Anda di halaman 1dari 23

NIKAH MUT’AH

MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas pada Mata Kuliah Isu-Isu Kontemporer
Hukum Keluarga Melayu Nusantara dalam Bidang Hukum Keluarga Islam
(Ahwal Syakhshiyyah) pada Program Pascasarjana
IAIN Bone

Dosen Pengampuh :

Dr. Asni Zubair, S.Ag., M.HI.

Dr. Firdaus, S.Sy., M.H.

Oleh:
Kelompok III

Panggih Widodo NIM: 741302022009


A. St. Rahmiana NIM: 741302022001
Nur Alma NIM: 741302022021

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE


2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah swt yang telah memberikan berbagai

nikmat sampai saat ini. Salawat dan salam tetap tertuju kepada manusia pilihan Allah

swt.,Nabi Muhammad saw. yang telah menuntun manusia, khususnya umat Islam ke

jalan yang diridai oleh Allah.

Penulis telah berhasil menyeleseikan makalah ini, walaupun terdapat banyak

kekurangan, karena kurangnya kemampuan penulis. Kepada semua pihak yang telah
membantu terseleseikannya makalah ini, penulis mengucapkan ucapan terima kasih

yang sebesar-besarnya.

Harapan besar penulis, makalah ini dapat bermanfaat bagi masyarakat umum dan

juga bagi para mahaasiswa ataupun mereka yang berkecimpung dalam bidang

akademik, sehingga dapat lebih giat untuk menciptakan karya-karya yang bermanfaat

bagi masyarakat.

Penulis sangat berharap kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak

guna lebih sempurnanya makalah ini, sehingga dapat menuai manfaat maksimal

kepada masyarakat.

Penulis,

Kelompok III

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN .......................................... Error! Bookmark not defined.

A. Latar Belakang Masalah ................................... Error! Bookmark not defined.1

B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 2

C. Tujuan Penulisan ................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN ........................................... Error! Bookmark not defined.

A. Hakikat Nikah Mut‟ah Dalam Islam .................................................................. 3

B. Hukum Nikah Mut‟ah Dalam Islam. .................................................................. 4

C. Manfaat Dan Mudharat Nikah Mut‟ah. ............................................................ 13

BAB III PENUTUP ................................................... Error! Bookmark not defined.

A. Kesimpulan ...................................................................................................... 18

B. Saran ................................................................................................................. 18

DAFTAR RUJUKAN ............................................................................................... 19

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan merupakan suatu kebutuhan bagi seluruh umat manusia, sejalan

dengan yang diterangkan Al Qur‟an, bahwa Allah Swt. menciptakan manusia

dengan berpasang-pasangan, dengan alasan inilah dalam sejarah dijelaskan bahwa


Allah Swt. menciptakan Nabi Adam as. didampingi Hawa dan yang pertama kalinya

melaksanakan perkawinan atas perintah Allah Swt., dengan tujuan menciptakan

generasi berikutnya untuk meneruskan tugas-tugas kekhalifahan di muka bumi.1

Disamping itu, perlu kita memahami secara seksama tentang pernikahan

yang terjadi ditengah-tengah masyarakat yang pada kenyataannya terdapat

berbagai macam jenis pernikahan, seperti nikah mut‟ah, nikah muhallil, poligami,

poliandri dan nikah beda agama. Khusus masalah nikah mut‟ah, merupakan

pernikahan yang cukup fenomenal, karena pada masa Nabi Muhammad Saw. hal

tersebut pernah diperbolehkan, namun kemudian dilarang.2

Melihat fenomena tentang praktek nikah mut‟ah di tengah masyarakat Islam,


mulai dari zaman Nabi Muhammad Saw. sampai saat ini, hal tersebut

berkemungkinan untuk disepakatinya pemberlakuan nikah tersebut, antara lain

disebabkan oleh perkembangan zaman yang semakin kompleks disertai dengan

pertumbuhan teknologi yang semakin pesat. Hal tersebut merupakan salah satu

1
Fahmi Basyar,”Konstelasi „Urf dan Ihtishan tentang Nikah Mut‟ah dengan Pendekatan Sosio
Legal”, Istidlal: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 6, No. 2, 2022, h.149
2
A. Syarafuddin Al-Musawwi, Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunni-Syiah (Jakarta: Mizan, 1989), h.
14.

1
2

faktor yang melatar belakangi perlunya kajian ulang terhadap fenomena praktek

nikah mut‟ah.3

Berdasarkan berbagai keterangan tersebut, maka pada makalah ini penulis

akan membahas mengenai nikah mut‟ah yang berkisar tentang hakikat nkah mut‟ah,

pandangan hukum Islam terhadap bentuk pernikahan tersebut, dan sisi manfaat serta

mudharat yang ditimbulkan karena adanya praktek pernikahan tersebut.

B. Rumusan Masalah
Makalah ini membahas masalah pokok mengenai hukum nikah mut‟ah,

khususnya dalam pandangan Islam. Berdasarkan masalah pokok tersebut, maka

penulis mengembangkannya menjadi tiga sub masalah, yaitu:

1. Bagaimana hakikat nikah mut‟ah dalam Islam ?

2. Bagaimana hukum nikah mut‟ah dalam Islam?

3. Bagaimana manfaat dan mudharat nikah mut‟ah?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk menjelaskan hakikat nikah mut‟ah dalam Islam.

2. Untuk menjelaskan hukum nikah mut‟ah dalam Islam.

3. Untuk menjelaskan manfaat dan mudharat nikah mut‟ah.

3
Nabilah Lubis, Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum Islam (Yogyakarta: Adelina, 2005), h.
43.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakikat Nikah Mut’ah dalam Islam

Fenomena tentang nikah mut„ah sudah terjadi pada masa Nabi

Muhammad Saw. dan sampai pada zaman sekarang ini ternyata masih juga

terjadi nikah mut„ah atau nikah kontrak dikalangan masyarakat Muslim.

Golongan Islam yang melakukan nikah tersebut yaitu golongan Syiah. Golongan
Syiah selalu menganggap nikah mut„ah sebagai suatu yang khusus dan suatu

usaha untuk mempertahankannya sebagai sebuah intuisi dalam masyarakat

Islam. Imam Ja„far Shadiq, sebagai tokoh golongan Syiah menganggap bentuk

pernikahan sebagai rahmat Tuhan yang menyelamatkan manusia dari zina.4

Menururt Quarsih Shihab, sacara bahasa, mut‟ah memiliki arti

kenikmatan, kesenangan, dan kelezatan. Berdasarkan arti tersebut, dapat

dikatakan bahwa nikah mut‟ah merupakan suatu pernikahan yang bertujuan

untuk mendapatkan kenikmatan atau kesenangan semata. Menurut beliau,

pernikahan jenis ini merupakan pernikahan yang menetapkan batas waktu

tertentu, seperti satu hari, dua hari, satu minggu, satu bulan, atau tergantung
kesepakatan. Setelah batas waktu habis, maka mereka akan bercerai.5

Menurut Sayyid Sabiq, pernikahan tersebut dinamakan mut‟ah karena

laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja.6

Berdasarkan hal itu dapat dikatakan bahwa mut‟ah merupakan sebuah perjanjian

4
Sachiko Murata, Lebih Jelas Tentang Nikah Mut’ah Pendekatan Sunni dan Syiah (Jakarta:
PT. Raja Grafindi, 2021), h. 130.
5
M. Quraish Shihab, Mistik, Seks, dan Ibadah (Jakarta: Republika, 2004), h. 17.
6
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah (Beirut: Dar Al-Fikr, t.th), Juz 2, h. 28.

3
4

pribadi dan verbal antara pria dan wanita yang tidak terikat pernikahan

(gadis, janda cerai maupun janda ditinggal mati).

Berkaitan dengan makna mut’ah, Ibnu Manzur memberikan makna

bersenang-senang dengan perempuan, namun tidak terdapat niat untuk

kelanggengan hubungan dengan perempuan tersebut.7 Sedangkan menurut

istilah, nikah mut‟ah yaitu nikah sementara yang dibatasi dengan waktu tertentu,

bersifat sementara, dan tidak untuk sementara.8


Berdasarkan berbagai definisi mengenai mikah mut‟ah tersebut, maka

dapat dikatakan bahwa nikah mut‟ah merupakan suatu pernikahan untuk

melepaskan hawa nafsu dan bersenang-senang dengan wanita untuk sementara

waktu dengan waktu terbatas berdasarkan ketentuan yang disyariatkan dalam

Islam.

B. Hukum Nikah Mut’ah dalam Islam

1. Pandangan Golongan Islam yang Menghalalkan Nikah Mut’ah

Golongan Islam yang membolehkan praktek nikah mut‟ah secara

mutlak yaitu gologan Syiah. Bahkan mereka membuat aturan khusus

mengenai bentuk pernikahan tersebut. Lebih dari itu, ulama golongan Syi‟ah
berpendapat bahwa nikah mut‟ah mempunyai beberapa kesamaan dengan

nikah syar‟i yang bukan nikah mut‟ah.9

Dalil al-Qur‟an yang digunakan untuk menjadi dasar kehalalan nikah

mut‟ah yaitu QS al-Nisa/4:24 yang berbunyi:

7
Muhammad ibn Mukarrom ibn Manzur A;Afriqi, Lisan Al-‘Arab (Beirut: Dar Al-Sadir, T.th,
Juz 3, h. 328.
8
Mustafa Al-Khin, Asar Al-Ikhtilaf fi Al-Qawaid Al-Usuliyah (Beirut: Al-Risalah, 2003), h.
585.
9
Fitriah Wardi, Nikah Mut’ah (Selangor: PTS Publishing House, 2015), h. 38.
5

ْ‫ْۚٔا ُ ِح ام ْنَ ُك ْى ْ ايب‬ َ ْ‫ػهَ ٍْ ُك ْى‬


َ ْ ‫ّْٰللا‬
ِ‫ت ه‬ َ ‫ذ ْا َ ٌْ ًَبَُ ُك ْىْْۚ ِك ٰز‬ْ ‫غ ۤب ِء ْا اَِّل ْ َيبْ َيهَ َك‬َ ُِّ ‫ْيٍَ ْان‬ ِ ُ‫ص ُٰذ‬ َ ‫ح‬ ْْ ًُ ‫َٔ ْان‬
ّْٖ ِ‫غٍ َْش ْ ُيغٰ ِف ِحٍٍَْ ْۗ ْفَ ًَب ْا ْعز َ ًْز َ ْؼز ُ ْى ْث‬ َ ْ ٍٍَُِْ‫ص‬ ِ ‫َٔ َس ۤا َء ْٰر ِن ُك ْى ْا َ ٌْ ْرَ ْجزَغُ ْٕا ْثِب َ ْي َٕا ِن ُك ْى ْ ُّي ْح‬
ِْ‫ْي ْۢ ٍْ ْ َث ْؼذ‬ َ ْ ‫ضخًْ َۗٔ ََّل ْ ُجَُب َح‬
َ ‫ػ َه ٍْ ُك ْى ْفِ ٍْ ًَبْر َ َشا‬
ِ ّٖ ِ‫ض ٍْز ُ ْى ْث‬ َ ٌْ ‫ِي ُْ ُٓ اٍ ْفَ ٰبر ُ ْٕ ُْ اٍ ْا ُ ُج ْٕ َْس ُْ اٍ ْ َف ِش‬
ْ ‫ػ ِه ٍْ ًًبْ َح ِك ٍْ ًًب‬ ‫ض ۗ ِخْا اٌِ ه‬
َ ْ ٌَ‫ّْٰللاَْ َكب‬ َ ٌْ ‫ْانفَ ِش‬
Terjemahnya:
Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami,
kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki
sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain
(perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan
hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina. Maka karena
kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah
maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban. Tetapi tidak
mengapa jika ternyata di antara kamu telah saling merelakannya,
setelahditetapkan. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.10
Berkaitan dengan penafsiran ayat tersebut, golongan Syiah

berpendapat bahwa ayat tersebut mengungkapkan dengan istimta’

(menikmati), bukan dengan kata yang bermakna nikah. Hal tersebut

menunjukkan dibenarkannya akad nikah mut‟ah sebagaimana dibenarkannya

akad nikah permanen. Selain itu, juga diungkapkan dalam ayat tersebut

dengan kata ujur yang bermakna upah, bukan dengan kata yang mempunyai

makna mahar.11

Dalil hadis yang digunakan dasar golongan Syiah untuk kehalalan


nikah mut‟ah antara lain yaitu hadis riwayat Muslim yang berbunyi:

ٍْْ ‫ْثِ ْش ٍشْ َػ‬،ٍُْ ‫ْٔاث‬، َ ِ‫ْ َحذاثََُبْأَث‬،ً


َ ‫ًْٔ َٔ ِكٍ ٌغ‬ ْ ‫ِّْٰللاْث ٍَُِْْ ًٍَ ٍْش‬
ُّ َِ‫ْان َٓ ًْذَا‬ ِ ‫َحذاثََُبْ ُي َح اًذُْث ٍُْْ َػ ْجذ ا‬
ْ‫ّْٰللاِْصهى‬ ‫عٕ ِل ا‬ َ ‫ٌَْقُٕلُْ ُكُابََْ ْغ ُضْٔ َي َغ‬،‫ّْٰللا‬
ُ ‫ْس‬ ِ ‫ع ًِ ْؼذُ ْ َػ ْجذَ ا‬َ ْ‫ْقَب َل‬،‫ػ ٍْْقٍَ ٍْظ‬ َ ْ،‫إِ ْع ًَب ِػٍ َم‬

10
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ([t.c]; Jakarta: Yayasan
Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Qur‟an, 1971), h. 82.
11
„Ali Ahmad Al-Salus, Ma’ Al-Syi’ah Al-Isna ‘Asyariah fi Al-Usul wa Al-Furu’ (Mausu’ah
Syamilah) Dirasah Mufaranah fi Al-Fiqh wa Al-Hadis, Terj. Asymuni Shalihan Zamakhsyari,
Ensiklopedi Sunnah dan Syi’ah: Studi Perbandingan Hadis dan Fikih, (Jakarta: Al-Kautsar, 2001),
Jilid 2, h. 253.
6

ْ‫ص ْنََُب‬
َ ‫ْس اخ‬ َ ‫ػ ٍْ ْرَ ِن َك ْث ُ اى‬
َ ْ‫صًْ َفَُ َٓبََب‬ ِ ‫غب ٌء ْفَقُ ْهَُبْأََّلَ ََْ ْغز َ ْخ‬
َ َِ ْ‫ْظ ْنََُب‬
َْ ٍَ‫هللاْػهٍّْٔعهىْن‬
َْ‫ ٌَْب ْأٌَُّ َٓب ْانازٌٍَِ ْآ َيُُٕا َّْل‬:ْْ ِ‫ّْٰللا‬ َ ْ َ ‫ة ْإِنَى ْأ َ َج ٍم ْث ُ اى ْقَ َشأ‬
‫ػ ْجذ ُ ا‬ ْ ‫أ َ ٌْ ََْ ُْ ِك َح‬
ِ ْٕ ‫ْان ًَ ْشأَح َ ْثِبنث ا‬
ْ ُّ‫ّْٰللاََّْلٌَْ ُِحت‬
ْ .ٌٍَِْْ‫ْان ًُ ْؼزَذ‬
12
‫َّْٔلَْر َ ْؼزَذ ُٔاْإِ اٌ ا‬ ‫ط ٍِّجَبدِْ َيبْأ َ َح ام ا‬
َ ‫ّْٰللاُْنَ ُك ْى‬ َ ْ‫ر ُ َح ِ ّش ُيٕا‬
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin
Numair al-Hamdani, telah menceritakan kepada kami bapakku dan Waki‟
dan Ibnu Bisyr dari Isma‟il dari Qais, ia berkata, saya mendengar
Abdullah berkata: Kami pernah berperang bersama Rasulullah Saw.
tanpa membawa isteri, lalu kami berkata, “Apakah sebaiknya kita
mengebiri kemaluan kita?” Rasulullah Saw. melarang kami berbuat
demikian, dan beliau memberikan keringanan pada kami untuk
menikahi perempuan sampai pada batas waktu tertentu dengan mas
kawin pakaian. Kemudian Abdullah bin Mas‟ud membaca ayat: Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik
yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui
batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas.
Selain itu, juga terdapat hadis riwayat Muslim yang lain yang berbunyi:

ٍِْْ ‫ػ ٍْ ْ َػ ًْ ِشْٔث‬ َ ْ،ُ‫ش ْؼجَخ‬


ُ ْ‫ْ َحذاثََُب‬،‫ْ َحذاثََُبْ ُي َح اًذُْث ٍُْ ْ َج ْؼفَ ٍش‬،‫بس‬ ٍ ‫ش‬ ‫َٔ َحذاثََُبْ ُي َح اًذ ُْث ٍُْ ْثَ ا‬
ٍِْْ ‫عهَ ًَخَْث‬
َ ْٔ، َ ِ‫ّْٰللا‬ َ ٍِْْ ‫ػ ٍْْ َجبثِ ِشْث‬
‫ػ ْج ِذ ا‬ َ ْ‫ِس‬ ُ ّ‫ٌُْ َحذ‬،ٍ‫غٍَ ْثٍَْ ْ ُي َح اًذ‬ ْ ُ‫ع ًِ ْؼذ‬
َ ‫ْان َح‬ َ ْ‫ْقَب َل‬،‫َبس‬ ٍ ٌُِ‫د‬
ٌَِْْ‫ّْٰللا ْملسو هيلع هللا ىلص ْقَذْْأَر‬
ِ ‫عٕ َل ا‬ ُ ‫ْس‬َ ٌ‫ّْٰللا ْملسو هيلع هللا ىلصْفَقَب َل ْإِ ا‬
ِ ‫عٕ ِل ا‬ َ ‫ػ َه ٍَُْبْ ُيَُبد‬
ُ ‫ِيْس‬ َ ْ ‫ْقَبَّلَ ْخ ََش َج‬،ِ‫األ َ ْك َٕع‬
ْ.13‫بء‬
ِْ ‫غ‬َ ُِّ ‫ٌَْ ْؼًُِْ ُيزْؼَخَْان‬.ْْْ‫نَ ُك ْىْأ َ ٌْْر َ ْغزَ ًْزِؼُٕا‬
Artinya:
Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar, telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja‟far, telah
menceritakan kepada kami Syu‟bah dari Amr bin Dinar, ia berkata, saya
mendengar al-Hasan bin Muhammad menceritakan dari Jabir bin
Abdullah dan Salamah bin al-Akwa‟, ia berkata: utusan Rasulullah
saw. datang kepada kami, lalu dia berkata, “Rasulullah saw. telah
mengizinkan kalian untuk nikah mut‟ah.”
Berkenaan dengan sumber hadis yang menghahalkan nikah mut‟ah

tersebut, menurut golongan Syiah, bahwa Nabi Muhammad Saw.

12
Abu Al-Husain Muslim ibn Hajjaj Al-„Asiri Al-Naisanburi, Sahih Muslim (Beirut: Dar Al-
Kutub A‟Ilmiah, 1991, Juz 2, h. 1022.
13
Abu Al-Husain Muslim ibn Hajjaj Al-„Asiri Al-Naisanburi, Sahih Muslim, Juz 2, h. 1022.
7

menghalalkan nikah mut‟ah kepada para sahabatnya dan tidak terdapat

keterangan yang shahih bahwa beliau melarang bentuk pernikahan tersebut.

Hal ini berimplikasi terhadap tetap berlakunya hadis kebolehan nikah mut‟ah

tersebut karena tidak terdapat hadis yang melarang bentuk pernikahan

tersebut.

Kehalalan nikah mut‟ah yang pernah terjadi dalam Islam dan

kemudian hal tersebut dilarang pada masa „Umar, salah satunya berdasar pada
perkataan shabat Jabi ibn „Abdullah Al-Anshari yang berkata “Kami

melakukan nikah mut‟ah pada zaman Nabi, ppada zaman Abu Bakr, dan pada

zaman „Umar, dan kemudian „Umar mengharamkannya”. Menurut golongan

Syiah, keputusan „Umar tersebut mendapatkan komenar pedas dari sahabat

„Ali ibn Abi Thalib dengan mengatakan “Jika „Umar tidak melarang nikah

Mut‟ah, maka tidak ada orang Islam yang berbuat zina kecuali bajingan”.14

Pada Golongan Syiah yang selain melalui nikah permanen, hubungan

seksual pada golongan tersebut juga diperbolehkan melalui nikah mut„ah,

menetapkan beberapa macam rukun mut„ah yang harus dipenuhi, sehingga

pernikahan tersebut sah di mata agama Islam menurut golongan tersebut.15

14
Abdul Adheem Al-Muhtadi Al-Bahrani, For A Better Future: 200 Questions and Answers
Regarding the Concerns of The Youth, Mariage, and Children, Terj. Ilyas Hasan, Surga Masa Depan:
Menjawab 200 Pertanyaan Mengenai Permasalahan Anak Muda, Perkawinan, dan Anak (Jakarta:
Misbah, 2007), h. 257.
15
Shinta Rahmatil Fadilah, dkk, “Interpretasi Hadis-Hadis tentang Nikah Mut‟ah (Kajian
Tematik)”, Jurnal Tajdid, Vol. 19, No. 2, 2020, h. 251.
8

Adapun rukun-rukun dalam nikah mut‟ah menurut golongan Syiah

yaitu:16

a. Sighat Akad Nikah

Yaitu adanya ijab dan qabul dengan mempergunakan dua kata

yang dapat menunjukkan atau menimbulkan pengertian yang dimaksud

dan rela dengan pernikahan mut„ah dengan cara yang dimengerti kedua

belah pihak.
Laki-laki dan perempuan yang terlibat dalam pernikahan mut‟ah,

dapat mengucapkan akad tersebut secara empat mata ataupun dengan

bantuan tokoh agama. Bagi mereka yang melakukan pernikahan ini secara

empat mata, maka lafaz akad yang diucapkan umumnya dengan lafaz

akad yang sederhana. Lafaz tersebut seperti perkataan calon istri “Saya

(nama yang bersangkutan) bersedia menikah dengan anda (nama yang

bersangkutan) dengan imbalan (menyebutkan ketentuan mut‟ah yang

diberikan) dalam masa (menyebutkan tempo waktunya)”. Setelah itu

dilanjutkan dengan perkataan calon suami “Aku terima”.

b. Calon Suami dan Istri


Seorang muslim dianjurkan melakukan akad nikah mut„ah hanya

dengan muslimah yang suci. Disini yang dimaksudkan dengan suci oleh

para ulama klasik yaitu seorang yang tidak pernah melakukan zina dan

mengikuti syariat Islam dalam aktivitasnya.

16
Muhammad Arif Slamet Raharjo, Telaah Hadis Nikah Mut’ah: Takhrij Terhadap Hadis
Kebolehan Nikah Mut’ah (Salatiga: STAIN Salatiga, 2010), h. 40.
9

c. Periode Waktu

Periode atau jangka waktu ini harus disebutkan sesuai dengan

ketentuan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, baik lama

maupun sebentar saja. Selain itu, juga harus disepakati bentuk waktunya,

seperti berapa hari, bulan atau tahun secara tegas dan jelas sehingga tidak

bisa lebih atau kurang dari jangka waktu yang telah ditentukan tersebut.

Begitu pula dalam nikah mut„ah, harus ada ketentuan kalender yang
akan digunakan, Masehi atau Hijriyah.

d. Mahar

Ketika proses ijab-qabul, harus disebutkan mahar (maskawin)

yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Kadar mahar yang telah

ditentukan baik dari segi bentuk maupun jumlahnya tersebut bertujuan

untuk menghilangkan kesalahpahaman dan menegaskan akan terjadinya

suatu pernikahan.

2. Pandangan Golongan Islam yang Mengharamkan Nikah Mut’ah

Menurut Sayyid Sābiq, semua ulama mazhab kecuali segolongan Syiah

telah sepakat mengatakan bahwa kawin mut‟ah hukumnya haram dan kalau
terjadi maka hukumnya batal.17 Ulama madzhab Hanafi, Imam Syamsuddin al-

Sarkhasi mengatakan bahwa nikah mut‟ah ini batil menurut Madzhab kami.

Pendiri mazhab Maliki, Imam Malik bin Anas mengatakan bahwa apabila

seorang lelaki menikahi wanita dengan dibatasi waktu, maka nikahnya batil.

Imam al-Syafi‟i, pendiri mazhab Syafi‟imengatakan bahwa nikah mut‟ah yang

dilarang itu adalah semua nikah yang dibatasi dengan waktu, baik dalam jangka

17
Sayyid Sābiq, Fiqh Al-Sunnah, Terj. Muhajidin Muhayan, Fiqih Sunnah (Cet. I; Jakarta:
PT. Pena Pundi Aksara, 2009), h. 35-36.
10

pendek maupun jangka panjang, seperti ucapan seorang lelaki kepada seorang

perempuan “Aku nikahi kamu selama 1 (satu) hari, 10 (sepuluh) hari atau 1

(satu) bulan. Ulama Madzhab Hanbali, Imam Ibnu Qudamah mengatakan bahwa

nikah mut‟ah ini adalah nikah yang batil. Ibnu Qudamah juga menukil pendapat

Imam Ahmad bin Hanbal menegaskan bahwa nikah mut‟ah adalah haram.18

Alasan mereka mengharamkan bentuk nikah mut‟ah yaitu pertama,

nikah mut‟ah tidak sesuai dengan yang dimaksudkan oleh al-Qur‟an, juga tidak
sesuai dengan masalah yang berkaitan dengan talak, iddah, dan kewarisan. Jadi

pernikahan seperti itu batal sebagaimana bentuk pernikahan lain yang dibatalkan

Islam.19

Jumhur fuqaha menyatakan bahwa nikah mut‟ah itu batil dengan

mengambil dalil dalam QS al-Mu‟minun/23:5-6 yang berbunyi:


ٰٓ ْ‫ظٌَٕ ْْۙا اَِّل‬
َ ْ‫ذْا َ ٌْ ًَبَُ ُٓ ْىْفَ ِبَا ُٓ ْى‬
ْ‫غٍ ُْش‬ ِ َٔ ‫ػ ٰهىْا َ ْص‬
ْ ‫اج ِٓ ْىْا َ ْْٔ َيبْ َيهَ َك‬ َ ْ ُ ‫َٔانا ِزٌٍَْ ْ ُْ ْىْ ِنفُ ُش ْٔ ِج ِٓ ْىْحٰ ِف‬
ٰۤ ُ
ْ ‫ٔن ِٕى َكْ ُْ ُى‬
ۚ ْۚ ٌَُْٔ ‫ْانؼَبد‬ َ ‫َيهُ ْٕ ِيٍ ٍَْْْۚ َف ًَ ٍِْا ْثز َ ٰغ‬
‫ىْٔ َس ۤا َء ْٰر ِن َكْفَب‬
Terjemahnya:
Dan orang yang memelihara kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri
mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka sesungguhnya
mereka tidak tercela.Tetapi barang siapa mencari di balik itu (zina, dan
sebagainya), maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.20
Berdasarkan ayat-ayat tersebut bahwa Allah Swt. menerangkan sebab

disahkan berhubungan badan hanya melalui dua cara. Yaitu nikah shahih dan

perbudakan. Sedangkan wanita mut‟ah, bukanlah istri dan bukan pula budak.21

18
Aisyah, “Polemik Hadis Tentang Nikah Mut‟ah”, Jurnal: Tahdis, Vol. 7 No. 2, 2016, h.
233.
19
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat, (Cet.I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), h. 55
20
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ([t.c]; Jakarta: Yayasan
Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Qur‟an, 1971), h. 342.
21
https://almanhaj.or.id/2952-nikah-mutah-kawin-kontrak.html#_ftn24 diakses pada tanggal 5
Oktober 2023.
11

Ayat ini menjelaskan pula bahwa seorang laki-laki hanya boleh melakukan

hubungan badan dengan perempuan yang berkedudukan sebagai isteri atau

jāriyahnya. Sedangkan perempuan yang dikawini secara mut‟ah bukanlah isteri

dan bukan pula jāriyah.22

Kedua,banyak hadis yang dengan tegas menyebutkan haramnya nikah

mut‟ah. Dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah di rujuk dalam

buku Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat terdapat sebuah hadis yang
berbunyi:23

ْْ‫ّْٰللاَ ْقَذ‬
‫ْٔإِ اٌ ا‬ َ ‫ْاَّل ْع ِز ًْزَبعِ ْأ َ ََّل‬
ِ ً‫بط ْإِ ًَِّ ْقَ ْذ ْ ُك ُْذُ ْأ َ ِر َْذُ ْنَ ُك ْى ْ ِف‬
ُ ‫َٔ ُْ َٕ ٌَْقُٕ ُل ْأٌَُّ َٓب ْانُا‬
ْ‫ْٔ ََّل ْرَأ ْ ُخزُٔا‬
َ ‫عجٍِ َه َٓب‬ َ ْ ‫ًَ ٌء ْفَ ْهٍ ُْخ ِم‬
ْ ‫ْي ُْ ُٓ اٍ ْش‬ ْ ‫َح اش َي َٓبْإِنَىْ ٌَ ْٕ ِو‬
ِ َُِ‫ْان ِقٍَب َي ِخ ْ َف ًَ ٍْ ْ َكبٌَ ْ ِػ ُْذ‬
‫ش ٍْئًب‬
َ ٍْ‫ِي اًبْآرَ ٍْْز ُ ًُٕ ُْ ا‬
Artinya:
Beliau menyampaikan, "Wahai manusia, aku pernah mengizinkan kalian
untuk kawin mut'ah, sekarang ketahuilah bahwa Allah telah
mengharamkannya hingga hari kiamat. Barang siapa siapa di antara kalian
masih memilikinya hendakah ia membebaskannya, dan jangan kalian
ambil apa yang telah kalian berikan untuk mereka."
Hadis lain yang dikemukakan oleh Ali bin Abi Thalib dalam Shahih

Bukhari yang berbunyi:

ٍِْ ‫غ‬ َ ‫ْٔ ْان َح‬ ِ ‫ػ ٍْ ْ َػ ْج ِذ ا‬


َ ‫ّْٰللا‬ َ ْ‫ة‬ ٍ ‫ػ ٍْ ْاث ٍِْ ْ ِش َٓب‬َ ْ ٌ‫ف ْأ َ ْخجَ َشََب ْ َيب ِنك‬ َ ‫ع‬ ِ ‫َحذاثََُب ْ َػ ْجذ ا‬
ُ ٌُْٕ ٍُْ ‫ُّْٰللا ْث‬
‫عٕ ُل ا‬
ِْ‫ّْٰللا‬ ُ ‫ىْس‬
َ َٓ ََ ‫ل‬ َْ ‫ّْٰللاُْ َػ ُْ ُٓ ْى ْقَب‬
‫ً ا‬ َ ‫ض‬ِ ‫ْس‬َ ًٍ
ّ ‫ػ ِه‬ َ ْ ٍْ ‫ػ‬َ ْ‫ً ٍْ َػ ٍْ ْأَثٍِ ِٓ ًَب‬ّ ‫ػ ِه‬
َ ْ ٍِْ ‫ا ْثَُ ًْ ْ ُي َح اً ِذ ْث‬
24
ِ ْ ‫ٕوْ ُح ًُ ِش‬
‫ْاْل َْ ِغٍا ِْخ‬ ِ ‫ػ ٍْْنُ ُح‬
َ َْٔ ‫بوْ َخ ٍْجَ َش‬
َ ‫ػ‬ ْ ٍْ ‫ػ‬
َ ْ‫ْان ًُزْؼَ ِخ‬ َ ْ‫عها َى‬
َ ْٔ َ ِّ ٍْ ‫ػ َه‬ ‫صه ا ا‬
َ ُْ‫ىّْٰللا‬ َ

22
Isnawati Rais, “Praktek Kawin Mut‟ah Di Indonesia Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan
Undang-Undang Perkawinan”, Jurnal Ahkam, Vol. 14, No. 1, 2014, h. 101
23
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat, h. 55
24
Al-Imam al-Hafizh Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Ṣaḥīḥ Al-Bukhari Jilid
4, Terj. Muhammad Iqbal dan Ma‟ruf Abdul Jalil, Shahih Bukhari (Cet II; Jakarta: Pustaka as-Sunnah,
2014), h. 1544.
12

Artinya
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf berkata: telah
mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Abdullah dan Al
Hasan keduanya anak Muhammad bin Ali, dari Bapak keduanya dari Ali
radliallahu 'anhum, ia berkata: "Saat penaklukan Khaibar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam melarang dari nikah mut'ah dan makan daging
keledai."
Ketiga, Umar bin Khattab, ketika menjadi khalifah berpidato dengan

menyatakan keharaman nikah mut‟ah ketika itu para sahabat langsung

menyetujuinya, padahal mereka mereka tidak menyetujui sesuatu yang salah, jika
pernyataan Umar tentang haramnya nikah mut‟ah adalah salah. 25 Keempat, Al-

Khatthabi menyatakan bahwa nikah mut‟ah telah disepakati keharamannya oeh

ulama mazhab kecuali ulama syi‟ah yang membolehkan perkawinan ini.26

Kelima, Nikah mut‟ah sekedar bertujuan untuk pelampiasan syahwat,

bukan untuk mendapatkan keturunan dan memeliharanya. Nikah mut‟ah

hanyalah pelam[iasan nafsu yang menjadikan perempuan sebagai objek

seksualitas laki-laki dengan mengatasnamakan kondisi darurat.27

Nikah mut‟ah itu tidak lebih dari pemuasan hawa nafsu, tidak sedikitpun

tersirat danya itikad baik, seperti dalam rangka ta’abudi dan tolong-menolong

antara suami-istri dan lain-lain sebagai bagian dari tujuan perkawinan dalam

islam. Oleh karena itu sangat pantas kalau jumhur ulama mengharamkan.
Disamping itu nikah mut‟ah mendatangkan mudarat bagi wanita, karena hanya

menjadi objek hawa nafsu tanpa perlindungan dan tanpa jaminan. Ia dapat

dijadikan layaknya seorang pelacur. Mudarat yang lebih besar akan menimpa

anak turunan seandainya dalam waktu yang singkat tersebut sempat

membuahkan keturunan. Anak yang dilahirkan tidak memiliki perlindungan fisik

25
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat, h. 56
26
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat, h. 57
27
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat, h. 58
13

maupun psikis. Karena orang yang dianggap ayahnya tidak mengurusinya.

Ayahnya terlena dengan pasangan barunya dan bersenang-senang kembali

dengan menikahi perempuan lain secara mut‟ah.28 Hal tersebut karena

perkawinan mut‟ah ini bersifat sementara maka akan membuat perempuan

dengan mudah berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Ini akan membuat

mereka sengsara dan anak-anak mereka teraniaya.

C. Manfaat dan Mudharat Nikah Mut’ah


Adanya kontroversi hukum terhadap nikah mut‟ah yang dilakukan setelah

masa Nabi Muhammad Saw. sampai saat ini tentunya mengandung beberapa manfaat

dalam pelaksanaan pernikahan tersebut bagi golongan yang menghalalkan pernikahan

tersebut sampai saat ini. Begitu pula bagi golongan yang mengharamkan pernikahan

tersebut, tentunya pernikahan tersebut mengandung mudharat dalam pendangan

mereka.

1. Manfaat Nikah Mut’ah

Menurut gologan Syiah, bahwa penyebab dibolehkannya nikah mut‟ah adalah

karena darurat. Hal ini akan berlaku jika seseorang mengalami keadaan yang darurat,

sedangkan dia tidak ingin terjerumus dalam zina. Keadaan tersebut seperti menuntut
ilmu ke tempat yang jauh.29 Berdasarkan hal itu, maka nikah mut‟ah bagi Syiah

bermanfaat untuk menghindarkan diri dari terjerumus ke dalam perzinaan.

Selain itu, apabila dilihat dari segi biologis, maka nikah mut‟ah dapat

digunakan sebagai jalan untuk memenuhi kebutuhan biologis dibandingkan bila

28
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat, h. 68-69
29
Muhammad Faisal Hasanuddin, Mazhab Syiah dengan Pendekatan Sunnah (Makassar:
Pustaka Al-Adl, 2005), h. 79.
14

seseorang melakukan kebiri karena khawatir kebutuhan biologisnya tidak dapat

terpenuhi karena keadaan tertentu.

Hal ini merujuk kepada catatan sejarah diperbolehkannya nikah mut‟ah

dimasa Nabi Muhammad Saw. yang dilatarbelakangi dengan keinginan para sahabat

yang sedang berperang ditempat jauh dalam waktu yang cukup lama. Sedangkan

mereka tidak memungkinkan untuk membawa istri-istri mereka. Mereka tidak

diizinkan untuk melakukan kebiri, puasa, dan juga onani. Untuk mengatasi hal
tersebut, maka solusi yang diberikan Nabi Muhammad Saw. yaitu dengan nikah

mut‟ah.30

Selain itu, adanya nikah mut‟ah juga dapat untuk mengurangi atau

menghilangkan sama sekali berbagai bentuk prostitusi, perselingkuhan, dan

perzinaan. Hal ini karena pemenuhan kebutuhan seksual laki-laki dan perempuan

cukup mudah didapatkan dengan adanya nikah mut‟ah tersebut tanpa harus menuju

tempat prostitusi.

Hal ini merujuk kepada pendapat Tabataba‟i, seorang ulama Syiah yang

berpendapat bahwa pernikahan yang kekal (tidak temporer) tidak cukup untuk

memenuhi keinginan dan keperluan seksual sebagain laki-laki. Karena perbuatan zina
merupakan hal yang kuat untuk menghancurkan sistem kehidupan manusia, maka

Islam membolehkan nikah mut‟ah dengan syarat tertentu.31

2. Mudharat Nikah Mut’ah

Praktek nikah mut‟ah sekedar bertujuan pelampiasan nafsu syahwat bukan

untuk mendapatkan anak atau memelihara anak serta membangun mahligai rumah

30
Ibnu Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid (Makkah: Dar Ihya Kutub Al-
„Arabiyah, t.th), h. 43.
31
Fitriah Wardi, Nikah Mut’ah: Nikah yang Boleh Satu Hari Tanpa Wali, Tanpa Saksi
(Selangor: Publishing House, 2015), h. 35.
15

tangga yang adil, yang keduanya merupakan maksud pokok dari pernikahan. Karena

itu nikah mut‟ah disamakan dengan zina, dilihat dari segi tujuannya untuk semata-

mata bersenang-senang. Sementara kita melihat aturan yang ada dalam nikah mut‟ah,

menjadikan wanita laksana barang dagangan yang diperjualbelikan kehormatannya.

Wanita dapat dinikmati untuk kemudian dibuang. Menjual kesuciannya kepada pria

dengan imbalan yangtak seberapa, mengorbankan kehidupan dan fungsi

keberadaannya.
Nikah mut‟ah dapat mematikan fungsi utama wanita, yaitu sebagai pemegang

peranan penting di sektor pendidikan generasi penerus, yang mana jika kehilangan

fungsinya maka kita akan kehilangan sebuah generasi. Nikah mut‟ah menurunkan

nilai wanita dari pendidik generasi menjadi pemuas nafsu saja. Hal ini tidaklah

mengherankan, karena memang tujuan nikah mut‟ah hanyalah pemuasan nafsu

semata.

Nikah mut‟ah juga juga merugikan anak-anak, karena mereka tidak

mendapatkan rumah tempat tinggal dan memperoleh pemeliharaan dan pendidikan

dengan baik. artinya telah terjadi pelanggaran terhadap hak anak, karena mereka

ditelantarkan begitu saja oleh orang tua mereka setelah puas dengan penyaluran hawa
nafsunya. Padahal anak harus mendapatkan hak nafkah dari rizki yang halal, hak

mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan perlindungan dan pemeliharaan dan

lainnya.

Nikah mut‟ah mendatangkan mudharat bagi wanita dibuang tanpa

perlindungan dan tanpa jaminan. Ia dapat bergilir dari satu laki-laki ke laki-laki lain

dalam waktu yang relatif singkat. Mudharat yang lebih besar akan menimpa anak

turunan seandainya dalam waktu yang singkat tersebut sempat membuahkan


16

keturunan. Anak yang dilahirkan tidak memiliki perlindungan fisik maupun psikis.

Karena orang yang dianggap ayahnya tidak mengurusinya. Ayahnya terlena dengan

pasangan barunya, bersengang-senang kembali, ber-mut‟ah kembali. Dengan

demikian perempuan dan anaklah yang menjadi korban. perempuan akan mengalami

kerugian material dan moral. Oleh sebab itu, Allah Swt. kemudian melarang

perkawinan semacam ini. Larangan tersebut berlaku sampai hari kiamat.

Disamping itu, dengan adanya pernikahan mut‟ah maka lembaga perkawinan


perlahan-lahan akan punah, karena para pemuda tidak merasa perlu untuk menikah,

karena dapat melampiaskan nafsu syahwatnya tanpa harus berumah tangga. Padahal

tujuan pernikahan adalah untuk membentuk keluarga sakinah, mawwaddah,

warrahmah atau dengan dengan kata lain menuju rumah tangga yang bahagia sesuai

dengan hukum Islam. Dari semua keterangan tersebut sangat jelas bahwa nikah

mut‟ah bertentangan dengan tujuan disyariatkannya agama Islam, karena

menimbulkan kerugian dan kerusakan kepada perempuan (istri), anak dan

masyarakat.

Al-Ghazali menyatakan bahwa kemaslahatan menurut beliau adalah

mewujudkan tujuan-tujuan agama, yaitu menjaga lima hal, yaitu agama, jiwa, akal,
keturunan, harta benda. Setiap hal yang mengandung perlindungan terhadap lima

prinsip ini adalah kemaslahatan, dan setiap yang menolak kemaslahatan adalah

kerusakan. Menolak kerusakan adalah kemaslahatan.32 Karena lima hal tersebut

sangat penting maka segala hal yang merintangi pemenuhan lima hal itu harus

dihilangkan. Dalam kaidah fikih dinyatakan bahwa dharurat itu harus dihilangkan.33

32
Hamid al-Ghazali, Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul (Beirut: Dar atTurath al-Arabi,tt), h. 286.
33
Jalal al-Din al-Suyuti, Al-Ashbah Wa al-Nadhaoir fi Al-Furu’ (Beirut : Dar al-Fikr, tt), h.
59.
17

Oleh karena itu nikah mut‟ah harus di cegah pelaksanaanya. Karena jelas

sekali bahwa nikah mut‟ah tidak dapat mewujudkan maksud-maksud disyariatkannya

pernikahan, bahkan akan menimbulkan mudharat yang lebih besar. Yang perlu

diingat oleh kita adalah bahwa akad nikah bukanlah akad biasa, seperti akadakad

lainnya tetapi satu janji yang kuat yang nanti akan dipertanggungjawabkan kepada

Allah Swt.

Oleh karena itu, jika suatu perkawinan justru akan membawa kemudaratan
bagi yang melakukannya dan untuk keturunannya haruslah dihindari. Sehingga

akibatnya yang paling mendasar dalam perkawinan ini tidak tercapainya tujuan untuk

mewujudkan tujuan utama dari perkawinan, yang ada justru membawa kemudharatan

bagi suami isteri, anak keturunan dan bahkan bagi masyarakat.

Dengan demikian maka jelaslah bahwa maksud dan tujuan dari nikah mut‟ah

hanya untuk memperoleh kesenangan seksual. Lebih lanjut tidak ada tujuan untuk

membentuk rumah tangga yang abadi, kekal, sakinah, mawaddah wa rahmah, dan itu

bertentangan dengan tujuan pernikahan yang disyariatkan dalam Islam. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa nikah mutah itu menimbulkan banyak mafsadah

sehingga harus dihindari dan dilarang untuk diberlakukan.


Pada salah satu qaidah fiqhiyyah dinyatakan bahwa meninggalkan kerusakan-

kerusakan itu lebih didahulukan dari pada menarik kemaslahatan.34 Ini artinya bahwa

harapan untuk menarik kemaslahatan lewat nikah mut‟ ah dengan mengabaikan

kemafsadatan yang ditimbulkan oleh nikah mutah telah menyalahi salah satu kaidah

fikih di atas, oleh karena itu nikah mut‟ah harus ditolak.

34
Abdul Halim Hakim, Al-Sulam Fi Usul Fiqh (Jakartra: Sa‟adiyah Putra, tt), h. 60.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Fenomena tentang nikah mut„ah sudah terjadi pada masa Nabi Muhammad

Saw. dan sampai pada zaman sekarang ini ternyata masih juga terjadi nikah

mut„ah atau nikah kontrak dikalangan masyarakat Muslim. Salah satu

golongan Islam yang melakukan nikah tersebut yaitu golongan Syiah. Menurut
pandangan para ulama, hakikat dari nikah mut‟ah adalah mencari kesenangan

biologis dengan adanya batas waktu tertentu antara laki-laki dan perempuan

melalui ikatan pernikahan.

Hukum nikah mut‟ah dalam pandangan Islam memiliki beberapa pandangan

dari golongan umat Islam tentang kehalalan dan keharaman bentuk pernikahan

tersebut. Golonga Islam yang menghalalkan nikah mut‟ah dan tetap

menghalalkannya sampai hari ini yaitu golongan Syiah. Sedangkan golongan

Sunni mengharamkan bentuk pernikahan tersebut, khussunya saat ini.

Adanya bentuk nikah mut‟ah tersebut memilki berbagai manfaat dan

mudharat ketika dilaksanakan. Hal ini akan menjadi bahan kajian yang lebih
dalam dari para pakar hukum Islam mengenai seluk beluk bentuk nikah tersebut

dilihat dari berbagai sudut pandang.

B. Implikasi

Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat untuk penhkajian

yang lebih dalam mengenai nikah mut‟ah. Sehingga pengkajian terhadap ha

tersebut dapat terus untuk dikembangkan.

18
19

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, “Polemik Hadis Tentang Nikah Mut‟ah”, Jurnal: Tahdis, Vol. 7 No. 2, 2016.

Al-Bahrani, Abdul Adheem Al-Muhtadi. For A Better Future: 200 Questions and
Answers Regarding the Concerns of The Youth, Mariage, and Children, Terj.
Ilyas Hasan, Surga Masa Depan: Menjawab 200 Pertanyaan Mengenai
Permasalahan Anak Muda, Perkawinan, dan Anak. Jakarta: Misbah, 2007.

Al-Bukhari Al-Imam al-Hafizh Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. Ṣaḥīḥ Al-
Bukhari Jilid 4, Terj. Muhammad Iqbal dan Ma‟ruf Abdul Jalil, Shahih
Bukhari. Cet II; Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2014.

Al-Ghazali, Hamid. Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul. Beirut: Dar atTurath al-Arabi,t. th.
Al-Musawwi, A.Syarafuddin. Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunni-Syiah. Jakarta: Mizan,
1989.

Al-Naisanburi, Abu Al-Husain Muslim ibn Hajjaj Al-„Asiri. Sahih Muslim. Beirut:
Dar Al-Kutub A‟Ilmiah, 1991.

Al-Salus, „Ali Ahmad. Ma’ Al-Syi’ah Al-Isna ‘Asyariah fi Al-Usul wa Al-Furu’


(Mausu’ah Syamilah) Dirasah Mufaranah fi Al-Fiqh wa Al-Hadis, Terj.
Asymuni Shalihan Zamakhsyari, Ensiklopedi Sunnah dan Syi’ah: Studi
Perbandingan Hadis dan Fikih. Jakarta: Al-Kautsar, 2001.

Al-Suyuti Jalal al-Din. Al-Ashbah Wa al-Nadhaoir fi Al-Furu’. Beirut : Dar al-Fikr,


t.th.

Basyar, Fahmi, ”Konstelasi „Urf dan Ihtishan tentang Nikah Mut‟ah dengan
Pendekatan Sosio Legal”, Istidlal: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 6,
No. 2, 2022.
Fadilah, Shinta Rahmatil, dkk, “Interpretasi Hadis-Hadis tentang Nikah Mut‟ah
(Kajian Tematik)”, Jurnal Tajdid, Vol. 19, No. 2, 2020.

Fitriah Wardi. Nikah Mut’ah. Selangor: PTS Publishing House, 2015.

Hakim, Abdul Halim. Al-Sulam Fi Usul Fiqh. Jakartra: Sa‟adiyah Putra, t.th.

Hasanuddin, Muhammad Faisal. Mazhab Syiah dengan Pendekatan Sunnah.


Makassar: Pustaka Al-Adl, 2005.

https://almanhaj.or.id/2952-nikah-mutah-kawin-kontrak.html#_ftn24 diakses pada


tanggal 5 Oktober 2023.
20

Ibnu Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid. Makkah: Dar Ihya


Kutub Al-„Arabiyah, t.th.

Lubis, Nabilah. Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum Islam. Yogyakarta: Adelina,


2005.

Muhammad ibn Mukarrom ibn Manzur Al-Afriqi. Lisan Al-‘Arab. Beirut: Dar Al-
Sadir, T.th, Juz 3, h. 328.

Murata, Sachiko. Lebih Jelas Tentang Nikah Mut’ah Pendekatan Sunni dan Syiah.
Jakarta: PT. Raja Grafindi, 2021.

Mustafa Al-Khin. Asar Al-Ikhtilaf fi Al-Qawaid Al-Usuliyah. Beirut: Al-Risalah,


2003.
Raharjo, Muhammad Arif Slamet. Telaah Hadis Nikah Mut’ah: Takhrij Terhadap
Hadis Kebolehan Nikah Mut’ah. Salatiga: STAIN Salatiga, 2010.

Rais, Isnawati, “Praktek Kawin Mut‟ah Di Indonesia Dalam Tinjauan Hukum Islam
Dan Undang-Undang Perkawinan”, Jurnal Ahkam, Vol. 14, No. 1, 2014.

Sābiq, Sayyid. Fiqh Al-Sunnah, Terj. Muhajidin Muhayan, Fiqih Sunnah . Cet. I;
Jakarta: PT. Pena Pundi Aksara, 2009.

Saebani, Beni Ahmad, Fiqh Munakahat. Cet.I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001.

Sayyid Sabiq. Fiqh Al-Sunnah. Beirut: Dar Al-Fikr, t.th.

Shihab, M. Quraish. Mistik, Seks, dan Ibadah. Jakarta: Republika, 2004.

Wardi, Fitriah Nikah Mut’ah: Nikah yang Boleh Satu Hari Tanpa Wali, Tanpa Saksi.
Selangor: Publishing House, 2015.

Anda mungkin juga menyukai