Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

FIQIH MUAMALAH & MUNAKAHAT

Tentang

POLIGAMI

Disusun Oleh:

Kelompok 13
Andre Aldi Saputra : 2114010169
Iftahul falah : 2114010163
M. Rusydan Hamdi : 2114010173

Dosen Pengampu:

Dr. Widya Sari, M. A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI-D)


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
IMAM BONJOL PADANG
1444 H / 2023 M
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT. Dialah yang telah


menganugerahkan Al-Qur’an sebagai hudan lin naas (petunjuk bagi seluruh
manusia) dan rahmatan lil’alamin (rahmat bagi segenap alam). Dialah yang
Maha Mengetahui makna dan maksud kandungan Al-Qur’an. Shalawat dan
salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. utusan dan
manusia pilihan. Dialah penyampai, pengamal dan suri tauladan bagi umat
islam.

Alhamdulillah, penulis bersyukur kepada Allah SWT karena berkat


karunia dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah
“Fiqih Muamalah & Muanakahat” yang dibimbing oleh dosen, Dr.
Widya Sari, M. A melalui beberapa tahap dan proses meskipun belum
sempurna. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
berpartipasi dalam pembuatan makalah ini.

Dengan adanya makalah ini, diharapkan dapat memberikan


kemudahan dan manfaat bagi kita pembaca. Penulis menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu kritik dan saran
yang membangun sangat penulis harapkan dari pembaca agar makalah
selanjutnya dapat menjadi lebih baik lagi.

Padang, 13 Juni 2023

Pemakalah

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................i

DAFTAR ISI ................................................................................................ii

BAB I PENDDAHULUAN ..........................................................................1

A. Latar Belakang Masalah.....................................................................1


B. Rumusan Masalah .............................................................................2
C. Tujuan Masalah .................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN..............................................................................3

A. Pengertia Poligami.............................................................................3
B. Hukum dan Syarat Poligami..............................................................5
C. Alasan dan Prosedur Poligami...........................................................6

BAB III PENUTUP.....................................................................................12

A. Kesimpulan.......................................................................................12
B. Saran.................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................iii

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Menikah adalah salah satu Sunnah Rasulullah saw. yang
tergolong penting. Bahkan Rasulullah pernah berkata akan
mengeluarkan seseorang dari barisan umatnya jika membenci atau
tidak mau untuk menikah. Oleh sebab itu, dalam Islam tidak ada
yang namanya pemisahan diri dengan kelompok tertentu yang
memiliki jenis kelamin yang berbeda.
Islam sangat melarang adanya sesorang yang menghindar
untuk menikah, baik itu laki atau perempuan yang dengan sengaja
menghindar untuk dinikahi karena sebab-sebab tertentu. Misalnya,
seorang wanita ingin tetap dalam kesucian.1
Kata poligami selalu saja dikaitkan dengan apa yang
dilakukan oleh Nabi saw. beliau berpoligami dengan cara yang
dibenarkan oleh syariat dengan pengaplikasian ayat-ayat dalam al-
Qur’an yang mengatakan laki-laki boleh memiliki istri lebih dari
satu.
Dengan adanya ayat tersebut yang menjadi pegangan bagi
kaum laki-laki untuk melakukan poligami. Tetapi, banyak diantara
umat Rasulullah saw. yang kurang atau tidak mengerti sama sekali
akan makna poligami yang benar, sehingga menjadikan poligama
hanya untuk melampiaskan kebutuhan seksual saja dan
menghilangkan tujuan mulia yang ada di dalamnya.2
Persoalan yang paling banyak dibicarakan dalam lingkup
perkawinan adalah poligami. Poligami ini memang sangat
kontroversial, ada satu sisi menolak poligami dengan sandaran
berbagai macam, baik itu yang bersifat normatif, psikologis bahkan

1
Muhammad Yahya, Poligami Dalam Perspektif Nabi saw (Makassar: Alauddin
University Perss, 2013), h.
2
Agus Mustofa, Poligami Yuuk! (Surabaya: PADMA Press), h. 225

1
banyak pula yang mengaitkan dengan munculnya ketidakadilan
gender.
Banyak pula penulis-penulis barat yang mengatakan bahwa
ajaran poligami ini awalnya bersumber dari agama Islam yang
sangat diskriminatif terhadap kaum perempuan. Kemudian disisi
lain, poligami ini malah dikampanyekan karena mereka menganggap
memiliki sandaran normatif yang jelas dan tegas. Kelompok yang
pro tersebut memandang dengan adanya pembolehan tentang
poligami ini bisa menjadi alternatif untuk mengurangi
perselingkuhan dan prostitusi yang merajalelaPersoalan yang paling
banyak dibicarakan dalam lingkup perkawinan adalah poligami.
Poligami ini memang sangat kontroversial, ada satu sisi menolak
poligami dengan sandaran berbagai macam, baik itu yang bersifat
normatif, psikologis bahkan banyak pula yang mengaitkan dengan
munculnya ketidakadilan gender.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu poligami?
2. Apa syarat dan hukum dari poligami?
3. Apa alasan dan prosedur poligami?
C. Tujuan
1. Menjelaskan apa itu poligami
2. Menjelaskan apa syarat dan hukum dari poligami
3. Menjelaskan apa alasan dan prosedur poligami

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Poligami
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, dari kata poly
yang berarti banyak dan gamien yang berarti kawin, jika
digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak (Bibit
suprapto, 1990: 61). Bandingkan dengan (Labib MZ, 1986: 15).
Dalam bahasa Arab poligami disebut ta’adud al-zawajah. Poligami
diartikan dengan perkawinan yang dilakukan dengan beberapa
pasangan pada waktu bersamaan. Dengan demikian poligami itu
tidak terbatas hanya dilakukan oleh lelaki, tetapi juga oleh
perempuan. Istilah khusus yang mengacu pada perkawinan
seseorang laki-laki dengan beberapa orang perempuan adalah
poligini (polyginy) dan yang mengacu pada perkawinan antara
seorang perempuan dengan beberapa orang laki-laki adalah poliandri
(polyandry).
Pengertian poligami yang berlaku di masyarakat adalah
seorang laki-laki kawin dengan banyak wanita. Menurut tinjauan
Islam poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu,
dengan batasan umum yang dibolehkan hanya sampai empat wanita.
Istilah lain yang maknanya mendekati makna poligami yaitu
poligini, kata ini berasal dari poli atau polus dalam bahasa Yunai
yang artinya banyak, dan gini atau gene artinya isteri, jadi poligini
arrtinya beisteri banyak (Badriyah Fahyimi, 2002: 40).
Dalam Ensiklopedi Nasional, poligami diartikan suatu
pranata perkawinan yang memungkinkan terwujutnya keluarga yang
suaminya memiliki lebih dari seorang isteri atau isteri memiliki lebih
dari seorang suaminnya. Istilah yang lebih tepat dalam permasalah di
atas sebenarnya adalah “poligini” yaitu seorang suami memiliki dua
atau lebih isteri dalam waktu yang sama, sedangkan poligami adalah
istilah yang digunakan untuk menyebut perkawinan yang lebih dari
satu, baik laiki-laki atau perempuan.

3
Istilah poligami sering dipakai untuk mengacu kepada
poligini, karena praktek ini sering dilaksanakan dalam masyarakat
dibandingkan dengan poliandri (seorang isteri mempunyai suami dua
orang dalam waktu yang sama). Selanjutnya penulis menggunakan
istilah poligami untuk menyebut seorang suami yang memiliki lebih
dari seorang isteri.3
Poligami sendiri berasal dari bahasa Yunani. Kata ini
merupakan penggalan kata poli dan polus yang artinya banyak, dan
kata gemein atau gamos, yang artinya kawin atau perkawinan. Maka,
ketika kedua kata ini digabungkan akan berarti suatu perkawinan
yang banyak. Dalam Islam, arti dari poligami adalah perkawinan
yang dilakukan lebih dari satu dengan memiliki batasan yang telah
ditentukan, yang pada umumnya dipahami sampai dengan empat
wanita. Ada pula yang memahami bahwa poligami dalam Islam bisa
sampai Sembilan atau lebih. Akan tetapi, poligami dengan batasan
sampai dengan empat istri ini lebih umum dipahami dengan
dukungan dari sejarah, sebab Rasulullah saw. Melarang umatnya
melakukan pernikahan lebih dari empat wanita.
Agama Nasrani pada awalnya tidak melarang atau
mengharamkan poligami, landasan diperbolehkannya karena dalam
kitab Injil tidak satupun ayat yang melarang keras melakukan
poligami. Berbeda dengan agama Yunani dan Romawi yang
memang dari awal memarang melakukan poligami. Setelah mereka
memeluk agama Kristen, mereka tetap menjalankan monogami yang
dianggap sebagai ajaran dari nenek monyang mereka terdahulu yang
melarang poligami. Oleh karena itu, orang-orang Kristen bangsa
Eropa tetap melaksanakan perkawinan dengan asas monogami.
Dengan demikian, ajaran mengenaai monogami ini bukan murni dari
agama Kristen, melainkan ajaran lama yang mereka anut. Gereja
kemudian menjadikan larangan poligami sebagai peraturan dan

3
Suprapto, Bibit. 1990. liku-liku poligami. Yogyakarta: Al-Kausart

4
ajaran dari agama, meskipun pada dasarnya dalam kitab Injil tidak
disebutkan larangan poligami.4

B. Hukum dan syarat poligami


1. Hukum Poligami di Indonesia

Negara Indonesia sebagai negara hukum, memiliki


peraturan tesendiri mengenai perkawinan, yang tertuang dalam
UU No. 1 Tahun 1974. Dalam pasal 3 (1) UU No. 1/1974
undang-undang tersebut secara jelas bahwa hukum perkawinan
di Indonesia menganut asas monogami yang diperuntukkan bagi
laki-laki maupun bagi perempuan. Akan tetapi, dalam undang-
undang ini pula terdapat pengecualian, seorang suami bisa
beristri lebih dari satu orang apabila ada izin dari pihak yang
bersangkutan, dalam hal ini istri terdahulu. Adanya pengecualian
ini berlandaskan pada agama yang tidak mengharamkan praktik
poligami.5

Berkaitan dengan undang-undang yang berlaku di


Indonesia yang tidak memberikan kelonggaran terhadap
poligami, kecuali dalam keadaan yang mendesak sehingga tidak
ada jalan lain yang bisa ditempuh, sejalan dengan ajaran Islam
yang memberikan syarat ketat terhadap calon pelaku poligami.
Oleh karena itu, jika syarat-syarat yang ditentukan telah
terpenuhi maka pelaku poligami tidak akan mengalami kesulitan
dalan berumah tangga akibat dari tuntutan istri-istrinya.6

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang


Pelaksanaan UU No. 1/1974) juga secara tegas tdiak
memperbolehkan poligami kecuali jika pihak yang bersangkutan
memberikan izin persetujuan.25 Begitu pula dalam Kompilasi
4
Suprapto, Bibit. 1990. liku-liku poligami. Yogyakarta: Al-Kausart
5
Muhammad Saleh Ridwan, Perkawinan Dalam Prespektif Hukum Islam dan
Hukum Nasional, h. 86-87.
6
Umar Syihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran, h. 120-121

5
Hukum Islam (KHI) Pasal 55 dinyatakan bahwa laki-laki bisa
beristri lebih dari satu orang sampai empat orang dengan syarat
suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-
anaknya, dan apabila syarat tersebut dikhawatirkan tidak
terpenuhi maka suami dilarang beristri lebih dari satu.7

2. Syarat Poligami
a. Jumlah istri paling banyak adalah empat, dan tidak boleh
lebih.
b. Bisa berbuat dan berlaku adil antara istri-istrinya.
c. Adanya kemampuan jasmani dan nafkah dalam bentuk harta.

Ketiga syarat yang dikemukakan di atas harus terpenuhi.


Baik itu syarat satu, dua dan tiga membolehkan seorang lelaki
yang hendak berpoligami untuk menikahi sampai empat
perempuan secara adil. Hukum berlaku adil yang disebut di atas
adalah fardhu atau wajib. Jadi, meninggalkannya adalah dosa
dan pelanggaran

C. Alasan dan Prosedur Poligami


1. Alasan Poligami
Pada dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang istri. Seorang suami yang beristri lebih dari seorang
dapat diperbolehkan bila dikendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan dan Pengadilan Agama telah memberi izin (Pasal 3
ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Dasar
pemberian izin poligami oleh Pengadilan Agama diatur dalam
Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan (UUP) dan juga
dalam Bab IX KHI Pasal 57 seperti dijelaskan sebagai berikut:

7
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia:
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, h.
166.

6
a) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
isteri,
b) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak
dapat disembuhkan:
c) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Apabila diperhatikan alasan pemberian izin melakukan


poligami di atas. dapat dipahami bahwa alasannya mengacu
kepada tujuan pokok pelaksanaan perkawinan, yaitu membentuk
rumah tangga yang bahagia dan kekal (istilah KHI disebut
sakinah, mawaddah, dan rahmah) berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Apabila tiga alasan yang disebutkan di atas menimpa
suami-istri maka dapat dianggap rumah tangga tersebut tidak akan
mampu menciptakan keluarga bahagia (mawaddah dan rahmah).

2. Prosedur Poligami

Prosedur poligami menurut Pasal 40 Peraturan Pemerintah


Nomor 9 Tahun 1974 menyebutkan bahwa apabila seorang suami
bermaksud untuk beristri lebih dari seorang. maka ia wajib
mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Hal
ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 56, 57, dan 58 Kompilasi
Hukum Islam sebagai berikut: Pasal 56 KHI

a) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus


mendapat izin dari Pengadilan Agama.
b) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1)
dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam
Bab VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
c) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga
atau ke empat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak
mempunyai kekuatan hukum.

Pasal 57 KHI

7
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada suami
yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

a) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai


isteri
b) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak
dapat disembuhkan
c) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Kalau Pengadilan Agama sudah menerima permohonan


izin poligami, kemudian ia memriksa berdasarkan Pasal 57 KHI:

a) Ada atau tidaknya alasan yang memugkinkan seorang


suami kawin lagi.
b) Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan
lisan maupun tulisan, apabila persetujuan itu merupakan
persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di
depan sidang pengadilan:
c) Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin
keperluan hiduo istri-istri dan anak- anak, dengan
memperlihatkan:
Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang
ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja, atau Surat
keterangan pajak penghasilan, atau Surat keterangan lain yang
dapat diterima oleh pengadilan.

Pasal 58 ayat (2) KHI

Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 41 huruf b


Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, persetujuan istri
atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan,
tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini
dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan
Agama.

8
Adapun tata cara teknis pemeriksaan menurut Pasal
42 PP Nomor 9 Tahun 1975 adlah sebagai berikut:

1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal


pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil
dan mendengar istri yang bersangkutan.
2) Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh
hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
setelah diterimanya surat permohonan beserta
lampiran-lampirannya.

Apabila terjadi sesuatu dan lain hal, istri atau istri-istri


tidak mungkin diminta persetujuannya atau tidak dapat menjadi
pihak dalam perjanjian, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Pasal 5 ayat (2) menegaskan: Persetujuan yang dimaksud pada
ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami
apabila istri/istri-istrinya tidak mengkin dimintai
persetujuannya, dan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istri-istrinya selama
sekurang-sekurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab
lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim Pengadilan
(bandingkan juga dengan Pasal 58 KHI). Namun, bila
Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon
untuk beristri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan
putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang
(Pasal 43 PP Nomor 9 Tahun 1975). Kalau sang istri tidak mau
memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri
lebih dari satu orang berdasarkan salah satu alasan yang diatur
dalam Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 57. Pengadilan Agama dapat
menetapkan pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar
istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan
terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan
banding atau kasasi (Pasal 59 KHI). Apabila keputusan hakim
yang mempunyai kekuatan hukum tetap, izin pengadilan tidak

9
diperoleh, maka menurut ketentuan Pasal 44 PP Nomor 9
Tahun 1975, Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan
pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih
dari seorang sebelum adanya izin pengadilan seperti yang
dimaksud dalam Pasal 43 PP Nomor 9 Tahun 1975.

Ketentuan hukum yang mengatur tentang pelaksanaan


poligami seperti telah diuraikan di atas mengikat semua pihak.
pihak yang akan melangsungkan poligami dan pegawai percatat
perkawinan. Apabila mereka melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan pasal-pasal di atas. dikenakan sanksi pidana.
Persoalan ini diatur dalam Bab IX Pasal 45 PP Nomor 9 Tahun
1975: (1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku. maka: a. Barang siapa yang
melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, Pasal 10 ayat
(3), 40 Peraturan Pemerintah akan dihukum dengan hukuman
denda setinggi-tingginya Rp.7.500,00 (tujuh ribu lima ratus
rupiah): b. Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang
diatur dalam Pasal 6, 7. 8. 9. 10 ayat (1), 11. 12. dan 44
Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan
selama- lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya
Rp.7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah). (2) Tindak pidana
yang dimaksud dalam ayat (1) di atas, merupakan pelanggaran.

Ketentuan hukum poligami yang boleh dilakukan atas


kehendak yang bersangkutan melalui izin Pengadilan Agama,
setelah dibuktikan kemaslahatannya. Dengan kemaslahatan
dimaksud, terwujudnya cita-cita dan tujuan perkawinan itu
sendiri, yaitu rumah tangga yang kekal dan abadi atas dasar
cinta dan kasih sayang yang dinidhai oleh Allah SWT. Oleh
karena itu, segala persoalan yang dimungkinkan akan menjadi
penghalang bagi terwujudnya tujuan perkawinan tersebut,
sehingga mesti dihilangkan atau setidaknya dikurangi Status
hukum poligami adalah mubah. Mubah dimaksud, sebagai

10
alternatif untuk beristri hanya sebatas 4 (empat) orang istri. Hal
itu ditegaskan oleh Pasal 55 KHI sebagai berikut: (1) Beristeri
lebih dari satu orang dalam waktu bersamaan, terbatas hanya
sampai empat orang isteri. (2) Syarat utama beristeri lebih dari
satu orang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-
isteri dan anak-anaknya. (3) Apabila syarat utama yang disebut
pada ayat 2) tidak mungkin terpenuhi, suami dilarang beristeri
lebih dari satu.

Dasar pertimbangan KHI adalah hadits Nabi


Muhammad SAW. yang diriwayatkan oleh Ahmad, At-
Tirmidzi, dan Ibn Hibban yang mengugkapkan bahwa
sesungguhnya Gailan Ibn Salamah masuk Islam dan ia
mempunyai 10 (sepuluh) orang istri. Mereka bersama-sama,
dan dia masuk Islam. Maka Nabi Muhammad SAW.
memerintahkan kepadanya agar memilih empat orang saja di
antaranya dan menceraikan yang lainnya.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Poligami adalah perkawinan yang dilakukan lebih dari satu
dengan memiliki batasan yang telah ditentukan, yang pada umumnya
dipahami sampai dengan empat wanita. Ada pula yang memahami
bahwa poligami dalam Islam bisa sampai Sembilan atau lebih. Akan
tetapi, poligami dengan batasan sampai dengan empat istri ini lebih
umum dipahami dengan dukungan dari sejarah, sebab Rasulullah
saw. Melarang umatnya melakukan pernikahan lebih dari empat
wanita.
Salah satu ulama ternama, Syaikh Mustafa Al-Adawiy,
menyebutkan bahwa hukum poligami adalah sunnah. Poligami juga
sifatnya tidak memaksa. Kalau pun seorang perempuan tidak mau dimadu
atau seorang laki-laki tidak mau berpoligami, maka itu tak jadi masalah.

B. Saran
Dengan terselesainya makalah ini, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
pembaca karena makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari
segi pengetikan maupun dari segi penyusunan. Semoga penyusun
dan pembaca dapat mengerti dan memahami materi dalam makalah
ini

12
DAFTAR PUSTAKA

Mustofa, Agus. Poligami Yuuk! (Surabaya: PADMA Press).


Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di
Indonesia: Studi.
Yahya, Muhammad. 2013. Poligami Dalam Perspektif Nabi saw (Makassar:
Alauddin University Perss).
Ridwan, Muhammad Saleh. Perkawinan Dalam Prespektif Hukum Islam
dan Hukum Nasional

Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI
Suprapto, Bibit. 1990. liku-liku poligami. Yogyakarta: Al-Kausart
Syihab, Umar, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran

iii

Anda mungkin juga menyukai