MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas pada Mata Kuliah Isu-Isu Kontemporer
Hukum Keluarga Melayu Nusantara dalam Bidang Hukum Keluarga Islam
(Ahwal Syakhshiyyah) pada Program Pascasarjana
IAIN Bone
Dosen Pengampuh :
Oleh:
Kelompok III
PROGRAM PASCASARJANA
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah swt yang telah memberikan berbagai
nikmat sampai saat ini. Salawat dan salam tetap tertuju kepada manusia pilihan Allah
swt.,Nabi Muhammad saw. yang telah menuntun manusia, khususnya umat Islam ke
kekurangan, karena kurangnya kemampuan penulis. Kepada semua pihak yang telah
membantu terseleseikannya makalah ini, penulis mengucapkan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya.
Harapan besar penulis, makalah ini dapat bermanfaat bagi masyarakat umum dan
juga bagi para mahaasiswa ataupun mereka yang berkecimpung dalam bidang
akademik, sehingga dapat lebih giat untuk menciptakan karya-karya yang bermanfaat
bagi masyarakat.
Penulis sangat berharap kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak
guna lebih sempurnanya makalah ini, sehingga dapat menuai manfaat maksimal
kepada masyarakat.
Penulis,
Kelompok III
i
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 18
B. Saran ................................................................................................................. 18
ii
BAB I
PENDAHULUAN
berbagai macam jenis pernikahan, seperti nikah mut‟ah, nikah muhallil, poligami,
poliandri dan nikah beda agama. Khusus masalah nikah mut‟ah, merupakan
pernikahan yang cukup fenomenal, karena pada masa Nabi Muhammad Saw. hal
pertumbuhan teknologi yang semakin pesat. Hal tersebut merupakan salah satu
1
Fahmi Basyar,”Konstelasi „Urf dan Ihtishan tentang Nikah Mut‟ah dengan Pendekatan Sosio
Legal”, Istidlal: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 6, No. 2, 2022, h.149
2
A. Syarafuddin Al-Musawwi, Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunni-Syiah (Jakarta: Mizan, 1989), h.
14.
1
2
faktor yang melatar belakangi perlunya kajian ulang terhadap fenomena praktek
nikah mut‟ah.3
akan membahas mengenai nikah mut‟ah yang berkisar tentang hakikat nkah mut‟ah,
pandangan hukum Islam terhadap bentuk pernikahan tersebut, dan sisi manfaat serta
B. Rumusan Masalah
Makalah ini membahas masalah pokok mengenai hukum nikah mut‟ah,
C. Tujuan Penulisan
3
Nabilah Lubis, Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum Islam (Yogyakarta: Adelina, 2005), h.
43.
BAB II
PEMBAHASAN
Muhammad Saw. dan sampai pada zaman sekarang ini ternyata masih juga
Golongan Islam yang melakukan nikah tersebut yaitu golongan Syiah. Golongan
Syiah selalu menganggap nikah mut„ah sebagai suatu yang khusus dan suatu
Islam. Imam Ja„far Shadiq, sebagai tokoh golongan Syiah menganggap bentuk
tertentu, seperti satu hari, dua hari, satu minggu, satu bulan, atau tergantung
kesepakatan. Setelah batas waktu habis, maka mereka akan bercerai.5
Berdasarkan hal itu dapat dikatakan bahwa mut‟ah merupakan sebuah perjanjian
4
Sachiko Murata, Lebih Jelas Tentang Nikah Mut’ah Pendekatan Sunni dan Syiah (Jakarta:
PT. Raja Grafindi, 2021), h. 130.
5
M. Quraish Shihab, Mistik, Seks, dan Ibadah (Jakarta: Republika, 2004), h. 17.
6
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah (Beirut: Dar Al-Fikr, t.th), Juz 2, h. 28.
3
4
pribadi dan verbal antara pria dan wanita yang tidak terikat pernikahan
istilah, nikah mut‟ah yaitu nikah sementara yang dibatasi dengan waktu tertentu,
Islam.
mengenai bentuk pernikahan tersebut. Lebih dari itu, ulama golongan Syi‟ah
berpendapat bahwa nikah mut‟ah mempunyai beberapa kesamaan dengan
7
Muhammad ibn Mukarrom ibn Manzur A;Afriqi, Lisan Al-‘Arab (Beirut: Dar Al-Sadir, T.th,
Juz 3, h. 328.
8
Mustafa Al-Khin, Asar Al-Ikhtilaf fi Al-Qawaid Al-Usuliyah (Beirut: Al-Risalah, 2003), h.
585.
9
Fitriah Wardi, Nikah Mut’ah (Selangor: PTS Publishing House, 2015), h. 38.
5
akad nikah permanen. Selain itu, juga diungkapkan dalam ayat tersebut
dengan kata ujur yang bermakna upah, bukan dengan kata yang mempunyai
makna mahar.11
10
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ([t.c]; Jakarta: Yayasan
Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Qur‟an, 1971), h. 82.
11
„Ali Ahmad Al-Salus, Ma’ Al-Syi’ah Al-Isna ‘Asyariah fi Al-Usul wa Al-Furu’ (Mausu’ah
Syamilah) Dirasah Mufaranah fi Al-Fiqh wa Al-Hadis, Terj. Asymuni Shalihan Zamakhsyari,
Ensiklopedi Sunnah dan Syi’ah: Studi Perbandingan Hadis dan Fikih, (Jakarta: Al-Kautsar, 2001),
Jilid 2, h. 253.
6
ْص ْنََُب
َ ْس اخ َ ػ ٍْ ْرَ ِن َك ْث ُ اى
َ ْصًْ َفَُ َٓبََب ِ غب ٌء ْفَقُ ْهَُبْأََّلَ ََْ ْغز َ ْخ
َ َِ ْْظ ْنََُب
َْ ٍَهللاْػهٍّْٔعهىْن
َْ ٌَْب ْأٌَُّ َٓب ْانازٌٍَِ ْآ َيُُٕا َّْل:ْْ ِّْٰللا َ ْ َ ة ْإِنَى ْأ َ َج ٍم ْث ُ اى ْقَ َشأ
ػ ْجذ ُ ا ْ أ َ ٌْ ََْ ُْ ِك َح
ِ ْٕ ْان ًَ ْشأَح َ ْثِبنث ا
ْ ُّّْٰللاََّْلٌَْ ُِحت
ْ .ٌٍَِْْْان ًُ ْؼزَذ
12
َّْٔلَْر َ ْؼزَذ ُٔاْإِ اٌ ا ط ٍِّجَبدِْ َيبْأ َ َح ام ا
َ ّْٰللاُْنَ ُك ْى َ ْر ُ َح ِ ّش ُيٕا
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin
Numair al-Hamdani, telah menceritakan kepada kami bapakku dan Waki‟
dan Ibnu Bisyr dari Isma‟il dari Qais, ia berkata, saya mendengar
Abdullah berkata: Kami pernah berperang bersama Rasulullah Saw.
tanpa membawa isteri, lalu kami berkata, “Apakah sebaiknya kita
mengebiri kemaluan kita?” Rasulullah Saw. melarang kami berbuat
demikian, dan beliau memberikan keringanan pada kami untuk
menikahi perempuan sampai pada batas waktu tertentu dengan mas
kawin pakaian. Kemudian Abdullah bin Mas‟ud membaca ayat: Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik
yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui
batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas.
Selain itu, juga terdapat hadis riwayat Muslim yang lain yang berbunyi:
12
Abu Al-Husain Muslim ibn Hajjaj Al-„Asiri Al-Naisanburi, Sahih Muslim (Beirut: Dar Al-
Kutub A‟Ilmiah, 1991, Juz 2, h. 1022.
13
Abu Al-Husain Muslim ibn Hajjaj Al-„Asiri Al-Naisanburi, Sahih Muslim, Juz 2, h. 1022.
7
Hal ini berimplikasi terhadap tetap berlakunya hadis kebolehan nikah mut‟ah
tersebut.
kemudian hal tersebut dilarang pada masa „Umar, salah satunya berdasar pada
perkataan shabat Jabi ibn „Abdullah Al-Anshari yang berkata “Kami
melakukan nikah mut‟ah pada zaman Nabi, ppada zaman Abu Bakr, dan pada
„Ali ibn Abi Thalib dengan mengatakan “Jika „Umar tidak melarang nikah
Mut‟ah, maka tidak ada orang Islam yang berbuat zina kecuali bajingan”.14
14
Abdul Adheem Al-Muhtadi Al-Bahrani, For A Better Future: 200 Questions and Answers
Regarding the Concerns of The Youth, Mariage, and Children, Terj. Ilyas Hasan, Surga Masa Depan:
Menjawab 200 Pertanyaan Mengenai Permasalahan Anak Muda, Perkawinan, dan Anak (Jakarta:
Misbah, 2007), h. 257.
15
Shinta Rahmatil Fadilah, dkk, “Interpretasi Hadis-Hadis tentang Nikah Mut‟ah (Kajian
Tematik)”, Jurnal Tajdid, Vol. 19, No. 2, 2020, h. 251.
8
yaitu:16
dan rela dengan pernikahan mut„ah dengan cara yang dimengerti kedua
belah pihak.
Laki-laki dan perempuan yang terlibat dalam pernikahan mut‟ah,
bantuan tokoh agama. Bagi mereka yang melakukan pernikahan ini secara
empat mata, maka lafaz akad yang diucapkan umumnya dengan lafaz
akad yang sederhana. Lafaz tersebut seperti perkataan calon istri “Saya
dengan muslimah yang suci. Disini yang dimaksudkan dengan suci oleh
para ulama klasik yaitu seorang yang tidak pernah melakukan zina dan
16
Muhammad Arif Slamet Raharjo, Telaah Hadis Nikah Mut’ah: Takhrij Terhadap Hadis
Kebolehan Nikah Mut’ah (Salatiga: STAIN Salatiga, 2010), h. 40.
9
c. Periode Waktu
ketentuan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, baik lama
maupun sebentar saja. Selain itu, juga harus disepakati bentuk waktunya,
seperti berapa hari, bulan atau tahun secara tegas dan jelas sehingga tidak
bisa lebih atau kurang dari jangka waktu yang telah ditentukan tersebut.
Begitu pula dalam nikah mut„ah, harus ada ketentuan kalender yang
akan digunakan, Masehi atau Hijriyah.
d. Mahar
yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Kadar mahar yang telah
suatu pernikahan.
telah sepakat mengatakan bahwa kawin mut‟ah hukumnya haram dan kalau
terjadi maka hukumnya batal.17 Ulama madzhab Hanafi, Imam Syamsuddin al-
Sarkhasi mengatakan bahwa nikah mut‟ah ini batil menurut Madzhab kami.
Pendiri mazhab Maliki, Imam Malik bin Anas mengatakan bahwa apabila
seorang lelaki menikahi wanita dengan dibatasi waktu, maka nikahnya batil.
dilarang itu adalah semua nikah yang dibatasi dengan waktu, baik dalam jangka
17
Sayyid Sābiq, Fiqh Al-Sunnah, Terj. Muhajidin Muhayan, Fiqih Sunnah (Cet. I; Jakarta:
PT. Pena Pundi Aksara, 2009), h. 35-36.
10
pendek maupun jangka panjang, seperti ucapan seorang lelaki kepada seorang
perempuan “Aku nikahi kamu selama 1 (satu) hari, 10 (sepuluh) hari atau 1
(satu) bulan. Ulama Madzhab Hanbali, Imam Ibnu Qudamah mengatakan bahwa
nikah mut‟ah ini adalah nikah yang batil. Ibnu Qudamah juga menukil pendapat
Imam Ahmad bin Hanbal menegaskan bahwa nikah mut‟ah adalah haram.18
nikah mut‟ah tidak sesuai dengan yang dimaksudkan oleh al-Qur‟an, juga tidak
sesuai dengan masalah yang berkaitan dengan talak, iddah, dan kewarisan. Jadi
pernikahan seperti itu batal sebagaimana bentuk pernikahan lain yang dibatalkan
Islam.19
disahkan berhubungan badan hanya melalui dua cara. Yaitu nikah shahih dan
perbudakan. Sedangkan wanita mut‟ah, bukanlah istri dan bukan pula budak.21
18
Aisyah, “Polemik Hadis Tentang Nikah Mut‟ah”, Jurnal: Tahdis, Vol. 7 No. 2, 2016, h.
233.
19
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat, (Cet.I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), h. 55
20
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ([t.c]; Jakarta: Yayasan
Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Qur‟an, 1971), h. 342.
21
https://almanhaj.or.id/2952-nikah-mutah-kawin-kontrak.html#_ftn24 diakses pada tanggal 5
Oktober 2023.
11
Ayat ini menjelaskan pula bahwa seorang laki-laki hanya boleh melakukan
mut‟ah. Dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah di rujuk dalam
buku Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat terdapat sebuah hadis yang
berbunyi:23
ّْْْٰللاَ ْقَذ
ْٔإِ اٌ ا َ ْاَّل ْع ِز ًْزَبعِ ْأ َ ََّل
ِ ًبط ْإِ ًَِّ ْقَ ْذ ْ ُك ُْذُ ْأ َ ِر َْذُ ْنَ ُك ْى ْ ِف
ُ َٔ ُْ َٕ ٌَْقُٕ ُل ْأٌَُّ َٓب ْانُا
ْْٔ ََّل ْرَأ ْ ُخزُٔا
َ عجٍِ َه َٓب َ ْ ًَ ٌء ْفَ ْهٍ ُْخ ِم
ْ ْي ُْ ُٓ اٍ ْش ْ َح اش َي َٓبْإِنَىْ ٌَ ْٕ ِو
ِ َُِْان ِقٍَب َي ِخ ْ َف ًَ ٍْ ْ َكبٌَ ْ ِػ ُْذ
ش ٍْئًب
َ ٍِْي اًبْآرَ ٍْْز ُ ًُٕ ُْ ا
Artinya:
Beliau menyampaikan, "Wahai manusia, aku pernah mengizinkan kalian
untuk kawin mut'ah, sekarang ketahuilah bahwa Allah telah
mengharamkannya hingga hari kiamat. Barang siapa siapa di antara kalian
masih memilikinya hendakah ia membebaskannya, dan jangan kalian
ambil apa yang telah kalian berikan untuk mereka."
Hadis lain yang dikemukakan oleh Ali bin Abi Thalib dalam Shahih
22
Isnawati Rais, “Praktek Kawin Mut‟ah Di Indonesia Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan
Undang-Undang Perkawinan”, Jurnal Ahkam, Vol. 14, No. 1, 2014, h. 101
23
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat, h. 55
24
Al-Imam al-Hafizh Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Ṣaḥīḥ Al-Bukhari Jilid
4, Terj. Muhammad Iqbal dan Ma‟ruf Abdul Jalil, Shahih Bukhari (Cet II; Jakarta: Pustaka as-Sunnah,
2014), h. 1544.
12
Artinya
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf berkata: telah
mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Abdullah dan Al
Hasan keduanya anak Muhammad bin Ali, dari Bapak keduanya dari Ali
radliallahu 'anhum, ia berkata: "Saat penaklukan Khaibar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam melarang dari nikah mut'ah dan makan daging
keledai."
Ketiga, Umar bin Khattab, ketika menjadi khalifah berpidato dengan
menyetujuinya, padahal mereka mereka tidak menyetujui sesuatu yang salah, jika
pernyataan Umar tentang haramnya nikah mut‟ah adalah salah. 25 Keempat, Al-
Nikah mut‟ah itu tidak lebih dari pemuasan hawa nafsu, tidak sedikitpun
tersirat danya itikad baik, seperti dalam rangka ta’abudi dan tolong-menolong
antara suami-istri dan lain-lain sebagai bagian dari tujuan perkawinan dalam
islam. Oleh karena itu sangat pantas kalau jumhur ulama mengharamkan.
Disamping itu nikah mut‟ah mendatangkan mudarat bagi wanita, karena hanya
menjadi objek hawa nafsu tanpa perlindungan dan tanpa jaminan. Ia dapat
dijadikan layaknya seorang pelacur. Mudarat yang lebih besar akan menimpa
25
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat, h. 56
26
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat, h. 57
27
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat, h. 58
13
dengan mudah berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Ini akan membuat
masa Nabi Muhammad Saw. sampai saat ini tentunya mengandung beberapa manfaat
tersebut sampai saat ini. Begitu pula bagi golongan yang mengharamkan pernikahan
mereka.
karena darurat. Hal ini akan berlaku jika seseorang mengalami keadaan yang darurat,
sedangkan dia tidak ingin terjerumus dalam zina. Keadaan tersebut seperti menuntut
ilmu ke tempat yang jauh.29 Berdasarkan hal itu, maka nikah mut‟ah bagi Syiah
Selain itu, apabila dilihat dari segi biologis, maka nikah mut‟ah dapat
28
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat, h. 68-69
29
Muhammad Faisal Hasanuddin, Mazhab Syiah dengan Pendekatan Sunnah (Makassar:
Pustaka Al-Adl, 2005), h. 79.
14
dimasa Nabi Muhammad Saw. yang dilatarbelakangi dengan keinginan para sahabat
yang sedang berperang ditempat jauh dalam waktu yang cukup lama. Sedangkan
diizinkan untuk melakukan kebiri, puasa, dan juga onani. Untuk mengatasi hal
tersebut, maka solusi yang diberikan Nabi Muhammad Saw. yaitu dengan nikah
mut‟ah.30
Selain itu, adanya nikah mut‟ah juga dapat untuk mengurangi atau
perzinaan. Hal ini karena pemenuhan kebutuhan seksual laki-laki dan perempuan
cukup mudah didapatkan dengan adanya nikah mut‟ah tersebut tanpa harus menuju
tempat prostitusi.
Hal ini merujuk kepada pendapat Tabataba‟i, seorang ulama Syiah yang
berpendapat bahwa pernikahan yang kekal (tidak temporer) tidak cukup untuk
memenuhi keinginan dan keperluan seksual sebagain laki-laki. Karena perbuatan zina
merupakan hal yang kuat untuk menghancurkan sistem kehidupan manusia, maka
untuk mendapatkan anak atau memelihara anak serta membangun mahligai rumah
30
Ibnu Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid (Makkah: Dar Ihya Kutub Al-
„Arabiyah, t.th), h. 43.
31
Fitriah Wardi, Nikah Mut’ah: Nikah yang Boleh Satu Hari Tanpa Wali, Tanpa Saksi
(Selangor: Publishing House, 2015), h. 35.
15
tangga yang adil, yang keduanya merupakan maksud pokok dari pernikahan. Karena
itu nikah mut‟ah disamakan dengan zina, dilihat dari segi tujuannya untuk semata-
mata bersenang-senang. Sementara kita melihat aturan yang ada dalam nikah mut‟ah,
Wanita dapat dinikmati untuk kemudian dibuang. Menjual kesuciannya kepada pria
keberadaannya.
Nikah mut‟ah dapat mematikan fungsi utama wanita, yaitu sebagai pemegang
peranan penting di sektor pendidikan generasi penerus, yang mana jika kehilangan
fungsinya maka kita akan kehilangan sebuah generasi. Nikah mut‟ah menurunkan
nilai wanita dari pendidik generasi menjadi pemuas nafsu saja. Hal ini tidaklah
semata.
dengan baik. artinya telah terjadi pelanggaran terhadap hak anak, karena mereka
ditelantarkan begitu saja oleh orang tua mereka setelah puas dengan penyaluran hawa
nafsunya. Padahal anak harus mendapatkan hak nafkah dari rizki yang halal, hak
lainnya.
perlindungan dan tanpa jaminan. Ia dapat bergilir dari satu laki-laki ke laki-laki lain
dalam waktu yang relatif singkat. Mudharat yang lebih besar akan menimpa anak
keturunan. Anak yang dilahirkan tidak memiliki perlindungan fisik maupun psikis.
Karena orang yang dianggap ayahnya tidak mengurusinya. Ayahnya terlena dengan
demikian perempuan dan anaklah yang menjadi korban. perempuan akan mengalami
kerugian material dan moral. Oleh sebab itu, Allah Swt. kemudian melarang
karena dapat melampiaskan nafsu syahwatnya tanpa harus berumah tangga. Padahal
warrahmah atau dengan dengan kata lain menuju rumah tangga yang bahagia sesuai
dengan hukum Islam. Dari semua keterangan tersebut sangat jelas bahwa nikah
masyarakat.
mewujudkan tujuan-tujuan agama, yaitu menjaga lima hal, yaitu agama, jiwa, akal,
keturunan, harta benda. Setiap hal yang mengandung perlindungan terhadap lima
prinsip ini adalah kemaslahatan, dan setiap yang menolak kemaslahatan adalah
sangat penting maka segala hal yang merintangi pemenuhan lima hal itu harus
dihilangkan. Dalam kaidah fikih dinyatakan bahwa dharurat itu harus dihilangkan.33
32
Hamid al-Ghazali, Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul (Beirut: Dar atTurath al-Arabi,tt), h. 286.
33
Jalal al-Din al-Suyuti, Al-Ashbah Wa al-Nadhaoir fi Al-Furu’ (Beirut : Dar al-Fikr, tt), h.
59.
17
Oleh karena itu nikah mut‟ah harus di cegah pelaksanaanya. Karena jelas
pernikahan, bahkan akan menimbulkan mudharat yang lebih besar. Yang perlu
diingat oleh kita adalah bahwa akad nikah bukanlah akad biasa, seperti akadakad
lainnya tetapi satu janji yang kuat yang nanti akan dipertanggungjawabkan kepada
Allah Swt.
Oleh karena itu, jika suatu perkawinan justru akan membawa kemudaratan
bagi yang melakukannya dan untuk keturunannya haruslah dihindari. Sehingga
akibatnya yang paling mendasar dalam perkawinan ini tidak tercapainya tujuan untuk
mewujudkan tujuan utama dari perkawinan, yang ada justru membawa kemudharatan
Dengan demikian maka jelaslah bahwa maksud dan tujuan dari nikah mut‟ah
hanya untuk memperoleh kesenangan seksual. Lebih lanjut tidak ada tujuan untuk
membentuk rumah tangga yang abadi, kekal, sakinah, mawaddah wa rahmah, dan itu
demikian dapat disimpulkan bahwa nikah mutah itu menimbulkan banyak mafsadah
kerusakan itu lebih didahulukan dari pada menarik kemaslahatan.34 Ini artinya bahwa
kemafsadatan yang ditimbulkan oleh nikah mutah telah menyalahi salah satu kaidah
34
Abdul Halim Hakim, Al-Sulam Fi Usul Fiqh (Jakartra: Sa‟adiyah Putra, tt), h. 60.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fenomena tentang nikah mut„ah sudah terjadi pada masa Nabi Muhammad
Saw. dan sampai pada zaman sekarang ini ternyata masih juga terjadi nikah
golongan Islam yang melakukan nikah tersebut yaitu golongan Syiah. Menurut
pandangan para ulama, hakikat dari nikah mut‟ah adalah mencari kesenangan
biologis dengan adanya batas waktu tertentu antara laki-laki dan perempuan
dari golongan umat Islam tentang kehalalan dan keharaman bentuk pernikahan
mudharat ketika dilaksanakan. Hal ini akan menjadi bahan kajian yang lebih
dalam dari para pakar hukum Islam mengenai seluk beluk bentuk nikah tersebut
B. Implikasi
18
19
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, “Polemik Hadis Tentang Nikah Mut‟ah”, Jurnal: Tahdis, Vol. 7 No. 2, 2016.
Al-Bahrani, Abdul Adheem Al-Muhtadi. For A Better Future: 200 Questions and
Answers Regarding the Concerns of The Youth, Mariage, and Children, Terj.
Ilyas Hasan, Surga Masa Depan: Menjawab 200 Pertanyaan Mengenai
Permasalahan Anak Muda, Perkawinan, dan Anak. Jakarta: Misbah, 2007.
Al-Bukhari Al-Imam al-Hafizh Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. Ṣaḥīḥ Al-
Bukhari Jilid 4, Terj. Muhammad Iqbal dan Ma‟ruf Abdul Jalil, Shahih
Bukhari. Cet II; Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2014.
Al-Ghazali, Hamid. Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul. Beirut: Dar atTurath al-Arabi,t. th.
Al-Musawwi, A.Syarafuddin. Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunni-Syiah. Jakarta: Mizan,
1989.
Al-Naisanburi, Abu Al-Husain Muslim ibn Hajjaj Al-„Asiri. Sahih Muslim. Beirut:
Dar Al-Kutub A‟Ilmiah, 1991.
Basyar, Fahmi, ”Konstelasi „Urf dan Ihtishan tentang Nikah Mut‟ah dengan
Pendekatan Sosio Legal”, Istidlal: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 6,
No. 2, 2022.
Fadilah, Shinta Rahmatil, dkk, “Interpretasi Hadis-Hadis tentang Nikah Mut‟ah
(Kajian Tematik)”, Jurnal Tajdid, Vol. 19, No. 2, 2020.
Hakim, Abdul Halim. Al-Sulam Fi Usul Fiqh. Jakartra: Sa‟adiyah Putra, t.th.
Muhammad ibn Mukarrom ibn Manzur Al-Afriqi. Lisan Al-‘Arab. Beirut: Dar Al-
Sadir, T.th, Juz 3, h. 328.
Murata, Sachiko. Lebih Jelas Tentang Nikah Mut’ah Pendekatan Sunni dan Syiah.
Jakarta: PT. Raja Grafindi, 2021.
Rais, Isnawati, “Praktek Kawin Mut‟ah Di Indonesia Dalam Tinjauan Hukum Islam
Dan Undang-Undang Perkawinan”, Jurnal Ahkam, Vol. 14, No. 1, 2014.
Sābiq, Sayyid. Fiqh Al-Sunnah, Terj. Muhajidin Muhayan, Fiqih Sunnah . Cet. I;
Jakarta: PT. Pena Pundi Aksara, 2009.
Saebani, Beni Ahmad, Fiqh Munakahat. Cet.I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001.
Wardi, Fitriah Nikah Mut’ah: Nikah yang Boleh Satu Hari Tanpa Wali, Tanpa Saksi.
Selangor: Publishing House, 2015.