Disusun oleh :
Islam merupakan agama peradaban yang membawa Rahmat bagi semesta alam,
bukan agama teroris. Dengan inilah Allah mengutus Rasul-Nya, “dan tiadalah kami
mengutus kamu melainkan bagi Rahmat semesta alam.” (QS. Al-anbiya : 107)
Semoga Allah SWT senantiasa menunjukkan kita jalan yang lurus dan memberikan
kemampuan untuk mengikutinya, semoga Allah SWT juga berkenan menjelaskan kepada
kita bahwa yang salah adalah salah dan memberikan kepada kita untuk menghindarinya.
Melalui makalah ini, penulis akan menyampaikan kembali mengenai nikah beda
agama dan semoga dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun pembacanya. Penulis
sangat berharap semoga Allah SWT menerima amal sederhana ini sebagai amal shaleh disisi-
Nya dan semakin memberatkan timbangan amal kebajikan kelak di akhirat, Amiin.
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar………………………………………………………………………2
Daftar Isi…………………………………………………………………………….3
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………….....4
C. Tujuan ................................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN………………………………..…………………………6
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 15
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan beda agama adalah sesuatu yang amat peka bahkan pada tahun 80-an
dipandang sebagai sesuatu yang sangat merisaukan umat Islam. Peka karena menyangkut
agama sebagai sesuatu yang absolut. Kebenaran agama adalah kebenaran absolut untuk
agama dan kebenarannya manusia bersedia berkorban apa saja miliknya bahkan dengan
senang hati dan bergembira hingga meninggal dunia.
Perkawinan pula merupakan salah satu sunatullah yang berlaku umum pada semua
makhluk tuhan,baik manusia,hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Sunatullah bagi manusia
kehidupan makhluk ini ditegaskan Allah melalui sejumlah firman-Nya,antara lain didalam
ayat 49 surah Al-Dzariyat yang artinya “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-
pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”.
Hal senada diungkapkan dalam surah Yasin ayat 36 “Maha suci tuhan yang telah
menciptakan manusia berpasang-pasangan semuanya,baik dari apa yang ditumbuhkan oleh
bumi dan dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dari mereka maupun dari apa yang tidak
mereka ketahui”.
Manusia yang diberi berbagai kelebihan dari makhluk lainnya sehingga mereka
menjadi subjek yang memiliki hak menentukan pilihannya,dan karenanya pula manusia
diberi tanggung jawab atas segala tindakannya. Bagi manusia perkawinan merupakan
sunatullah yang sangat penting. Demi menjaga martabat kemanusiaannya,maka diberikan
allah ketentuan-ketentuanyang mengatur hubungan antara 2 jenis manusia yang berbeda.
Disinilah nilai sakral dari suatu perkawinan yang menempatkan manusia pada proporsi yang
dikehendaki allah yaitu dalam kerangka pengabdi kepadaNya. Hal tersebut terjadi karena
lembaga perkawinan merupakanbagian yang integral bagi syariat islam. Akad nikah selain
mengikuti kehendak allah merupakan perjanjian atas nama dan dihadapan Allah karenanya
akad nikah ditempatkan sebagai perjanjian istimewa yang disebut “Mitsaqan ghaliza”.
Dengan berlakunya undang-undang perkawinan, setidaknya ada 3 peraturan
perundang-udangan tertulis mengenai perkawinan yang dicabut,Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (Burgerlijk Wetbook), Ordonasi perkawinan Indonesia(Kristen)-Hawelijk
Ordonantie Christen Indonesianers dan peraturan perkawinan campuran,sepajang materinya
telah diatur,berarti masih berlaku. Hal ini menjadi krusial saat membicarakan perkawinan
beda agama,karena secara tegas hal ini tidak diatur dalam UU No.1 Tahun 1974. Persoalan
ini menjadi bahan diskusi karena menurut petunjuk al-qur’an pernikahan dengan wanita
kitabiah dibolehkan. “Didalam ayat 5 surah Al-Maidah, “Dan dihalalkan mengawini wanita-
wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara
wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang diberi kitab sebelum kamu?”
Pada sisi lain, KHI yang diberlakukan dengan intruksi presiden Nomor 1 tahun
1991,melarang seorang muslim melakukan perkawinan beda agama. Larangan untuk pria
muslim diatur didalam pasal 40 Huruf C KHI yang lengkap sebagai berikut: “Dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan
tertentu:
4
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.
c. Seorang wanitaa yang tidak beragam islam
Sementara larangan menikah beda agama bagi wanita muslimah diaturdidalam pasal 44 KHI
yang selengkapnya disebutkan bahwa “Seorang wanita islam dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama islam” secara normatif larangan bagi
wanita muslimah ini tidak menjadi persoalan,karena sejalan dengan ketentuan dalam al-
qur’an yang disepakati kalangan fuqoha.
KHI secara umum mengandung pembaharuan hukum,artinya bahwa ada hal yang
baru yang diatur oleh KHI. Kenyataan ini sering menimbulkan pertanyaan yang salah satunya
menyangkut rasa keadilan. Pada sisi lain cita hukum dianggap baik apabila mengandung
nilai-nilai keadilan,bila tatanan yang akan mengatur tingkah laku anggota-anggotanya
dengan cara yang dapt memuaskan semua orang maka nilai keadilan itu telah tercapai.
Jadi,keadilan merupakan kebahagiaan sosial buka kebahagiaan individu belaka bersifat
timbal balik menyenangkan bagi kita dan orang lain.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perkawinan
6
a. Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan;
b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan
UU RI nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
c. Instruksi Presiden Republik Indonesia nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam.
Secara terpisah berdiri sendiri maupun terutama secara komulatif, ketiga peraturan
perundang-undangan tersebut di atas sesuai dengan judulnya masing-masing, jelas
mengatur hukum materiil maupun hukum administratif di bidang perkawinan. Untuk
lebih jelasnya, sebagai berikut pasal atau ayat yang dimaksudkan:
1.Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita untuk mebentuk
rumah tangga bahagia yang kekal abadi berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
(UU RI No.1 Tahun 1974 Pasal 1)
Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertamanya ialah
Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan memiliki hubungan yang erat sekali
dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja memiliki unsur
lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga memiliki peranan yang penting.
Membentuk keluarga yang bahagia dapat hubungan keturunan, yang pula merupakan
tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang
tua. (UU RI No.1 Tahun 1974, Penejelasan Pasal 1)
Dengan perumusan pada pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan di luar hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan UUD 1945. Yang
dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2 ayat 1 undang-undang ini.
3. Dalam Undang-Undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu; dan
disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(UU RI No.1 Tahun 1974, Penjelasan Umum, Angka 4 huruf b)
7
4. Seorang Wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang
tidak bergama Islam. (Intruksi Presiden RI No.1 Tahun 1991 (KHI), Buku 1, Pasal
44)
8
Ketiga, perkawinan juga merupakan cara untuk melangsungkan kehidupan
umat manusia dimuka bumi, secara legal dan bertanggungjawab, karena tanpa
adanya regenerasi, populasi manusia dibumi ini akan punah.
Islam mengkonkritkan hubungan dan tanggung jawab antara suami istri dalam
bentuk hukum-hukum, misalnya tentang kewajiban dasar suami untuk memenuhi
nafkah keluarga, kewajiban dasar istri untuk memelihara anak. Islam juga mengatur
hak yang seimbang dengan kewajiban, antara lain hak untuk mendapatkan pelayanan
seksual dari pasangannya. Di samping itu, Islam mengajarkan etika yang harus diikuti
oleh masing-masing, serta menetapkan larangan-larangan yang harus di hindarkan
oleh masing-masing suami istri, agar keharmonisan dapat terjaga selamanya.
9
2. Kajian Islam Mengenai Non Muslim
Ada dua kriteria non muslim dalam perkawinan, yang disebutkan dalam Al-
Quran yaitu musyrik dan ahli kitab. Menurut Abdul Karim ada lagi istilah lain
yang diketengahkan ulama yang merupakan pertengahan dari kedua keadaan
yang disebut Al-Quran diatas, yaitu yang disebut dengan “yang menyerupai ahli
kitab”.
Musyrik adalah pihak yang dilarang al-quran untuk dikawini oleh seseorang
muslim sebagaimana disebutkan dalam surah Al-baqarah ayat 221, dan surah Al-
Mumtahanah ayat 10. Menurut Ibnu Munzhir,ayat melarang perkawinan dengan
pihak musyrik (Al-baqarah ayat 221) adalah sebagai jawaban bagi Ibnu Abi
Murtasyid Al ganawi yang bermaksud untuk menikah dengan wanita musyrik.
Walaupun larangan mengawini orang musyrik itu adalah orang musyrik di tanah
arab, karena saat ayat diturunkan tujuannya adalah musyrik tanah Arab, tetapi
juga berlaku umum untuk semua orang selain yang beragama Islam dan ahli
kitab. Ibnu Katsir berpendapat bahwa yang dimaksud musyrik disini adalah
menyembah berhala, dan dikhususkan (dikeluarkan dari pengertian musyrik)
adalah ahli kitab. Al syafi’i menegaskan, dengan kumpulan(semua) musyrik
tanah arab yang menyembah berhala.
10
2.1) Gambaran tentang ahli kitab
11
3. Kawin Beda Agama Dalam Teori Dan Praktek
Pada dasarnya semua agama menolak perkawinan beda agama. Semua agama
menghendaki perkawinan harus seiman(satu agama). Perkawinan beda agama
kalaulah diperkenankan oleh agama tertentu sangat terbatas. Hanya sebagai
pengecualian yang diberikan dengan pengecualian-pengecualian tertentu.
12
b. Perkawinan beda agama dalam praktek.
Tanpa membedakan antara perkawinan beda agama yang memungkinkan
diakui berdasarkan pendapat tertentu di kalangan Islam,maupun yang sama sekali
tidak memungkinkan mendapat pengakuan,terdapat gambaran bahwa perkawinan
beda agama cenderung mengalami peningkatan, baik secara nasional maupun
regional/lokal.
1) Salah Satu Pihak Beralih Agama Mengikuti Agama Suami atau Istri
Dalam hal ini calon istri beralih agama mengikuti agama calon suaminya
atau sebaliknya. Pealihan agama ini dilakukan karena ada agama tertentu yang
melarang penganutnya untuk mengadakan perkawinan dengan penganut agama
lainnya. Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menetapkan, perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
Didalam penjelasannya disebutkan bahwa dengan perumusan ini
dimaksudkan tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu sesuai dengan UUD 1945.
Dalam suatu perkawinan dimana kedua calon suami istri menganut agama
yang berbeda dan masing-masing tetap mempertahankan agamanya selalu
mengalami hambatan baik dari kalangan keluarga,pemimpin agama/ulama
maupun dari Pegawai Pencatat Perkawinan.
2) Salah Satu Pihak Menundukkan Diri Pada Hukum Agama Suami atau Istri
Dalam hal ini kedua calon suami istri masing-masing tetap
mempertahankan agama yang dianutnya,akan tetapi pada saat perkawinan
dilangsungkan salah satu pihak harus menundukan diri pada hukum agama
suami atau istri baru perkawinan dapat dilangsungkan. Dalam hal penundukan
diri ini bisa saja terjadi istri mengikuti hukum agama suami atau sebaliknya.
Dalam suatu perkawinan dimana kedua calon suami istri berbeda agama,
agar perkawinan dapat dilangsungkan maka salah satu pihak harus menundukan
diri pada hukum agama suami atau istri. Jika tidak ada yang mau menundukkan
13
diri pada hukum agama suami atau istri, biasanya perkawinan tidak dapat
dilangsungkan karena Pegawai Pencatat Perkawinan tidak akan mau mencatat
perkawinan mereka kecuali ada perintah dari Pengadilan.
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut
:
1) Sebelum berlakunya UU Perkawinan, maka perkawinan antar agama merupakan
perkawinan campuran, yang diatur dalam GHR. Dalam pelaksanaan perkawinan
campuran dipakai hukum suami (Pasal 6 GHR) kecuali ada persetujuan dari calon suami
istri dapat dipakai hukum istri (Pasal 75 HOCI). Setelah berlakunya UU Perkawinan,
ternyata UU Perkawinan tidak mengatur tentang perkawinan antar agama. Akan tetapi
ini tidak berarti bahwa UU Perkawinan melarang adanya perkawinan antar agama karena
pasal 66 UU Perkawinan memungkinkan peraturan-peraturan perkawinan yang berlaku
sebelumnya, misalnya BW, GHR dan HOCI tetap berlaku kecuali ketentuan-ketentuan
yang sudah diatur dalam UU Perkawinan dinyatakan tidak berlaku.
Dalam UU Perkawinan yang dimaksud dengan perkawinan adalah perkawinan antara
dua orang yang di indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Dengan demikian jelas bahwa UU Perkawinan menganggap bahwa perkawinan antar
agama tidak merupakan perkawinan campuran. Sebaliknya para sarjana (doktrin) dan
yurisprudensi menganggap bahwa perkawinan antar agama merupakan perkawinan
campuran . disamping itu ditegaskan bahwa perbedaan agama bukan merupakan
halangan perkawinan.
2) Dalam pelaksanaan perkawinan antar agama dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai
berikut :
a.Salah satu pihak beralih agama mengikuti agama suami atau istri
b.Salah satu pihak menundukan diri pada hukum agama suami istri pada saat
perkawinan dilangsungkan.
c.Perkawinan hanya dilangsungkan di Kantor Catatan Sipil.
15
Agama/Ulama,Sarjana,Hakim,Pegawai Pencatat Perkawinan dan warga masyarakat
tentang boleh atau tidaknya perkawinan antar agama,oleh karena hal ini tidak diatur
dalam UU Perkawinan.
c. Masih ada perbedaan penafsiran tentang Kantor Catatan Sipil apakah masih
berwenang untuk melangsungkan atau membantu melakukan perkawinan setelah
berlakunya Keputusan Presiden No.12 tahun 1983.
d. Tidak adanya petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis dari intansi-intansi yang
berwenang, misalnya MA, Departemen Kehakiman, Depag dan Departemen Dalam
Negeri tentang bagaimana prosedur pelaksanaan dan pencatat perkawinan antar
agama.
16
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Siddik, Hukum Perkawinan Islam. Tinta Mas Indonesia , Jakarta , 1983
Achmad Azhar Basyir, Kawin Campur, Adopsi , Wasiat Menurut Islam, Alma’arif,
Bandung, 1972.
17