Anda di halaman 1dari 27

POLEMIK POLIGAMI

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas:

Mata Kuliah: Tafsir dan Fikih Gender


Dosen Pengampu: Prof. Dr. Hamka Hasan, M.A.

Disusun Oleh:
Iffah Al Walidah
NIM. 2386131040
Irhamil Muthoharoh
NIM. 2386131043
Lazimatun Nazhifah
NIM. 2386131045
Nurafni Bisinda
NIM. 2386131051
Putri Ayu Mayangsari
NIM. 2386131053

PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER AGAMA
KONSENTRASI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
UNIVERSITAS PTIQ JAKARTA
TAHUN AKADEMIK 1445 H/2023 M
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh,

Dengan mengucap syukur alhamdulillahirabbil’alamin kami dapat


menyelesaikan susunan makalah tugas mata kuliah Tafsir dan Fikih Gender yang
berjudul “Poligami” dengan waktu yang semestinya.

Tentunya kami sangat menyadari bahwasanya masih banyak sekali kekurangan


serta kekeliruan didalam makalah ini, untuk itu kami sangat berharap kepada
Bapak/Ibu dosen, serta kawan mahasiswa untuk berkenan mengoreksi dan menilai
tulisan serta isi dari makalah yang kami susun ini.

Dan yang terakhir, besar harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat
untuk bersama-sama. Amiin.

Jakarta, 20 Oktober 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 3
A. Stereotipe Poligami ............................................................................. 3
B. Hadis-Hadis Poligami ......................................................................... 7
C. UU dan KHI tentang Poligami ........................................................... 14
D. Studi Kasus Poligami ......................................................................... 15
BAB III PENUTUP ...................................................................................... 22
A. Kesimpulan ........................................................................................ 22
B. Saran ................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 23

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Praktik poligami secara historis telah dijalankan semenjak zaman pra Islam.
Bentuk pernikahan ini dipraktekkan secara luas pada masyarakat Persia, Yunani, dan
Mesir kuno. Bahkan masyarakat Arab sebelum Islam mempraktikkan poligami dengan
jumlah tidak terbatas. Sejumlah riwayat menceritakan bahwa rata-rata pemimpin suku
ketika itu memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit kepala suku mempunyai istri
sampai ratusan.1 Namun, sebelum Islam datang poligami dilakukan tanpa ada
ketentuan. Pada masa tersebut, seseorang boleh poligami tanpa batasan maksimal serta
boleh dilakukan pada siapa saja, termasuk dengan kerabat dekaat. Oleh karena itu,
banyak terjadi perselisihan akibat perkawinan poligami yang tidak memiliki aturan.2
Poligami merupakan problem sosial klasik yang tetap hangat untuk
diperbincangkan dan selalu menjadi perdebatan di kalangan masyarakat muslim di
seluruh dunia. Meskipun Islam bukanlah agama pertama yang menetapkan aturan
poligami –karena praktik poligami sudah terjadi jauh sebelum Islam–tetapi citra
poligami selalu dialamatkan kepada Islam sebagai ajarannya. Anggapan tersebut
memang tidak bisa dipungkiri, karena realitas membuktikan bahwa sebagian–untuk
tidak mengatakan semuanya–masyarakat muslim memahami teks-teks keagamaan yang
berbicara poligami sebagai sebuah ‘ajaran’ bukan ‘aturan’. Hal ini, ditunjang pula
dengan pemahaman mereka tentang perilaku poligami yang dipraktikkan oleh Nabi
Muhammad saw., yang pada akhirnya menginspirasi mereka untuk meneladani
perbuatan Nabi tersebut.3
Secara garis besar perdebatan mengenai poligami selalu melahirkan kesimpulan
yang beragam. Setidaknya ada tiga macam pandangan, yaitu: (1) pandangan yang
memperbolehkan poligami secara longgar; menganggap bahwa poligami sebagai
sunnah tanpa mempertimbangkan syarat berlaku adil yang telah ditetapkan al-Qur’an;
(2) pandangan yang memperbolehkan poligami secara ketat (iḥtiyāṭ; hati-hati) dengan
menetapkan beberapa persyaratan seperti keadilan formal-distributif berupa pemenuhan

1
Siti Musda Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), hal. 45.
2
Erwin Hafid, “Poligami Pada Keluarga Terdekat Istri (Kajian Metode Hadis Tahlili Pada Hadis Poligami
Keluarga Terdekat Istri)”, Al-Quds: Jurnal Studi Alquran dan Hadis, Vol. 6, No. 2, 2022, hal. 1452.
3
Masiyan M. Syam dan Muhammad Syachrofi, “Hadis-Hadis Poligami (Aplikasi Metode Pemahaman Hadis
Muhammad al-Ghazali)”, Diroyah: Jurnal Ilmu Hadis, Vol. 4, No. 1, 2019, hal. 89-98.

1
hak ekonomi dan seksual bagi setiap istri, dan syarat-syarat lainnya; dan (3) pandangan
yang melarang poligami secara mutlak.4
Perdebatan di atas sejatinya lahir dari teks-teks keagamaan yang sama, yaitu
yang tercantum di dalam nash al-Qur’an maupun hadis-hadis Nabi. Namun, perbedaan
terjadi dikarenakan metode serta sudut pandang atau pendekatan yang digunakan
berbeda antarra satu dengan yang lain. Hal ini menandakan bahwa teks-teks keagamaan
selalu menyediakan kemungkinan-kemungkinan interpretasi. Berhubungan dengan itu,
pada makalah ini akan membahas tentang stereotipe dan hadis poligami, perundang-
undangan dan contoh kasus tentang poligami yang terjadi di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana stereotipe terkait poligami?
2. Bagaimana hadis mendiskusikan tentang poligami?
3. Bagaimana UU dan KHI berbicara tentang poligami?
4. Bagaimana contoh kasus poligami di masyarakat?
C. Tujuan
1. Mengetahui stereotipe terkait poligami
2. Mengetahui hadis tentang poligami
3. Mengetahui UU dan KHI tentang poligami
4. Mengetahui contoh kasus poligami di masyarakat

4
Masiyan M. Syam dan Muhammad Syachrofi, “Hadis-Hadis Poligami (Aplikasi Metode Pemahaman Hadis
Muhammad al-Ghazali)”, hal. 89-98.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Stereotipe Masyarakat tentang Poligami
1. Sosial dan Psikologis
Fenomena poligami terus bergulir di kalangan masyarakat Indonesia, kasus
demi kasus terjadi di lingkungan kita dengan segala permasalahannya, ada yang
menyembunyikannya dari masyarakat dan ada yang sengaja melakukan propaganda
untuk mencari dukungan publik. Begitu dahsyatnya dimana praktek poligami
menyebabkan ikut terlibatnya orang lain, seperti anak, keluarga, tetangga, teman
dekat, dan lain-lain. Hal ini mampu mengundang tanggapan positif dan negatif orang
lain terhadap moral yang dimiliki oleh pelaku poligami. Orang memandang poligami
itu sesuatu hal yang kurang baik, sekalipun agama tidak melarangnya dan
memperbolehkannya. Namun, poligami dengan batasan sampai dengan 4 istri ini lebih
umum dipahami dengan dukungan dari sejarah, sebab Rasulullah saw. melarang
umatnya melakukan pernikahan lebih dari 4 wanita.5
Poligami merupakan salah satu bentuk perkawinan yang diperdebatkan oleh
publik, dari mereka memberikan argumentasi yang berbeda beda, baik ada yang
mendukung ataupun yang menolak. Secara sosiologis, perbuatan poligami masih
dipandang tabu bagi masyarakat Indonesia. Poligami merupakan masalah
problematika tersendiri, krusial, dan kontroversional dalam masyarakat modern.
Untuk melihat beberapa ketimpangan sosial dalam masyarakat diperlukan
pembahasan yang lebih spesifik yang bisa diawali dari keluarga, individu, dan
masyarakat secara umum. Namun, kenyataannya yang terjadi dalam masyarakat,
justru ketimpangan sosial itu dimulai dari dalam rumah tangga, diantaranya dengan
melakukan pelaksanaan poligami yang tidak komunikatif, lebih jelasnya praktek
poligami yang terjadi justru mengaburkan substansi tujuan dan prinsip-prinsip dasar
dalam pernikahan. Kemungkinan besar aksi kontra poligami terjadi akibat praktek
poligami yang salah. Sebenarnya ada beberapa syarat bagi mereka apabila ingin
melakukan poligami.6
Secara garis besar dampak negatif poligami bersumber dari sulitnya
mewujudkan keadilan antar istri sehingga dapat memiliki efek sulit membangun

5
Viona Anindiya, “Poligami dalam Pandangan Masyarakat,” dalam
https://www.kompasiana.com/poligami-dalam-pandangan-masyarakat. Diakses pada 21 November 2023.
6
Viona Anindiya, “Poligami dalam Pandangan Masyarakat,” Diakses pada 21 November 2023.

3
suasana keluarga tentram, bahagia, adil dan keluarga yang damai, yang berasal dari
membangun keluarga Sakinah. Kata adil mungkin tidak asing didengar dan sudah
menjadi sebuah ketentuan dalam poligami, tetapi adil di sini dalam artian tidak berat
sebelah atau memberikan sesuatu sesuai dengan kebutuhannya. Manusia sudah
mampu belum tentu bisa dikatakan adil. lantas apakah manusia bisa berprilaku adil?
mengingat, manusia mempunyai ego yang tinggi maka dapat dikatakan bahwa ego ini
membuat manusia merasa tidak puas dengan apa yang dimilikinya.
Realitanya bahwa perkawinan poligami dilakukan hanya untuk sekedar
menutupi kebutuhan penyaluran nafsu seksual dan pantasi dalam gaya hidup
saja, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya pro dan kontra terhadap
praktek perkawinan poligami. Jika perkawinan poligami dilakukan berdasarkan
prosedur yang ditetapkan baik menurut syariat Islam maupun Undang-Undang
yang khusus mengatur atas pelaksanaan perkawinan poligami. Maka dapat
dipastikan bahwa perkawinan poligami tidak akan mengandung polemik di kalangan
masyarakat. Polemik dan debat kusir tentang perkawinan poligami karena
diakibatkan, tidak konsistennya para pelaku poligami terhadap aturan dan perundang-
undangan yang mengatur terhadap perkawinan poligami. Ketidak-konsistenan
itulah menjadikan cikal bakal pro dan kontra terhadap perkawinan poligami.7
Dalam uraian berikutnya bahwa setiap perintah yang datangnya dari Allah,
Swt pasti mengandung hikmah bagi kehidupan manusia, demikian pula dengan
perkawinan poligami, juga mengandung hikmah untuk melengkapi uraian di atas
bahwa perkawinan poligami mengandung hikmah sebagai berikut :
1. Menghindari perbuatan zina. Melihat kondisi masa kini, bahwa terbukanya
perbuatan zina, seperti kasus prostitusi, lokalisasi pelacuran. Pergaulan bebas
juga memberikan peluang untuk melakukan perbuatan zina, maka untuk
menghindari perbuatan zina dan hal-hal yang berkaitan dengan perzinahan,
hukum Islam memberikan sarana untuk menyalurkan nafsu seksual dengan
melaksanakan perkawinan poligami.
2. Perkawinan poligami untuk memperoleh keturunan. Sebagaimana diketahui
bahwa kehadiran anak sangat didambakan bagi pasangan suami istri, akan

7
Suaidi, “Dinamika Psikologis Perkawinan Poligami (Menyingkap Suasana Batin Istri Yang
Dipoligami), “dalam Jurnal Politik, Sosial, Hukum dan Humaniora Vol. 1 No. 3 September 2023, hal. 11.

4
tetapi dalam kondisi istri tidak dapat melahirkan keturunan dikarenakan
mandul, maka perkawinan poligami sebagai alternatifnya.
3. Melindungi para janda, baik janda yang karena bercerai atau jandaakibat suaminya
meninggal dunia, maka bagi laki-laki yang memiliki kemampuan baik fisik
maupun kemampuan finansial, maka diperbolehkan untuk mengawini para janda
dengan perkawinan poligami.
4. Kebutuhan seksual.
5. Adanya upaya istri untuk membahagiakan suami, selain itu karena doktrin
agama bahwa istri yang rela untuk dipoligami imbalannya adalah surga.
Rupanya doktrin ini dapat mengubah paradigma kaum wanita untuk rela
dipoligami. Mereka beranggapan bahwa tujuan kehidupan ini adalah untuk
memperoleh kebahagiaan hakiki di akhirat. Salah satu perbuatan untuk
memperoleh kebahagiaan adalah merelakan suami berpoligami.8
Legalisasi pernikahan poligami baik menurut pandangan Islam maupun
hukum positif, dengan tujuan yang baik dan kemashlahatan bersama khususnya
para pihak yang terlibat langsung dengan pernikahan poligami. Namun saat
ini banyak praktek-praktek poligami yang tidak sesuai dengan syariat yang
ada sehingga berdampak negatif, dan menimbulkan opini pro dan kontra. Dampak
negatif dari pernikahan poligami ini dapat dirasakan oleh istri, anak dan keluarga,
diantaranya adalah;
1. Dampak Psikologis Pada Istri.
a) Munculnya perasaan bersalah atau bahkan menyalahkan dirinya sendiri
atas pilihan suaminya untuk melakukan poligami,diakibatkan ketidak
mampuannya dan kegagalannya dalam menjalankan tugas dan kewajiban
sebagai istri.
b) Memicu rasa ketidak adilan bagi sang istri, karena suami kini harus
membagi perasaan, harta, dan lainnya kepada wanita lainnya.
c) Menjadi pemicu munculnya kasus-kasus KDRT dalam rumah tangga, tak
hanya pada istri namun juga bisa terhadap anak.
d) Istri merasa malu dengan lingkungan sekitar sehingga menghindari
aktivitas sosial di lingkungan masyarakat.

8
Suaidi, “Dinamika Psikologis Perkawinan Poligami (Menyingkap Suasana Batin Istri Yang Dipoligami),
“dalam Jurnal Politik, Sosial, Hukum dan Humaniora Vol. 1 No. 3 September 2023, hal. 12.

5
e) Memicu rasa setres dan depresi berat bagi istri yang belum siap menerima
kondisi yang ada.
2. Dampak Psikologis bagi anak
a) Anak akan merasa kurang kasih sayang dan perhatian, tidak jarang kondisi
ini dapat menjadi faktor penyebab munculnya kasus kenakalan remaja.
b) Merasa tidak memiliki pegangan hidup dari kedua orang gtunya, sehingga
mereka merasa tidak ada sandaran hidup dalam diri mereka atau yang
disebut hilangnya pablik figur yang mereka teladani.
c) Memicu kerenggangan hubungan yang terjalin antara anak dan orang tua,
terutama pada ayah.
d) Dapat menyebabkan kemerosotan pada moral anak dikarenakaan
kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tua kepada anak.
e) Memicu timbulnya rasa benci anak kepada ayahnya sendiri, hal ini karena
mereka merasa jika ibu yang disayanginya mengalami pengkhianatan oleh
ayahnya sendiri. Hal ini juga dipicu dari rasa ketidak adilan kepadaanya.
f) Anak mulai tidak percaya dengan keluarganya, baik kepada orang tua
maupun terhadap saudara-saudaranya.
g) Anak mulai memberontak dikarenakan tekanan pada kondisi keluarganya,
dampak psikologis anak yang tidak diinginkan initentu saja menjadi
pemicu kerenggangan hubungan anak dengan ayah. Bahkan mungkin
saja terjadinya banyak kasus kekerasan terhadap anak.
h) Anak akan merasa malu dan mulai enggan untuk bersosialisasi dengan
lingkungan sekitarnya, yang berdampak akan munculnya gangguan
kepribadian antisosial.
i) Anakakan mengalami penurunan pada nilai-nilai akademik, tidak
berkeinginan dan mulai males untuk bersekolah, yang berlanjut kepada
anak menjadi setres dan depresi.
3. Dampak Psikologis bagi keluarga
a) Kondisi keluarga menjadi sering tidak harmonis akibat pertikaian yang
terjadi, entah istri kepada suami ataupun anak kepada ayah, yang
berujung pada berantakannya keluarga.

6
b) Karena konflik yang berkepanjangan akhirnya terjadi
perceraian, yang memunculkan persoalan baru yaitu menajadikan anak
menjadi broken home.9
Poligami memang merupakan hal yang sah, bahkan tidak ditentang dalam
agama dan negara. Namun, alangkah lebih baiknya untuk memikirkan kembali
keinginan untuk poligami, terlebih lagi jika tidak ada persetujuan maupun kesiapan
dari istri dan anak-anak. Masih banyak solusi lainnya yang dapat dilakukan untuk
mengatasi permasalahan yang ada dibandingkan memaksakan kondisi keluarga
untuk berpoligami. Akan tetapi, persoalan yang muncul akibat pernikahan poligami,
tidak berarti menjadi larangan untuk melakukan poligami, sebab bila menjadi
larangan, akan berbenturan dengan fitrah manusia dan solusi alternatif yang
digariskan dalam hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan. Bahwa perkawinan poligami itu diperbolehkan selama terpenuhinya
persyaratan baik kesiapan mental maupun kemampuan finansial.

B. Hadis-Hadis Poligami
Istilah poligami dalam literatur sarjana muslim disebut dengan ‘ta’addud al-
zaujāt’, kedua istilah tersebut tidak populer di kalangan masyarakat muslim awal
karena baik pada al-Qur’an maupun hadis memang tidak ditemukan istilah tersebut,
tetapi praktiknya sudah dikenal pada waktu itu. Hadis-hadis Nabi yang berbicara
mengenai poligami cukup banyak, namun di antara hadis-hadis tersebut secara
lahiriah tampak kontradiktif antara satu dengan yang lainnya. Sebagian riwayat
membolehkan poligami sebagian yang lain melarangnya. Dengan demikian, penulis
akan membahas hadis-hadis tersebut satu persatu, yaitu sebagai berikut:
a. Hadis Kebolehan Poligami; ada dua versi, pertama versi Ghailān bin Salamah dan
kedua versi Qais bin al-Harits

9
Suaidi suaidi, “Dinamika Psikologis Perkawinan Poligami (Menyingkap Suasana Batin Istri Yang
Dipoligami), “dalam Jurnal Politik, Sosial, Hukum dan Humaniora Vol. 1 No. 3 September 2023, hal. 14.

7
1) Versi Ghailān bin Salamah10
َ
َ َ ْ ُّ ْ َ َ ْ َ ْ َ َ َ ُ َ َ ُ َ َ َ َ َّ َ ٌ َّ َ َ َ َّ َ
‫الزه ِري ع ْن َسا ِل ِم ْب ِن ع ْب ِد‬ ‫يد ْب ِن أ ِبي عروبة عن معم ٍر عن‬ ِ ‫حدثنا هناد حدثنا ع ْبدة ع ْن َس ِع‬
ِ
ََ َ َ َ
ُ َ َ َْ َ ‫الث َقفَّي أ ْس َل َم َول ُه َع ْش ُر ن ْس‬ َّ َ َ َ َ َ ْ َ َ ْ َ َّ َ َ ُ ْ ْ َ َّ
‫اه ِلَّي ِة فأ ْسل ْم َن َمعه‬ ِ ‫ج‬ ‫ال‬ ‫ي‬ ‫ف‬
ِ ٍ‫ة‬ ‫و‬ ِ ِ ‫ة‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫س‬ ‫ن‬ ‫ب‬ ‫ان‬ ‫ل‬ ‫ي‬ ‫غ‬ ‫ن‬ ‫أ‬ ‫اَّلل عن اب ِن عمر‬ ِ
َ َ َ
َ
ٌ‫يس ى َهك َذا َر َوا ُه َم ْع َمر‬ َ ‫اَّلل َع َل ْي َو َسَّل َم أ ْن َي َت َخَّي َر أ ْر َب ًعا م ْن ُهَّن َق َال أ ُبو ع‬ ُ َّ ‫النب ُّي َصَّلى‬ َّ ُ َ َ َ َ
ِ ِ ِ‫ه‬ ‫ف أ مره‬
ِ
َ
ُ‫يث َغ ْير‬ ٌ َ َ َ ُ ُ َ َ َ ْ َ ْ َ ََّ ُ ْ َ َ َ َ َ ْ ُّ ْ َ
‫الزه ِري ع ْن َسا ِل ٍم ع ْن أ ِبيهِ قال و س ِمعت محمد بن ِإسم ِعيل يقول هذا ح ِد‬ ‫عن‬
ِ
َ
َ ُ ْ َ ُ ْ ُ َ َ ْ ُّ ْ َ ُ ُ ْ َ َ َ َ ْ َ ْ َ ُ ُ َّ ُْ َ
‫وظ َوالص ِحيح َما َر َوى شعي ُب ْب ُن أ ِبي حمزة وغيره عن الزه ِري قال ح ِدثت عن محم ِد‬
َّ
ٍ ‫مح ف‬
ِ
َ َ
ُ َ َ َّ َ ٌ ََّ ُ َ َ َ ْ ُ ْ َ ُ َ ْ َ َ َ ْ َ َ َ َ َ ْ َ َ ْ َ َّ َ َّ
‫ْب ِن ُس َو ْي ٍد الثق ِفي أن غيلان بن سلمة أسلم و ِعنده عشر ِنسوةٍ قال محمد و ِإنما ح ِديث‬
ِ
َ َ َ
َ َ َ َّ َ َ ُ َ ُ َ ُ ُ َ َ َ ُ َ َ َ َّ َ َ ْ ً ُ َ َّ ْ َ َ ْ َ ْ ُّ
‫اءك‬ ‫اجعن ِنس‬ ِ ‫يف طلق ِنساءه فقال له عمر لتر‬ ٍ ‫الزه ِر ِي عن سا ِل ٍم عن أ ِبيهِ أن رجلا ِمن ث ِق‬
َ َ َ َ َ
ْ َ َْ َ َ َ َ ُ َ َْ َ َ ُ َ ُ ْ َ َ ُ َ َ َ َ ْ َ َّ َ ُ ْ َ َ ْ
‫يث غيلان ب ِن‬ ِ ‫ال قال أبو ِعيس ى والعمل على ح ِد‬ ٍ ‫أو لأرجمن قبرك كما ر ِجم قبر أ ِبي ِرغ‬
َ َ
ُ َ ْ َ ُ َ ْ َ ُّ َّ ْ ُ ْ َ َ ْ َ ْ َ َ َ َ
‫سلمة ِعند أصحابِنا ِمنهم الش ِاف ِعي وأحمد و ِإسحق‬
Telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami
'Abdah dari Sa'id bin Abu 'Arubah dari Ma'mar dari Az Zuhri dari Salim bin
Abdullah dari Ibnu Umar bahwa Ghailan bin Salamah Ats Tsaqafi masuk
Islam sedang dia saat itu memiliki sepuluh orang istri dari masa Jahiliyah.
Mereka semuanya masuk Islam juga. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
menyuruhnya agar memilih empat dari mereka. Abu Isa berkata; "Demikian
yang diriwayatkan dari Az Zuhri dari Salim dari Bapaknya" (Abu Isa At
Tirmidzi) berkata; "Saya telah mendengar Muhammad bin Isma'il berkata;
hadits ini tidak mahfuzh. Yang sahih adalah yang diriwayatkan Syu'aib bin
Abu Hamzah dan yang lainnya dari Az Zuhri, berkata; saya telah
menceritakannya dari Muhammad bin Suwaid Ats Tsaqafi bahwa Ghailan bin
Salamah masuk Islam, saat itu memiliki sepuluh istri. Muhammad berkata;
"Hadits Az Zuhri dari Salim dari Bapaknya bahwa seorang laki-laki dari
Tsaqif telah menceraikan isterinya. Umar berkata kepadanya; 'Rujuklah pada
para isterimu atau akan saya rajam kuburanmu sebagaimana kuburan Abu
Righal". Abu Isa berkata; "Hadits ghailan bin Salamah diamalkan oleh sahabat
kami, di antaranya adalah Syafi'i, Ahmad dan Ishaq."11

10
Hadis ini kualitasnya shahih, lihat Muhammad ibn ’Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, ed. oleh Muhammad
Fuad ’Abd al-Baqi, vol. 3 (Mesir: Mushtafa al-Baby al-Halaby, 1968), 426; Hadis semakna dapat ditemukan
pada Muhammad Ibn Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Majah, ed. oleh Muhammad Fuad ’Abd al-Baqi (Cairo: Dar
Ihya’ al-Kutub al-’Arabiyyah, 1952), 628; Malik Ibn Anas, Muwaththa’, ed. oleh Muhammad Fuad ’Abd al-
Baqi, vol. 2 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-’Arabi, 1985), 586; Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad, ed. oleh
Ahmad Muhammad Syakir, vol. 5 (Kairo: Dar al Hadits, 1995), hal. 113.
11
Hadis Tirmidzi No. 1047 Kitab Nikah dalam Hadits Tirmidzi No. 1047 | Laki-laki masuk Islam dan
mempunyai sepuluh isteri. Diakses pada 24 November 2023.

8
2) Versi Qais bin al-Harits12
َ َ
َ َّ ْ َ َ ُ َ َ َ َ َ ُ َ َ َّ َ َّ َ َ ‫َحَّدثَ َنا أ ْح َم ُد ْب ُن إ ْب‬
‫يم الد ْو َر ِق ُّي حدثنا هش ْي ٌم ع ْن ْاب ِن أ ِبي ل ْيلى ع ْن ح َم ْيضة ِبن ِت الش َم ْرد ِل‬ ‫اه‬
ِ ِ‫ر‬
َ َ
َّ َ َ ُ َّ َّ َ َّ َّ ُ ْ َ َ َ ْ َ َ ْ َ ُ ْ ْ َ َ َ َْ ْ َ َ
‫اَّلل عل ْيهِ َو َسل َم‬ ‫ان ِنسوةٍ فأتيت النبي صلى‬ ِ ‫م‬ ‫ث‬ ‫ي‬ ‫د‬
ِ ‫ن‬ ‫ع‬
ِ ‫و‬ ‫ت‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫س‬ ‫أ‬ ‫ال‬ ‫ق‬ ‫ث‬ِ ‫ار‬
ِ ‫ح‬ ‫ع ْن قي ِس ْب ِن ال‬
ِ
َ َ
ً َ ْ َّ ُ ْ ْ َ ْ َ َ َ ُ َ َ ُ ْ ُ َ
‫فقلت ذ ِلك له فقال اختر ِمنهن أربعا‬
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Ibrahim Ad Dauraqqi berkata,
telah menceritakan kepada kami Husyaim dari Ibnu Abu Laila dari
Khamaidlah binti Asy Syamardal dari Qais bin Al Harits ia berkata, "Aku
masuk Islam sementara aku mempunyai delapan isteri. Lalu aku mendatangi
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan menuturkan masalah itu. Maka beliau
bersabda: "Pilihlah empat di antara mereka." 13
Pada hadis yang membolehkan poligami terdapat pula dua versi, yaitu
yang diriwayatkan Ibn ‘Umar dan yang diriwayatkan Qais ibn al-Harits. Pada
riwayat Ibn ‘Umar dijelaskan bahwa yang menjadi pelaku praktik poligami ialah
Ghailan ibn Maslamah. Sedang pada riwayat Qais ibn al-Harits subjeknya adalah
Qais itu sendiri. Secara tekstual, kedua riwayat hadis yang membolehkan poligami
tersebut (riwayat Ibn ‘Umar dan Qais) berbicara tentang permasalahan yang sama
yaitu terkait seseorang yang mempunyai banyak istri delapan sampai sepuluh
bahkan lebih―pada masa jahiliyah. Ketika Rasulullah saw. datang membawa
ajaran Islam, mereka pun akhirnya masuk Islam bersama semua istri mereka.
Namun kemudian, mereka diperintahkan menceraikan istri-istri mereka kecuali
empat orang saja untuk dipertahankan. Artinya secara tekstual hadis ini
membolehkan berpoligami dengan maksimal empat orang.

Berkenaan dengan istri-istri mana saja yang menjadi pilihan, para ulama
berbeda pendapat. Sejumlah ulama seperti al-Jawari, Malik, Syafi’i, Ahmad dan
Ishaq mengatakan boleh memilih empat orang istri mana saja yang ia inginkan.
Sementara sebagian ulama lain mengatakan empat orang istri yang boleh dipilih
ialah mereka yang dinikahi pertama kali, maka istri kelima dan seterusnya harus
diceraikan. Ulama yang memegang pendapat ini di antaranya Abu Hanifah,
Ibrahim al-Nakha’i dan Sufyan al-Tsauri. Menurut Ibn Hammam, pendapat yang

12
Kualitas hadis ini hasan shahih, lihat al-Qazwini, Sunan Ibn Majah, 628; Hadis semakna juga terdapat pada
Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, ed. oleh ’Izzat ’Ubaid Da’as dan ’Adil al-Sayyid, vol. 2 (Beirut:
Dar Ibn Hazm, 1997), hal. 470.
13
Hadis Ibnu Majah No. 1942 Kitab Nikah dalam Hadits Majah No. 1942 | Seorang laki-laki masuk Islam
sementara dia memiliki lebih dari empat orang isteri. Diakses pada 24 November 2023.

9
pertama adalah pendapat yang paling kuat, yang disepakati ulama mazhab dan
mayoritas kaum muslimin.14

Dari kisah Ghailan ibn Maslamah dan Qais ibn al-Harits di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa pada zaman sebelum datangnya Islam, seorang laki-
laki yang memiliki banyak istri bukanlah suatu hal yang mengherankan, justru
merupakan hal yang lumrah dan bahkan telah menjadi tradisi yang mengakar kuat
dalam kehidupan rumah tangga saat itu. Selain itu, sejarah mencatat bahwa
agama-agama sebelum Islam telah mempraktikkan poligami. Misalnya, pada
Perjanjian Lama tidak terdapat satu larangan pun terkait praktik poligami, bahkan
disebutkan bahwa Raja Sulaiman (Raja Salomon) mempunyai 700 orang istri dan
300 orang gundik. Begitu pula, pada Perjanjian Baru tidak satu pun terdapat
larangan berpoligami.

b. Hadis Larangan Poligami


‫س ْع ٍد قَا َل ا ْب ُن‬َ ‫ث ب ِْن‬ ِ ‫ع ْن اللَّ ْي‬ َ ‫س َوقُت َ ْيبَةُ ْب ُن‬
َ ‫س ِعي ٍد ِك ََلهُ َما‬ َ ُ‫َّللاِ ب ِْن يُون‬
َّ ‫ع ْب ِد‬َ ‫َح َّدثَنَا أ َ ْح َم ُد ب ُْن‬
‫ي أ َ َّن‬
ُّ ‫ي التَّي ِْم‬ُّ ‫َّللاِ ب ِْن أَبِي ُملَ ْي َكةَ ْالقُ َر ِش‬َّ ‫َّللاِ ْب ُن عُبَ ْي ِد‬ َ ‫ْث َح َّدثَنَا‬
َّ ‫ع ْب ُد‬ ٌ ‫س َح َّدثَنَا لَي‬ َ ُ‫يُون‬
‫علَى ْال ِم ْنبَ ِر َو ُه َو‬
َ ‫سلَّ َم‬َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫َّللا‬َّ ‫صلَّى‬َ ِ‫َّللا‬ َّ ‫س ِم َع َرسُو َل‬ َ ُ‫ْال ِمس َْو َر بْنَ َم ْخ َر َمةَ َح َّدثَهُ أَنَّه‬
‫ب فَ ََل‬ٍ ‫طا ِل‬ َ ‫ي بْنَ أَبِي‬ َ ‫يرةِ ا ْست َأْذَنُونِي أ َ ْن يُ ْن ِك ُحوا ا ْبنَت َ ُه ْم‬
َّ ‫ع ِل‬ َ ‫يَقُو ُل إِ َّن بَنِي ِهش َِام ب ِْن ْال ُم ِغ‬
َ ُ‫ب أ َ ْن ي‬
‫ط ِلقَ ا ْبنَتِي‬ َ ‫آذَ ُن لَ ُه ْم ث ُ َّم ََل آذَ ُن لَ ُه ْم ث ُ َّم ََل آذَ ُن لَ ُه ْم إِ ََّل أ َ ْن ي ُِحبَّ ا ْب ُن أ َ ِبي‬
ٍ ‫طا ِل‬
‫ضعَةٌ ِمنِي يَ ِريبُنِي َما َرابَ َها َويُؤْ ذِينِي َما آذَا َها‬ ْ َ‫َويَ ْن ِك َح ا ْبنَت َ ُه ْم فَإِنَّ َما ا ْبنَتِي ب‬
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abdullah bin Yunus dan Qutaibah
bin Sa'id keduanya dari Al Laits bin Sa'id, Ibnu Yunus berkata; Telah
menceritakan kepada kami Laits Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin
Ubaidullah bin Abu Mulaikah Al Quraisyi At Taimi bahwa Al Miswar bin
Makhramah menceritakan kepadanya, dia mendengar Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam berpidato di atas mimbar: "Sesungguhnya bani Hisyam bin Al
Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan anak mereka dengan Ali bin
Abu Thalib, maka aku tidak mengizinkan mereka, kemudian mereka minta izin
lagi, akupun tetap tidak mengizinkan mereka, kemudian mereka meminta izin
lagi, dan tetap tidak aku izinkan, kecuali jika Ali ingin mentalak anakku (Fatimah)
kemudian menikahi anak mereka. Karena sesungguhnya anakku adalah bagian
dariku. Orang yang telah menghinakannya maka akan menghinakanku pula. Dan
orang yang menyakitinya, berarti menyakitiku pula." (H.R. Muslim)15

14
Abu al-’Ala Muhammad al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh Jami’ al-Tirmidzi, vol. 4 (Beirut: Dar
al-Kutub al-’Ilmiyyah, t.t.), hal. 234.
15
Muslim ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, ed. oleh Muhammad Fuad ’Abd al-Baqi (Kairo: Dar al-Hadits, 1991),
1902. Hadis serupa dapat ditemukan pada Abū Abdillāh Muḥammad bin Ismā‘īl al-Bukhārī, al-Jāmi‘ al-Ṣaḥīḥ,

10
Larangan poligami yang terjadi belakangan bukan didasarkan pada ajaran
agama, melainkan didasarkan pada undang-undang atau hukum yang ditentukan
oleh gereja sendiri berdasarkan pertimbangan tertentu.16 Satu hal yang ingin
ditegaskan di sini adalah bahwa kebolehan berpoligami sejatinya bukanlah ajaran
agama Islam, atau bisa juga dikatakan Islam bukanlah agama yang pertama
membuat “ajaran” terkait bolehnya poligami. Justru, kedatangan Islam adalah
untuk mengatur praktik poligami, yang pada masa sebelum Islam datang hal itu
dipraktikkan secara “bebas” dan sangat merendahkan kaum perempuan.
Berhubungan dengan itu, al-Ghazali sangat menyayangkan pandangan dunia yang
selalu memojokkan Islam sebagai agama yang harus bertanggung jawab atas
problematika seputar poligami ini.

Al-Ghazali juga mengecam sejumlah orang muslim yang melakukan poligami


tanpa mempertimbangkan syarat-syarat tertentu seperti berlaku adil dan sebagainya.
Oleh karena itu, hadis-hadis yang membolehkan poligami di atas seharusnya
dikembalikan pemahamannya kepada keterangan yang terdapat di dalam al-Qur’an,
yakni pada QS. Al-Nisa’ ayat 3 yang berbunyi:

َ َُٰ ْٰ َ
َۚ‫ث َو ُر ٰبع‬ َ ُ َ َ َ ْ ُ ْ َ َْٰٰ ْ ُ ْ ُ ََّ ْ ُ ْ ْ َ
َ
‫النسا ِۤء مثنى وثل‬ ‫ن‬ ‫م‬ ْ
‫م‬ ‫ك‬ ‫ل‬ َ
‫اب‬‫ط‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ا‬‫و‬‫ح‬‫ك‬ ‫ان‬ ‫ف‬ ‫ى‬ ‫م‬‫ت‬ ‫ي‬ ‫ال‬ ‫ى‬ ‫ف‬ ‫ا‬‫و‬ ‫ط‬ ‫س‬ ‫ق‬ ‫ت‬ ‫ا‬‫ل‬‫ا‬ ‫م‬‫ت‬ ‫ف‬ ‫خ‬ ‫ن‬ ِ‫وا‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ

ْ ُ ْ ُ َ ََّ ٰٓ ْ َ َ ٰ ُ ُ َ َ ْ َ َ َ َ َ ً َ َ َ ْ ُ ْ َ ََّ ُ ْ ْ َ
ۗ‫احدة ا ْو ما ملكت ا ْيمانك ْمۗ ذ ِلك ادنى الا تعولوا‬ ْ
ِ ‫ف ِان ِخفتم الا تع ِدلوا فو‬

“Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga,
atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah)
seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat
untuk tidak berbuat zalim.”

Ayat ini diturunkan di Madinah setelah kekalahan pasukan muslimin pada


perang Uhud, di mana pada perang tersebut telah gugur 70 orang sahabat laki-laki.
Karenanya, banyak perempuan menjadi janda dan anak yatim, yang harus diasuh dan
diayomi.17 Secara spesifik, sabab al-nuzūl ayat ini ialah sebagaimana diriwayatkan

vol. 3 (Cairo: al-Salafiyah, 1978), 394; al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, 2:385; al-Qazwini, Sunan Ibn Majah,
643–44;
16
Muhammad al-Ghazali, al-Ghazali Menjawab 40 Soal Islam Abad 20, trans. oleh Muhammad Tohir dan Abu
Laila (Bandung: Mizan, 1989), hal. 89.
17
Imam Machaly, “Poligami dalam Perdebatan Teks dan Konteks: Melacak Jejak Argumentasi Poligami dalam
Teks Suci,” PALASTREN Jurnal Studi Gender 8, no. 1 (30 Maret 2016), hal. 47.

11
oleh Imam Bukhari, Muslim, Nasa’i, dan Baihaqi dari ‘Urwah bin Zubair: “Dia
bertanya kepada bibinya (Aisyah) tentang sebab turunnya ayat ini. Lalu Aisyah
menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan anak yatim yang berada
dalam asuhan walinya. Lalu, walinya tersebut tertarik dengan kecantikan dan harta
anak yatim tersebut dan ingin menikahinya, tetapi tanpa mahar.”18

Muhammad Quraish Shihab, ketika mengulas ayat ini, ia mengatakan bahwa


ayat ini berbicara tentang bolehnya poligami, dan turun berkaitan dengan sikap
sebagian pemelihara (wali) perempuan yatim yang bertujuan menikahi mereka karena
harta mereka, tetapi enggan untuk berlaku adil. Menurutnya, ayat ini setidaknya
memuat lima poin, yaitu:

1. Ayat ini pada dasarnya ditujukan kepada para pemelihara (wali) anak-anak yatim
yang ingin menikahi mereka namun tidak berkomitmen untuk berlaku adil. Akan
tetapi, karena redaksi ayat ini bersifat umum serta didukung kenyataan pada masa
itu bahwa laki-laki yang tidak memelihara anak yatim pun juga berpoligami, maka
tidaklah tepat menjadikan ayat ini terbatas hanya untuk pemelihara (wali) anak-
anak yatim saja.
2. Kata khiftum yang biasa diartikan ‘takut’, juga dapat berarti ‘mengetahui’.
Artinya, siapa-siapa yang yakin atau menduga kuat tidak akan bisa berlaku adil
terhadap istri-istrinya, baik yatim ataupun bukan, maka mereka itu tidak
diperkenankan melakukan poligami. Orang yang diperkenankan berpoligami
hanyalah orang yang merasa yakin atau berkomitmen untuk dapat berlaku adil.
3. Ungkapan tuqsithū dan ta’dilū keduanya berarti berlaku adil. Tetapi, ada ulama
yang membedakan arti keduanya; tuqsithū berarti adil antara dua orang atau lebih
dan keadilan yang menjadikan kedua pihak atau lebih merasa senang; ta’dilū
berarti adil terhadap diri sendiri maupun orang lain, tetapi keadilan itu belum tentu
menyenangkan masing-masing pihak.
4. Ungkapan “maka nikahilah apa yang kamu senangi” menggunakan diksi ‘apa’
bukan ‘siapa’, ini mengandung makna bahwa tujuannya ialah untuk menjelaskan
bagaimana sifat perempuan dimaksud, bukan orangnya, nama, atau keturunannya.

18
Wahbah ibn Mushthafa al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-’Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, vol. 4
(Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1996), hal. 232– 33.

12
5. Huruf waw pada ayat ini bukan berarti ‘dan’ melainkan ‘atau’, karena sebagian
mufasir ada yang keliru memaknainya dengan ‘dan’ sehingga ayat ini, menurut
mereka, membolehkan memiliki istri maksimal sembilan orang bahkan delapan
belas.19

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ayat di atas membolehkan seorang


laki-laki melakukan poligami maksimal dengan empat orang perempuan. Akan tetapi,
kebolehan tersebut tidak serta merta tanpa syarat. Ungkapan fa in khiftum alla ta’dilū
fawāḥidah menunjukkan bahwa apabila seorang laki-laki yang hendak berpoligami
tersebut “sadar diri” tidak akan bisa berlaku adil maka cukuplah dengan seorang istri
saja. AlGhazali dalam tafsirnya Naḥw Tafsīr Maudhū’ī li Suwar al-Qur’an al-Karīm
mengatakan, kebolehan poligami dalam Islam sejatinya tidak menyimpang dari
ketentuan agama-agama terdahulu, karena tidak satu agama pun yang melarangnya.
Secara implisit al-Ghazali dalam tafsirnya ingin mengatakan bahwa poligami lebih
baik dari pada realitas orang-orang Eropa dan Amerika yang secara bebas
berhubungan dengan puluhan perempuan.20 Tetapi, bukan berarti pula poligami hanya
semata untuk memuaskan hawa nafsu.

Masih menurut al-Ghazali, poligami dibolehkan dengan syarat bisa berlaku


adil. Namun, bagaimana mungkin seorang yang hidupnya kesulitan untuk menghidupi
satu istri saja, bisa berlaku adil apabila ia berpoligami. Selain itu, syarat lain yang
harus dipertimbangkan adalah kerelaan istri pertama untuk dimadu oleh suaminya.
Karena pernikahan dalam Islam tidak dapat dilakukan dengan paksaan.21

Dengan demikian, dapat pula disimpulkan bahwa hadis-hadis yang melarang


poligami yang penulis cantumkan di awal sejatinya tidaklah bertentangan dengan
hadis yang membolehkan poligami. Justru hadis yang melarang poligami ini jika
dianalisis secara cermat menunjukkan bahwa larangan poligami yang ditujukan
kepada ‘Ali ibn Abi Thalib tersebut dikarenakan ketidak relaan Fatimah untuk
dimadu, sebagaimana dalam teks hadis tersebut, hal itu diwakilkan oleh Nabi saw.
sebagai walinya. Dengan demikian, hadis tersebut dapat dipahami sebagai bukan dalil
dilarangnya poligami secara mutlak.

19
Machaly, “Poligami Dalam Perdebatan Teks Dan Konteks,” 42–44.
20
Muhammad al-Ghazali, Tafsir al-Ghazali; Tafsir Tematik al-Qur’an 30 juz, t.t., 80.
21
Muhammad al-Ghazali, Tafsir al-Ghazali; Tafsir Tematik al-Qur’an 30 juz, 80.

13
C. UU dan KHI

Syarat wajib suami mengajukan permohonan ke pengadilan di daerah tempat


tinggalnya diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UU Perkawinan:

1. ada persetujuan dari istri/istri-istri. dengan catatan persetujuan ini tidak diperlukan
jika :
a. Istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi
dalam pihak perjanjian
b. Tidak ada kabar dari istri minimal 2 tahun
c. Karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim
pengadilan
2. Adanya kepastian suami mampu yang perlu mendapat penilaian dari hakim
pengadilan
3. Adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak.

Pengadilan hanya memberikan poligami jika :

1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri


2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. Istri tidak melahirkan keturunan

Hukum poligami menurut hukum islam memang tidak jauh berbeda dengan UU
Perkawinan. Namun, dalam KHI terdapat syarat poligami lainnya yang harus
diperhatikan, yaitu :

1. Suami hanya boleh menikah maksimal 4 istri pada waktu bersamaan


2. Suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya
3. Suami harus memperoleh persetujuan istri dan adanya kepastian suami dalam
menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka
4. Harus mendapatkan izin dari pengadilan agama

Pada dasarnya hukum poligami dapat dilakukan, selama alasan dan syarat-syaratnya
terpenuhi maka dibolehkan. Tapi ada hal yang harus diperhatikan dan disiapkan
mengenai hak dan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan istri-istrinya.

Hak yang harus dipenuhi untuk istri-istri yang diatur dalam KHI (Kompilasi Hukum
Islam) dalam Bab XII Pasal 80, sebagai berikut :

14
1. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi
mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh
suami istri bersama
2. Suami wajib melindungi istrinya memberikan segala sesuatu keperluan hidup
3. Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya dan memberi
kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi nusa dan
agama
4. sesuai dengan penghasilan suami ;
a. Nafkah, kiswah, dan tempat tinggal bagi istri
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan
anak
c. Biaya pendidikan anak
5. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti pada ayat (4) huruf a dan b diatas mulai
berlaku sesudah ada sempurna istrinya
6. Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana
tersebut pada ayat (4) huruf a dan b
7. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur istri nusyuz

Kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami jika berpoligami diatur dalam KHI
(Kompilasi Hukum Islam) dalam Bab XII Pasal 82, sebagai berikut :

1. Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang berkewajiban memberikan tempat
tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing istri secara berimbang menurut
besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing istri, kecuali jika
ada perjanjian perkawinan
2. Dalam hal ini para istri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan istrinya dalam
satu tempat kediaman
D. Kasus Poligami di Pengadilan

Putusan Gugat Cerai Akibat Poligami di Pengadilan Agama Jakarta Timur


1. Permohonan Izin Poligami Karena Ketidakpuasan Pelayanan Seksual (Putusan
Nomor:1063/Pdt.G/2019/PA.CLP)
a. Duduk Perkara
Bahwa pada tanggal 11 September 1989 Pemohon telah menikah
dengan Termohon di hadapan Pegawai Pencatat Nikah KUA Kecamatan

15
Kesugihan, Kabupaten Cilacap, berdasarkan Duplikat Kutipan Akta Nikah
Nomor: xxx. Setelah akad nikah Pemohon dan Termohon tinggal bersama di
rumah orang tua Termohon di RT.008, RW.002, Desa Dondong, Kecamatan
Kesugihan, Kabupaten Cilacap, sampai dengan sekarang. Selama Pemohon
berumah tangga dengan Termohon telah berhubungan suami istri (ba‟da
dukhul) dan telah dikaruniani (5) lima orang anak. Pemohon sudah mendapat
izin dari istri Pemohon (Termohon) untuk menikah lagi. Adapun alasan
Pemohon ingin beristri lebih dari seorang (poligami) dengan alasan Termohon
tidak dapat memenuhi kebutuhan seksual Pemohon tiap hari dan hanya
sanggup memenuhinya satu sampai dua kali dalam seminggunya. Pemohon
sanggup membimbing, membina dan menjadi imam bagi kedua istrinya serta
keluarganya dan Pemohon juga sanggup berlaku adil terhadap istri-istrinya
serta anak-anaknya. Selama berumah tangga Pemohon dan Termohon telah
diperoleh harta bersama berupa; Sebidang tanah seluas 1400 m2 berikut
bangunan rumah permanen yang berdiri diatasnya, Surat pemberitahuan Pajak
Terhutang (SPPT) Nomor: xxxx atas nama Pemohon, yang terletak di RT.
008, RW. 002, Desa Dondong, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap, 1
(satu) unit mobil merek Nissan Type Serena 2.01/C23 warna hitam tahun
1998, dengan Nomor: xxxx atas nama Pemohon; dan Penghasilan Pemohon
sebagai buruh tani setiap bulannya kurang lebih sebesar Rp. 5.000.000,00
(lima juta rupiah).
b. Pertimbangan Hakim dan Putusan Hakim
Majelis Hakim telah berupaya semaksimal mungkin untuk
mendamaikan kedua belah pihak berperkara, termasuk melalui mediator akan
tetapi upaya tersebut tidak berhasil. Dalam proses pembuktian, Pemohon telah
mengajukan bukti surat yang berupa fotocopi untuk keperluan permohonan
izin poligami. Pemohon juga mengajukan 2 orang saksi dalam persidangan
tersebut. Dalam proses persidangan tersebut Termohon juga memberikan
keterangan secara lisan berupa Termohon tidak keberatan untuk dimadu dan
Termohon tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan biologis Pemohon.
Majelis hakim berpendapat bahwa alasan yang mendasari permohonan
Pemohon adalah karena Termohon tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan
biologis Pemohon. Alasan seperti tersebut dipandang tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 4 ayat 2 Undang-

16
Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam. Namun
Majelis Hakim mengetengahkan dalil al-Qur’an surat an-Nisa ayat 3.
Selain berdasarkan pada dalil Qur’an tersebut Majelis hakim juga
mempertimbangkan dari segi maslahat dan mafsadatnya. Majelis Hakim
mendasarkan pada kaidah fikh yang berbunyi sebagai berikut:
‫ح‬ َ ‫ب ْال َم‬
ِ ‫صا ِل‬ ِ ‫دَ ْر ُء ْال َمفَا ِس ِد أَ ْولَى ِم ْن َج ْل‬
Maksud dari kaidah fikh tersebut yaitu dengan diterima izin poligami
atau ditolak poligaminya, maka kemadharatannya akan lebih besar daripada
maslahatnya apabila poligaminya ditolak, sebab bila ditolak maka Pemohon
dan calon istrinya akan lebih menderita karena tidak bisa menikah, dan
ditakutkan antara Pemohon dan calon istri kedua akan melakukan hubungan
seksual tanpa ada ikatan perkawinan apalagi jika Termohon mengizinkannya.
Mengenai perkawinan karena kurangnya kebutuhan seksual tidaklah
dibenarkan didalam Undang-undang tidak mengatur perkawinan seperti itu.
Majelis hakim dalam menangani perkara tersebut dengan mengejar kebenaran
formil. Kebenaran formil merupakan suatu fakta yang menurut pembuktian
formal dapat dianggap sebagai sesuatu yang benar atau kebenaran yang dapat
dinyatakan melalui bukti-bukti yang ada. Berdasarkan kronologi, bukti-bukti
dan pertimbangan hakim, maka Majelis Hakim Pengadilan Agama Cilacap
Mengabulkan permohonan Pemohon dan memberikan izin untuk menikah lagi
(poligami), Menetapkan harta-harta berupa sebidang tanah pekarangan seluas
1400 m2, berikut bangunan rumah permanen yang berdiri di atasnya, yang terletak di
RT. 008, RW.002, Desa Dondong, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap, dan 1
(satu) unit mobil merk Nissan Type Serena 2.01/C23, warna hitam tahun 1998,
Nomor Polisi R 8619 AK adalah merupakan harta bersama Pemohon dan Termohon
dan membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. ....

2. Putusan Gugat Cerai Akibat Poligami di Pengadilan Agama Jakarta Timur


(Putusan No. 2566/Pdt.G/2020/PA.JT)
a. Duduk Perkara
Pada tanggal 20 Januari 1996, bertepatan dengan 20 Sya’ban 1416 H
telah dilangsungkan perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat yang
dilaksanakan menurut hukum dan sesuai dengan tuntunan ajaran agama Islam.
Perkawinan tersebut telah dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA)

17
Kecamatan Cakung, Kabupaten Jakarta Timur, sebagaimana tercatat dalam
Akta Nikah Nomor : xxx. Setelah menikah, Penggugat dan Tergugat tinggal di
rumah kediaman bersama di Sulawesi Selatan dan telah dikarunia 4 (empat)
orang anak. Pada awalnya rumah tangga berjalan dengan harmonis, namun
mulai timbul permasalahan dan tidak menunjukkan perbaikan. Hal ini
disebabkan karena Penggugat baru mengetahui bahwa Penggugat bukanlah
Istri satu-satunya Tergugat sejak melahirkan anak yang pertama. Artinya,
Tergugat pada saat sebelum menikahi Penggugat mengaku berstatus sebagai
duda. Padahal sebenarnya Penggugat merupakan istri yang ke-empat. Hal
tersebut diketahui, karena para istri Tergugat mendatangi Penggugat. Sehingga
sejak awal pernikahan, Tergugat telah dengan sengaja membohongi Penggugat
atas statusnya yang seolah-olah merupakan duda, padahal Tergugat telah
mempunyai beberapa Istri. Dalam melakukan pernikahan lebih dari satu
(poligami) Tergugat tidak pernah meminta izin dan tidak mendapatkan izin
dari Pengadilan Agama setempat. Termasuk pada saat melamar dan menikahi
Penggugat. Meski demikian, Penggugat mencoba mempertahankan hubungan
pernikahannya, karena Tergugat masih menunjukkan tanggung jawab lahir
dan bathin terhadap Penggugat dan anak-anaknya.
Puncak perselisihan terjadi pada tahun 2017, saat Tergugat memiliki
wanita idaman lain dan ingin menikah dengan wanita tersebut. Sejak saat itu,
hubungan antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak harmonis lagi. Serta
hubungan antara Penggugat dengan istri pertama sering terjadi perselisihan.
Anak dari istri pertama Tergugat menyampaikan kepada Penggugat, seolah
ingin melampiaskan dendam kepada Penggugat, agar Penggugat merasakan
sakit hati yang pernah dialami oleh Ibunya saat Tergugat menikah lagi.
Penggugat beberapa kali meminta untuk diceraikan, bahkan sebelumnya juga
Penggugat secara resmi sudah melakukan gugatan cerai terhadap Tergugat,
namun Penggugat mencabut gugatan karena Penggugat masih berharap
Tergugat bisa memperbaiki hubungan mereka beserta keluarga besarnya,
Namun harapan itu tidak terlaksana, Tergugat sama sekali tidak menunjukan
perbaikan dan Tergugat sudah tidak memberikan nafkah secara layak terhadap
Penggugat dan anak-anaknya. Penggugat sudah mencoba berkali-kali
mempertahankan hubungan pernikahanya, namun tidak membuahkan hasil.
Penggugat merasa lebih tersiksa bathinnya jika terus mempertahankan

18
pernikahannya, karena sering terjadi percekcokan dan ketidakharmonisan,
konflik antara Penggugat dan Tergugat, antara Penggugat dengan pihak Istri
maupun anak-anak dari Istri Tergugat, dikwatirkan akan mengganggu
perkembangan dan berdampak terhadap psikologis anak-anak Pengugat,
khusunya anak yang masih di bawah umur. Karena anak-anak Penggugat dan
Tergugat mengalami tekanan psikologis jika hubungan pernikahan Penggugat
dan Tergugat dipertahankan, khususnya kepada anak kedua, ketiga dan
keempat yang sering mendapatkan perlakukan yang kurang pantas, bahkan
tergugat tidak segan melakukan tindakan kekerasan (fisik) terhadap anak-
anaknya.
Beberapa fakta terkait perbuatan Tergugat terhadap anak-anaknya,
khususnya yang masih di bawah umur, adalah saat Tergugat mengatakan yang
kurang lebih intinya “kalau saya sudah kesetanan, saya habisi kamu semua,
saya sudah tua sudah puas dengan hidup saya, dan sisa hidup saya dihabiskan
di penjara tidak ada masalah, yang penting saya sudah puas karena sudah
habisi ko semua”. Hal tersebut, menyebabkan trauma terhadap Penggugat,
terutama anak-anaknya yang trauma dan sering ketakutan. Karena perbuatan
Tergugat yang membahayakan dan dikhawatirkan mempengaruhi psikologis
maupun fisik anak-anak, maka anak-anak dan Penggugat tidak berkumpul satu
rumah dengan Tergugat lagi. Ikatan perkawinan antara Penggugat dan
Tergugat sebagaimana yang diuraikan di atas sulit dan tidak mungkin untuk
punya harapan membentuk suatu rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa
rahmah sebagaimana maksud dan tujuan dari suatu perkawinan, sehingga lebih
baik memilih jalan perceraian dengan segala akibat hukumnya.22
b. Pertimbangan Hakim
Karena Tergugat tidak pernah hadir, maka upaya damai dan prosedur
mediasi sebagaimana diatur dalam Perma Nomor 01 Tahun 2016 tidak dapat
dilaksanakan. Gugatan cerai sebagaimana petitum gugatan Penggugat dengan
alasan bahwa sejak tahun 2017 terjadi perselisihan dan pertengkaran antara
Penggugat dan Tergugat dengan sebab sebagaimana tersebut di atas. Akibat
dari perselisihan dan pertengkaran tersebut Penggugat dan Tergugat pisah
tempat tinggal. Penggugat mendasarkan gugatannya tersebut pada ketentuan

22
Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur No. 2566/Pdt.G/2020/PA.JT, hlm. 1-6.

19
Pasal 19 huruf “f” Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116
huruf “f” Kompilasi Hukum Islam.
Perselisihan dan pertengkaran antara suami istri adalah keadaan tidak
rukunnya suami istri tersebut, Sebagaimana fakta-fakta kejadian tentang
Penggugat dan Tergugat yang telah pisah tempat tinggal sampai sekarang
enam bulan lamanya dan selama pisah tempat tinggal tersebut Tergugat tidak
pernah datang ke tempat tinggal Penggugat, dihubungkan dengan keterangan
saksisaksi yang mengetahui dari cerita Penggugat tentang pertengkaran antara
Penggugat dengan Tergugat. Dengan demikian, terbukti telah terjadi
perselisihan dan pertengkaran antara Penggugat dan Tergugat, sehingga antara
keduanya tidak ada harapan untuk rukun kembali dalam rumah tangga.
Dengan demikian dalam perkara a quo Penggugat telah dapat membuktikan
dalil gugatan cerainya, ditemukan fakta hukum telah terjadi perselisihan dan
pertengkaran antara Penggugat dengan Tergugat dan antara keduanya tidak
ada harapan akan rukun lagi dalam rumah tangga. Dari fakta hukum tersebut,
maka perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat tersebut telah pecah,
tidak ada lagi ikatan batin antara keduanya, sehingga substansi perkawinan
sebagaimana Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu ikatan lahir
batin dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal serta tujuan
perkawinan sebagaimana dikehendaki Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam yaitu
untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah
warahmah (bahagia dan sejahtera) tidak dapat diwujudkan lagi. Jika kehidupan
bahagia atau sakinah mawaddah dan rahmah tidak terwujud dalam suatu
rumah tangga, maka hanya akan menimbulkan mafsadat (kerusakan) yang
lebih besar, terutama bagi para pihak yang berperkara. Hukum Islam
menentukan bahwa menolak mafsadat harus didahulukan dari mengharap
kemaslahatan, sesuai dengan kaidah fiqhiyah, sebagai berikut:

َ ‫ب ْال َم‬
ِ‫صا ِلح‬ ِ ‫دَ ْر ُء ْال َمفَا ِس ِد أَ ْولَى ِم ْن َج ْل‬
Artinya: “Menghindari mafsadat (kerusakan) harus didahulukan dari pada
menarik kemaslahatan”.
Berdasarkan kaidah fiqhiyah tersebut, untuk mengakhiri mafsadat yang
lebih besar di antara Penggugat dan Tergugat, Majelis menilai bahwa
perceraian sebagai solusi terbaik bagi Penggugat dan Tergugat. Pertimbangan

20
tersebut sejalan dengan pendapat pakar hukum Islam dalam kitab Madza
Hurriyatuz Zaujaini fii ath-Thalaq, yang diambil alih menjadi pendapat
Majelis Hakim dalam memutus perkara ini yang artinya menyatakan: “Islam
memilih lembaga talak atau perceraian ketika rumah tangga sudah terbukti
guncang, tidak harmonis dan tidak bermanfaat lagi nasehat perdamaian dan
hubungan suami istri sudah hilang (tanpa ruh), sebab dengan meneruskan
perkawinan berarti menghukum suami istri dalam penjara yang
berkepanjangan, hal tersebut adalah suatu bentuk penganiayaan yang
bertentangan dengan semangat keadilan dan syariat Islam.” Perselisihan dan
pertengkaran antara Penggugat dan Tergugat mengakibatkan antara keduanya
sudah tidak ada harapan akan rukun lagi dalam rumah tangga, maka telah
sesuai dengan ketantuan Pasal 39 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun1974 jo. Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
dan Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam. Hal ini sesuai dengan kaedah
hukum Yurisprudensi sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 237 K/AG/1998 bahwa perceraian dapat dikabulkan apabila
telah memenuhi ketentuan Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, karena
Tergugat telah dipanggil dengan patut akan tetapi tidak pernah datang
menghadap di persidangan dan tidak datangnya itu tidak disebabkan sesuatu
halangan yang sah, serta gugatan Penggugat tidak melawan hukum dan cukup
beralasan. Berdasarkan kronologi, bukti-bukti dan pertimbangan hakim, maka
Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam putusan Nomor
2566/Pdt.G/2020/PA.JT telah mengadili dan memutuskan untuk mengabulkan
gugatan Penggugat secara verstek, menjatuhkan talak satu bain shughra
Tergugat terhadap Penggugat, menetapkan Anak III dan Anak IV berada di
bawah hadhanah Penggugat, menghukum Tergugat untuk membayar kepada
Penggugat nafkah Anak III dan Anak IV setiap bulan minimal sejumlah Rp.
2.000.000,00 (dua juta rupiah) hingga anak tersebut berusia 21 tahun, serta
membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara ini sejumlah
Rp. 841.000,00,- (delapan ratus empat puluh satu ribu rupiah).23

23
Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur No. 2566/Pdt.G/2020/PA.JT hal. 12-22

21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari diskusi di atas dapat disimpulkan bahwa hadis-hadis yang berbicara
mengenai poligami cukup banyak dan secara lahiriah antara satu dengan yang lain
tampak kontradiktif. Beberapa riwayat menjelaskan tentang bolehnya praktik poligami,
beberapa riwayat yang lain melarang. Hadis-hadis yang membolehkan poligami jika
ditinjau dari aspek sosial historis maka akan memberikan makna bahwa tradisi orang
jahiliyah pada masa itu adalah menikahi perempuan yang banyak jumlahnya tanpa
batasan. Kemudian syariat Islam datang untuk membatasi jumlah perempuan yang
dinikahi. Konteksnya adalah membatasi, bukan menambah. Inilah yang terkadang
menjadikan kurang tepatnya pemaknaan terhadap hadis poligami.
Kebolehan memiliki maksimal empat istri tersebut tidak bisa dipahami secara
mutlak, melainkan harus selaras dengan ketetapan yang telah termaktub dalam al-
Qur’an. QS. Al-Nisa’ ayat 3 dengan tegas menjelaskan bahwa seseorang boleh
menikahi dua, tiga atau empat orang perempuan tetapi dengan syarat bisa berlaku adil.
Keadilan ini bukanlah suatu hal yang mudah; orang yang sadar bahwa dirinya tidak
akan bisa berlaku adil, maka sebaiknya mencukupkan diri dengan satu orang istri saja.
Lalu, hadis-hadis yang melarang poligami yang ditujukan kepada ‘Ali ibn Abi Thalib
juga tidak boleh dipahami sebagai dalil larangan poligami secara mutlak.
Hadis tersebut menunjukkan bahwa selain berlaku adil, syarat lain yang harus
menjadi pertimbangan sebelum melakukan poligami ialah kerelaan istri atau walinya,
sebagaimana dalam teks hadis tersebut bahwa Nabi saw. akan merasa sakit hati jika
putrinya merasakan sakit hati karena dipoligami. Dengan demikian, hadis-hadis yang
awalnya tampak kontradiktif sebenarnya tidaklah demikian.
B. Saran
Tulisan ini mencoba menganalisis pembahasan tentang polemik
poligami yang ditinjau dari beberapa aspek. Tulisan ini lebih focus membahas
hadis-hadis poligami. Tentunya tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan
sehingga perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang living hadis poligami.
Saran dan kritik demi kesempurnaan tulisan ini senantiasa diharapkan.

22
DAFTAR PUSTAKA

Abū Abdillāh Muḥammad bin Ismā‘īl al-Bukhārī, al-Jāmi‘ al-Ṣaḥīḥ, vol. 3. Cairo: al-Salafiyah, 1978.

Abu al-’Ala Muhammad al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh Jami’ al-Tirmidzi, vol. 4
Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, t.t.

Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad, ed. oleh Ahmad Muhammad Syakir, vol. 5 (Kairo: Dar al
Hadits, 1995.

al-Ghazali, Muhammad. al-Ghazali Menjawab 40 Soal Islam Abad 20, trans. oleh Muhammad Tohir
dan Abu Laila. Bandung: Mizan, 1989.

al-Ghazali, Muhammad. Tafsir al-Ghazali; Tafsir Tematik al-Qur’an 30 juz, t.t., 80.

al-Qazwini, Sunan Ibn Majah, 628; Hadis semakna juga terdapat pada Abu Dawud al-Sijistani, Sunan
Abi Dawud, ed. oleh ’Izzat ’Ubaid Da’as dan ’Adil al-Sayyid, vol. 2. Beirut: Dar Ibn Hazm,
1997.

al-Qazwini, Sunan Ibn Majah, 643–44

al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, 2:385

Hafid, Erwin. “Poligami Pada Keluarga Terdekat Istri (Kajian Metode Hadis Tahlili Pada Hadis
Poligami Keluarga Terdekat Istri)”, Al-Quds: Jurnal Studi Alquran dan Hadis, Vol. 6, No. 2,
2022.

Machaly, Imam. “Poligami dalam Perdebatan Teks dan Konteks: Melacak Jejak Argumentasi
Poligami dalam Teks Suci,” PALASTREN Jurnal Studi Gender 8, no. 1. 2016.

Malik Ibn Anas, Muwaththa’, ed. oleh Muhammad Fuad ’Abd al-Baqi, vol. 2 (Beirut: Dar Ihya’ al-
Turath al-’Arabi, 1985.

Muhammad ibn ’Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, ed. oleh Muhammad Fuad ’Abd al-Baqi, vol. 3.
Mesir: Mushtafa al-Baby al-Halaby, 1968.

Muhammad Ibn Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Majah, ed. oleh Muhammad Fuad ’Abd al-Baqi. Cairo:
Dar Ihya’ al-Kutub al-’Arabiyyah, 1952.

Mulia, Siti Musda. Islam Menggugat Poligami. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2007.

Muslim ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, ed. oleh Muhammad Fuad ’Abd al-Baqi. Kairo: Dar al-Hadits,
1991.

Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur No. 2566/Pdt.G/2020/PA.JT hal. 12-22

Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur No. 2566/Pdt.G/2020/PA.JT, hlm. 1-6.

Suaidi, “Dinamika Psikologis Perkawinan Poligami (Menyingkap Suasana Batin Istri Yang
Dipoligami), “dalam Jurnal Politik, Sosial, Hukum dan Humaniora Vol. 1 No. 3 September
2023.

Syam, Masiyan M dan Muhammad Syachrofi, “Hadis-Hadis Poligami (Aplikasi Metode Pemahaman
Hadis Muhammad al-Ghazali)”, Diroyah: Jurnal Ilmu Hadis, Vol. 4, No. 1, 2019.

23
Wahbah ibn Mushthafa al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-’Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, vol.
4. Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1996.

Website

Hadis Ibnu Majah No. 1942 Kitab Nikah dalam Hadits Majah No. 1942 | Seorang laki-laki masuk
Islam sementara dia memiliki lebih dari empat orang isteri. Diakses pada 24 November 2023.

Hadis Tirmidzi No. 1047 Kitab Nikah dalam Hadits Tirmidzi No. 1047 | Laki-laki masuk Islam dan
mempunyai sepuluh isteri. Diakses pada 24 November 2023.

Viona Anindiya, “Poligami dalam Pandangan Masyarakat,” dalam


https://www.kompasiana.com/poligami-dalam-pandangan-masyarakat. Diakses pada 21
November 2023.

24

Anda mungkin juga menyukai