Oleh
Fani Aditia
2210140172
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................1
C. Tujuan Kegunaan..........................................................................................................2
D. Metode Penulisan..........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................3
A. Kesimpulan................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................15
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Eka Safliana, “Al-Qur’an Sebagai Pedoman Hidup Manusia”, JIHAFAS, Vol. 3, No. 2
(Desember 2020), 70.
2
Fitrah Sugiarto, dkk, “Wawasan Al-Qur’an Tentang Poligami Dalam Islam”,
Madinah: Jurnal Studi Islam, Vol. 8, No. 2 (Desember 2021), 251.
1
2
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar penelitian dan penulisan ilmiah?
2. Bagaimana struktur penelitian ilmiah?
3. Bagaimana struktur dan teknik notasi penulisan ilmiah?
C. Tujuan Penulisan
D. Metode Penulisan
Adapun metode penulisan yang digunakan dalam makalah ini yaitu
dengan telaah kepustakaan (Library Research) dan (Internet Research)
sebagai referensi yang ada kaitannya atau hubungan dengan pembuatan
makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Poligami
Secara etimologis, poligami berasal dari bahasa Yunani poly atau
polus yang berarti banyak dan gamein atau gamos yang memiliki arti
perkawinan. Dalam bahasa Arab, istilah yang dipakai untuk poligami adalah
ta’addud az-zaujat. Dari segi bahasa, poligami berarti pernikahan yang banyak
atau perkawinan yang lebih dari seorang.3 Secara terminologis berarti seorang
laki-laki mempunyai lebih dari satu istri. Dalam istilah lainnya ialah seorang
laki laki beristri lebih dari seorang, tetapi dibatasi paling banyak empat orang.4
Dalam kamus hukum, poligami adalah ikatan di mana salah satu pihak
mempunyai atau menikah beberapa lawan jenis dalam waktu yang tidak
berbeda. Berdasarkan hal tersebut, poligami mempunyai dua kemungkinan
makna yaitu: Pertama, seorang laki-laki menikah dengan banyak perempuan.
Kedua, seorang perempuan menikah dengan banyak laki-laki. Kemungkinan
pertama disebut poligini dan kemungkinan kedua disebut poliandri. Hanya saja
sejak berkembangnya zaman pengertian itu mengalami perubahan sehingga
poligami dipakai untuk makna laki-laki yang memiliki banyak istri, sedangkan
poligini sendiri tak lazim digunakan, khususnya di Indonesia.
Dalam Hukum Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang
lebih dari satu, dengan batasan hanya sampai empat wanita. Walaupun ada
yang memahami ayat tentang poligami dengan batasan lebih empat atau
bahkan lebih dari Sembilan istri. Perbedaan ini disebabkan dalam memahami
dan menafsirkan ayat dalam QS. An-Nisa (4): 3, sebagaimana penetapan dasar
hukum poligami.5
3
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 4, Cet. 2, (Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1994), 107.
4
Slamet Abidin dan H. Aminuddin,Fiqih Munakahat 1, (Bandung: CV. Pustaka Setia,
1999), cet. ke-1, 131.
5
Rijal Imanullah, Poligami Dalam Hukum Islam Indonesia (Analisis Terhadap Putusan
Pengadilan Agama No. 915/ Pdt.G/ 2014/ PA.BPP Tentang Izin Poligami), Jurnal Pemikiran
Hukum Islam: Mazahib Vol XV, No. 1 (Juni 2016), 108.
3
4
B. Dalil Poligami
Dalam Al-Qur’an, ayat yang kerap dijadikan dalil hukum poligami
adalah QS. An-Nisa’ ayat 3. Firman Allah tersebut membolehkan poligami
sebagai jalan keluar dari kewajiban berbuat adil yang mungkin tidak terlaksana
terhadap anak-anak yatim. Dulu orang-orang Arab gemar menikah dengan
anak perempuan yatim yang diasuhnya dengan tujuan agar ia bisa ikut makan
hartanya dan tidak perlu membayar maskawin. Untuk menghindari kezaliman
ini, seorang lelaki diizinkan mengawini perempuan lain hingga dua sampai
empat orang.6 Dalam konteks ini, jenis poligami yang dimaksud di dalam ayat
Al-Qur’an tersebut ialah poligini. Sedangkan poliandri sendiri dilarang oleh
Islam. Meski demikian, jika ayat ini saja yang digunakan sebagai acuan,
pemahaman yang diperoleh menjadi kurang utuh. Dalam konteks alasan
poligami, perlu dijabarkan pula ayat sebelum dan setelahnya. Secara lengkap,
firman Allah tentang poligami bisa dilihat pada QS. An-Nisa’ ayat 1-4 dan
127-130.
1. Q.S An-Nisa ayat 3
ِ ُت ْق ِسطُوا ىِف الْيت ٰٰمى فَانْ ِكحوا ما طَاب لَ ُكم ِّمن الن
َ ِّساۤء َم ْثىٰن َوثُ ٰل
ث َو ُربٰ َع َواِ ْن ِخ ْفتُ ْم اَاَّل
َ َ ْ َ َ ُْ َ ْ
ٓ
ك اَ ْد ٰنى اَاَّل َتعُ ْولُْو ۗا ِ ِ ِ ۚ فَاِ ْن ِخ ْفتُ ْم اَاَّل
َ ت اَمْيَانُ ُك ْم ۗ ٰذل
ْ َت ْعدلُْوا َف َواح َد ًة اَْو َما َملَ َك
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil Maka (kawinilah)
seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
6
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta, UII Press, 1999), 135.
5
ث ِ وِإ ْن ِخ ْفتم َأاَّل ُت ْق ِسطُوا يِف الْيتامى فَانْ ِكحوا ما طَاب لَ ُكم ِمن الن
َ ِّساء َم ْثىَن ٰ َوثُاَل
َ َ ْ َ َ ُ ٰ َ ََ ُْ َ
ِ ِ ِ ِ
٣ ﴿ ك َْأدىَنٰ َأاَّل َتعُولُواَ ت َأمْيَانُ ُك ْم ۚ َٰذل
ْ اع ۖ فَِإ ْن خ ْفتُ ْم َأاَّل َت ْعدلُوا َف َواح َد ًة َْأو َما َملَ َك
َ َ﴾ َو ُرب
٤ ﴿ص ُدقَاهِتِ َّن حِن ْلَةً ۚ فَِإ ْن ِطنْب َ لَ ُك ْم َع ْن َش ْي ٍء ِمْنهُ َن ْف ًسا فَ ُكلُوهُ َهنِيًئا َم ِريًئا
َ َِّساء
َ ﴾ َوآتُوا الن
Artinya: (1) Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu
sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah
selalu menjaga dan mengawasi kamu. (2) Dan berikanlah kepada anak-anak
yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik
dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu.
Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa
yang besar. (3) Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (4) Berikanlah maskawin (mahar)
kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
ۚ ص ْل ًحا ِ وِإ ِن امرَأةٌ خافَت ِمن بعلِها نُشوزا َأو ِإعراضا فَاَل جناح علَي ِهما َأ ْن ي
ُ صل َحا َبْيَن ُه َما ْ ُ َ ْ َ َ َُ ً َْ ْ ً ُ َ ْ َ ْ ْ َ َ ْ َ
ُّح ۚ َوِإ ْن حُتْ ِسنُوا َوَتَّت ُقوا فَِإ َّن اللَّهَ َكا َن مِب َا َت ْع َملُو َن
َّ س الش ِ ِ الص ْلح خير ۗ و
ُ ُأحضَرت اَأْلْن ُف
ْ َ ٌ ْ َ ُ ُّ َو
١٢٨ ﴿ ﴾ َخبِ ًريا
ۚ وها َكالْ ُم َعلَّ َق ِة ِ ِ ولَن تَست ِطيعوا َأ ْن َتع ِدلُوا ب الن
َ صتُ ْم ۖ فَاَل مَت يلُوا ُك َّل الْ َمْي ِل َفتَ َذ ُر
ْ ِّساء َولَ ْو َحَر
َ َ ْ َنْي ُ َْ ْ َ
ِ ِإ ِ ُ﴾وِإ ْن ت
١٢٩ ﴿ يما ً ورا َرح ً صل ُحوا َوَتَّت ُقوا فَ َّن اللَّهَ َكا َن َغ ُف
ْ َ
ِ ِ ِِ ِ ِإ
ً ﴾ َو ْن َيَت َفَّرقَا يُ ْغ ِن اللَّهُ ُكاًّل م ْن َس َعته ۚ َو َكا َن اللَّهُ َواس ًعا َحك
١٣٠ ﴿ يما
Artinya: (127) Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita.
Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang
dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang para
wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang
ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan
tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh
kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan
apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahuinya. (128) Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau
sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya
mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih
baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika
kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari
nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (129) Dan kamu sekali-kali tidak akan
dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin
berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada
yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. (130)
Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan
kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah
Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana.
Sesuai dengan munasabah pada surat An-Nisa’ ayat 1-4, diketahui
bahwa ayat 1 berbicara mengenai penciptaan laki-laki dan perempuan dari
sumber yang sama. Ini mengindikasikan adanya kesetaraan antara kaum Adam
dan Hawa. Sedangkan surat An-Nisa’ ayat 2 berisi perintah kepada umat Islam
supaya memberi harta anak yatim yang menjadi hak warisannya dan tidak
mengganggunya demi kepentingan si wali.
7
7
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, (Jakarta: Gema Insani, 2013), 571-572.
9
karena tidak semua apa yang dilakukan Rasul perlu diteladani, sebagaimana
tidak semua yang wajib atau yang terlarang bagi beliau, wajib dan terlarang
pula bagi umatnya. Bukankah Rasul SAW antar lain wajib bangun shalat
malam dan tidak boleh menerima zakat?, bukankah tidak abtal wudhu beliau
jika tertidur?. Lalu apakah mereka yang menyatakan ingin benar-benar
meneladani rasul dalam pernikahannya, yang jika ebnar demikian, maka
perlu diketahui bahawa semua wanita yang dinikahi Rasulullah SAW
kecuali Siti Aisyah ra adalah janda-janda, dan kesemuaannya untuk tujuan
mensukseskan dakwah, atau membantu dan menyelamatkan para wanita
yang kehilangan suami itu serta pada umumya bukanlah wanita-wanita yang
dikenal memiliki daya tarik yang memikat, dan hendaklah diketahui bahwa
istri-istri nabi yang keseluruhannya janda kecuali Aisyah Ra, dan yang
beliau kawini setelah bermonogami hingga usia 50 tahun lebih, sehingga
waktu perkawinan rasulullah bermonogami ialah lebih panjang
dibandingkan masa poligami yang mana orang tidak mau tahu dan enggan
untuk memahami latar belakang pernikahan itu.8
b. Penafsiran M.Quraish Shihab dalam Kitab Tafsir Al-Mishbah.
Tema ayat ini terdefinisikan sesuai dengan sebab turunnya, yaitu
ada kalanya tema ayat ini seputar menikahi wanita-wanita selain anak-anak
yatim perempuan. Maksudnya, jika ada seorang anak yatim perempuan
berada di bawah pengasuhan salah satu dari kalian, lalu ia ingin
menikahinya, namun khawatir ia tidak bisa berlaku adil terhadapnya dengan
tidak memberinya mahar mitsil (mahar yang biasa diberikan kepada para
wanita lainnya yang setingkat dengannya), maka hendaklah ia menikahi
wanita-wanita lainnya, karena masih banyak wanita-wanita lainnya yang
bisa ia nikahi dan Allah SWT pun tidak mempersempit dirinya dalam
memilih wanita yang lain.
Ada kalanya tema ayat ini seputar perintah berlaku adil terhadap
para wanita (istri) dan larangan bersikap zhalim terhadapnya ketika
menikahi lebih dari satu (poligami). Maksudnya, ketika ayat dua surah Al-
8
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an)
(Jakarta: Lentera Hati, 2022), 341-344 .
10
terdahulu sebelum Islam terlalu bebas, mereka dapat memililiki istri sebanyak
yang mereka inginkan kemudian Islam datang dan mengatur poligami dengan
membatasi jumlah istri yakni 4 wanita. Oleh sebab itu, tidak tepat ketika ada
yang berpendapat bahwa poligami dikembangkan oleh Islam. Islam datang
memelihara hak-hak perempuan dari sifat ketidak adilan atau ke sewenang-
wenangan sebagian lelaki. Di samping itu, poligami juga masih berkembang di
sebagian tempat yang bukan muslim. Berkaitan dengan hal tersebut, Zaini
Nasohah menyebutkan dalam bukunya bahwa orang asli afrika, india, cina, dan
jepan juga masih melakukan poligami bahkan orang kristiani pun juga
melakukan demikian. Hal ini karena memang tidak ditemukan satu ayat pun
dalam kitab injil yang melarang poligami. Lebih jauh, Zaini mnjelaskan bahwa
kalangan dari orang kristen bangsa Eropa melekukan pernikahan denga sistem
monogami itu lebih disebabkan karena mayoritas masyartakat bangsa Eropa
menyembah berhala. Sejarah mencatat bangsa Eropa awalnya terdiri dari orang
yunani dan romawi yang memiliki kebiasaan monogami. Kemudian ajaran
nasrani datang di tengah-tengah mereka, akan tetapi kebiasaan monogami itu
tetap berlanjut turun-temurun meskipun mereka sudah menganut agama
kristen. Dengan hal itu, kebiasaan monogami yang mereka lakukan lebih
cenderung dari kebiasaan nenek moyang mereka dibanding ajaran agama
mereka. Di samping itu, ketika kita memperhatikan apa yang sudah dilakukan
oleh kalangan Yahudi di timur tengah, mereka sudah terbiasa dengan cara
berpoligami. Mereka mempunyai pandangan dan dasar bahwa dalam injil tidak
ada larangan melakukan poligami bahkan dari segi jumlahnya. Oleh karena itu,
mereka dapat berpoligami dengan jumlah istri yang tidak terbatas. Perlu
diketahui bersama, bahwa Islam mengatur poligami bukan untuk melecehkan
wanita melainkan sebaliknya. Poligami yang dilakukan oleh orang-orang
sebelum Islam dianggap suatu kebiasaan. Mereka menganggap bahwa
memiliki istri yang banyak itu menjadi simbol dan lambang ketuhanan
sehingga poligami dianggap perbuatan yang suci. Adapun para wanita hanya
bisa menerima takdirnya tanpa bisa menolak itu semua. Para suami bisa
memilih wanita mana yang ia sukai untuk dijadikan sebagai istri sampai jumlah
12
yang tidak terbatas. Oleh karena itu, islam datang dan mengatur poligami
dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Islam memahami fitrah
manusia sehingga tidak menghapus paraktik poligami. Islam memberkan
batasan-batasan sebagai pedoman bagi yang ingin melakukan poligami dengan
beberapa hal:
1) Membatasi jumlah istri maksimal 4 orang. Oleh karena itu diperbolehkan
bagi seorang lelaki memiliki lebih dari 4 istri. Hal ini diperkuat dengan
riwayat yang menyebutkan bahwa ada sahabat yang memiliki 5 istri bahkan
ada yang memiliki 8 istri. Kemudian para sahabat tersebut menyampaikan
hal itu kepada Nabi dan beliau memerintahkan kepada para sahabat untuk
memilih 4 istri dari yang sudah dimilikinya. Begitulah islam melihat
keadilan itu akan sulit dilakukan sehingga pelu adanya batasan jumlah istri.
2) Menentukan syarat-syarat yang tidak ringan bagi setiap yang ingin
berpoligami. Bahkan secara logika itu hampir tidak mungkin dilakukan,
seperti sifat adil yang memiliki makna yang luas tergantug siapa yang
mengatakannya. Dua hal di atas yang menjadi aturan poligami ketika Islam
datang, Rasulullah sebagai panutan memberikan contoh dengan berupaya
berlaku adil dengan istri-istrinya.11
F. Poligami Di Indonesia
Mengenai pengaturan poligami di Indonesia ini telah diatur dalam
Undang- Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
(KHI) yang mana pada dasarnya dalam aturan tersebut menganut adanya asas
monogami dalam perkawinan. Hal ini disebut dengan tegas dalam pasal 3 ayat
1 yang menyebutkan "Pada asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang isteri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami".
Dalam suatu pernikahan, seorang pria hanya boleh mempunyai satu istri, begitu
pula seorang wanita hanya boleh memiliki satu suami. Akan tetapi, dalam
kondisi tertentu, pengadilan dapat memberikan izin kepada suami untuk beristri
lebih dari satu apabila dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan.
Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 40 Peraturan Pemerintah
11
Muhamad Arif Mustofa, “Poligami Dalam Hukum Agama Dan Negara”, Al-Imarah:
Jurnal Pemerintahan Dan Politik Islam, Vol. 02, No.1 (2017), 54-55.
13
Nomor 9 Tahun 1975 menyebutkan " Apabila seorang suami bermaksud untuk
beristeri lebih dari seorang , maka ia wajib mengajukan secara tertulis kepada
pengadilan”, seperti apa yang tersebut dalam pasal 3 ayat (2) UUPerkawinan.
Selain pasal tersebut, seorang suami yang akan melalukan poligami harus juga
memenuhi pasal 4 dan 5 UU Perkawinan, pasal 41 PP No. 9 Tahun 1975 serta
pasal 55, 56, 57, 58 dan 59 KHI.12
Menurut hukum positif di Indonesia, pengadilan hanya akan
memberikan izin kepada suami untuk beristri lebih dari satu apabila terdapat
penyebab khusus yang bersifat alternatif sebagaimana disebutkan pada pasal 4
UU perkawinan yaitu: Pertama, istri tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai istri. Kedua, istri mengalami cacat badan ataupun penyakit yang tidak
dapat disembuhkan. Ketiga, istri tidak mampu melahirkan keturunan. Selain
itu, juga terdapat beberapa syarat tambahan yang bersifat kumulatif yang harus
dipenuhi oleh sang suami agar izin poligaminya diterima oleh pengadilan,
sebagaimana disebutkan pada pasal 5 UU perkawinan antara yaitu: Pertama,
ada persetujuan dari istri ataupun istri-istrinya. Kedua, adanya kepastian bahwa
suami benar-benar mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak
keturunannya. Ketiga, adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil kepada
istri-istri dan anak mereka.
Sejalan dengan yang disebutkan dan dijelaskan pada UU perkawinan
KHI seperti yang terlihat tidak berbeda dengan Undang-undang Perkawinan
dalam masalah poligami ini. Khusus yang beragama Islam pelaksanaan
poligami diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Buku I tentang Hukum
Perkawinan Bab IX Pasal 55 sampai dengan pasal 59, untuk mengaktualkan
dan membatasi kebebasan poligami didasarkan pada alasan ketertiban umum.13
12
Surjanti, “Tinjauan Kompilasi Hukum Islam Terhadap Poligami Di Indonesia”,
Jurnal Universitas Tulungagung Bonorowo, Vol. 1, No.2 (2014), 18-19.
13
Makrum, Poligami Dalam Perspektif Al-Qur’an, Seminar dan Call For Paper FUAH
IAIN Purwokerto, 2016, 17-18.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Secara etimologis, poligami berasal dari bahasa Yunani
poly atau polus yang berarti banyak dan gamein atau gamos
yang memiliki arti perkawinan. Dalam bahasa Arab, istilah
yang dipakai untuk poligami adalah ta’addud az-zaujat.
Dari segi bahasa, poligami berarti pernikahan yang banyak
atau perkawinan yang lebih dari seorang. Secara
terminologis berarti seorang laki-laki mempunyai lebih dari
satu istri. Dalam istilah lainnya ialah seorang laki laki
beristri lebih dari seorang, tetapi dibatasi paling banyak
empat orang. Dalam kamus hukum, poligami adalah ikatan
di mana salah satu pihak mempunyai atau menikah
beberapa lawan jenis dalam waktu yang tidak berbeda.
Dalam Hukum Islam, poligami mempunyai arti perkawinan
yang lebih dari satu, dengan batasan hanya sampai empat
wanita.
2. Dalam Al-Qur’an, ayat yang kerap dijadikan dalil hukum
poligami adalah QS. An-Nisa’ ayat 3. Firman Allah tersebut
membolehkan poligami sebagai jalan keluar dari kewajiban
berbuat adil yang mungkin tidak terlaksana terhadap anak-
anak yatim. mnm Dulu orang-orang Arab gemar menikah
dengan anak perempuan yatim yang diasuhnya dengan
tujuan agar ia bisa ikut makan hartanya dan tidak perlu
membayar maskawin. Untuk menghindari kezaliman ini,
seorang lelaki diizinkan mengawini perempuan lain hingga
dua sampai empat orang. Dalam konteks ini, jenis poligami
yang dimaksud di dalam ayat Al-Qur’an tersebut ialah
poligini. Sedangkan poliandri sendiri dilarang oleh Islam.
Meski demikian, jika ayat ini saja yang digunakan sebagai
14
acuan, pemahaman yang diperoleh menjadi kurang utuh.
Dalam konteks alasan poligami, perlu dijabarkan pula ayat
sebelum dan setelahnya. Secara lengkap, firman Allah
tentang poligami bisa dilihat pada QS. An-Nisa’ ayat 1-
4 dan 127-130.
15
DAFTAR PUSTAKA
16