Anda di halaman 1dari 19

KONSEP DASAR PENELITIAN DAN PENULISAN ILMIAH, STRUKTUR

PENELITIAN ILMIAH, STRUKTUR DAN TEKNIK NOTASI


PENULISANAN ILMIAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah : Filsafat Ilmu
Dosen :
Prof. Dr. Ibnu Elmi AS Pelu, S.H., M.H & Dr. Ali Murtadho, S.Ag., M.H

Oleh

Fani Aditia
2210140172

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KELUARGA (MHK)


PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA
KEMENTERIAN AGAMA
TAHUN 1444 H / 2022 M
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah senantiasa melimpahkan


rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Konsep Dasar Penelitian Dan Penulisan Ilmiah, Struktur Penelitian
Ilmiah, Struktur Dan Teknik Notasi Penulisanan Ilmiah” Untuk melengkapi
salah satu tugas mata kuliah Studi Al-Qur’an.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ibnu Elmi
AS Pelu, S.H., M.H & Dr. Ali Murtadho, S.Ag., M.H selaku dosen
pembimbing bidang studi dan teman-teman yang turut memberikan semangat
atas terbentuknya makalah ini karena berkat bantuan dari berbagai pihak, penulis
dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini, karena
keterbatasan pemikiran dan kemampuan penulis. Oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak untuk perbaikan pada masa
yang akan datang.
Semoga dengan adanya makalah ini membawa manfaat bagi kita semua.

Palangka raya, Mei 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................ii

DAFTAR ISI...................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah................................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................................1

C. Tujuan Kegunaan..........................................................................................................2

D. Metode Penulisan..........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................3

A. Konsep Dasar Penelitian dan Penulisan Ilmiah............................................................3

B. Struktur Penelitian Ilmiah ............................................................................................4

C. Struktur dan Teknik Notasi Penulisan Ilmiah...............................................................7

BAB III PENUTUP........................................................................................................14

A. Kesimpulan................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Al-Qur’an merupakan kitab suci umat islam yang berisi firman Allah
yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw dengan perantara malaikat
jibril. Al-Qur’an mengandung pelajaran yang baik untuk dijadikan penuntun
dalam pergaulan antara satu golongan manusia, antara keluarga dengan
sesama, antara murid dengan guru, antara manusia dengan Tuhannya. Tujuan
diturunkannya Al-Qur’an ialah untuk dijadikan pedoman manusia dalam
menata kehidupan agar memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.1

Al-Quran sebagai petunjuk bagi umat manusia yang mana terdapat


aturan-aturan dari berbagai aspek dalam kehidupan manusia yang salah
satunya ialah mengenai pernikahan yang mana Pernikahan menurut hukum
Islam adalah akad yang kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah. Pernikahan merupakan
aspek penting dalam ajaran Islam. Di dalam Al-Qur’an dijumpai tidak kurang
dari 80 ayat yang berbicara soal perkawinan, baik yang memakai kata nikah
maupun zawwaja. Salah satu bentuk perkawinan yang sering diperbincangkan
dalam masyarakat Muslim adalah poligami. Topik poligami menjadi
pembahasan yang hangat antara mereka yang pro dengan yang kontra, Poligami
dalam islam masih menjadi perdebatan dan perbedaan pendapat dari para ulama.
Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan cara memahami dan menafsirkan
ayat dalam QS. An-Nisa (4): 3, sebagaimana penetapan dasar hukum
poligami. Dengan itu dalam pembahasan ini akan diuraikan mengenai
bagaimana poligami dalam perpektif Al-Qur’an.2

1
Eka Safliana, “Al-Qur’an Sebagai Pedoman Hidup Manusia”, JIHAFAS, Vol. 3, No. 2
(Desember 2020), 70.
2
Fitrah Sugiarto, dkk, “Wawasan Al-Qur’an Tentang Poligami Dalam Islam”,
Madinah: Jurnal Studi Islam, Vol. 8, No. 2 (Desember 2021), 251.

1
2

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar penelitian dan penulisan ilmiah?
2. Bagaimana struktur penelitian ilmiah?
3. Bagaimana struktur dan teknik notasi penulisan ilmiah?

C. Tujuan Penulisan

1. Agar mahasiswa mampu memahami dan mengetahui tentang konsep


dasar penelitian dan penulisan ilmiah.
2. Agar mahasiswa memahami dan mengetahui tentang struktur penelitian
ilmiah.
3. Agar mahasiswa memahami dan mengetahui tentang struktur dan teknik
notasi penulisan ilmiah.

D. Metode Penulisan
Adapun metode penulisan yang digunakan dalam makalah ini yaitu
dengan telaah kepustakaan (Library Research) dan (Internet Research)
sebagai referensi yang ada kaitannya atau hubungan dengan pembuatan
makalah ini.
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Poligami
Secara etimologis, poligami berasal dari bahasa Yunani poly atau
polus yang berarti banyak dan gamein atau gamos yang memiliki arti
perkawinan. Dalam bahasa Arab, istilah yang dipakai untuk poligami adalah
ta’addud az-zaujat. Dari segi bahasa, poligami berarti pernikahan yang banyak
atau perkawinan yang lebih dari seorang.3 Secara terminologis berarti seorang
laki-laki mempunyai lebih dari satu istri. Dalam istilah lainnya ialah seorang
laki laki beristri lebih dari seorang, tetapi dibatasi paling banyak empat orang.4
Dalam kamus hukum, poligami adalah ikatan di mana salah satu pihak
mempunyai atau menikah beberapa lawan jenis dalam waktu yang tidak
berbeda. Berdasarkan hal tersebut, poligami mempunyai dua kemungkinan
makna yaitu: Pertama, seorang laki-laki menikah dengan banyak perempuan.
Kedua, seorang perempuan menikah dengan banyak laki-laki. Kemungkinan
pertama disebut poligini dan kemungkinan kedua disebut poliandri. Hanya saja
sejak berkembangnya zaman pengertian itu mengalami perubahan sehingga
poligami dipakai untuk makna laki-laki yang memiliki banyak istri, sedangkan
poligini sendiri tak lazim digunakan, khususnya di Indonesia.
Dalam Hukum Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang
lebih dari satu, dengan batasan hanya sampai empat wanita. Walaupun ada
yang memahami ayat tentang poligami dengan batasan lebih empat atau
bahkan lebih dari Sembilan istri. Perbedaan ini disebabkan dalam memahami
dan menafsirkan ayat dalam QS. An-Nisa (4): 3, sebagaimana penetapan dasar
hukum poligami.5

3
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 4, Cet. 2, (Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1994), 107.
4
Slamet Abidin dan H. Aminuddin,Fiqih Munakahat 1, (Bandung: CV. Pustaka Setia,
1999), cet. ke-1, 131.
5
Rijal Imanullah, Poligami Dalam Hukum Islam Indonesia (Analisis Terhadap Putusan
Pengadilan Agama No. 915/ Pdt.G/ 2014/ PA.BPP Tentang Izin Poligami), Jurnal Pemikiran
Hukum Islam: Mazahib Vol XV, No. 1 (Juni 2016), 108.

3
4

B. Dalil Poligami
Dalam Al-Qur’an, ayat yang kerap dijadikan dalil hukum poligami
adalah QS. An-Nisa’ ayat 3. Firman Allah tersebut membolehkan poligami
sebagai jalan keluar dari kewajiban berbuat adil yang mungkin tidak terlaksana
terhadap anak-anak yatim. Dulu orang-orang Arab gemar menikah dengan
anak perempuan yatim yang diasuhnya dengan tujuan agar ia bisa ikut makan
hartanya dan tidak perlu membayar maskawin. Untuk menghindari kezaliman
ini, seorang lelaki diizinkan mengawini perempuan lain hingga dua sampai
empat orang.6 Dalam konteks ini, jenis poligami yang dimaksud di dalam ayat
Al-Qur’an tersebut ialah poligini. Sedangkan poliandri sendiri dilarang oleh
Islam. Meski demikian, jika ayat ini saja yang digunakan sebagai acuan,
pemahaman yang diperoleh menjadi kurang utuh. Dalam konteks alasan
poligami, perlu dijabarkan pula ayat sebelum dan setelahnya. Secara lengkap,
firman Allah tentang poligami bisa dilihat pada QS. An-Nisa’ ayat 1-4 dan
127-130.
1. Q.S An-Nisa ayat 3
ِ ‫ُت ْق ِسطُوا ىِف الْيت ٰٰمى فَانْ ِكحوا ما طَاب لَ ُكم ِّمن الن‬
َ ‫ِّساۤء َم ْثىٰن َوثُ ٰل‬
‫ث َو ُربٰ َع‬ ‫َواِ ْن ِخ ْفتُ ْم اَاَّل‬
َ َ ْ َ َ ُْ َ ْ
ٓ
‫ك اَ ْد ٰنى اَاَّل َتعُ ْولُْو ۗا‬ ِ ِ ِ ‫ۚ فَاِ ْن ِخ ْفتُ ْم اَاَّل‬
َ ‫ت اَمْيَانُ ُك ْم ۗ ٰذل‬
ْ ‫َت ْعدلُْوا َف َواح َد ًة اَْو َما َملَ َك‬
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil Maka (kawinilah)
seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

2. Q.S An-Nisa ayat 1-4

‫ث‬ ٍ ‫َّاس َّات ُقوا َربَّ ُك ُم الَّ ِذي َخلَ َق ُك ْم ِم ْن َن ْف‬


َّ َ‫س َو ِاح َد ٍة َو َخلَ َق ِمْن َها َز ْو َج َها َوب‬ ُ ‫يَا َأيُّ َها الن‬
‫اَأْلر َح َام ۚ ِإ َّن اللَّهَ َكا َن‬ ِِ ِ ِ ِ ِ
ْ ‫مْن ُه َما ِر َجااًل َكث ًريا َون َساءً ۚ َو َّات ُقوا اللَّهَ الَّذي تَ َساءَلُو َن به َو‬
١ ﴿ ‫﴾ َعلَْي ُك ْم َرقِيبًا‬

6
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta, UII Press, 1999), 135.
5

ۚ ‫ب ۖ َواَل تَْأ ُكلُوا َْأم َواهَلُ ْم ِإىَل ٰ َْأم َوالِ ُك ْم‬


ِ ِّ‫يث بِالطَّي‬
َ ِ‫َوآتُوا الْيَتَ َام ٰى َْأم َواهَلُ ْم ۖ َواَل َتتَبَ َّدلُوا اخْلَب‬
٢ ﴿ ‫﴾ِإنَّهُ َكا َن ُحوبًا َكبِ ًريا‬

‫ث‬ ِ ‫وِإ ْن ِخ ْفتم َأاَّل ُت ْق ِسطُوا يِف الْيتامى فَانْ ِكحوا ما طَاب لَ ُكم ِمن الن‬
َ ‫ِّساء َم ْثىَن ٰ َوثُاَل‬
َ َ ْ َ َ ُ ٰ َ ََ ُْ َ
ِ ِ ِ ِ
٣ ﴿ ‫ك َْأدىَنٰ َأاَّل َتعُولُوا‬َ ‫ت َأمْيَانُ ُك ْم ۚ َٰذل‬
ْ ‫اع ۖ فَِإ ْن خ ْفتُ ْم َأاَّل َت ْعدلُوا َف َواح َد ًة َْأو َما َملَ َك‬
َ َ‫﴾ َو ُرب‬

٤ ﴿‫ص ُدقَاهِتِ َّن حِن ْلَةً ۚ فَِإ ْن ِطنْب َ لَ ُك ْم َع ْن َش ْي ٍء ِمْنهُ َن ْف ًسا فَ ُكلُوهُ َهنِيًئا َم ِريًئا‬
َ َ‫ِّساء‬
َ ‫﴾ َوآتُوا الن‬
Artinya: (1) Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu
sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah
selalu menjaga dan mengawasi kamu. (2) Dan berikanlah kepada anak-anak
yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik
dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu.
Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa
yang besar. (3) Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (4) Berikanlah maskawin (mahar)
kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

3. Q.S An-Nisa ayat 127-130

‫ِّس ِاء‬ ‫يِف ِ ِ يِف‬ ِ ِ ِ َّ


َ ‫ِّساء ۖ قُ ِل اللهُ يُ ْفتي ُك ْم فيه َّن َو َما يُْتلَ ٰى َعلَْي ُك ْم الْكتَاب َيتَ َامى الن‬
ِ ‫ويست ْفتونَك يِف الن‬
َ َ ُ َْ َ َ
‫ني ِم َن الْ ِولْ َد ِان َوَأ ْن‬ ِ ْ ‫الاَّل يِت اَل تُ تُونَه َّن ما ُكتِب هَل َّن وَتر َغبو َن َأ ْن َتْن ِكحوه َّن والْمست‬
َ ‫ض َعف‬ َْ ُ َ ُ ُ ُ َْ ُ َ َ ُ ‫ْؤ‬
ِ ِِ ‫ِ ٍ ِإ‬ ِ ِِ ِ ‫﴾َت ُق‬
١٢٧ ﴿ ‫يما‬ ً ‫وموا ل ْليَتَ َام ٰى بالْق ْسط ۚ َو َما َت ْف َعلُوا م ْن خَرْي فَ َّن اللَّهَ َكا َن به َعل‬
ُ
6

ۚ ‫ص ْل ًحا‬ ِ ‫وِإ ِن امرَأةٌ خافَت ِمن بعلِها نُشوزا َأو ِإعراضا فَاَل جناح علَي ِهما َأ ْن ي‬
ُ ‫صل َحا َبْيَن ُه َما‬ ْ ُ َ ْ َ َ َُ ً َْ ْ ً ُ َ ْ َ ْ ْ َ َ ْ َ
‫ُّح ۚ َوِإ ْن حُتْ ِسنُوا َوَتَّت ُقوا فَِإ َّن اللَّهَ َكا َن مِب َا َت ْع َملُو َن‬
َّ ‫س الش‬ ِ ِ ‫الص ْلح خير ۗ و‬
ُ ‫ُأحضَرت اَأْلْن ُف‬
ْ َ ٌ ْ َ ُ ُّ ‫َو‬
١٢٨ ﴿ ‫﴾ َخبِ ًريا‬

ۚ ‫وها َكالْ ُم َعلَّ َق ِة‬ ِ ِ ‫ولَن تَست ِطيعوا َأ ْن َتع ِدلُوا ب الن‬
َ ‫صتُ ْم ۖ فَاَل مَت يلُوا ُك َّل الْ َمْي ِل َفتَ َذ ُر‬
ْ ‫ِّساء َولَ ْو َحَر‬
َ َ ‫ْ َنْي‬ ُ َْ ْ َ
ِ ‫ِإ‬ ِ ُ‫﴾وِإ ْن ت‬
١٢٩ ﴿ ‫يما‬ ً ‫ورا َرح‬ ً ‫صل ُحوا َوَتَّت ُقوا فَ َّن اللَّهَ َكا َن َغ ُف‬
ْ َ
ِ ِ ِِ ِ ‫ِإ‬
ً ‫﴾ َو ْن َيَت َفَّرقَا يُ ْغ ِن اللَّهُ ُكاًّل م ْن َس َعته ۚ َو َكا َن اللَّهُ َواس ًعا َحك‬
١٣٠ ﴿ ‫يما‬
Artinya: (127) Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita.
Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang
dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang para
wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang
ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan
tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh
kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan
apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahuinya. (128) Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau
sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya
mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih
baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika
kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari
nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (129) Dan kamu sekali-kali tidak akan
dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin
berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada
yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. (130)
Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan
kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah
Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana.
Sesuai dengan munasabah pada surat An-Nisa’ ayat 1-4, diketahui
bahwa ayat 1 berbicara mengenai penciptaan laki-laki dan perempuan dari
sumber yang sama. Ini mengindikasikan adanya kesetaraan antara kaum Adam
dan Hawa. Sedangkan surat An-Nisa’ ayat 2 berisi perintah kepada umat Islam
supaya memberi harta anak yatim yang menjadi hak warisannya dan tidak
mengganggunya demi kepentingan si wali.
7

Di dalam ayat 3, Allah menawarkan alternatif bagi lelaki yang


menjadi wali yang khawatir tidak dapat berlaku adil kepada anak yatim agar
melakukan poligami dengan cara menikahi perempuan selain anak yatim yang
masih dalam perwaliannya tersebut. Ini dimaksudkan untuk menghindari
kezaliman berupa penguasaan harta milik sang anak yatim oleh walinya.
Dalam hal ini, perintah poligami bukan semata berbicara tentang pemenuhan
nafsu seksual, melainkan lebih kepada jalan untuk menegakkan keadilan bagi
anak yatim.
C. Asbabun Nuzul
Imam Bukhari, Imam Muslim, Nasa'i, Baihaqi dan yang lainnya
meriwayatkan dari 'Urwah bin Zubair bahwa ia bertanya kepada khaalahnya
(bibi dari ibu) yaitu sayyidah Aisyah r.a. tentang ayat ini, lalu sayyidah Aisyah
r.a. berkata, "Wahai putra saudara perempuanku, ada seorang anak yatim
perempuan yang berada di bawah asuhan walinya, si wali tersebut ikut
menikmati harta si anak yatim perempuan tersebut. Lalu si wali ternyata
tertarik kepada harta dan kecantikannya, lalu ia ingin menikahinya tanpa mau
bersikap adil di dalam memberikan mahar kepadanya dengan cara tidak
memberinya maskawin atau mahar seperti yang biasa diberikan kepada para
wanita sepertinya. Lalu sikap seperti ini dilarang bagi mereka dan mereka
diperintahkan untuk menikahi wanita-wanita lainnya yang mereka senangi,
dua, tiga atau empat." Sa'id bin Jubain Qatadah, ar-Rabi', adh- Dhahhak dan as-
Suddi berkata, "Mereka bersikap hati-hati dan menjauhi harta anakanak yatim
dan bersikap lebih bebas dan mempermudah di dalam masalah wanita, mereka
menikahi wanita-wanita yang mereka inginkan, namun terkadang mereka
bersikap adil dan terkadang tidak. Lalu ketika mereka bertanya tentang
masalah anak-anak yatim, maka turunlah ayat anak-anak yatim, yaitu ayat dua
surah an-Nisaa'. Allah SWT juga menurunkan ayat tiga surah an-Nisaa' ini,
seolah-olah Allah SWT berfirman kepada mereka, "Sebagaimana kalian takut
tidak bisa berlaku adil terhadap hak-hak anak anak yatim, maka begitu juga
kalian harus takut tidak bisa berlaku adil terhadap hakhawanita. Oleh karena
itu, janganlah kalian menikahi wanita lebih dari jumlah yang kalian bisa
8

memenuhi hak-haknya. Karena wanita memiliki kesamaan dengan anak yatim,


yaitu sama-sama sebagai makhluk yang lemah." Ini adalah pendapat Ibnu
Abbas r.a. di dalam riwayat al-Walibi (Ali bin Rabi'ah bin Nadhlah), salah satu
perawi terpercaya dari ath-Thabqah ats-Tsaalitsah.7
D. Penafsiran Mufassir
a. Penafsiran M. Quraish Shihab dalam Kitab Tafsir Al-Mishbah.
Pada surah An-Nisa ayat 3 tersebut M. Quraish Shihab dalam
Tafsir Al-Mishbah menyatakan bahwa ayat tersebut menggunakan kata (
‫ ) تقسطوا‬tuqsit}u> dan (‫ ) تعدلوا‬ta‟dilu yang keduanya diterjemahkan “adil”,
ada ulama yang menyamakan maknanya dan ada juga yang membedakan,
dengan berkata bahwa tuqsit}u> adalah berlaku adil di antara dua orang atau
lebih, baik terhadap orang lain maupun diri sendiri, tepi keadilan itu bisa
saja tidak menyenangkan bagi salah satu pihak.
Terlebih lagi perlu digarisbawahi bhawa ayat ini, tudak membuat
peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan
oleh penganut berbagai syariat agama, serta adat istiadat masyarakat
sebelum turunnya ayat ini. Sebagaimana ayat ini tidak mewajibkan poligami
atau menganjurkannya, ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami dan
itu pun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh yang sangat
amat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan.
Sedangkan penyebutan dua, tiga, atau empat, pada hakikatnya
adalah dalam rangka tuntutan berlaku adil kepada anak yatim. Redaksi ayat
ini mirip dengan ucapan seorang yang melarang orang lain makan makanan
tertentu, dan untuk menguatkan larangan itu dikatakannya: “ jika anda
khawatir akan sakit bila makan makanan ini, maka habiskan saja makanan
selainnya yang ada di hadapan anda”. Tentu saja perintah menghabiskan
makanan lain itu, hanya sekedar menekankan perlunya mengindahkan
larangan untuk tidak makan makanan tertentu itu.
Dalam hal lainnya, tidak juga dapat dikatakan bahwa Rasul SAW
nikah lebih dari satu dan pernikahan semacam itu hendaknya diteladani,

7
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, (Jakarta: Gema Insani, 2013), 571-572.
9

karena tidak semua apa yang dilakukan Rasul perlu diteladani, sebagaimana
tidak semua yang wajib atau yang terlarang bagi beliau, wajib dan terlarang
pula bagi umatnya. Bukankah Rasul SAW antar lain wajib bangun shalat
malam dan tidak boleh menerima zakat?, bukankah tidak abtal wudhu beliau
jika tertidur?. Lalu apakah mereka yang menyatakan ingin benar-benar
meneladani rasul dalam pernikahannya, yang jika ebnar demikian, maka
perlu diketahui bahawa semua wanita yang dinikahi Rasulullah SAW
kecuali Siti Aisyah ra adalah janda-janda, dan kesemuaannya untuk tujuan
mensukseskan dakwah, atau membantu dan menyelamatkan para wanita
yang kehilangan suami itu serta pada umumya bukanlah wanita-wanita yang
dikenal memiliki daya tarik yang memikat, dan hendaklah diketahui bahwa
istri-istri nabi yang keseluruhannya janda kecuali Aisyah Ra, dan yang
beliau kawini setelah bermonogami hingga usia 50 tahun lebih, sehingga
waktu perkawinan rasulullah bermonogami ialah lebih panjang
dibandingkan masa poligami yang mana orang tidak mau tahu dan enggan
untuk memahami latar belakang pernikahan itu.8
b. Penafsiran M.Quraish Shihab dalam Kitab Tafsir Al-Mishbah.
Tema ayat ini terdefinisikan sesuai dengan sebab turunnya, yaitu
ada kalanya tema ayat ini seputar menikahi wanita-wanita selain anak-anak
yatim perempuan. Maksudnya, jika ada seorang anak yatim perempuan
berada di bawah pengasuhan salah satu dari kalian, lalu ia ingin
menikahinya, namun khawatir ia tidak bisa berlaku adil terhadapnya dengan
tidak memberinya mahar mitsil (mahar yang biasa diberikan kepada para
wanita lainnya yang setingkat dengannya), maka hendaklah ia menikahi
wanita-wanita lainnya, karena masih banyak wanita-wanita lainnya yang
bisa ia nikahi dan Allah SWT pun tidak mempersempit dirinya dalam
memilih wanita yang lain.
Ada kalanya tema ayat ini seputar perintah berlaku adil terhadap
para wanita (istri) dan larangan bersikap zhalim terhadapnya ketika
menikahi lebih dari satu (poligami). Maksudnya, ketika ayat dua surah Al-
8
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an)
(Jakarta: Lentera Hati, 2022), 341-344 .
10

Nisa‟ turun, para wali (pengasuh anak-anak yatim) bersikap hati-hati di


dalam menjalankan pengasuhan tersebut, namun mereka tidak merasa
sungkan atau berat untuk meninggalkan sikap berlaku adil terhadap wanita.
Ada di antara mereka yang beristri sampai 10, namun ia tidak berlaku adil
terhadap mereka. Lalu dikatakan kepada mereka, "Seperti halnya kalian
merasa takut dan khawatir tidak bisa berlaku adil terhadap hak-hak anak
yatim, maka begitu juga, kalian harus takut tidak bisa berlaku adil di antara
para wanita, kurangilah jumlah wanita yang kalian nikahi.9
Terkait poligami menurut Wahbah Al-Zuhaili Kondisi yang
diterima pada masa kita sekarang ini adalah, jika tidak ada alasan yang bisa
diterima menurut syara' atau tidak ada sesuatu hal yang bersifat sangat
mendesak maka hendaknya seseorang hanya beristrikan satu saja. Karena
perasaan cemburu merupakan perasaan yang sama-sama dimiliki oleh suami
maupun istri. Sebagaimana seorang suami memiliki perasaan cemburu
kepada istrinya, maka begitu sebaliknya, seorang istri juga memiliki
perasaan cemburu terhadap suaminya.
Akan tetapi, Islam memperbolehkan sistem poligami dikarenakan
adanya sesuatu yang bersifat sangat mendesak (dharuurah) atau adanya hajat
atau kebutuhan dan di samping itu, Islam juga meletakkan syarat-syarat di
dalam berpoligami, yaitu memiliki kemampuan memberi nafkah, harus
berlaku adil di antara para istri dan mempergauli mereka dengan baik.10
E. Sejarah Poligami
Kalau kita membaca sejarah, Poligami dalam pengertian memiliki
lebih dari satu istri sudah ada sejak lama bahkan jauh sebelum Islam datang.
Bahkan kita bisa melihat banyak di dunia Seperti orang-orang Hindu, bangsa
Israel, Persia, Arab Romawi, Babilonia, Tunisia, dan lain-lain yang sudah
mengenal poligami. Dari sini kita bisa tahu dan mengerti bahwa poligami
bukan semata-mata produk Islam melainkan sudah ada sejak zaman sebelum
Islam. Islam datang bukan memulai poligami melainkan mengatur bagaimana
seharusnya poligami dilakukan. Poligami yang dilakukan oleh orang-orang
9
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir,( Jakarta: Gema Insani, 2013), 572-573.
10
Fitrah Sugiarto, dkk, “Wawasan Al-Qur’an Tentang Poligami Dalam Islam”, 261.
11

terdahulu sebelum Islam terlalu bebas, mereka dapat memililiki istri sebanyak
yang mereka inginkan kemudian Islam datang dan mengatur poligami dengan
membatasi jumlah istri yakni 4 wanita. Oleh sebab itu, tidak tepat ketika ada
yang berpendapat bahwa poligami dikembangkan oleh Islam. Islam datang
memelihara hak-hak perempuan dari sifat ketidak adilan atau ke sewenang-
wenangan sebagian lelaki. Di samping itu, poligami juga masih berkembang di
sebagian tempat yang bukan muslim. Berkaitan dengan hal tersebut, Zaini
Nasohah menyebutkan dalam bukunya bahwa orang asli afrika, india, cina, dan
jepan juga masih melakukan poligami bahkan orang kristiani pun juga
melakukan demikian. Hal ini karena memang tidak ditemukan satu ayat pun
dalam kitab injil yang melarang poligami. Lebih jauh, Zaini mnjelaskan bahwa
kalangan dari orang kristen bangsa Eropa melekukan pernikahan denga sistem
monogami itu lebih disebabkan karena mayoritas masyartakat bangsa Eropa
menyembah berhala. Sejarah mencatat bangsa Eropa awalnya terdiri dari orang
yunani dan romawi yang memiliki kebiasaan monogami. Kemudian ajaran
nasrani datang di tengah-tengah mereka, akan tetapi kebiasaan monogami itu
tetap berlanjut turun-temurun meskipun mereka sudah menganut agama
kristen. Dengan hal itu, kebiasaan monogami yang mereka lakukan lebih
cenderung dari kebiasaan nenek moyang mereka dibanding ajaran agama
mereka. Di samping itu, ketika kita memperhatikan apa yang sudah dilakukan
oleh kalangan Yahudi di timur tengah, mereka sudah terbiasa dengan cara
berpoligami. Mereka mempunyai pandangan dan dasar bahwa dalam injil tidak
ada larangan melakukan poligami bahkan dari segi jumlahnya. Oleh karena itu,
mereka dapat berpoligami dengan jumlah istri yang tidak terbatas. Perlu
diketahui bersama, bahwa Islam mengatur poligami bukan untuk melecehkan
wanita melainkan sebaliknya. Poligami yang dilakukan oleh orang-orang
sebelum Islam dianggap suatu kebiasaan. Mereka menganggap bahwa
memiliki istri yang banyak itu menjadi simbol dan lambang ketuhanan
sehingga poligami dianggap perbuatan yang suci. Adapun para wanita hanya
bisa menerima takdirnya tanpa bisa menolak itu semua. Para suami bisa
memilih wanita mana yang ia sukai untuk dijadikan sebagai istri sampai jumlah
12

yang tidak terbatas. Oleh karena itu, islam datang dan mengatur poligami
dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Islam memahami fitrah
manusia sehingga tidak menghapus paraktik poligami. Islam memberkan
batasan-batasan sebagai pedoman bagi yang ingin melakukan poligami dengan
beberapa hal:
1) Membatasi jumlah istri maksimal 4 orang. Oleh karena itu diperbolehkan
bagi seorang lelaki memiliki lebih dari 4 istri. Hal ini diperkuat dengan
riwayat yang menyebutkan bahwa ada sahabat yang memiliki 5 istri bahkan
ada yang memiliki 8 istri. Kemudian para sahabat tersebut menyampaikan
hal itu kepada Nabi dan beliau memerintahkan kepada para sahabat untuk
memilih 4 istri dari yang sudah dimilikinya. Begitulah islam melihat
keadilan itu akan sulit dilakukan sehingga pelu adanya batasan jumlah istri.
2) Menentukan syarat-syarat yang tidak ringan bagi setiap yang ingin
berpoligami. Bahkan secara logika itu hampir tidak mungkin dilakukan,
seperti sifat adil yang memiliki makna yang luas tergantug siapa yang
mengatakannya. Dua hal di atas yang menjadi aturan poligami ketika Islam
datang, Rasulullah sebagai panutan memberikan contoh dengan berupaya
berlaku adil dengan istri-istrinya.11
F. Poligami Di Indonesia
Mengenai pengaturan poligami di Indonesia ini telah diatur dalam
Undang- Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
(KHI) yang mana pada dasarnya dalam aturan tersebut menganut adanya asas
monogami dalam perkawinan. Hal ini disebut dengan tegas dalam pasal 3 ayat
1 yang menyebutkan "Pada asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang isteri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami".
Dalam suatu pernikahan, seorang pria hanya boleh mempunyai satu istri, begitu
pula seorang wanita hanya boleh memiliki satu suami. Akan tetapi, dalam
kondisi tertentu, pengadilan dapat memberikan izin kepada suami untuk beristri
lebih dari satu apabila dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan.
Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 40 Peraturan Pemerintah
11
Muhamad Arif Mustofa, “Poligami Dalam Hukum Agama Dan Negara”, Al-Imarah:
Jurnal Pemerintahan Dan Politik Islam, Vol. 02, No.1 (2017), 54-55.
13

Nomor 9 Tahun 1975 menyebutkan " Apabila seorang suami bermaksud untuk
beristeri lebih dari seorang , maka ia wajib mengajukan secara tertulis kepada
pengadilan”, seperti apa yang tersebut dalam pasal 3 ayat (2) UUPerkawinan.
Selain pasal tersebut, seorang suami yang akan melalukan poligami harus juga
memenuhi pasal 4 dan 5 UU Perkawinan, pasal 41 PP No. 9 Tahun 1975 serta
pasal 55, 56, 57, 58 dan 59 KHI.12
Menurut hukum positif di Indonesia, pengadilan hanya akan
memberikan izin kepada suami untuk beristri lebih dari satu apabila terdapat
penyebab khusus yang bersifat alternatif sebagaimana disebutkan pada pasal 4
UU perkawinan yaitu: Pertama, istri tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai istri. Kedua, istri mengalami cacat badan ataupun penyakit yang tidak
dapat disembuhkan. Ketiga, istri tidak mampu melahirkan keturunan. Selain
itu, juga terdapat beberapa syarat tambahan yang bersifat kumulatif yang harus
dipenuhi oleh sang suami agar izin poligaminya diterima oleh pengadilan,
sebagaimana disebutkan pada pasal 5 UU perkawinan antara yaitu: Pertama,
ada persetujuan dari istri ataupun istri-istrinya. Kedua, adanya kepastian bahwa
suami benar-benar mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak
keturunannya. Ketiga, adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil kepada
istri-istri dan anak mereka.
Sejalan dengan yang disebutkan dan dijelaskan pada UU perkawinan
KHI seperti yang terlihat tidak berbeda dengan Undang-undang Perkawinan
dalam masalah poligami ini. Khusus yang beragama Islam pelaksanaan
poligami diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Buku I tentang Hukum
Perkawinan Bab IX Pasal 55 sampai dengan pasal 59, untuk mengaktualkan
dan membatasi kebebasan poligami didasarkan pada alasan ketertiban umum.13

12
Surjanti, “Tinjauan Kompilasi Hukum Islam Terhadap Poligami Di Indonesia”,
Jurnal Universitas Tulungagung Bonorowo, Vol. 1, No.2 (2014), 18-19.
13
Makrum, Poligami Dalam Perspektif Al-Qur’an, Seminar dan Call For Paper FUAH
IAIN Purwokerto, 2016, 17-18.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Secara etimologis, poligami berasal dari bahasa Yunani
poly atau polus yang berarti banyak dan gamein atau gamos
yang memiliki arti perkawinan. Dalam bahasa Arab, istilah
yang dipakai untuk poligami adalah ta’addud az-zaujat.
Dari segi bahasa, poligami berarti pernikahan yang banyak
atau perkawinan yang lebih dari seorang. Secara
terminologis berarti seorang laki-laki mempunyai lebih dari
satu istri. Dalam istilah lainnya ialah seorang laki laki
beristri lebih dari seorang, tetapi dibatasi paling banyak
empat orang. Dalam kamus hukum, poligami adalah ikatan
di mana salah satu pihak mempunyai atau menikah
beberapa lawan jenis dalam waktu yang tidak berbeda.
Dalam Hukum Islam, poligami mempunyai arti perkawinan
yang lebih dari satu, dengan batasan hanya sampai empat
wanita.
2. Dalam Al-Qur’an, ayat yang kerap dijadikan dalil hukum
poligami adalah QS. An-Nisa’ ayat 3. Firman Allah tersebut
membolehkan poligami sebagai jalan keluar dari kewajiban
berbuat adil yang mungkin tidak terlaksana terhadap anak-
anak yatim. mnm Dulu orang-orang Arab gemar menikah
dengan anak perempuan yatim yang diasuhnya dengan
tujuan agar ia bisa ikut makan hartanya dan tidak perlu
membayar maskawin. Untuk menghindari kezaliman ini,
seorang lelaki diizinkan mengawini perempuan lain hingga
dua sampai empat orang. Dalam konteks ini, jenis poligami
yang dimaksud di dalam ayat Al-Qur’an tersebut ialah
poligini. Sedangkan poliandri sendiri dilarang oleh Islam.
Meski demikian, jika ayat ini saja yang digunakan sebagai

14
acuan, pemahaman yang diperoleh menjadi kurang utuh.
Dalam konteks alasan poligami, perlu dijabarkan pula ayat
sebelum dan setelahnya. Secara lengkap, firman Allah
tentang poligami bisa dilihat pada QS. An-Nisa’ ayat 1-
4 dan 127-130.

15
DAFTAR PUSTAKA

Az-Zuhaili, Wahbah. Tafsir Al-Munir. Jakarta: Gema Insani,


2013.
Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta:
UII Press, 1999.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam Jilid 4,
Cet. 2. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.

Imanullah, Rijal. “Poligami Dalam Hukum Islam Indonesia


(Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Agama No.
915/ Pdt.G/ 2014/ PA.BPP Tentang Izin Poligami)”,
Jurnal Pemikiran Hukum Islam: Mazahib, Vol. XV,
No. 1 (Juni 2016).

Makrum. “Poligami Dalam Perspektif Al-Qur’an”, Seminar


dan Call For Paper FUAH IAIN Purwokerto (2016).
Mustofa, Muhamad Arif. “Poligami Dalam Hukum Agama
Dan Negara”, Al-Imarah: Jurnal Pemerintahan Dan
Politik Islam, Vol. 02, No.1 (2017).
Safliana, Eka. “Al-Qur’an Sebagai Pedoman Hidup Manusia”,
JIHAFAS Vol. 3, No. 2 (Desember 2020).

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan, dan


Keserasian Al-Qur’an). Jakarta: Lentera Hati, 2022.

Slamet dan H. Aminuddin. Fiqih Munakahat 1. Bandung: CV.


Pustaka Setia, 1999.

Sugiarto, Fitrah, dkk. “Wawasan Al-Qur’an Tentang Poligami


Dalam Islam”, Madinah: Jurnal Studi Islam, Volume
8 Nomor 2 (Desember 2021).

Surjanti. “Tinjauan Kompilasi Hukum Islam Terhadap


Poligami Di Indonesia”, Jurnal Universitas
Tulungagung Bonorowo, Vol. 1, No.2 (2014).

16

Anda mungkin juga menyukai