Anda di halaman 1dari 11

Makalah

“Kaidah-Kaidah Fikih Khusus (al-qawa’id al-khashshah) dalam bidang hukum keluarga


(al-Ahwal al-Syakhshiyah)”

Disusun untuk memenuhi tugas terstruktur

Mata kuliah : Qowa’id Fiqhiyah

Dosen pengampu : Drs. H. Maksun, M.Ag.

Disusun oleh :

1. Inez Candra Fadhilah (1902056045)


2. Restu Faruqi Pasha (1902056072)
3. Icha Shafrina (1902056073)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................................................2

BAB I......................................................................................................................................................3

PENDAHULUAN......................................................................................................................................3

A. Latar Belakang............................................................................................................................3

B. Rumusan Masalah......................................................................................................................3

C. Tujuan Penulisan........................................................................................................................3

BAB II.....................................................................................................................................................5

PEMBAHASAN........................................................................................................................................5

BAB III..................................................................................................................................................10

PENUTUP..............................................................................................................................................10

A. Kesimpulan...............................................................................................................................10

B. Saran.........................................................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................11

2
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberadaan qawa’id fiqhiyyah yakni untuk menyediakan panduan yang lebih praktis
yang diturunkan dari teks dan jiwa nash asalnya yaitu al-Qur’an dan al-Hadis yang
digeneralisasi dengan sangat teliti oleh para ulama terdahulu dengan memperhatikan
berbagai kasus fiqh yang pernah terjadi, sehingga hasilnya kini mudah diterapkan kepada
masyarakat luas. Menurut Musthafa al-Zarqa, Qowaidul Fiqhiyyah ialah dasar-dasar fiqh
yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang berisi hukum-
hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk dalam
ruang lingkup kaidah tersebut.
Kaidah fikih yang ruang lingkup dan cakupannya lebih sempit dan isi kandungannya
lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini hanya berlaku dalam cabang-cabang fiqih
tertentu dan disebut al-qawaid al fiqhiyyah al-khashshah atau juga disebut al-dhawabith
oleh sebagian ulama.Kaidah yang khusus di bidang hukum keluarga penting karena
perhatian sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadis kepada masalah-masalah
keluarga sangat besar.
Hal ini terbukti jumlah ayat yang berhubungan dengan hukum keluarga menempati
nomor dua setelah ibadah mahdhah. Artinya, Al-Qur’an dan Al-Hadis setelah memberi
tuntunan yang cukup untuk pembinaan pribadi muslim dengan ajaran ibadah mahdhah,
kemudian beralih kepada pembinaan kehidupan keluarga muslim yang menjadi unsur
terkecil dalam pembinaan masyarakat dan komunitas muslim.1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kaidah khusus (al-qawa’id al-khashshah) dalam bidang hukum
keluarga (al-ahwal al-syakhshiyah)?
2. Apa saja macam-macam kaidah khusus (al-qawa’id al-khashshah) dalam bidang
hukum keluarga (al-ahwal al-syakhshiyah)?
3. Apa saja contoh-contoh kasus kaidah khusus (al-qawa’id al-khashshah) dalam
bidang hukum keluarga (al-ahwal al-syakhshiyah)?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari kaidah khusus (al-qawa’id al-khashshah) dalam
bidang hukum keluarga (al-ahwal al-syakhshiyah).
2. Untuk mengetahui macam-macam kaidah khusus (al-qawa’id al-khashshah)
dalam bidang hukum keluarga (al-ahwal al-syakhshiyah).
1
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. (Jakarta: Amzah, 2005) hlm. 13.

3
3. Untuk mengetahui contoh kasus kaidah khusus (al-qawa’id al-khashshah) dalam
bidang hukum keluarga (al-ahwal al-syakhshiyah).

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaidah Khusus (al-Qawaid al-Khashshah) dalam bidang Hukum


Kelurga (al- ahwal al-syakhshiyah)
Menurut para ulama arti dari Qawaid Khashshah adalah kaidah fiqih yang ruang lingkup
nya lebih kecil dan isi kandungannya lebih sedikit atau dalam satu bab fiqih tertentu. Al-
Dhawabith diambil dari kata dasar Al-Dhabith yang artinya menurut etimologi yaitu
memelihara, kekuatan, mengikat, dan penguatan. Dan secara terminologi dhabawith
fiqhiyyah artinya yaitu Qadhiyyah kullyyah atau ashl kullyah (dasar universal) atau
mabda kully (prinsip universal) yang menghimpun furu’ dari satu tema.
Dengan demikian, dhawabith fiqhiyyah adalah juz’iyyah fiqhiyyah yang terdapat dalam
satu bab fiqih atau prinsip fiqih yang universal, yang bagian – bagiannya terdapat dalam
satu bab fiqih.2 Kajian tersendiri terhadap masalah Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah baru
dimulai sekitar paruh kedua abad ke-19. Sebelumnya, hukum perseorangan dan
kekeluargaan ini tersebar dalam berbagai bab fikih.
Orang pertama yang memisahkannya dalam satu kajian tersendiri adalah Muhammad
Qudri Pasya, ahli hukum Islam di Mesir. Dialah orang pertama yang mengkodifikasikan
Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah dalam suatu buku yang berjudul Al-Ahwal Asy-Syar'iyyah fi
Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah (Hukum Syariat/Agama dalam Hal Keluarga).
Kodifikasi hukum keluarga tersebut meliputi pembahasan tentang hukum perkawinan,
perceraian, wasiat, ahliyyah (cakap tidaknya seseorang melakukan tindakan hukum),
harta warisan, dan hibah.Di Indonesia, persoalan Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah telah diatur
dalam Inpres No.1/1991 dan Kep. Menag No.154/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

2
Dr.H.Fathurrahman Azhari, QAWAID FIQHIYYAH MUAMALAH, (Banjarmasin: Lembaga Permberdayaan Kualitas
Ummat (LPKU), 2015), Hal. 19

5
B. Macam-Macam dan Contoh Kaidah Khusus (Al Qawa’id Al Khashshah) dalam
bidang hukum keluarga (Al-ahwal Al-syakhshiyah)
Adapun kaidah-kaidah yang khusus dibidang al-ahwal al-syakhshiyah adalah:
1. ‫اع التّحْ ري ُم‬
ِ ‫ض‬َ ‫األَصْ ُل في اإلَ ْب‬
“Hukum asal pada masalah seks adalah haram”
Maksud kaidah ini adalah dalam hubungan seks, pada asalnya haram sampai datang
sebab-sebab yang jelas dan tanpa meragukan lagi yang menghalalkannya, yaitu dengan
adanya akad pernikahan.
Contoh dari kaidah ini adalah apabila seorang laki-laki diberi tahu bahwa dia sepersusuan
dengan keluarga A, maka dia tidak boleh nikah dengan yang sepersusuan dari keluarga
A, kecuali terdapat bukti yang meyakinkan bahwa dia tidak sepersusuan dengan keluarga
A lagi.
2. ِ ‫ق لل ّزوْ َج ِة َعلَى زَ وْ ِجهَا إالّ فِي ُح ُدوْ ِد أَ َوا ِم‬
‫ر‬U ِ ‫ق لل َّزوْ َج َعلَى َزو َجتِ ِه إالّ فِي حُدوْ ِد يَ ْم ِسى لل ّز َو‬
ّ ‫اج َوالَ َح‬ َّ ‫الَ َح‬

ِ ‫ال ّش‬
ِ ‫رع فِ ْي َما يَ ْم ِسى ال ّز َو‬
‫اج‬
“Tidak ada hak bagi suami terhadap istrinya kecuali dalam batas-batas pernikahan dan
tidak ada hak bagi istri terhadap suaminya kecuali dalam batas-batas perintah syariah
yang berhubungan dengan pernikahan”
Kaidah di atas menggambarkan kedudukan yang seimbang antara suami dan istri yang
sama sebagai subjek hukum yang penuh.
Contoh dari kaidah ini adalah apabila suami memberikan sesuatu sebagai hibah kepada
istrinya atau istri memberikan sesuatu kepada suaminya, maka seorangpun tidak bisa
mencampurinya. Masing-masing pihak, suami atau istri tidak boleh menarik kembali
hibahnya setelah penyerahan atau ijab kabul terjadi.
3. ‫ت َعلَي ِه األُ ْخ َرى فَالَ يَجُو ُز ال َج ْم ُع بَ ْينَهُ َما‬ ْ ‫ُك ّل ا ْم َرأتَ ْي ِن لَوْ قُ ِّد َر‬
ْ ‫ت إحْ دَا هُ َما َذ َكرًا َو ُح ِّر َم‬
“Setiap dua orang wanita pabila salah satunya ditakdirkan (dianggap) sebagai laki-laki
dan diharamkan untuk nikah diantara keduanya, maka kedua wanita haram untuk
dimadu”
Contoh dari kaidah ini adalah haram memadu seorang wanita dengan bibinya, karena
apabila bibi itu kita anggap laki-laki, maka haram dia menikahi keponakannya. Demikian
pula memadu seorang wanita dengan anak perempuan saudara wanita tersebut. Haram

6
pula memadu seorang wanita dengan perempuan dari anaknya. Haram memadu seorang
perempuan dengan saudaranya, karena apabila salah seorangnya dianggap laki-laki, dia
haramkan nikah dengan saudarannya.
4. ‫النِّ َكا ُح الَ يُ ْف ِس ُد بِفَ َسا ِد‬
‫َاق‬
ِ ‫الصد‬
“Akad nikah tidak rusak dengan rusaknya mahar”

Contohnya, apabila seseorang mewakilkan dalam akad nikah dengan menyebut maharnya
kemudian si wakil menambah mahar tadi, misalnya dari 10 gram emas menjadi 15 gram
emas, maka nikahnya tetap sah dan kepada wanita tadi diberikan mahar mitsli.

(‫أنكح‬
َ ‫ت)ولو‬ ْ ْ‫ه) أو‬U‫ص عن‬
ِ ‫أطلق‬ َ َ‫َت لهُ ق ْدرًا فنق‬ْ ‫صغ ْي َرةً) أوْ َمجْ نوْ نة (أوْ َر ِش ْي َدةً بِكرًا بِاَل ْإذ ٍن بدوْ ن مه ٍْر ِمث ٍل أو عيّن‬
َ ( ‫الول ّي‬
‫(بمهر مث ٍل) لفساد ااْل مس ّمى‬
ِ ‫مث ٍل (صحّ) النّكا ُح على ااْل َص ِّح‬ْ ‫مهر‬ٍ ‫فنقص عن‬ َ ‫لمهر‬
ٍ ْ‫ااْل ِ ذن ول ْم تتعرّض‬

Apabila seorang wali menikahkan anak perwaliannya dengan mahar dibawah mahar
mitsil, atau anak perwaliannya menentukan besar jumlah mahar tetapi saat ia dinikahkan,
tidak sesuai dengan jumlah mahar yang telah ditentukan atau dibawah mahar mitsil, atau
anak perwaliannya tadi telah memberikan izin tetapi tidak menyatakan besarnya mahar
lalu ia dinikahkan dengan mahar dibawah mahar mitsil, maka menurut pendapat yang
lebih sahih adalah sah nikah dengan mahar mitsil, karena mahar-mahar yang disebutkan
wali tadi menjadi fasid.

5. ‫ق أَوْ لَى‬ ْ ّ‫ُك ّل عُضْ ٍو َح ّر َم الن‬


ً ‫ظ َر إلَ ْي ِه ح ّر َم َم ّسهُ بِطَ ِر ْي‬
“Setiap anggota anggota tubuh yang haram dilihat, maka lebih-lebih haram pula
dirabanya”
6. ً‫الَيُ َج ِّو ُز ُم ْسلِ ُم َكافِ َرة‬
“Wali yang muslim tidak boleh menikahkan wanita yang kafir”
Contohnya, seorang ayah yang muslim memiliki anak yang beragama kafir, maka ia tidak
boleh atau tidak sah menjadi wali anaknya yang kafir tadi. Wanita yang kafir tidak
memilki wali nasab.

Dalam hukum keluarga terdapat banyak dhabith selain kaidah, karena hanya berlaku
dalam bab-bab tertentu, misalnya dalam hal talak, ada dhabith:
7. َ ‫ق الطَاَل‬
‫ق بصف ِة ل ْم يَقَع ُد وْ نَ وجُوْ دهَا‬ َ َ‫َم ْن عل‬

7
“Barangsiapa yang menggantungkan talak kepada suatu sifat, maka talak tidak jatuh
tanpa terwujudnya sifat tadi”
Di Indonesia sudah umum menggantungkan talak kepada sesuatu hal, yaitu yang disebut
dengan ta’lik talak. Talak menjadi jatuh apabila ta’lik talaknya terwujud dengan syarat
si istri tidak rela dan mengajukan gugatan ke pengadilan.
8. ُ‫الع ّدة‬ ٍ ‫ُك ّل فِرقَ ٍة ِم ْن طَاَل‬
ٍ ‫ق أوْ فَس‬
ِ ُ‫ْخ بَ ْع َد ال َوط ِء توْ َجب‬
“Setiap perceraian karena talak atau fasakh sesudah campur, maka wajib iddah”
Kaidah ini berhubungan dengan wajibnya ‘iddah (masa tunggu) apabila terjadi
perceraian. Sudah tentu waktu menunggunya bermacam-macam seperti diuraikan dalam
kitab-kitab fikih.
9. ‫ك ب َو ِسطَ ٍة فاَل يَ ِرث بوجوْ ِدهَا‬
َ َ‫ُك ّل َم ْن َع ْد لَى إلَى الهَال‬
“Setiap orang yang dihubungkan kepada yang meninggal melalui perantaraan, maka ia
tidak mewarisi selama perantaraan itu ada”
Contohnya antara kakek dan bapak. Kakek tidak dapat waris selama bapak orang yang
meninggal masih ada, karena kakek dihubungkan dengan orang yang meninggal melalui
bapak. Demikian pula anak laki-laki dengan cucu laki-laki. Cucu laki-laki tidak menjadi
ahli waris selama ada anak laki-lakidari orang yang meninggal, karena cucu laki-laki
dihubungkan dengan orang yang meninggal melalui anak laki-laki.
10. َ
‫ورث شيْئا َو َرثهُ بِحُقوْ قِ ِه‬ ْ ‫ُك ّل‬
‫من‬
“Setiap orang yang mewarisi sesuatu, maka dia mewarisi pula hak-haknya (yang
bersifat harta).”
Contohnya, hak khiyar terhadap barang, karena hak khiyar tetap ada dalam jual beli.
Demikian pula hak terhadap utang atau gadai tau juga hak cipta yang diwariskan.
Kedudukan ahli waris dalam hal ini menduduki kedudukan orang yang meninggal.
11. ُ‫أن األق َوى قرابة يَحجبُ األض َعف ِم ْنه‬
ّ
“Kekerabatan yang lebih kuat menghalangi kekerabatan yang lebih lemah”
Contohnya, saudara laki-laki seibu sebapak menghalangi saudara laki-laki sebapak dalam
mendapatkan warisan. Artinya, apabila ahli waris terdiri dari saudara laki-laki seibu
sebapak dan saudara laki-laki sebapak, maka yang mendapat harta warisan hanya saudara
laki-laki seibu sebapak, karena kekerabatannya lebih kuat yaitu melalui garis ibu dan

8
bapak. Sedangkan saudara laki-laki sebapak kekerabatannya lebih lemah karena hanya
melalui garis bapak.
Kaidah tersebut hanya berlaku bila derajat kekerabatannya sama. Dalam contoh diatas,
sama-sama saudara dari orang yang meninggal dan hanya diterapkan dalam kasus
ashabah.
12. ‫التركة إاّل بَع َد سدَا ِد ال ّد ْي ِن‬
“Tidak ada harta peninggalan kecuali setelah dibayar lunas utang (orang yang
meninggal)”
Artinya, sebelum utang-utang orang yang meninggal dibayar lunas, maka tidak ada harta
warisan. Seperti diketahui bahwa dalam hukum waris Islam, harta peninggalan tidak
dibagi dahulu sebelum diambil pembiayaan kematian kemudin untuk utang. Kalau masih
ada sisanya dipotong lagi untuk wasiat maksimal sepertiga. Sisanya dibagi di antara para
ahli waris sesuai dengan ketentuan hukum waris Islam. Kaidah diatas dipertegas lagi
dengan kaidah:

‫ال ملكية للورثة إال بعد سداد الدين‬

“Tidak ada hak kepemilikan harta bagi ahli waris kecuali setelah dilunasi utang”

13. ِّ‫ص ّح ال َوصيّة ب ُكل‬


ِ َ‫اَل ي‬
‫ال‬
ِ ‫ال َم‬
` “Tidak sah wasiat dengan keseluruhan harta”
Dhabith ini kemudian dipertegas oleh hadis nabi yang menyebutkan bahwa maksimal
wasiat adalah sepertiga dari harta warisan dan sepertiga itu sudah banyak.
14. ِ ‫وارث لَهُ ف َمالُهُ لِبَ ْي‬
‫ت ال َما ِل‬ ِ ‫ُك ّل َم ْن ماتَ ِمن ال ُمسل ِميْن اَل‬
“Setiap orang Islam yang meninggal tanpa meninggalkan ahli waris, maka hartanya
diserahkan kepada Bait al-Mal.”3

3
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis,
(Jakarta: Kencana, 2006), hal. 122-128.

9
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Dapat ditarik kesimpulan bahwa Qawaid Khashshah merupakan kaidah fiqih yang
ruang lingkup nya lebih kecil dan isi kandungannya lebih sedikit atau dalam satu bab
fiqih tertentu. Al-Dhawabith diambil dari kata dasar Al-Dhabith yang artinya menurut
etimologi yaitu memelihara, kekuatan, mengikat, dan penguatan. Dan secara terminologi
dhabawith fiqhiyyah artinya yaitu Qadhiyyah kullyyah atau ashl kullyah (dasar universal)
atau mabda kully (prinsip universal) yang menghimpun furu’ dari satu tema.
Kodifikasi hukum keluarga tersebut meliputi pembahasan tentang hukum perkawinan,
perceraian, wasiat, ahliyyah (cakap tidaknya seseorang melakukan tindakan hukum),
harta warisan, dan hibah Kaidah khusus al qawaid al-khashshah dalam bidang hukum
keluarga (al-ahwal al-syakhshiyah) memiliki 14 macam-macam kaidah didalamnya yang
sudah diuraikan pada bagian pembahasan.

B. Saran
Dalam proses pembuatan makalah ini tentunya kami menyadari masih banyak terdapat
kesalahan dan jauh dari kata kesempurnaan. Untuk itu kami akan memperbaiki jika
terdapat kesalahan dengan berpedoman dari berbagai sumber yang ada serta dengan
tangan terbuka kita menerima kritik yang membangun demi kelancaraan pembuatan
makalah ini.

10
DAFTAR PUSTAKA

Djazuli, 2006. Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam


Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana.
Azhari Fathurrahman , 2015, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, Banjarmasin: Lembaga
Permberdayaan Kualitas Ummat (LPKU)
Rahman Abd Dahlan, 2005, Ushul Fiqih. Jakarta: Amzah.

11

Anda mungkin juga menyukai