mencegah perzinahan
2. Mencegah pelacuran
3. Mencegah kemiskinan
4. Meningkatkan ekonomi keluarga
Dampak Psikologis
Dampak Hukum
Seringnya terjadi nikah di bawah tangan (pernikahan yang tidak dicatatkan padaKantor
Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama), sehingga pernikahan dianggap tidaksah oleh
negara, walaupun pernikahan tersebut sah menurut agama. Pihak perempuanakan
dirugikan karena konsekuensinya suatu pernikahan dianggap tidak ada, seperti hakwaris dan
sebagainya.
Dampak Kesehatan
Baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis. Hal ini umum terjadi padarumah
tangga poligami, walaupun begitu kekerasan juga terjadi pada rumah tangga
yangmonogami.
Kasus poligaminya Bupati Garut “Aceng Fikri” dengan seorang gadis 17 tahun Fany Oktora
pada 16 Juli 2012. Pernikahannya dilakukan secara Sirri (tidak tercatat di Kantor
UrusanAgama) dengan kata lain, belum ada persetujuan dengan istri pertamanya, akibat
dari perbuatannya itu Aceng dianggap Melanggar Kode etik Birokrasi, karena
menikahi gadisDibawah Umur, secara sirri dan itu pun dilakukan tanpa persetujuan istri
pertamanya,sehingga lawan politik dari Aceng mengangkat kasus ini untuk menggugat
perbuatannyelenehnya ini. Puncaknya pada tanggal 25/2 Aceng Fikri dicopot dari
jabatannyasebagai bupati, dan ini adalah pertamakalinya dalam sejarah indonesia.
Beristri lagi jelas bikin senang kaum bapak. Tapi bagaimana nasib anak-anak
mereka.Trauma! Bahkan sampai ada yang sulit mengucapkan maaf lahir batin saat Lebaran
tiba.Hal menyakitkan itu dialami Mujib Hermani (27), yang bapaknya menikah lagi ketika
diamasih kecil. "Saya tahu bapak kawin lagi saat kelas 1 SD," ungkap Mujib di YayasanJurnal
Perempuan, Jalan Tebet Barat 8, Jakarta Selatan, Sabtu (9/12/2006).Mujib yang bersaudara
11 orang ini mengaku masih trauma dan marah terhadap bapaknya.
"Bahkan saudara-saudara saya sampai sekarang sulit menyampaikan ucapanmaaf lahir
batin saat Lebaran," ungkap dia. Saat itu, imbuh dia, kondisinya sangat tidakmengenakkan,
karena ayahnya seorang tokoh agama di NTB."Beberapa kali ibu ingin cerai, tapi tidak
pernah dikabulkan karena bapak saya tokohagama. Entah inspirasi dari mana, ibu saya
memutuskan pindah agama kalau tidak bisa bercerai," ujar dia.Karena posisi ayahnya yang
cukup terpandang itu, beberapa tokoh agama di daerahtersebut merespons dan
merapatkannya. Akhirnya orangtuanya bercerai dan dia tinggaldengan ibunya.Sementara
Lely Nurrohmah dari Pusat Pendidikan dan Informasi Iklan Hak-hakPerempuan menuturkan,
berdasarkan penelitiannya untuk tesis, poligami dapatmenimbulkan kekerasan terhadap
anak.
"Bahkan ada salah satu anak yang memilih tidak menikah karena trauma
terhadapkehidupan keluarganya, " kata dia.Dalam penelitiannya, Lely mengambil beberapa
sampel di Jawa Barat dan di pengadilan agama. Dari situ diketahui, suami-suami yang
memilih berpoligami biasanyamelakukan hal itu tanpa izin, dan strategi mereka biasanya
berbohong kepada istri pertamanya.
Pencarian makna dan hakikat manusia, dilakukan melalui berbagal pendekatan. Para
filosof memahami manusia dari sudut pandang filsafatnya masing-masing. Plato (427-347
5.M.) dan Rene Descartes (1596-1650 M.), dalam Van Peursen (1991), menyatakan bahwa
manusia adalah makhluk yang terdiri dari dua dimensi, yaitu dimensi tubuh dan dimensi jiwa
atau rohani dan jasmani. Di antara keduanya, terdapat garis pemisah secara ketat. Namun,
di antara keduanya, terdapat pula pertautan yang kuat. Menurut Plato, tubuh seolah-olah
bertolak dari jiwa. Tubuh dan jiwa mempunyai watak masing-masing.
Plato membagi watak manusia ke dalam tiga bagian; Pertama, bagian rasional
tempatnya adalah otak. Unsur rasional manusia adalah suci dan harus dibedakan dari
badan, di mana akal itu terpenjara. Kedua, bagian merasa, tempatnya di dada. Ketiga,
bagian keinginan atau selera, tempatnya di perut. Karena itu, harus berada di bawah kontrol
akal. Interpretasi Plato tentang jiwa atau akal banyak mempengaruhi pikiran Plotinus dan
Augustinus. Hasil interpretasi mereka, mampu memberikan pengaruh kepada gereja-gereja
Masehi pada perkembangan selanjutnya.
Menurut Harold Titus (Rasyidi, 1984), bahwa pandangan Plato banyak dianut orang
selama abad pertengahan, baik dalam bentuk aslinya atau dalam bentuk baru yang
dikembangkan oleh Descartes. Pikiran Plato meresap pada pemikiran modern hingga
sekarang.
Dalam pandangan Descartes, jiwa dan tubuh dipertentangkan sebagai suatu rohani
dan jasmani. Jiwa tidak pernah dapat dibagi, sementara tubuh sebaliknya. Perbedaan antara
menghendaki, menyadari, dan merasakan itu bukan merupakan bagian-bagian dari jiwa,
karena jiwa secara keseluruhan yang menghendaki, menyadari, dan merasakan. Descartes,
menyatakan bahwa ada dua substansi dalam jiwa, yaitu substansi berpikir dan substansi
berkeluasan. Namun, ia pun melukiskan bahwa Allah menggabungkan jiwa dengan
mekanisme tubuh (Van Peursen, 1991).
Aristoteles (384-322 S.M.), salah seorang murid Plato, berpendapat bahwa manusia
merupakan mahkluk yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu tubuh, jiwa, dan roh, Manusia
sebagai mahkluk yang berdiri sendiri dan berkembang menjadi bentuk lain yang tidak dapat
dilepaskan antara satu dimensi dengan dimensi lainnya. Roh merupakan kemampuan yang
reflektif dan khas bagi manusia saja, namun manusia sendiri tidak sanggup menjelaskan
secara pasti tentang roh tersebut, karena masalah roh adalah masalah metafisik.
Bagi Aristoteles, istilah metafisik, berarti filsafat pertama (first philosophy), yakni
pembicaraan tentang prinsip-prinsip yang paling universal. Kemudian, istilah tersebut,
mempunyai arti sesuatu di luar kebiasaan “beyond nature” (meta-physikon). Metafisik
membicarakan watak yang sangat mendasar (ultimate) dari benda, atau realitas yang
berbeda di belakang pengalaman yang langsung (immedite experience), termasuk watak
fisik dan psikis manusia (Harold H. Titus dalam Rasyidi, 1984).
Pencarian makna manusia menurut para ahli filsafat, tidak menemukan kesimpulan
yang sama. Pada umumnya, mereka mengakui bahwa manusia terdiri dari beberapa
dimensi. Mereka bergelut dengan berbagai argumentasi tentang keterkaitan antara tubuh,
jiwa, dan rah, sedangkan esensi manusia itu sendiri tidak ditemukan secara meyakinkan,
karena mereka tidak memandang manusia secara utuh. Pandangan mereka tidak
melahirkan pemahaman yang komprehensif, disebabkan faktor subjektifitas mereka,
maupun kemampuan nalar mereka masing-masing.
Menurut Musa Asy’ari (1992), pencarian hakikat manusia tidak bisa hanya terpaku
pada pemikiran tentang sesuatu yang dianggap menjadi unsur pokok paling menentukan
dirinya, seperti dalam pandangan materialisme (serba materi), yang meyakini materi
sebagai unsur pokok yang menentukan kehidupan manusia. Sebaliknya, dalam pandangan
spiritualisme (serba roh) yang meyakini bahwa rohani sebagai unsur pokok yang
menentukan kehidupan manusia. Pandangan-pandangan yang melacak unsur pokok pada
asal mula adanya manusia, dapat mengakibatkan terabaikannya aspek dinamika dan realita
kehidupannya. Carrel, berpendapat bahwa sebenarnya manusia telah mencurahkan
Perhatian dan usaha yang sangat besar untuk mengetahui dirinya,kendatipun kita memiliki
pembendaharaan yang cukup banyak, sebagai hasil penelitian para ilmuwan, filosof,
sastrawan, dan para ahli bidang keruhanian sepanjang masa ini. Akan tetapi, kita (manusia)
hanya mampu mengetahui beberapa segi tertentu dari diri kita sendiri. Kita tidak
mengetahui manusia secara utuh. Yang kita ketahui hanyalah bahwa manusia terdiri dari
bagian-bagian tertentu dan ini pun pada hakikatnya dibagi lagi menurut tata cara kita
sendiri. Pada hakikatnya, kebanyakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh mereka
yang mempelajari manusia, kepada diri mereka hingga kini masih tetap tanpa jawaban
(Quraish Shihab, 1995).
Apabila pandangan Carrel dapat kita terima, maka satu-satunya jalan untuk
mengenal dengan baik siapa manusia itu adalah merujuk pada petunjuk Tuhan sebagai
pencipta, pemilik, dan pemelihara manusia, agar kita mendapat jawaban yang mendekati
kebenaran.
Menurut Quraish Shihab (1996), untuk mencari makna manusia dalam pandangan
Al-Qur’an, tidak cukup merujuk pada satu atau dua ayat saja, tetapi seharusnya merujuk
pada keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an. Paling tidak, pada ayat-ayat pokok yang berbicara
tentang manusia secara spesifik, dengan mempelajari konteks ayat masing masing dan
mencari penguat baik dari penjelasan-penjelasan Rasul maupun hakikat-hakikat ilmiah yang
telah mapan. Cara semacam ini, dikenal dalam disiplin ilmu Al-Qur’an dengan sebutan
metode maudhu’i atau metode tematis.
Selain ketiga kata itu, terdapat juga penyebutan manusia dalam Al Qur’an dengan
kata Bani Adam. Yang secara etimologis, merujuk pada keturunan Nabi Adam as. Al-
Thabaththaba’i mengemukakan bahwa penggunaan kata Bani Adam menunjuk pada arti
manusia secara umum. Lebih lanjut, ia menyatakan setidaknya dalam penunjukkan kata ini
terdapat tiga aspek yang dikaji. Pertama, anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan
Allah, di antaranya adalah berpakaian guna menutup auratnya. Kedua, mengingatkan pada
keturunan Adam agar jangan terjerumus pada bujuk rayu setan yang mengajak pada
keingkaran. Ketiga, memanfaatkan semua yang ada di alam semesta dalam rangka ibadah
dan mentauhidkan-Nya (Tedi Priatna, 2004).
ولقد كرمنا بني أدم وحملتهم في البر والبحر ورزقتهم من الطيبت * وفضلتهم على كثير ممن خلقنا تفصيال
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami Abban mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan”
وإذ أخذ ربك من بني أدم من ظهورهم ذريتهم وأشهدهم على أنفسهم است
بريكة قالوا بلى شهدنا أن تقولوا يوم القيمة إذا كنا عن هذا تغفلي
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sul mereka
dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku
ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya
kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.
ونسلونك عن الروح قل الروح من أمر رقي وما أوتيتم من العلم اال قليالت
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “Ruh itu termasuk Arusan
Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”
Dimensi kedua, yaitu akal. Sebagaimana termaktub dalam QS Ali-Imran Ayat 190:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”.
Dimensi ketiga adalah fisik. Hal ini sebagaimana termaktub dalam QS Al-Hujurat
Ayat 13:
يأيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند هللا انفسكم إن هللا عليم خبير
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.”
Kemudian fisik manusia sangatlah sempurna sebagaimana pula dalam QS Al-Tiin Ayat 4:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik Baiknya”
3) Ketiga, Manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi dasar yang cenderung
menerima kebenaran Tuhan dan dapat berpikir positif, lurus atau “Hanif”, memiliki
motivasi, kecerdasan, kebutuhan, perbedaan individual, dapat dipengaruhi dan suka
berubah sehingga sangat memungkinkan untuk dapat dididik. Sebagaimana
termaktub dalam QS Al-Ruum Ayat 30:
ٰ ٰ
ِ ق هَّللا ِ ۚ َذلِ َك الدِّينُ ا ْلقَيِّ ُم َولَ ِكنَّ َأ ْكثَ َر النَّا
َس اَل يَ ْعلَ ُمون ِ فََأقِ ْم َو ْج َه َك لِلد
َ َِّّين َحنِيفًا ۚ فِ ْط َرتَ هَّللا ِ الَّتِي فَطَ َر الن
ِ اس َعلَ ْي َها ۚ اَل تَ ْب ِدي َل لِ َخ ْل
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu: Tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
Dari berbagai penjelasan tentang hakikat manusia itu, kendalinya terdapat pada
keimanan seseorang untuk senantiasa mampu menjaga fitrahnya. Tafsir (2008), menyatakan
bahwa core manusia adalah iman. Iman merupakan world view-nya manusia. Iman terletak
di dalam kalbu. Pendidikan, menurutnya, harus diarahkan pada mengisi kalbu dengan
mempertebal keimanan manusia.
Ini pula yang sekarang disadari limuwan barat, lebih diarahkan pada dimensi kecerdasan
akal dan keterampil fisik. Jargon sains barat yang “bebas nilai telah meminggirka
“keimanan”, Akal dijadikan pusat kendali. Kebenaran pun dius logis atau tidaknya sesuatu,
Kebenaran diukur dengan akal. Deng lain, patokan kebenaran adalah manusia. Ini adalah
kelemahan sangat fatal dalam memahami hakikat manusia.
Berangkat dari pemahaman tentang hakikat manusia menurut Islam yang merujuk
pada kitab suci Al-Qur’an, Hadits, dan pendapat para ulama, dapat disimak esensinya bahwa
manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang sengaja diciptakan untuk menjadi khalifah di
muka bumi (khaifah fi al-ard), dengan tugas pokok beribadah kepada Allah Swt. (‘abd Allah).
Eksistensi manusia ditentukan oleh keberfungsian potensi potensi yang ada dalam dirinya,
sesuai dengan petunjuk Sang Pencipta.
Dari uraian di atas, dapat diambil maknanya bahwa konsep Islam tentang manusia,
memiliki keluasan dan jarak yang tidak dimiliki konsep manapun. Dengan dianugerahi
potensi yang sempurna, manusia diberi kebebasan untuk memilih jalan. Dalam pandangan
Al-Qur’an, Allah telah mengilhamkan kepada manusia jalan kekafiran dan ketakwaan.
Artinya, bahwa manusia memiliki potensi baik dan buruk. Sebagaimana ditegaskan dalam
QS Al-Syams Ayat 8:
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu Galan) kefasikan dan ketakwaan”.
Dengan dibekali potensi sempurna manusia diberi tugas oleh Allah menjadi Khalifah
atau wakil-Nya di muka bumi. Oleh sebab itu, ia harus berusaha secara maksimal agar
memilki sifat-sifat ketuhanan. Sifat-sifat ini memiliki dimensi sangat luas, artinya manusia
tidak terbatas mengembangkan potensi baiknya dalam mencapai kemajuan, baik kemajuan
moral, spiritual maupun intelektualnya.
Untuk mengoptimalkan tugas manusia sebagai ‘abd Allah dan terlebih fungsi
manusia sebagai khalifah fi al-ard dibutuhkan pendidikan. Ahmad Tafsir (2008),
mengemukakan bahwa pendidikan diarahkan untuk memanusiakan manusia. Oleh karena
itu, dalam Islam, pengembangan sains dan teknologi sangat dianjurkan. Penggunaan akal
dan keterampilan fisik memang diharuskan. Namun, hal itu harus bersamaan dengan nilai-
nilai. Nilai-nilai itu dikendalikan oleh iman. Artinya, berbagai bentuk pengembangan potensi
yang berkaitan dengan fungsi manusia sebagai khalifah di bumi, dalam penggunaan dan
pemanfaatannya semata-mata sebagai bentuk ibadah kepada Allah. Dengan kata lain, untuk
menggapai rida Allah Swt.
Apabila potensi yang diberikan Allah tidak digunakan pada hal yang baik, justru akan
mengantarkan manusia ke jurang kehinaan. Sebagaimana ditegaskan Allah dalam QS
Al-‘Arâf ayat 179:
ۚ س َمعُونَ بِ َها ْ َصرُونَ ِب َها َولَ ُه ْم آ َذانٌ اَل ي ِ وب اَل يَ ْفقَهُونَ ِب َها َولَ ُه ْم َأ ْعيُنٌ اَل يُ ْب ِ َولَقَ ْد َذ َرْأنَا لِ َج َهنَّ َم َكثِي ًرا ِمنَ ا ْل ِجنِّ َواِإْل ْن
ٌ ُس ۖ لَ ُه ْم قُل
ٰ
َض ُّل ۚ ُأولَِئكَ ُه ُم ا ْل َغافِلُون ٰ
َ ُأولَِئ َك َكاَأْل ْن َع ِام بَ ْل ُه ْم َأ
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam itu kebanyakan dari golongan
jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak difungsikan untuk memahami ayat-
ayat Allah, dan meraka mempunyai telinga tetapi tidak difungsikan untuk mendengar ayat-
ayat Allah, mereka mempunyai mata tetapi tidak difungsikan untuk melihat tanda-tanda
kekuasaan Allah. Mereka itu bagaikan binatang ternak bahkan lebih sesat dari padanya.
Mereka itulah orang-orang yang lalai” .
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dalam islam, masalah poligami juga tidak serta merta diperbolehkan dan
masih juga berupa perkara yang masuk dalam konteks "pertimbangan", hal ini
terbukti dalam ayat-ayat ataupun suatu riwayat yang dijadikan dasar sumber hukum
dalam perkara poligami sendiri juga terikat aturan- aturan, syarat-syarat serta
ketentuan lain berupa yang kesanggupan, keadilan dan faktor lainnya yang harus
dipenuhi dalam berpoligami.
Dari uraian di atas, dapat diambil maknanya bahwa konsep Islam tentang
manusia, memiliki keluasan dan jarak yang tidak dimiliki konsep manapun. Dengan
dianugerahi potensi yang sempurna, manusia diberi kebebasan untuk memilih jalan.
Dalam pandangan Al-Qur’an, Allah telah mengilhamkan kepada manusia jalan
kekafiran dan ketakwaan. Artinya, bahwa manusia memiliki potensi baik dan buruk.
DAFTAR PUSTAKA
Al 'Attar, Abdul Nasir Taufiq ., Poligami di Tinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang-
Undangan. (Jakarta: Bulan Bintang. 1976).
Abdul Nasir Taufiq Al 'Atthar., Poligami di Tinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang-
Undangan. (Jakarta: Bulan Bintang. 1976). Hal. 11
Abdul Nasir Taufiq Al 'Atthar., Poligami di Tinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang-
Undangan. Hal. 12-13
Abdul Nasir Taufiq Al 'Atthar., Poligami di Tinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang-
Undangan. Hal. 15-17.
Rahawarin,Yunus, dkk. 2022. Buku Ajar Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi
Umum. Depok: RajaGrafindo Persada.