Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH MASAIL FIQHIYAH

Poligami dan Hukum Menikahi Wanita Hamil

Dosen: Fuadul Umam, M. Hum

Disusun oleh:

Rumiatis Tsani Adiningsih

Nur Mulia

Ainun Khakim

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS HAHDLATUL ULAMA JAKARTA

Jl. Taman Amir Hamzah No 5 Kelurahan Pegangsaan, Kecamatan Menteng,

Jakarta Pusat

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas berkat dan anugerah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Poligami dan Hukum
Menikahi Wanita Hamil” Makalah ini dibuat sehubungan dengan tugas yang
diberikan dosen kami Bapak Fuadul Umam, M. Hum, untuk memenuhi nilai
mata kuliah Masail Fiqhiyah, dengan diselesaikannya tugas makalah ini, kami
harapkan dapat memenuhi syarat penilaian tugas dan berguna untuk para
pembacanya.

Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi perbaikan
pembuatan makalah dikemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca Aamiin yarobbal‟alaimin.

Jakarta, 14 Desember 2020

Kelompok 7

i
DAFTAR ISI

Isi
KATA PENGANTAR .................................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii

BAB I ........................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ..................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 1

C. Tujuan Pembahasan .............................................................................................. 1

BAB II ......................................................................................................................... 2

PEMBAHASAN .......................................................................................................... 2

A. Pengertian Poligami ........................................................................................... 2

B. Hukum Menikahi Wanita Hamil Menurut Islam ................................................. 3

C. Poligami dalam Hukum Islam ............................................................................ 6

D. Menganalisis Hukum Poligami ......................................................................... 10

BAB III ...................................................................................................................... 13

PENUTUP ................................................................................................................. 13

A. KESIMPULAN ................................................................................................ 13

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam sistem perundang-undangan di Indonesia, masalah poligamidiatur dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 3 dari Undang-
undang tersebut menyatakan bahwa pada prinsipnya asas perkawinan adalah
monogami.38Seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang
wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Pengadilan dapat member izin
kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh
pihakpihak yang bersangkutan, serta hukum dan agama yang bersangkutan
mengizinkan. Pengecualian ini hanya khusus berlaku bagi mereka yang beragama
Islam dan Hindu dan tidak berlaku bagi yang beragama Kristen.39 Selain itu
berdasarkan Undang-undang tersebut dijelaskan bahwa seseorang yang berpoligami
harus memiliki alasan yang cukup dan memenuhi syarat-syarat tertentu

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Poligami ?

2. Apa Hukum Menikahi Wanita Hamil Menurut Islam ?

3. Apa Hukum Poligami dalam Islam?

4. Bagaimana Menganalisis Hukum dan solusinya ?

C. Tujuan Pembahasan

1. Untuk mengetahui Pengertian Poligami.

2. Untuk mengetahui Hukum Menikahi Wanita Hamil.

3. Untuk mengetahui Hukum Poligami dalam Islam.

4. Untuk mengetahui analisis Hukum dan solusinya.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Poligami
Pada dasarnya, kata-kata “poligami”, itu tersusun dari dua kata, yaitu poli
(banyak) dan gami (istri), maka dapat diartikan secara etimologi, poligami tersebut
adalah beristri banyak. Sedangkan bila dilihat secara terminologi, poligami yaitu
seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri, yang mana dasar bahasa tersebut
yaitu dari bahasa yunani (Poli atau Polos) yang artinya banyak dan kata Gamein
atau Gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Sehingga pada ketika kata
digabungkan akan berarti kata ini menjadi sah untuk mengatakan bahwa arti
poligami adalah perkawinan banyak dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas.
Namun bila ditinjau dari pandangan Islam, poligami tersebut mempunyai arti
perkawinan yang lebih dari satu, dua, tiga dan empat perempuan saja (tidak boleh
lebih dari itu).1

Sementara dari sisi lain ada juga yang mengartikan poligami adalah
perkawinan dengan dua orang perempuan atau lebih dalam waktu yang sama.
Sementara dari sisi lain, poligami tersebut dapat diartikan sebagai ikatan perkawinan
yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa lebih dari satu istri dalam waktu
yang bersamaan, bukan saat ijab qabul melainkan dalam menjalani hidup
berkeluarga.

Bila kita membaca sejarah mengenai poligami pada dasarnya dilakukan oleh
orang-orang tertentu, dalam artian oleh para raja-raja, dan orang-orang yang
ekonominya yang cukup memadai (orang kaya). Mereka yang menganggap dirinya
lebih berkuasa ketimbang masyarakat celata (biasa), sehingga mereka dengan sangat
berani mengambil beberapa wanita, ada yang dikawini dan ada pula yang hanya
dipergunakan untuk melampiaskan hawa nafsunya akibat perang, dan banyak anak
gadis yang diperjualbelikan, diambil sebagai pelayan mereka, Makin kaya seseorang

1
Bustaman Usman“Poligami Menurut Perspektif Fiqh” (Studi kasus di Kecamatan Pidie, Kabupaten
Pidie, Aceh) Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Volume 1 No. 1. Januari-Juni 2017 hal. 275.

2
makin tinggi kedudukanya, makin banyak mengumpulkan wanita. Dengan demikian
poligami itu adalah sisa-sisa pada waktu peninggalan zaman perbudakan yang mana
hal ini sudah ada dan jauh sebelum masehi.

B. Hukum Menikahi Wanita Hamil Menurut Islam

1) Menurut Fuqoha

Terjadinya wanita hamil di luar nikah yang hal ini sangat dilarang oleh
agama, norma, etika dan perundang-undangan negara, selain karena adanya
pergaulan bebas juga karena lemah (rapuhnya) iman pada masing-masing
pihak.Oleh karenanya untuk mengantisipasi perbuatan yang keji dan terlarang itu
pendidikan agama yang mendalam dan kesadaran hukum semakin diperlukan.

Islam telah mengharamkan zina dan penyebab-penyebabnya seperti ikhtilath


(percampuran antara laki-laki dan perempuan) yang diharamkan dan khalwat yang
merusak. Islam berusaha dengan sungguh-sungguh agar masyarakat muslim menjadi
masyarakat yang bersih dari berbagai penyakit sosial yang membinasakan. 2

Firman Allah dalam Surah Al-Isra ayat 32:

‫س ِب ۡي ًل‬ َ ِ‫الز ٓوى اِوَّهٗ َكانَ فَاح‬


َ ‫ش ًت ؕ َو‬
َ ‫سا ٓ َء‬ ّ ِ ‫َو ََل ت َۡق َربُوا‬

Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.

Berkaitan dengan perkawinan hamil di luar nikah mempunyai beberapa


persoalan hukum Islam yang dalam hal ini fuqaha berselisih pendapat mengenai
perkawinan itu, karena ada jumhur ulama yang membolehkannya sedang
segolongan fuqoha lainnya melarangnya. Berkenaan dengan wanita hamil
persoalannya diantaraya adalah sah atau tidaknya akaq perkawina dengan wanita
tersebut menurut hukum Islam, boleh atau tidaknya mengumpulinya sebagaimana

2
Jurnal Hukum Keluarga and Hukum Islam Volume,
“Http://Jurnal.Arraniry.Ac.Id/Index.Php/Samarah” 1, no. 1 (2017).

3
layaknya suami-isteri dan kedudukan nasab anak yang dilahirkannya dan wanita
hamil mempunyai masa „iddah atau tidak.

Maka dalam hal ini ulama‟ mazhab Syafi‟i berpendapat bahwa zina tidak
memiliki bagian dalam kewajiban ber‟iddah.10 Sama saja antara wanita yang
berzina itu hamil maupun tidak, dan sama sajah apakah wanita tersebut sudah
mempunyai suami atau tidak. Jika dia mempunyai suami, maka halal bagi suaminya
untuk menyetubuhinya secara langsung.

Dan jika tidak mempunyai suami, maka boleh bagi laki-laki yang berzina
dengannya atau orang lain untuk menikahinya, baik dia hamil atau tidak. Hanya saja
menyetubuhinya dalam keadaan hamil hukumnya makruh sampai dia melahirkan.

Pendapat kedua yaitu jika wanita yang dizinai tidak hamil, maka laki-laki
yang berzina dengannya atau laki-laki lain boleh menikahinya, dan dia tidak wajib
ber‟iddah. Ini adalah pendapat yang disepakati dalam mazhab Hanafi. Jika wanita
tersebut hamil maka haram untuk menyetubuhinya. Jika yang menikahinya adalah
laki-laki yang berzina denganya, maka dia boleh menyetubuhinya, dan anak adalah
milik laki-laki tersebut jika dilahirkan enam bulan setelah pernikahan. Jika anak
tersebut dilahirkan sebelum enam bulan, maka dia bukan anaknya dan tidak
mendapatkan warisan darinya. Kecuali jika laki-laki tersebut berkata, ‚Ini adalah
anakku, bukan anak zina.‛

Pendapat ketiga, wanita yang berzina tidak boleh dinikahi dan dia wajib
ber‟iddah dengan waktu yang ditetapkan jika dia tidak hamil, dan dengan
melahirkan kandungan jika dia hamil. Jika memiliki suami, maka suaminya tidak
boleh menyetubuhinya sampai iddahnya habis. Ini adalah pendapat Imam Malik

Rabi‟ah, ats-Tsauri, al-Auza‟I, dan Ishaq. Menurut para ulama‟ mazhab


Maliki, dia membebaskan rahimnya dengan tiga kali haid, atau dengan berlalunya
waktu tiga bulan. Sedangkan menurut Imam Ahmad, dia membebaskan rahimnya
dengan tiga kali haid. Dan Ibnu Qudamah memandang bahwa cukup baginya
membebaskan rahim dengan sekali haid. Pendapat inilah yang didukung dan
dikuatkan oleh ibnu Taimiyah.

4
2) Imam Hanbali

Imam Hanbali berpendapat bahwa tidak boleh menikahinya sampai ia


bertaubat dari perbuatannya dan habis masa iddahnya, jika tidak maka
pernikahannya rusak dan harus dipisahkan.31 berdasarkan pada dalil-dalil berikut:

a) Hadith Ruwaifi‟ Ibn Tsabit dari Nabi Saw, beliau bersabda,


‚Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah dia
mencampur airnya dengan anak orang lain.‛ Menurut ahli ilmu, tidak boleh
bagi lakilaki, jika dia membeli budak wanita yang hamil, untuk
menyetubuhinya sampai ia melahirkan.‛
b) Hadist Abu Said Al-Khudri yang dimarfukkannya, bahwa nabi Saw
bekata tentang para tawanan Authas, ‚tawanan wanita yang hamil tidak
boleh disetubuhi hingga dia melahirkan, dan tawanan wanita yang tidak
hamil tidak boleh disetubuhi hingga di haid sekali. ‛ Ini bersifat umum,
mencakup semua wanita hamil.
c) Hadist Abu Darda‟ dari Nabi Saw bahwa dia membawa seorang wanita
hamil ke depan pintu tenda. Beliau berkata, Barangkali dia ingin
menyetubuhinya? Mereka berkata ‚Ya.‛ Maka Rasulullah Saw berkata,
Sungguh aku telah berkeinginan untuk melaknatnya dengan laknat yang
akan dibawanya masuk ke dalam kubur. Bagaimana dia mewarisinya, sedang
dia tidak halal baginya? Bagaimana dia menggunakannya sedang dia tidak
halal baginya?. Dalam hadith ini Rasul Saw mengecam orang yang menikahi
wanita hamil. Oleh karena itu menikahi wanita hamil tidak boleh.
d) Qiyas kepada wanita hamil lainnya yang disepakati haram dinikahi,
dengan „Illah adanya kandungan dalam diri masing-masing.
e) Pada pokoknya, iddah disyariatkan untuk mengetahui kebebasan rahim.
Sebelum ber‟iddah, bisa jadi wanita yang berzina hamil. Oleh karena itu
pernikahannya batil dan tidak sah, sebagaimana wanita yang disetubuhinya
dengan syubhat.
f) Adapun wanita pezina yang tidak hamil, pengharaman menikahinya
adalah dari sisi yang lebih utama. Jika wanita pezina yang hamil tidak sah

5
dinikahi, maka tidak hamil lebih utama tidak sah. Sebab menyetubuhi wanita
yang hamil tidak mengakibatkan kerabcuan nasab. Tapi wanita pezina yang
belum jelas kehamilannya, di dalam dirinya kemungkinan terdapat janin.
Anaknya bisa jadi adalah dari laki-laki pertama, dan bisa jadi dari laki-laki
kedua. Hal ini mengakibatkan kerancuan nasab.
g) Qiyas, kepada persetubuhan yang syubhat, dengan „Illah bahwa itu
adalah persetubuhan pada kemaluan, sehingga mewajibkan „iddah. Oleh
karena itu sebelum bertaubat, wanita tersebut berada dalam hukum zina. Dan
jika dia bertaubat, maka hukum tersebut hilang. Berdasarkan sabda Nabi
Saw, ‚Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak memiliki
dosa.‛ Taubatnya sebagaimana orang lain yaitu dengan menghindarkan diri
dari zina. Dan jika dia bertaubat, maka hukum tersebut hilang.

C. Poligami dalam Hukum Islam


Pada dasarnya asas perkawinan dalam Islam adalah monogami. Hal ini dapat
dipahami dari surat an-nisa‟ ayat (3) , kendati Allah SWT memberi peluang untuk
beristeri sampai empat orang, tetapi peluang itu dibarengi oleh syaratsyarat yang
sebenarnya cukup berat untuk ditunaikan kecuali oleh orang-orang tertentu saja.
Allah SWT membarengi kebolehan berpoligami dengan ungkapan “jika kamu takut
atau cemas tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah satu perempuan saja”.
Firman Allah SWT surat an-Nisa‟ ayat (3) tersebut selalu dipahami sebagai dasar
kebolehan berpoligami.

Dalam ayat tersebut untuk kebolehan berpoligami hanya dipersyaratkan


dapat berlaku adil. Hal ini dipahami secara kontradiktif dari mafhum ayat yang jika
dungkapkan secara lengkap akan menjadi “jika kamu tidak yakin dapat berlaku adil
cukupkanlah dengan isteri satu saja, namun apabila kamu benar-benar yakin akan
dapat berlaku adil, silahkan menikahi perempuan dua atau tiga atau empat sebagai
isterimu. ”

Secara implisit Al Qur‟an membolehkan poligami, namun tidak menentukan


persyaratan apapun secara tegas, kecuali hanya memberikan warning “apakah kamu

6
yakin apabila berpoligami nantinya akan mampu berlaku adil, karena adil itu sangat
berat, Allah sebagai pencipta manusia maha mengetahui bahwa kamu tidak akan
mampu berlaku adil secara hakiki, namun berhati-hatilah jangan sampai kamu
secara bersahaja lebih mencintai sebagian isterimu dan mengabaikan yang lain”..
Dengan demikian adil yang dinyatakan dalam al-Qur‟an surat an-Nisa‟ ayat 3 dan
ayat 129 bukan merupakan syarat kebolehan berpoligami, melainkan kewajiban
suami ketika mereka berpoligami. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh
Prof. KH. Ibrahim Hosen berikut :

“Syarat adil bagi kebolehan berpoligami bukanlah syarat hukum, akan


tetapi ia adalah syarat agama dengan pengertian bahwa agama yang
menghendakinya, karena yang dikatakan syarat hukum itu adalah yang dituntut
adanya sebelum adanya hukum, seperti wudhu‟ selaku syarat sahnya shalat,
dituntut adanya sebelum shalat, karena shalat tidak sah dilakukan kecuali dengan
wudhu‟. Maka shalat dan wudhu‟ tidak dapat berpisah selama shalat belum selesai,
sedangkan adil tidak dapat dijadikan syarat hukum sahnya poligami, karena adil itu
belum dapat diwujudkan sebelum terwujudnya poligami. Oleh karena itu adil
adalah syarat agama yang menjadi salah satu kewajiban suami setelah melakukan
poligami.Selain itu syarat hukum mengakibatkan batalnya hukum ketika batal
syaratnya, tetapi syarat agama tidak demikian, melainkan hanya mengakibatkan
dosa kepada Tuhan.Jadi suami yang tidak berlaku adil dia berdosa dan dapat
diajukan kepada mahkamah dimana qadhi dapat menjatuhkan kepadanya hukuman
ta‟ziir.Akan tetapi kalau kita jadikan adil itu syarat hukum bagi kebolehan
berpoligami, maka ketika suami tidak berlaku adil, nikahnya menjadi batal.Dalam
hal ini ternyata tidak seorang pun dari kalangan ulama berpendapat demikian. Jika
kita memandang bahwa adil itu tidak menjadi syarat hukum bagi kebolehan
berpoligami, maka ketiadaan adil tidak dapat dijakan mani‟ (penghalang) bagi
kebolehan berpoligami.” (Prof. KH Ibrahim Hosen, 1971)

Dari penuturan Prof. KH Ibrahim Hosen di atas, bahwa adil yang


dimaksud oleh al-Qur‟an surat an-Nisa‟ ayat 3 dan ayat 129 adalah adil sebagai
syarat agama bukan syarat hukum kebolehan berpoligami.Oleh karena itu pada

7
dasarnya kebolehan berpoligami itu adalah mutlak dan adil itu merupakan
kewajiban bagi suami terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka karena tuntutan
agama. Dalam hal adil ini, apakah terhadap isteri tunggal dalam perkawinan
monogami tidak dituntut berlaku adil, hanya saja kapasitas adil dalam perkawinan
poligami lebih berat, karena itulah Allah SWT memberikan warning agar berhati-
hati dan tidak secara sengaja lebih senang atau cenderung bersikap lebih mencintai
sebagian isteri dengan mengabaikan yang lain 3.

Hukum asal poligami dalam Islam berkisar antara ibaahah (mubah/boleh dilakukan
dan boleh tidak) atau istihbaab (dianjurkan).

Adapun makna perintah dalam firman Allah Ta‟ala,

َ ‫ساءِ َمثْىَى َوث ُ َلثَ َو ُر َبا‬


}‫ع‬ َ ِّ‫اب لَكُ ْم مِهَ الى‬
َ ‫ط‬َ ‫{و ِإ ْن خِ ْفت ُ ْم أ َ ََّل ت ُ ْق ِسطُوا فِي ْال َيت َا َمى َفا ْو ِك ُحوا َما‬
َ

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat” (QS an-Nisaa‟:3).

Perintah Allah dalam ayat ini tidak menunjukkan wajibnya poligami, karena
perintah tersebut dipalingkan dengan kelanjutan ayat ini, yaitu firman-Nya,

}‫َت أ َ ْي َماوُكُ ْم ذَلِكَ أَدْوَى أ َ ََّل تَعُولُوا‬


ْ ‫{فَئ ِ ْن خِ ْفت ُ ْم أ َ ََّل ت َ ْع ِدلُوا فَ َواحِ دَة ً أ َ ْو َما َملَك‬

“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS an-Nisaa‟:3).

Maka dengan kelanjutan ayat ini, jelaslah bahwa ayat di atas meskipun
berbentuk perintah, akan tetapi maknanya adalah larangan, yaitu larangan menikahi
lebih dari satu wanita jika dikhawatirkan tidak dapat berbuat adil, atau maknanya,
“Janganlah kamu menikahi kecuali wanita yang kamu senangi”.

Ini seperti makna yang ditunjukkan dalam firman-Nya,

3
Reza Fitra Ardhian, Satrio Anugrah, Setyawan Bima. Poligami Dalam Hukum Islam Dan
Hukum Positif Indonesia.Poligami. Vol. III No 2. Hlm. 101.

8
}‫{وقُ ِل ْال َح ُّق م ِْه َربِّكُ ْم فَ َم ْه شَا َء فَ ْليُؤْ م ِْه َو َم ْه شَا َء فَ ْليَ ْكفُ ْر‬
َ

“Dan katakanlah:”Kebenaran itu datangnya dari Rabbmu; maka barangsiapa


yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir)
biarlah ia kafir” (QS al-Kahfi:29). Maka tentu saja makna ayat ini adalah
larangan melakukan perbuatan kafir dan bukan perintah untuk melakukannya.

Syaikh „Abdul „Aziz bin Abdulah bin Baz ketika ditanya, “Apakah
poligami dalam Islam hukumya mubah (boleh) atau dianjurkan?” Beliau
menjawab rahimahullah, “Poligami (hukumnya) disunnahkan (dianjurkan) bagi
yang mampu, karena firman Allah Ta‟ala (beliau menyabutkan ayat tersebut di
atas), dan karena perbuatan Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam,
beliau shallallahu „alaihi wa sallam menikahi sembilan orang wanita, Allah
memberi manfaat (besar) bagi umat ini dengan (keberadaan) para istri
Nabi shallallahu „alaihi wa sallam tersebut, dan ini (menikahi sembilan orang
wanita) termasuk kekhususan bagi beliau shallallahu „alaihi wa sallam.

Adapun selain beliau shallallahu „alaihi wa sallam tidak boleh menikahi


lebih dari empat orang wanita. Karena dalam poligami banyak terdapat
kemslahatan/kebaikan yang agung bagi kaum laki-laki maupun permpuan,
bahkan bagi seluruh umat Islam.

Sebab dengan poligami akan memudahkan bagi laki-laki maupun perempuan


untuk menundukkan pandangan, menjaga kemaluan (kesucian), memperbanyak
(jumlah) keturunan, dan (memudahkan) bagi laki-laki untuk memimpin beberapa
orang wanita dan membimbing mereka kepada kebaikan, serta menjaga mereka dari
sebab-sebab keburukan dan penyimpangan. Adapun bagi yang tidak mampu
melakukan itu dan khawatir berbuat tidak adil, maka cukuplah dia menikahi seorang
wanita (saja), karena Allah Ta‟ala berfirman,

}‫َت أ َ ْي َماوُكُ ْم ذَلِكَ أَدْوَى أ َ ََّل تَعُولُوا‬


ْ ‫{فَئ ِ ْن خِ ْفت ُ ْم أ َ ََّل ت َ ْع ِدلُوا فَ َواحِ دَة ً أ َ ْو َما َملَك‬

“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS an-Nisaa‟:3).

9
Semoga Allah (senantiasa) memberi taufik-Nya kepada semua kaum muslimin
untuk kebaikan dan keselamatan mereka di dunia dan akhirat

Senada dengan ucapan di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih al-„Utsaimin


berkata, “…Seorang laki-laki jika dia mampu dengan harta, badan (tenaga) dan
hukumnya (bersikap adil), maka lebih utama (baginya) untuk menikahi (dua) sampai
empat (orang wanita) jika dia mampu. Dia mampu dengan badannya, karena
dia enerjik, (sehingga) dia mampu menunaikan hak yang khusus bagi istri-istrinya.
Dia (juga) mampu dengan hartanya (sehingga) dia bisa memberi nafkah (yang
layak) bagi istri-istrinya. Dan dia mampu dengan hukumnya untuk (bersikap) adil di
antara mereka. (Kalau dia mampu seperti ini) maka hendaknya dia menikah (dengan
lebih dari seorang wanita), semakin banyak wanita (yang dinikahinya) maka itu
lebih utama. Ibnu Abbas radhiyallahu „anhuma berkata, “Orang yang terbaik di
umat ini adalah yang paling banyak istrinya.

Syaikh Shaleh bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Adapun (hukum) asal


(pernikahan) apakah poligami atau tidak, maka aku tidak mendapati ucapan para
(ulama) ahli tafsir, yang telah aku baca kitab-kitab tafsir mereka yang membahas
masalah ini. Ayat al-Qur‟an yang mulia (surat an-Nisaa‟:3) menunjukkan bahwa
seorang yang memiliki kesiapan (kesanggupan) untuk menunaikan hak-hak para
istri secara sempurna maka dia boleh untuk berpoligami (dengan menikahi dua)
sampai empat orang wanita. Dan bagi yang tidak memiliki kesiapan (kesanggupan)
cukup dia menikahi seorang wanita, atau memiliki budak 4.
Simak selengkapnya disini.

D. Menganalisis Hukum Poligami


1. Alquran
Al-quran memperbolehkan poligami, namun tidak menentukan persyaratan
apapun secara tegas, kecuali hanya memberikan “Apakah kamu yakin apabila
kamu berpoligami akan mampu berprilaku adil.? Karna adil itu sangat berat.”

4
https://muslim.or.id/1916-poligami-bukti-keadilan-hukum-allah.html

10
2. Ulama

a) Ulama Tradisonal

Ada beberapa pendapat ulama tentang kebolehan poligami. Secara garis


besar pendapat ini dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian :

1) Pendapat kebolehan menikahi wanita lebih dari seorang dengan syarat-syarat


dan dalam kondisi tertentu.
2) Pendapat yang memperbolehkan menikahi wanita lebih dari satu secara
mutlak.
3) Pendapat yang melarang poligami secara mutlak. 5

b) Ulama Modernis

Mereka menegaskan bahwa izin berpoligami itu hanya bersifat tentative dan
untuk tujuan-tujuan tertentu. 6. Rasyid Rida menekankan bahwa poligami
merupakan penyimpangan dari prinsip dan idealitas, ia dapat memupus
ketenangan jiwa, cinta dan kasih sayang (Sakinah mawaddah warahmah) yang
merupakan pondasi dan pilar hidup berumah tangga. Oleh karna itu sepatutnya
seorang muslim menghindari poligami kecuali kondisi darurat yang disertai
keyakinan mampu berlaku adil, lebih dari sekedar meraih “sakinah mawaddah
warahmah”. 7

3. Solusi Berpoligami

Pandangan normotif Al-Quran yang selanjutnya diadopsi oleh ulama fiqih,


setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki oleh suami.
1. Seorang lelaki yang akan berpoligami harus memiliki kemampuan dana yang
cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya istri yang
dinikahi.

5 Khoiruddin Nasution “Perdedabatan Seputar Status Poligami”, Musawa Jurnal Islam dan Gender Vol 1
No.1 Maret 202 h. 58.
6 Fazlur Rahman, Major Themes of the qur‟an, Edisi Indonesia: Tema-tema Pokok Al-quran, ter. Annas
Mahyuddin (Bandung: Penerbit Pustaka,1996), h.69.
7 Rasyid Ridho, Tafsi al-Manar, juz IV, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), h. 302.

11
2. Seorang laki-laki harus memperlakukan semua istri dengan adil. Masing-
masing istri harus diperlakukan dengan sama dalam memenuhi hak
perkawinan serta hak-hak lain.
Berkaitan dengan alasan-alasan darurat sehingga suami boleh berpoligami
setidaknya ada delapan alasan yang bisa dikemukakan disini:
1. Istri mengidap suatu penyakit berbahaya yang sulit disembuhkan.
2. Itri terbukti mandul dan dipastikan secara medis tidak bisa disembuhkan.
3. Istri sakit ingatan.
4. Istri lanjut usia sehingga tidak bisa memenuhi kewajiban sebagai istri.
5. Istri memiliki sifat buruk.
6. Istri minggat dari rumah.
7. Ketika terjadi ledakan perempuan dengan sebab perang / meningkat nya
jumalah penduduk perempuan di suatu daerah
8. Kebutuhan suami beristri lebih dari satu dan jika tidak menimbulkan bahaya
dalam kehidupan dan pekerjaan nya.

12
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

poligami adalah perkawinan dengan dua orang perempuan atau lebih dalam
waktu yang sama. Al Qur‟an membolehkan poligami, namun tidak menentukan
persyaratan apapun secara tegas, kecuali hanya memberikan warning. syarat-
syarat untuk berpoligami menurut ketentuan pasal 5 Undang-undang Perkawinan
juga harus dipenuhi.

Dalam Kompilasi Hukum Islam, syarat poligami dijelaskan dalam pasal 55 yang
berbunyi: 1) Beristeri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas
hanyasampai empat orang isteri. 2) Syarat utama beristeri lebih dari seorang,
suami harus berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya. 3) Apabila
syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang
beristeri lebih dari seorang

13
DAFTAR PUSTAKA

Bustaman Usman“Poligami Menurut Perspektif Fiqh” (Studi kasus di


Kecamatan Pidie, Kabupaten Pidie, Aceh) Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN
Ar-Raniry, Volume 1 No. 1. Januari-Juni 2017.

Reza Fitra Ardhian, Satrio Anugrah, Setyawan Bima. Poligami Dalam Hukum
Islam Dan Hukum Positif Indonesia.Poligami. Vol. III No 2.

https://muslim.or.id/1916-poligami-bukti-keadilan-hukum-allah.html

Khoiruddin Nasution “Perdedabatan Seputar Status Poligami”, Musawa Jurnal


Islam dan Gender Vol 1 No.1.

Fazlur Rahman, Major Themes of the qur‟an, Edisi Indonesia: Tema-tema Pokok
Al-quran, ter. Annas Mahyuddin (Bandung: Penerbit Pustaka,1996.

Rasyid Ridho, Tafsi al-Manar, juz IV, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999).

14

Anda mungkin juga menyukai