Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

“NIKAH BEDA AGAMA”


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah HPI

Dosen Pengampu : Hj. Fatma Amilia S.Ag., S.Mi

Disusun oleh :

1. Sahal Mustajab (15380054)


2. Vita Dwi Sakundiana (15380056)
3. Ahmad Rifki Doni (15380058)

PROGRAM STUDI MUAMALAT


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015/2016
Kata Pengantar

Alhamdulillahirabbil’alamin wa bihinasta’in wa ‘ala umuriddunya waddin..

Islam merupakan agama peradaban yang membawa Rahmat bagi semesta alam,
bukan agama teroris. Dengan inilah Allah mengutus Rasul-Nya, “dan tiadalah kami
mengutus kamu melainkan bagi Rahmat semesta alam.” (QS. Al-anbiya : 107)

Semoga Allah SWT senantiasa menunjukkan kita jalan yang lurus dan memberikan
kemampuan untuk mengikutinya, semoga Allah SWT juga berkenan menjelaskan kepada
kita bahwa yang salah adalah salah dan memberikan kepada kita untuk menghindarinya.

Melalui makalah ini, penulis akan menyampaikan kembali mengenai nikah beda
agama dan semoga dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun pembacanya. Penulis
sangat berharap semoga Allah SWT menerima amal sederhana ini sebagai amal shaleh disisi-
Nya dan semakin memberatkan timbangan amal kebajikan kelak di akhirat, Amiin.

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar………………………………………………………………………2

Daftar Isi…………………………………………………………………………….3

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………….....4

A. Latar Belakang ...................................................................................................... 4

B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 5

C. Tujuan ................................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN………………………………..…………………………6

A. Pengertian Perkawinan ......................................................................................... 6

B. Pengertian Perkaawinan Campuran ...................................................................... 6

C. Pengertian Perkawinan Antar Agama ................................................................... 6

D. Peraturan perundang-undangan Perkawinan Beda Agama………………………6

E. Kajian Tentang Perkawinan .................................................................................. 7

BAB III PENUTUP……...…………………………………………………………15

A. Kesimpulan ........................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 17

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan beda agama adalah sesuatu yang amat peka bahkan pada tahun 80-an
dipandang sebagai sesuatu yang sangat merisaukan umat Islam. Peka karena menyangkut
agama sebagai sesuatu yang absolut. Kebenaran agama adalah kebenaran absolut untuk
agama dan kebenarannya manusia bersedia berkorban apa saja miliknya bahkan dengan
senang hati dan bergembira hingga meninggal dunia.
Perkawinan pula merupakan salah satu sunatullah yang berlaku umum pada semua
makhluk tuhan,baik manusia,hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Sunatullah bagi manusia
kehidupan makhluk ini ditegaskan Allah melalui sejumlah firman-Nya,antara lain didalam
ayat 49 surah Al-Dzariyat yang artinya “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-
pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”.
Hal senada diungkapkan dalam surah Yasin ayat 36 “Maha suci tuhan yang telah
menciptakan manusia berpasang-pasangan semuanya,baik dari apa yang ditumbuhkan oleh
bumi dan dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dari mereka maupun dari apa yang tidak
mereka ketahui”.
Manusia yang diberi berbagai kelebihan dari makhluk lainnya sehingga mereka
menjadi subjek yang memiliki hak menentukan pilihannya,dan karenanya pula manusia
diberi tanggung jawab atas segala tindakannya. Bagi manusia perkawinan merupakan
sunatullah yang sangat penting. Demi menjaga martabat kemanusiaannya,maka diberikan
allah ketentuan-ketentuanyang mengatur hubungan antara 2 jenis manusia yang berbeda.
Disinilah nilai sakral dari suatu perkawinan yang menempatkan manusia pada proporsi yang
dikehendaki allah yaitu dalam kerangka pengabdi kepadaNya. Hal tersebut terjadi karena
lembaga perkawinan merupakanbagian yang integral bagi syariat islam. Akad nikah selain
mengikuti kehendak allah merupakan perjanjian atas nama dan dihadapan Allah karenanya
akad nikah ditempatkan sebagai perjanjian istimewa yang disebut “Mitsaqan ghaliza”.
Dengan berlakunya undang-undang perkawinan, setidaknya ada 3 peraturan
perundang-udangan tertulis mengenai perkawinan yang dicabut,Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (Burgerlijk Wetbook), Ordonasi perkawinan Indonesia(Kristen)-Hawelijk
Ordonantie Christen Indonesianers dan peraturan perkawinan campuran,sepajang materinya
telah diatur,berarti masih berlaku. Hal ini menjadi krusial saat membicarakan perkawinan
beda agama,karena secara tegas hal ini tidak diatur dalam UU No.1 Tahun 1974. Persoalan
ini menjadi bahan diskusi karena menurut petunjuk al-qur’an pernikahan dengan wanita
kitabiah dibolehkan. “Didalam ayat 5 surah Al-Maidah, “Dan dihalalkan mengawini wanita-
wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara
wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang diberi kitab sebelum kamu?”
Pada sisi lain, KHI yang diberlakukan dengan intruksi presiden Nomor 1 tahun
1991,melarang seorang muslim melakukan perkawinan beda agama. Larangan untuk pria
muslim diatur didalam pasal 40 Huruf C KHI yang lengkap sebagai berikut: “Dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan
tertentu:

4
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.
c. Seorang wanitaa yang tidak beragam islam
Sementara larangan menikah beda agama bagi wanita muslimah diaturdidalam pasal 44 KHI
yang selengkapnya disebutkan bahwa “Seorang wanita islam dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama islam” secara normatif larangan bagi
wanita muslimah ini tidak menjadi persoalan,karena sejalan dengan ketentuan dalam al-
qur’an yang disepakati kalangan fuqoha.
KHI secara umum mengandung pembaharuan hukum,artinya bahwa ada hal yang
baru yang diatur oleh KHI. Kenyataan ini sering menimbulkan pertanyaan yang salah satunya
menyangkut rasa keadilan. Pada sisi lain cita hukum dianggap baik apabila mengandung
nilai-nilai keadilan,bila tatanan yang akan mengatur tingkah laku anggota-anggotanya
dengan cara yang dapt memuaskan semua orang maka nilai keadilan itu telah tercapai.
Jadi,keadilan merupakan kebahagiaan sosial buka kebahagiaan individu belaka bersifat
timbal balik menyenangkan bagi kita dan orang lain.

B. Rumusan Masalah

a) Apa pengertian perkawinan,perkawinan campuran dan perkawinan antar agama?


b) Bagaimana filosofi perkawinan dalam Islam?
c) Bagaimana pandangan tiap-tiap agama mengenai nikah beda agama?
d) Bagaimana tata cara pelaksanaan nikah beda agama?

C. Tujuan

a) Dapat mengetahui pengertian dari perkawinan,perkawinan campuran dan


perkawinan antar agama.
b) Dapat mengetahui filosofi perkawinan dalam Islam.
c) Dapat mengetahui pandangan dari tiap-tiap agama mengenai nikah beda agama.
d) Dapat mengetahui tata cara pelaksanaan nikah beda agama.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Perkawinan

1. Sayuti thalib,SH (1974:47) menyatakan :


Perkawinan ialah perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan.
2. Agama katholik, menurut kanon 1055 yang dikutip oleh P.Marto Sudjito (1985:7)
menetapkan bahwa menurut gereja:
Perkawinan adalah perjanjian suci antara pria dan wanita untuk membentuk antar
mereka kebersamaan seluruh hidup dari sifat kodratinya terarah pada kesejahteraan
suami istri serta pada kelahiran dan pendidikan anak. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa unsur-unsur dari suatu perkawinan adalah sebagai berikut:
1) Adanya suatu hubungan hukum.
2) Antara seorang pria dan seorang wanita.
3) Untuk membentuk keluarga (Rumah tangga).
4) Untuk waktu yang lama /kekal.
5) Dilakukan menurut ketentuan UU, Hukum Agama dan Kepercayaan.

B. Pengertian Perkawinan Campuran

1) Menurut UU Perkawinan yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam


Undang-Undang ini adalah perkawinan antara 2 orang yang ada di Indonesia tunduk
pada hukum yang berlainan karena perbedaan warganegaraan dan salah satu pihak
kewarganegaraan indonesia (pasal 57)
2) Menurut Para Sarjana
Dr. Sunarji Hartono,SH (1971:147) mengemukakan : Perkawinan campuran adalah
perkawinan antara suami istri yang masing-masing tunduk pada sistem hukum yang
berbeda, baik oleh karena perbedaan kewarganegaraannya, atau golongan
penduduknya atau domisilinya atau agamanya.

C. Pengertian Perkawinan Antar Agama


Abdurrahman, SH (1978:20), menyatakan bahwa : Perkawinan antar agama yaitu
perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang memeluk agama dan kepercayaan
yang berbeda satu dengan yang lainnya.

D. Peraturan perundang-undangan Perkawinan Beda Agama

Secara langsung mengatur hukum perkwinan di negara hukum Indonesia terutama


sejak tahun 1974 dan 1975 sampai sekarang ialah sebagai berikut:

6
a. Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan;
b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan
UU RI nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
c. Instruksi Presiden Republik Indonesia nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam.

Secara terpisah berdiri sendiri maupun terutama secara komulatif, ketiga peraturan
perundang-undangan tersebut di atas sesuai dengan judulnya masing-masing, jelas
mengatur hukum materiil maupun hukum administratif di bidang perkawinan. Untuk
lebih jelasnya, sebagai berikut pasal atau ayat yang dimaksudkan:

1.Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita untuk mebentuk
rumah tangga bahagia yang kekal abadi berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
(UU RI No.1 Tahun 1974 Pasal 1)

Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertamanya ialah
Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan memiliki hubungan yang erat sekali
dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja memiliki unsur
lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga memiliki peranan yang penting.
Membentuk keluarga yang bahagia dapat hubungan keturunan, yang pula merupakan
tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang
tua. (UU RI No.1 Tahun 1974, Penejelasan Pasal 1)

2. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya


dan kepercayaanya itu. (UU RI No.1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat 1 berikut
penjelasanya)

Dengan perumusan pada pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan di luar hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan UUD 1945. Yang
dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2 ayat 1 undang-undang ini.

3. Dalam Undang-Undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu; dan
disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(UU RI No.1 Tahun 1974, Penjelasan Umum, Angka 4 huruf b)

7
4. Seorang Wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang
tidak bergama Islam. (Intruksi Presiden RI No.1 Tahun 1991 (KHI), Buku 1, Pasal
44)

E. Kajian Tentang Perkawinan

Untuk mempertajam pembahasan mengenai perkawinan, khususnya yang terkait


dengan perkawinan beda agama, maka pokok bahasan diatas dibagi menjadi beberapa sub
bahasan berikut :

1. Filosofis Perkawinan dalam Islam

Pembahasan ini dimaksudkan untuk melihat secara lebih mendalam mengenai


apa yang seharusnya dicapai dari sebuah perkawinan dalam ajaran Islam. Ikatan
perkawinan ditandai dengan sebuah akad (perjanjian) yang kuat. Akad nikah adalah
perjanjian yang melibatkan Allah, jadi bukan perjanjian biasa. Firman Allah dalam
surat Al Nisa ayat 21:

“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah


bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istrimu)
telah menggambil dari kami perjanjian yang kuat”.

Dalam Islam perkawinan dimaksudkan untuk melaksanakan ajaran Islam


dalam memenuhi kebutuhan seksual seseorang secara halal serta untuk
melangsungkan keturunannya yang diselenggarakan dalam suasana saling mencintai
(mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) antara suami istri.

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu


istri-istrimu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.(al
Rumayat 21)

Kalau dibutiri apa yang digariskan Allah melalui firman-firman-Nya diatas,


maka filosofis perkawinan dalam Islam itu dapat dirumuskan sebagai berikut:

Pertama, Islam memandang perkawinan sebagai sesuatu yang sacral, karena


bermula dari perjanjian khusus yang melibatkan Allah, karenanya segala sesuatu yang
berkenaan dengannya diatur secara khusus dan lengkap.

Kedua, perkawinan merupakan cara penghalalan terhadap hubungan antara


kedua lawan jenis yang semula diharamkan, seperti memegang, memeluk, mencium
dan hubungan intim.

8
Ketiga, perkawinan juga merupakan cara untuk melangsungkan kehidupan
umat manusia dimuka bumi, secara legal dan bertanggungjawab, karena tanpa
adanya regenerasi, populasi manusia dibumi ini akan punah.

Keempat, perkawinan memiliki dimensi psikologis yang sangat dalam, karena


dengan perkawinan ini dua insan, suami dan istri yang semula merupakan orang lain
dan asing, kemudian menjadi bersatu. Mereka saling memiliki, saling menjaga, saling
membutuhkan, dan tentu saja saling mencintai dan saling menyayangi. Sehingga
terwujud keluarga yang harmonis(sakinah).

Kelima, perkawinan memiliki dimensi sosiologis, yakni dengan perkawinan


seseorang memiliki status baru yang dianggap sebagai anggota masyarakat secara
utuh. Disisi lain, mengakibatkan lahirnya anak-anak, yang secara naluriah
memerlukan pemeliharaan dan perlindungan yang sah, yakni kedua orang tuanya.
Orang tua (ayah dan ibu) anak inilah yang bertanggung jawab atas perkembangan
fisik dan psikis anak-anak, terutama pada saat mereka sebelum menginjak usia
dewasa, agar dikemudian hari mereka menjadi generasi penerus umat manusia yang
berkemampuan untuk membangun planet bumi ini.

Firman Allah dalam Surat al-Nisa ayat 9:

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya


meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir
terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh karena itu hendaklah mereka bertaqwa kepada
Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.

Dengan demikian, dalam islam perkawinan bukan saja persoalan biologis


belaka, dan bukan pula persoalan dan hubungan pribadi sepasang suami
istri,melainkan juga persoalan psikologis dan sosiologis, bahkan merupakan
persoalan teologis. Melihat perkawinan dari aspek seksual dan aspek hubungan
biologis semata, berarti sama dengan apa yang terjadi di lingkungan hewan.

Islam mengkonkritkan hubungan dan tanggung jawab antara suami istri dalam
bentuk hukum-hukum, misalnya tentang kewajiban dasar suami untuk memenuhi
nafkah keluarga, kewajiban dasar istri untuk memelihara anak. Islam juga mengatur
hak yang seimbang dengan kewajiban, antara lain hak untuk mendapatkan pelayanan
seksual dari pasangannya. Di samping itu, Islam mengajarkan etika yang harus diikuti
oleh masing-masing, serta menetapkan larangan-larangan yang harus di hindarkan
oleh masing-masing suami istri, agar keharmonisan dapat terjaga selamanya.

9
2. Kajian Islam Mengenai Non Muslim

Dalam beberapa pembahasan istilah non muslim biasanya diungkapkan


dengan menggunakan istilah “kafir”, jamaknya kafirun atau kuffar. Secara
terminologis pengertian kafir adalah orang-orang yang ingkar terhadap kebenaran
Islam dan keluar dari agama Islam. Antara kalangan Ahli Tafsir dengan kalangan Ahli
Fiqih berbeda pendapat dalam merumuskan pengertian kafir. Kalangan Ahli ilmu
kalam sendiri saja tidak sepakat dalam memberi batasan kafir. Adapun pembahasan
Perkawinan dengan non muslim. Pembahasan ini akan dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu:

a. Non muslim dalam perkawinan.


b. Beberapa pendapat mengenai ahli kitab, dan
c. Kondisi kemasyarakatan kaum muslimin yang patut dipertimbangkan.

1.1) Non muslim dalam perkawinan

Ada dua kriteria non muslim dalam perkawinan, yang disebutkan dalam Al-
Quran yaitu musyrik dan ahli kitab. Menurut Abdul Karim ada lagi istilah lain
yang diketengahkan ulama yang merupakan pertengahan dari kedua keadaan
yang disebut Al-Quran diatas, yaitu yang disebut dengan “yang menyerupai ahli
kitab”.

Musyrik adalah pihak yang dilarang al-quran untuk dikawini oleh seseorang
muslim sebagaimana disebutkan dalam surah Al-baqarah ayat 221, dan surah Al-
Mumtahanah ayat 10. Menurut Ibnu Munzhir,ayat melarang perkawinan dengan
pihak musyrik (Al-baqarah ayat 221) adalah sebagai jawaban bagi Ibnu Abi
Murtasyid Al ganawi yang bermaksud untuk menikah dengan wanita musyrik.
Walaupun larangan mengawini orang musyrik itu adalah orang musyrik di tanah
arab, karena saat ayat diturunkan tujuannya adalah musyrik tanah Arab, tetapi
juga berlaku umum untuk semua orang selain yang beragama Islam dan ahli
kitab. Ibnu Katsir berpendapat bahwa yang dimaksud musyrik disini adalah
menyembah berhala, dan dikhususkan (dikeluarkan dari pengertian musyrik)
adalah ahli kitab. Al syafi’i menegaskan, dengan kumpulan(semua) musyrik
tanah arab yang menyembah berhala.

10
2.1) Gambaran tentang ahli kitab

Imam syafi’I menolak pendapat yang menyatakan bahwa hubungan antara


surah Al-baqarah ayat 221 dengan surat Al-Maidah ayat 5 adalah nasikh
mansukh, beliau menyatakan bahwa kedua ayat itu tetap berlaku keduanya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa ahli kitab yang boleh dinikahi itu adalah
perempuan yahudi dan nasrani, hal ini bahkan sebagai kesepakatan para imam
mazhab. Yusuf qardhawi berpendapat ahlu alkitab itu yahudi dan nasrani, sama
saja antara yang berbeda dalam kekuasaan penguasa muslim, atau tidak. Ahli
kitab dari sekte manapun menurut syafi’I dapat dibenarkan, sepanjang mereka
tidak menyalahi pokok agama mereka, Ibnu katsir menambahkan dengan turunan
bani israil. Namun pendapat Syafi’iyah yang mu’tamad mensyaratkan ahli kitab
yang boleh dinikahi memenuhi kriteria “minqablikum”,artinya wanita tersebut
berasal dari keluarga nasrani atau yahudi yang menganut salah satu dari kedua
agama tersebut sebelum nabi Muhammad diutus atau diangkat menjadi rasul.

Di Indonesia secara formal hanya ada penganut Nasrani (Katholik dan


Kristen), penganut yahudi secara formal belum dikenal di Indonesia. Walau
demikian banyaknya orang Indonesia yang berkiprah di luar negeri lebih
memungkinkan terjadinya persentuhan bahkan perkawinan antara seorang
muslim Indonesia dengan penganut agama yahudi. Secara harfiah yahudi dan
nasrani dipandang sebagai ahli kitab, tetapi dalam perkembangan berikutnya
setelah kehadiran Islam, namun mereka tetap dalam keyakinan semula. Atau
bahkan memasuki agama yahudi dan nasrani setelah tersebarnya Islam, oleh Ibnu
Umar tidak lahi dipandang sebagai ahli kitab yang boleh dinikahi lelaki
muslim,melainkan sebagai orang musyrik yang dilarang menikah dengannya.

3.1) Kondisi kemasyarakatan yang harus dipertimbangkan

Kondisi masyarakat menjaadi penting untuk dipertimbangkan karena


perkawinan dalam islam bukan sekedar hubungan suami dengan istri,tetapi juga
berdampak bagi masa depan dan pendidikan anak-anaknya,bahkan juga
melibatkan dan mempengaruhi masyarakat disekitarnya.

Kondisi kemasyarakatan terus berkembang,karena itu hukum yang


penetapannya terkait dengan perkembangan kehidupan masyarakat harus
dinamis,sehingga tujuan hukum dapat tercapai. Perubahan hukum karena
perubahan masyarakat,bukan dimaksudkan agar hukum mengikuti apa yang
terjadi,tetapi agar hukum dapat mengatur dan membatasi masyarakat. agar
masyarakat tidak keluar dari koridor yang diajarkan Allah,agar hukum dapat
melindungi masyarakat dari kerusakan.

11
3. Kawin Beda Agama Dalam Teori Dan Praktek

Sebagaimana dikemukakan dalam pendahuluan tulisan ini bahwa kenyataan


menunjukan telah terjadi perkawinan beda agama jauh sebelum adanya larangan yang
tegas dari Kompilasi Hukum Islam. Bahkan ketika pasangan beda agama mengalami
kendala pencatatan di tanah air, ada kecenderungan mereka melakukan
perkawinannya di luar negri. Tulisan ini bukan menyajikan hasil penelitian lapangan,
namun untuk menggambarkan adanya konteks antara tulisan dengan realitas
kemasyarakatan,maka beberapa kasus yang telah terungkap melalui berbagai media
dicoba diketengahkan. Pembahsan ini dibagi dalam beberapa sub bahasan sebagai
berikut :

a. Teori yang berkenaan dengan kawin beda agama

Pada dasarnya semua agama menolak perkawinan beda agama. Semua agama
menghendaki perkawinan harus seiman(satu agama). Perkawinan beda agama
kalaulah diperkenankan oleh agama tertentu sangat terbatas. Hanya sebagai
pengecualian yang diberikan dengan pengecualian-pengecualian tertentu.

Berikut adalah teori dari beberapa agama:

 Hukum Islam mengatur secara eksplisit ketentuan tentang perkawinan beda


agama, namun dikalangan ulama terdapat perbedaan pendapat disebabkan
perbedaan persepsi terutama pada ayat 5 surah al maidah
 Hukum Katolik tidak membolehkan perkawinan beda agama. Ia hanya
diizinkan apabila diizinkaan oleh gereja dengan syarat-syarat tertentu.
 Gereja Kristen/Protestan membolehkan perkawinan beda agama,dengan
menyerahkan problemnya pada umat atau pada hukum nasional masing-
masing.
 Hukum Hindu melarang atau tidak memberi jalan keluar kecuali dengan
masuk agama Hindu
 Hukum Budha tidak mengatur perkawinan beda agama. Penganut agama
budha menaati hukum yang hidup di masyarakat (hukum adat,hukum
negara).

12
b. Perkawinan beda agama dalam praktek.
Tanpa membedakan antara perkawinan beda agama yang memungkinkan
diakui berdasarkan pendapat tertentu di kalangan Islam,maupun yang sama sekali
tidak memungkinkan mendapat pengakuan,terdapat gambaran bahwa perkawinan
beda agama cenderung mengalami peningkatan, baik secara nasional maupun
regional/lokal.

c. Akibat hukum yang timbul dari kawin beda agama


Perkawinan beda agama berpotensi melahirkan persoalan hukum berikut:
 Soal keabsahan perkawinan yang akan menimbulkan hak dan kewajiban
antara suami isteri.
 Hak kewarisan antara suami isteri dan anak-anaknya.
 Masalah Pengadilan tempat menyelesaikan sengketa rumah tangga.

d. Macam-Macam Cara Pelaksanaan Perkawinan Antar Agama

1) Salah Satu Pihak Beralih Agama Mengikuti Agama Suami atau Istri
Dalam hal ini calon istri beralih agama mengikuti agama calon suaminya
atau sebaliknya. Pealihan agama ini dilakukan karena ada agama tertentu yang
melarang penganutnya untuk mengadakan perkawinan dengan penganut agama
lainnya. Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menetapkan, perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
Didalam penjelasannya disebutkan bahwa dengan perumusan ini
dimaksudkan tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu sesuai dengan UUD 1945.
Dalam suatu perkawinan dimana kedua calon suami istri menganut agama
yang berbeda dan masing-masing tetap mempertahankan agamanya selalu
mengalami hambatan baik dari kalangan keluarga,pemimpin agama/ulama
maupun dari Pegawai Pencatat Perkawinan.

2) Salah Satu Pihak Menundukkan Diri Pada Hukum Agama Suami atau Istri
Dalam hal ini kedua calon suami istri masing-masing tetap
mempertahankan agama yang dianutnya,akan tetapi pada saat perkawinan
dilangsungkan salah satu pihak harus menundukan diri pada hukum agama
suami atau istri baru perkawinan dapat dilangsungkan. Dalam hal penundukan
diri ini bisa saja terjadi istri mengikuti hukum agama suami atau sebaliknya.
Dalam suatu perkawinan dimana kedua calon suami istri berbeda agama,
agar perkawinan dapat dilangsungkan maka salah satu pihak harus menundukan
diri pada hukum agama suami atau istri. Jika tidak ada yang mau menundukkan

13
diri pada hukum agama suami atau istri, biasanya perkawinan tidak dapat
dilangsungkan karena Pegawai Pencatat Perkawinan tidak akan mau mencatat
perkawinan mereka kecuali ada perintah dari Pengadilan.

3) Perkawinan Hanya Dilangsungkan Di Kantor Catatan Sipil


Perkawinan hanya dilakukan di Kantor Catatan Sipil artinya kedua calon
suami istri tetap mempertahankan agama yang dianutnya sehingga hanya
dilakukan perkawinan sipil. Jadi perkawinan tidak dilakukan menurut hukum
agama dan kepercayaan yang dianut oleh suami atau istri. Atau mungkin lebih
tepat kalau dikatakan bahwa Kantor Catatan Sipil hanya berfungsi sebagai suatu
instansi yang hanya meresmikan perkawinan kedua calon suami istri.

4) Faktor-faktor penghambat dalam pelaksanaan perkawinan antar agama,yaitu

a. Adanya larangan dari agama-agama tertentu terhadap penganutnya untuk


mengadakan perkawinan dengan penganut agama lain.
b. Adanya perbedaan penafsiran dari para Pemimpin
Agama/Ulama,Sarjana,Hakim,Pegawai Pencatat Perkawinan dan warga
masyarakat tentang boleh atau tidaknya perkawinan antar agama,oleh karena
hal ini tidak diatur dalam UU Perkawinan.
c. Masih ada perbedaan penafsiran tentang Kantor Catatan Sipil apakah masih
berwenang untuk melangsungkan atau membantu melakukan perkawinan
setelah berlakunya Keputusan Presiden No.12 tahun 1983.
d. Tidak adanya petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis dari intansi-intansi
yang berwenang, misalnya MA, Departemen Kehakiman, Depag dan
Departemen Dalam Negeri tentang bagaimana prosedur pelaksanaan dan
pencatat perkawinan antar agama.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut
:
1) Sebelum berlakunya UU Perkawinan, maka perkawinan antar agama merupakan
perkawinan campuran, yang diatur dalam GHR. Dalam pelaksanaan perkawinan
campuran dipakai hukum suami (Pasal 6 GHR) kecuali ada persetujuan dari calon suami
istri dapat dipakai hukum istri (Pasal 75 HOCI). Setelah berlakunya UU Perkawinan,
ternyata UU Perkawinan tidak mengatur tentang perkawinan antar agama. Akan tetapi
ini tidak berarti bahwa UU Perkawinan melarang adanya perkawinan antar agama karena
pasal 66 UU Perkawinan memungkinkan peraturan-peraturan perkawinan yang berlaku
sebelumnya, misalnya BW, GHR dan HOCI tetap berlaku kecuali ketentuan-ketentuan
yang sudah diatur dalam UU Perkawinan dinyatakan tidak berlaku.
Dalam UU Perkawinan yang dimaksud dengan perkawinan adalah perkawinan antara
dua orang yang di indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Dengan demikian jelas bahwa UU Perkawinan menganggap bahwa perkawinan antar
agama tidak merupakan perkawinan campuran. Sebaliknya para sarjana (doktrin) dan
yurisprudensi menganggap bahwa perkawinan antar agama merupakan perkawinan
campuran . disamping itu ditegaskan bahwa perbedaan agama bukan merupakan
halangan perkawinan.

2) Dalam pelaksanaan perkawinan antar agama dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai
berikut :
a.Salah satu pihak beralih agama mengikuti agama suami atau istri
b.Salah satu pihak menundukan diri pada hukum agama suami istri pada saat
perkawinan dilangsungkan.
c.Perkawinan hanya dilangsungkan di Kantor Catatan Sipil.

3) Faktor-faktor penghambat dalam pelaksanaan perkawinan antar agama,yaitu

a. Adanya larangan dari agama-agama tertentu terhadap penganutnya untuk


mengadakan perkawinan dengan penganut agama lain.
b. Adanya perbedaan penafsiran dari para Pemimpin

15
Agama/Ulama,Sarjana,Hakim,Pegawai Pencatat Perkawinan dan warga masyarakat
tentang boleh atau tidaknya perkawinan antar agama,oleh karena hal ini tidak diatur
dalam UU Perkawinan.
c. Masih ada perbedaan penafsiran tentang Kantor Catatan Sipil apakah masih
berwenang untuk melangsungkan atau membantu melakukan perkawinan setelah
berlakunya Keputusan Presiden No.12 tahun 1983.
d. Tidak adanya petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis dari intansi-intansi yang
berwenang, misalnya MA, Departemen Kehakiman, Depag dan Departemen Dalam
Negeri tentang bagaimana prosedur pelaksanaan dan pencatat perkawinan antar
agama.

16
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Siddik, Hukum Perkawinan Islam. Tinta Mas Indonesia , Jakarta , 1983

Abdurrahman, Himpunan Peraturan Peundang-Undangan Tentang Perkawinan Di


Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 1986.

Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Masalah-masalah Perkawinan Di Indonesia, Alumni,


Bandung, 1978.

Achmad Azhar Basyir, Kawin Campur, Adopsi , Wasiat Menurut Islam, Alma’arif,
Bandung, 1972.

17

Anda mungkin juga menyukai