Disusun oleh:
Nur Mulia
Ainun Khakim
Jakarta Pusat
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas berkat dan anugerah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Poligami dan Hukum
Menikahi Wanita Hamil” Makalah ini dibuat sehubungan dengan tugas yang
diberikan dosen kami Bapak Fuadul Umam, M. Hum, untuk memenuhi nilai
mata kuliah Masail Fiqhiyah, dengan diselesaikannya tugas makalah ini, kami
harapkan dapat memenuhi syarat penilaian tugas dan berguna untuk para
pembacanya.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi perbaikan
pembuatan makalah dikemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca Aamiin yarobbal‟alaimin.
Kelompok 7
i
DAFTAR ISI
Isi
KATA PENGANTAR .................................................................................................. i
BAB I ........................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1
BAB II ......................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN .......................................................................................................... 2
PENUTUP ................................................................................................................. 13
A. KESIMPULAN ................................................................................................ 13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sistem perundang-undangan di Indonesia, masalah poligamidiatur dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 3 dari Undang-
undang tersebut menyatakan bahwa pada prinsipnya asas perkawinan adalah
monogami.38Seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang
wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Pengadilan dapat member izin
kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh
pihakpihak yang bersangkutan, serta hukum dan agama yang bersangkutan
mengizinkan. Pengecualian ini hanya khusus berlaku bagi mereka yang beragama
Islam dan Hindu dan tidak berlaku bagi yang beragama Kristen.39 Selain itu
berdasarkan Undang-undang tersebut dijelaskan bahwa seseorang yang berpoligami
harus memiliki alasan yang cukup dan memenuhi syarat-syarat tertentu
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Pembahasan
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Poligami
Pada dasarnya, kata-kata “poligami”, itu tersusun dari dua kata, yaitu poli
(banyak) dan gami (istri), maka dapat diartikan secara etimologi, poligami tersebut
adalah beristri banyak. Sedangkan bila dilihat secara terminologi, poligami yaitu
seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri, yang mana dasar bahasa tersebut
yaitu dari bahasa yunani (Poli atau Polos) yang artinya banyak dan kata Gamein
atau Gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Sehingga pada ketika kata
digabungkan akan berarti kata ini menjadi sah untuk mengatakan bahwa arti
poligami adalah perkawinan banyak dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas.
Namun bila ditinjau dari pandangan Islam, poligami tersebut mempunyai arti
perkawinan yang lebih dari satu, dua, tiga dan empat perempuan saja (tidak boleh
lebih dari itu).1
Sementara dari sisi lain ada juga yang mengartikan poligami adalah
perkawinan dengan dua orang perempuan atau lebih dalam waktu yang sama.
Sementara dari sisi lain, poligami tersebut dapat diartikan sebagai ikatan perkawinan
yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa lebih dari satu istri dalam waktu
yang bersamaan, bukan saat ijab qabul melainkan dalam menjalani hidup
berkeluarga.
Bila kita membaca sejarah mengenai poligami pada dasarnya dilakukan oleh
orang-orang tertentu, dalam artian oleh para raja-raja, dan orang-orang yang
ekonominya yang cukup memadai (orang kaya). Mereka yang menganggap dirinya
lebih berkuasa ketimbang masyarakat celata (biasa), sehingga mereka dengan sangat
berani mengambil beberapa wanita, ada yang dikawini dan ada pula yang hanya
dipergunakan untuk melampiaskan hawa nafsunya akibat perang, dan banyak anak
gadis yang diperjualbelikan, diambil sebagai pelayan mereka, Makin kaya seseorang
1
Bustaman Usman“Poligami Menurut Perspektif Fiqh” (Studi kasus di Kecamatan Pidie, Kabupaten
Pidie, Aceh) Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Volume 1 No. 1. Januari-Juni 2017 hal. 275.
2
makin tinggi kedudukanya, makin banyak mengumpulkan wanita. Dengan demikian
poligami itu adalah sisa-sisa pada waktu peninggalan zaman perbudakan yang mana
hal ini sudah ada dan jauh sebelum masehi.
1) Menurut Fuqoha
Terjadinya wanita hamil di luar nikah yang hal ini sangat dilarang oleh
agama, norma, etika dan perundang-undangan negara, selain karena adanya
pergaulan bebas juga karena lemah (rapuhnya) iman pada masing-masing
pihak.Oleh karenanya untuk mengantisipasi perbuatan yang keji dan terlarang itu
pendidikan agama yang mendalam dan kesadaran hukum semakin diperlukan.
Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.
2
Jurnal Hukum Keluarga and Hukum Islam Volume,
“Http://Jurnal.Arraniry.Ac.Id/Index.Php/Samarah” 1, no. 1 (2017).
3
layaknya suami-isteri dan kedudukan nasab anak yang dilahirkannya dan wanita
hamil mempunyai masa „iddah atau tidak.
Maka dalam hal ini ulama‟ mazhab Syafi‟i berpendapat bahwa zina tidak
memiliki bagian dalam kewajiban ber‟iddah.10 Sama saja antara wanita yang
berzina itu hamil maupun tidak, dan sama sajah apakah wanita tersebut sudah
mempunyai suami atau tidak. Jika dia mempunyai suami, maka halal bagi suaminya
untuk menyetubuhinya secara langsung.
Dan jika tidak mempunyai suami, maka boleh bagi laki-laki yang berzina
dengannya atau orang lain untuk menikahinya, baik dia hamil atau tidak. Hanya saja
menyetubuhinya dalam keadaan hamil hukumnya makruh sampai dia melahirkan.
Pendapat kedua yaitu jika wanita yang dizinai tidak hamil, maka laki-laki
yang berzina dengannya atau laki-laki lain boleh menikahinya, dan dia tidak wajib
ber‟iddah. Ini adalah pendapat yang disepakati dalam mazhab Hanafi. Jika wanita
tersebut hamil maka haram untuk menyetubuhinya. Jika yang menikahinya adalah
laki-laki yang berzina denganya, maka dia boleh menyetubuhinya, dan anak adalah
milik laki-laki tersebut jika dilahirkan enam bulan setelah pernikahan. Jika anak
tersebut dilahirkan sebelum enam bulan, maka dia bukan anaknya dan tidak
mendapatkan warisan darinya. Kecuali jika laki-laki tersebut berkata, ‚Ini adalah
anakku, bukan anak zina.‛
Pendapat ketiga, wanita yang berzina tidak boleh dinikahi dan dia wajib
ber‟iddah dengan waktu yang ditetapkan jika dia tidak hamil, dan dengan
melahirkan kandungan jika dia hamil. Jika memiliki suami, maka suaminya tidak
boleh menyetubuhinya sampai iddahnya habis. Ini adalah pendapat Imam Malik
4
2) Imam Hanbali
5
dinikahi, maka tidak hamil lebih utama tidak sah. Sebab menyetubuhi wanita
yang hamil tidak mengakibatkan kerabcuan nasab. Tapi wanita pezina yang
belum jelas kehamilannya, di dalam dirinya kemungkinan terdapat janin.
Anaknya bisa jadi adalah dari laki-laki pertama, dan bisa jadi dari laki-laki
kedua. Hal ini mengakibatkan kerancuan nasab.
g) Qiyas, kepada persetubuhan yang syubhat, dengan „Illah bahwa itu
adalah persetubuhan pada kemaluan, sehingga mewajibkan „iddah. Oleh
karena itu sebelum bertaubat, wanita tersebut berada dalam hukum zina. Dan
jika dia bertaubat, maka hukum tersebut hilang. Berdasarkan sabda Nabi
Saw, ‚Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak memiliki
dosa.‛ Taubatnya sebagaimana orang lain yaitu dengan menghindarkan diri
dari zina. Dan jika dia bertaubat, maka hukum tersebut hilang.
6
yakin apabila berpoligami nantinya akan mampu berlaku adil, karena adil itu sangat
berat, Allah sebagai pencipta manusia maha mengetahui bahwa kamu tidak akan
mampu berlaku adil secara hakiki, namun berhati-hatilah jangan sampai kamu
secara bersahaja lebih mencintai sebagian isterimu dan mengabaikan yang lain”..
Dengan demikian adil yang dinyatakan dalam al-Qur‟an surat an-Nisa‟ ayat 3 dan
ayat 129 bukan merupakan syarat kebolehan berpoligami, melainkan kewajiban
suami ketika mereka berpoligami. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh
Prof. KH. Ibrahim Hosen berikut :
7
dasarnya kebolehan berpoligami itu adalah mutlak dan adil itu merupakan
kewajiban bagi suami terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka karena tuntutan
agama. Dalam hal adil ini, apakah terhadap isteri tunggal dalam perkawinan
monogami tidak dituntut berlaku adil, hanya saja kapasitas adil dalam perkawinan
poligami lebih berat, karena itulah Allah SWT memberikan warning agar berhati-
hati dan tidak secara sengaja lebih senang atau cenderung bersikap lebih mencintai
sebagian isteri dengan mengabaikan yang lain 3.
Hukum asal poligami dalam Islam berkisar antara ibaahah (mubah/boleh dilakukan
dan boleh tidak) atau istihbaab (dianjurkan).
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat” (QS an-Nisaa‟:3).
Perintah Allah dalam ayat ini tidak menunjukkan wajibnya poligami, karena
perintah tersebut dipalingkan dengan kelanjutan ayat ini, yaitu firman-Nya,
“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS an-Nisaa‟:3).
Maka dengan kelanjutan ayat ini, jelaslah bahwa ayat di atas meskipun
berbentuk perintah, akan tetapi maknanya adalah larangan, yaitu larangan menikahi
lebih dari satu wanita jika dikhawatirkan tidak dapat berbuat adil, atau maknanya,
“Janganlah kamu menikahi kecuali wanita yang kamu senangi”.
3
Reza Fitra Ardhian, Satrio Anugrah, Setyawan Bima. Poligami Dalam Hukum Islam Dan
Hukum Positif Indonesia.Poligami. Vol. III No 2. Hlm. 101.
8
}{وقُ ِل ْال َح ُّق م ِْه َربِّكُ ْم فَ َم ْه شَا َء فَ ْليُؤْ م ِْه َو َم ْه شَا َء فَ ْليَ ْكفُ ْر
َ
Syaikh „Abdul „Aziz bin Abdulah bin Baz ketika ditanya, “Apakah
poligami dalam Islam hukumya mubah (boleh) atau dianjurkan?” Beliau
menjawab rahimahullah, “Poligami (hukumnya) disunnahkan (dianjurkan) bagi
yang mampu, karena firman Allah Ta‟ala (beliau menyabutkan ayat tersebut di
atas), dan karena perbuatan Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam,
beliau shallallahu „alaihi wa sallam menikahi sembilan orang wanita, Allah
memberi manfaat (besar) bagi umat ini dengan (keberadaan) para istri
Nabi shallallahu „alaihi wa sallam tersebut, dan ini (menikahi sembilan orang
wanita) termasuk kekhususan bagi beliau shallallahu „alaihi wa sallam.
“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS an-Nisaa‟:3).
9
Semoga Allah (senantiasa) memberi taufik-Nya kepada semua kaum muslimin
untuk kebaikan dan keselamatan mereka di dunia dan akhirat
4
https://muslim.or.id/1916-poligami-bukti-keadilan-hukum-allah.html
10
2. Ulama
a) Ulama Tradisonal
b) Ulama Modernis
Mereka menegaskan bahwa izin berpoligami itu hanya bersifat tentative dan
untuk tujuan-tujuan tertentu. 6. Rasyid Rida menekankan bahwa poligami
merupakan penyimpangan dari prinsip dan idealitas, ia dapat memupus
ketenangan jiwa, cinta dan kasih sayang (Sakinah mawaddah warahmah) yang
merupakan pondasi dan pilar hidup berumah tangga. Oleh karna itu sepatutnya
seorang muslim menghindari poligami kecuali kondisi darurat yang disertai
keyakinan mampu berlaku adil, lebih dari sekedar meraih “sakinah mawaddah
warahmah”. 7
3. Solusi Berpoligami
5 Khoiruddin Nasution “Perdedabatan Seputar Status Poligami”, Musawa Jurnal Islam dan Gender Vol 1
No.1 Maret 202 h. 58.
6 Fazlur Rahman, Major Themes of the qur‟an, Edisi Indonesia: Tema-tema Pokok Al-quran, ter. Annas
Mahyuddin (Bandung: Penerbit Pustaka,1996), h.69.
7 Rasyid Ridho, Tafsi al-Manar, juz IV, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), h. 302.
11
2. Seorang laki-laki harus memperlakukan semua istri dengan adil. Masing-
masing istri harus diperlakukan dengan sama dalam memenuhi hak
perkawinan serta hak-hak lain.
Berkaitan dengan alasan-alasan darurat sehingga suami boleh berpoligami
setidaknya ada delapan alasan yang bisa dikemukakan disini:
1. Istri mengidap suatu penyakit berbahaya yang sulit disembuhkan.
2. Itri terbukti mandul dan dipastikan secara medis tidak bisa disembuhkan.
3. Istri sakit ingatan.
4. Istri lanjut usia sehingga tidak bisa memenuhi kewajiban sebagai istri.
5. Istri memiliki sifat buruk.
6. Istri minggat dari rumah.
7. Ketika terjadi ledakan perempuan dengan sebab perang / meningkat nya
jumalah penduduk perempuan di suatu daerah
8. Kebutuhan suami beristri lebih dari satu dan jika tidak menimbulkan bahaya
dalam kehidupan dan pekerjaan nya.
12
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
poligami adalah perkawinan dengan dua orang perempuan atau lebih dalam
waktu yang sama. Al Qur‟an membolehkan poligami, namun tidak menentukan
persyaratan apapun secara tegas, kecuali hanya memberikan warning. syarat-
syarat untuk berpoligami menurut ketentuan pasal 5 Undang-undang Perkawinan
juga harus dipenuhi.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, syarat poligami dijelaskan dalam pasal 55 yang
berbunyi: 1) Beristeri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas
hanyasampai empat orang isteri. 2) Syarat utama beristeri lebih dari seorang,
suami harus berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya. 3) Apabila
syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang
beristeri lebih dari seorang
13
DAFTAR PUSTAKA
Reza Fitra Ardhian, Satrio Anugrah, Setyawan Bima. Poligami Dalam Hukum
Islam Dan Hukum Positif Indonesia.Poligami. Vol. III No 2.
https://muslim.or.id/1916-poligami-bukti-keadilan-hukum-allah.html
Fazlur Rahman, Major Themes of the qur‟an, Edisi Indonesia: Tema-tema Pokok
Al-quran, ter. Annas Mahyuddin (Bandung: Penerbit Pustaka,1996.
Rasyid Ridho, Tafsi al-Manar, juz IV, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999).
14