Anda di halaman 1dari 22

POLIGAMI DALAM PANDANGAN ISLAM

Makalah Ini Dibuat Guna Memenuhi Tugas Agama dan Ke-NU-an 6


Dosen Pengampu : Haikal Hidayatullah, M.Pd.

Disusun Oleh :

Kumzaeni Tri Budi Mulyono 101200061

Fiena Miladhia Azzahro 101200063

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI INFORMASI

INSTITUT TEKNOLOGI DAN SAINS NAHDLATUL ULAMA


KABUPATEN PEKALONGAN
TAHUN 2021
Jl. Karangdowo No. 9 Kedungwuni Kab. Pekalongan
Telp/fax. (0285) 785903 E-mail : info@itsnupekalongan.ac.id

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan segenap
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “POLIGAMI
DALAM PANDANGAN ISLAM” ini dengan sebagaimana mestinya.
Makalah ini kami susun guna memenuhi tugas mata kuliah Agama dan Ke-Nu-an 6.
Selain itu, kami berharap makalah ini tidak hanya menjadi sekedar rangkaian kata-kata diatas
kertas saja. Akan tetapi dapat menjadi penambah wawasan kita dalam kehidupan beragama
dan bermasyarakat.
Dalam penulisan makalah ini tentunya kami sebagai penulis menemui banyak kendala
dalam proses penulisannya. Akan tetapi karena bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak
yang terlibat, kesulitan tersebut dapat teratasi. Kami juga memberikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada Bapak Haikal Hidayatullah, M.Pd. selaku dosen pengampu
mata kuliah Agama dan Ke-Nu-an 6 yang telah membimbing dan memberikan materi selama
proses pembelajaran yang berlangsung didalam kelas.
Kami sangat menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan. Sehingga itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan untuk
perbaikan penulisan makalah kedepannya. Akhir kata, kami tetap berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi yang membacanya.

Wassalamu'alaikum wr.wb

Pekalongan, 25 Mei 2023

DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR............................................................................................ii
2
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1

1.1 Latar Belakang..........................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................3

1.3 Tujuan Penulisan.......................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................4

2.1 Pengertian Nikah.......................................................................................4

2.2 Pengertian Poligami..................................................................................5

2.3 Hukum Poligami........................................................................................6

2.4 Persyaratan Poligami...............................................................................13

BAB III PENUTUP..............................................................................................17

3.1 Kesimpulan..............................................................................................17

3.2 Saran........................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................19

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pola hidup masyarakat dalam ruang lingkup kecil maupun besar telah
diatur dalam agama Islam, baik permasalahan yang berkaitan dengan
kehidupan masyarakat baik berkenaan dengan ibadah, mu’amalat,
munakahat, dan sebagainya. Dalam kehidupan berumah tangga, salah satu
aspek yang diatur dalam Islam yaitu poligami. Poligami dalam pandangan
Islam telah menjadi topik kontroversial dan menarik perhatian banyak orang
di seluruh dunia. Dalam Islam, poligami adalah praktik menikah seorang
pria dengan lebih dari satu pasangan secara sah dan diatur dengan ketentuan
tertentu.
Praktik poligami dalam Islam memiliki sejarah panjang yang berasal
dari zaman Nabi Muhammad SAW. Sejarah mencatat, praktik poligami
pada masa Nabi Muhammad SAW. menjadi sebuah praktik yang umum
untuk dilakukan. Nabi Muhammad SAW. sendiri bahkan menikahi beberapa
istri selama hidupnya. Praktik ini didasarkan pada ajaran dan ketentuan
dalam Al-Quran serta praktik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW
sebagai contoh bagi umat Muslim. Pada zaman Nabi Muhammad SAW,
perang sering terjadi dan banyak perempuan yang menjadi janda atau
kehilangan suami. Praktik poligami memberikan solusi bagi perempuan
yang terlantar atau tidak memiliki dukungan finansial dengan memberikan
perlindungan dan tanggung jawab sebagai istri yang sah. Dalam Al-Qur’an,
praktik poligami diatur dengan mengizinkan seorang pria untuk memiliki
hingga empat istri, dengan catatan bahwa ia harus adil terhadap istri-
istrinya. Namun, penting untuk dicatat bahwa ketentuan ini tidak berlaku
secara eksklusif bagi Nabi Muhammad SAW., tetapi berlaku secara umum
bagi seluruh umat Muslim. Nabi Muhammad SAW sendiri memiliki
keistimewaan dan izin khusus dari Allah untuk memiliki lebih dari empat
istri, yang tidak berlaku untuk umat Muslim secara umum. Beberapa
pernikahan tersebut dilakukan dalam rangka menjalin hubungan keluarga

1
atau aliansi politik, memberikan perlindungan kepada perempuan yang
menjadi janda atau terlantar, atau untuk tujuan dakwah dan mengajarkan
ajaran Islam.
Praktik poligami telah mengundang berbagai pandangan, baik dari
kalangan Muslim maupun non-Muslim, yang terus mengupas isu-isu yang
terkait dengan poligami dalam konteks agama, etika, psikologis, dan
kesetaraan gender. Pada masyarakat modern, berita poligami baik mengenai
kasus poligami maupun peraturan poligami oleh pemerintah menjadi
perbincangan di media sosial yang memiliki potensi besar untuk
mempengaruhi opini publik dan membentuk persepsi mengenai poligami
dalam Islam.
Di antara pendukung poligami, terdapat pandangan bahwa praktik ini
sesuai dengan ajaran agama dan memberikan solusi bagi perempuan yang
terlantar atau tidak memiliki dukungan finansial. Pendukung poligami
berargumen bahwa poligami dapat memberikan perlindungan dan tanggung
jawab sebagai istri yang sah kepada perempuan yang membutuhkannya.
Pendukung poligami juga berpendapat bahwa praktik ini dapat mengurangi
perselingkuhan atau hubungan tidak resmi karena memberikan kesempatan
bagi pria untuk memiliki lebih dari satu pasangan secara sah.
Namun, di sisi lain, banyak juga yang menentang poligami dalam
Islam. Kelompok ini berpendapat bahwa poligami melanggar prinsip-prinsip
kesetaraan gender dan mengabaikan hak-hak perempuan. Argumen ini
didasarkan pada fakta bahwa dalam praktik sehari-hari, terdapat kasus-kasus
di mana istri-istri dalam poligami mengalami ketidakadilan dan pengabaian.
Kekhawatiran juga timbul terkait dengan kemungkinan kurangnya perhatian
dan dukungan yang diberikan oleh suami kepada masing-masing istri, serta
potensi terjadinya ketidakharmonisan dalam hubungan keluarga.
Persoalan poligami selalu menarik untuk dikaji, khususnya dikalangan
umat Muslim. Dalam makalah ini, penulis akan menganalisis pandangan
Islam tentang poligami. Melalui pemahaman yang lebih mendalam tentang
praktik poligami yang terkait, makalah ini diharapkan dapat memberikan

2
wawasan yang lebih komprehensif dan pemahaman yang lebih baik tentang
isu yang sensitif ini.

1.2 Rumusan Masalah


1.1.1 Bagaimana pengertian nikah dalam pandangan Islam?
1.1.2 Bagaimana pengertian poligami dalam pandangan Islam?
1.1.3 Bagaimana hukum poligami dalam pandangan Islam?
1.1.4 Bagaimana persyaratan poligami dalam pandangan Islam?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Untuk mengetahui pengertian nikah dalam pandangan Islam
1.3.2 Untuk mengetahui pengertian poligami dalam pandangan Islam
1.3.3 Untuk mengetahui hukum poligami dalam pandangan Islam
1.3.4 Untuk mengetahui persyaratan poligami dalam pandangan Islam

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Nikah


Nikah merupakan istilah yang digunakan dalam Islam untuk merujuk
pada pernikahan, yaitu ikatan resmi antara seorang pria dan seorang wanita.
Pernikahan dalam Islam dianggap sebagai ikatan yang sakral dan
diperintahkan sebagai bagian dari tuntunan agama. Secara etimologi, kata
"nikah" berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti "bersatu" atau
"mengikat". Dalam konteks pernikahan, nikah mengacu pada proses dan
perjanjian yang dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita untuk hidup
bersama sebagai suami istri. Dalam Islam, nikah memiliki beberapa elemen
penting yang harus dipenuhi. Beberapa konsep kunci dalam nikah termasuk:
1. Persetujuan: Pernikahan dalam Islam didasarkan pada persetujuan
sukarela dari kedua belah pihak, baik pria maupun wanita, yang akan
menikah. Tidak ada paksaan atau tekanan yang diperbolehkan dalam
pernikahan.
2. Wali: Wanita yang akan menikah membutuhkan wali (walinya) yang
bertindak sebagai wakilnya dalam proses pernikahan. Wali ini biasanya
merupakan ayah, saudara laki-laki, atau pihak keluarga terdekat yang
bertanggung jawab untuk melindungi kepentingan wanita dan
memastikan pernikahan dilakukan dengan baik.
3. Mahr: Mahr adalah mahar atau mas kawin yang diberikan oleh pria
kepada wanita sebagai salah satu haknya dalam pernikahan. Mahr bisa
berupa harta, uang, atau aset lainnya yang diberikan secara sukarela oleh
pria kepada wanita sebagai tanda komitmen dan perlindungan.
4. Saksi: Pernikahan harus disaksikan oleh minimal dua orang saksi yang
adil dan berakal sehat, yang hadir dalam prosesi pernikahan untuk
menyaksikan kesepakatan dan sahnya pernikahan.
5. Akad Nikah: Akad nikah merupakan perjanjian resmi yang dilakukan
antara pihak pria dan pihak wanita di hadapan saksi-saksi yang

4
disebutkan sebelumnya. Dalam akad nikah, kedua belah pihak
menyatakan persetujuan untuk hidup bersama sebagai suami istri dengan
melaksanakan tugas dan kewajiban yang diatur oleh agama Islam.
Pernikahan dalam Islam dianggap sebagai ibadah dan dijunjung tinggi.
Pernikahan memiliki tujuan untuk membentuk keluarga yang harmonis,
saling mencintai, saling mendukung, serta berkontribusi dalam pembentukan
masyarakat yang stabil dan bermartabat.

2.2 Pengertian Poligami


Kata poligami memiliki akar kata dalam Bahasa Yunani, yang terdiri
dari dua kata, yaitu polys/polus yang berarti banyak, dan gamein atau gamos
yang berarti perkawinan. Secara terminologis, poligami merujuk pada sistem
perkawinan di mana salah satu pihak memiliki atau menikahi beberapa
pasangan lawan jenis secara bersamaan. Dalam bahasa Arab, poligami
dikenal sebagai "ta'addud al-zaujat’" yang mengacu pada situasi ketika
seorang pria menikahi lebih dari satu istri secara bersamaan, meskipun
mereka berada di tempat yang berbeda. Dari sudut pandang sosiologi dan
antropologi, poligami merujuk pada situasi di mana seorang pria menikahi
banyak wanita atau sebaliknya. Terdapat dua bentuk poligami, yaitu
poliandri, yang merupakan perkawinan seorang wanita dengan lebih dari satu
pria, dan poligami, yang merupakan perkawinan seorang pria dengan lebih
dari satu wanita. Poligami juga dapat diartikan sebagai perkawinan antara
satu suami dengan dua wanita atau lebih (walaupun biasanya mengacu pada
perkawinan satu suami dengan dua istri atau lebih).
Berdasarkan catatan sejarah, praktik poligami telah ada sejak zaman
yang jauh sebelum kehadiran Islam. Bahkan, pada masa itu, praktik poligami
dapat dikatakan cukup umum. Hal ini terlihat dari ajaran agama yang dianut
oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Sebagai contoh, Nabi Musa
as. tidak melarang atau membatasi jumlah istri yang dapat dimiliki oleh
seorang pria. Bukti adanya poligami juga dapat ditemukan dalam budaya-
budaya kuno di berbagai belahan dunia. Menurut Baidan, poligami sudah ada
di kalangan bangsa-bangsa purba seperti Yunani, China, India, Babilonia,

5
Asyria, Mesir, dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa poligami bukanlah
praktik yang baru atau eksklusif dalam Islam. Poligami telah ada dalam
berbagai budaya dan konteks sebelum Islam dan memiliki sejarah panjang
dalam perkembangan peradaban manusia. Namun, penting untuk dicatat
bahwa setiap budaya dan agama memiliki aturan dan persyaratan yang
berbeda terkait poligami, termasuk dalam Islam di mana poligami diatur
dengan ketentuan-ketentuan yang spesifik.
Dasar utama bagi praktik poligami dalam Islam umumnya ditemukan
dalam ayat-ayat tertentu dalam Al-Quran, terutama dalam QS. Al-Nisa’ [4]:
3.
۟ ُ‫ ِدل‬H‫ ْن ِخ ْفتُ ْم َأاَّل تَ ْع‬Hَ‫ث َو ُر ٰبَ َع ۖ ف‬
‫وا‬ ‫ِإ‬ َ َ‫اب لَ ُكم ِّمنَ ٱلنِّ َسٓا ِء َم ْثن َٰى َوثُ ٰل‬ ۟ ‫وا فِى ْٱليَ ٰتَم ٰى فَٱن ِكح‬
َ َ‫ُوا َما ط‬ َ
۟ ُ‫َو ْن ِخ ْفتُ ْم َأاَّل تُ ْق ِسط‬
‫ِإ‬
‫وا‬ ٰ
۟ ُ‫فَ ٰ َو ِح َدةً َأوْ ماملَ َك ْتَأ ْي ٰمنُ ُك ْم ۚ َذلِ َكَأ ْدنَ ٰىَٓأاَّل تَعُول‬
َ َ َ
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Ayat-ayat dalam QS. Al-Nisa’ mengandung petunjuk dan hukum-
hukum yang berkaitan dengan perkawinan, termasuk poligami. Ayat 3
menyebutkan bahwa seorang pria diperbolehkan untuk menikahi hingga
empat wanita, dengan catatan bahwa ia mampu memperlakukan mereka
secara adil.

2.3 Hukum Poligami


Allah Swt., dengan kebijaksanaan-Nya yang luar biasa, menetapkan
aturan poligami dengan penuh hikmah sehingga tidak ada kesalahan atau cela
di dalamnya. Dalam agama Islam, poligami bukanlah kewajiban yang harus
dipraktikkan oleh setiap laki-laki. Begitu pula, tidak ada kewajiban bagi
perempuan atau keluarganya untuk menerima pernikahan dengan seorang
laki-laki yang sudah memiliki istri. Poligami dalam Islam diperbolehkan,
namun dengan syarat-syarat yang jelas dan ketat. Al-Quran menggaris bawahi

6
pentingnya keadilan dalam memperlakukan istri-istri, baik dalam segi materi
maupun emosional. Ayat-ayat Al-Quran, seperti dalam QS. An-Nisa' [4]: 3,
menegaskan bahwa jika seorang laki-laki khawatir tidak mampu
memperlakukan istri-istri dengan adil, maka sebaiknya ia menikahi hanya
satu wanita. Dalam konteks poligami, penting untuk mengingat bahwa
pernikahan dalam Islam adalah ikatan yang didasarkan pada kasih sayang,
saling pengertian, dan kesetiaan antara suami istri. Dalam
mempertimbangkan poligami, keputusan tersebut harus dibuat dengan
kematangan, penuh tanggung jawab, dan dengan memperhatikan
kesejahteraan semua pihak yang terlibat. Dalam praktiknya, poligami dapat
dijadikan alternatif dalam situasi-situasi tertentu, seperti ketika seorang pria
mampu memberikan perlindungan, nafkah, dan perhatian yang adil terhadap
lebih dari satu istri. Namun, keputusan untuk melibatkan diri dalam poligami
haruslah dilakukan dengan kejujuran, komunikasi yang baik, dan persetujuan
dari semua pihak yang terlibat, termasuk istri-istri yang ada dan calon istri
yang akan ditambahkan.\
Perlu ditegaskan di sini bahwa tujuan utama dari syariat Islam adalah
untuk mencapai kemaslahatan manusia. Dengan prinsip ini, sangat jelas
bahwa disyariatkannya poligami juga bertujuan untuk kemaslahatan manusia.
Poligami diarahkan untuk menciptakan keluarga yang harmonis dan baik,
bukan semata-mata untuk memenuhi keinginan suami. Dari prinsip ini, kita
juga dapat memahami bahwa jika praktik poligami tidak dapat membawa
kemaslahatan, maka poligami seharusnya tidak dilakukan. Islam sebagai
agama memberikan pedoman dan aturan-aturan yang dapat menjadi dasar
bagi pelaksanaan poligami agar tercapai kemaslahatan yang diinginkan.
Aturan-aturan ini meliputi persyaratan adil dalam memperlakukan istri-istri,
tanggung jawab dalam memberikan nafkah dan perlindungan, serta komitmen
terhadap kesetiaan dan keadilan. Dengan adanya aturan ini, diharapkan
praktik poligami dapat berlangsung dengan keseimbangan, saling pengertian,
dan keharmonisan di antara semua pihak yang terlibat.
Pendapat para ulama mengenai ketentuan poligami memang beragam,
meskipun mereka memiliki dasar pijakan yang sama, yaitu merujuk pada satu

7
ayat dalam Al-Quran, yaitu QS. Al-Nisa' (4): 3. Mayoritas ulama sepakat
bahwa ayat tersebut diturunkan setelah berakhirnya Perang Uhud, di mana
banyak pejuang Muslim yang gugur sebagai syuhada'. Dampaknya, terdapat
banyak anak yatim dan janda yang ditinggalkan tanpa ayah atau suami.
Keadaan ini menyebabkan terabaikannya kehidupan mereka, terutama dalam
hal pendidikan dan masa depan. Kondisi yang demikianlah yang menjadi latar
belakang diterapkannya poligami dalam Islam. Tujuan dari disyariatkannya
poligami adalah untuk memberikan perlindungan dan perhatian kepada
wanita-wanita yang menjadi janda atau memiliki status yatim. Dalam
praktiknya, poligami dapat memberikan solusi bagi wanita-wanita yang
terdampak tragedi perang atau kehilangan suami, sehingga mereka dapat
mendapatkan perlindungan, nafkah, dan perhatian yang layak. Namun, perlu
dicatat bahwa penerapan poligami tidak semata-mata terbatas pada situasi
pasca-perang saja. Poligami juga bisa menjadi pilihan dalam situasi-situasi
lain yang melibatkan kondisi yang membutuhkan perlindungan dan
kesejahteraan bagi lebih dari satu wanita.
Ibnu Jarir al-Thabari secara kuat mendukung pendapat yang
menyatakan bahwa makna ayat di atas adalah kekhawatiran terkait
ketidakmampuan seorang wali dalam berlaku adil terhadap harta anak yatim.
Oleh karena itu, jika seseorang khawatir terhadap perlakuan yang tidak adil
terhadap anak yatim, seharusnya mereka juga harus merasa khawatir terhadap
perlakuan terhadap perempuan. Oleh karena itu, sebaiknya jangan menikahi
mereka kecuali jika yakin dapat berlaku adil terhadap mereka, dengan jumlah
maksimal empat istri. Sebaliknya, jika ada kekhawatiran bahwa seseorang
tidak akan mampu berlaku adil dalam poligami, maka disarankan untuk
menikahi hanya satu istri saja. Pendapat ini menggarisbawahi pentingnya
prinsip keadilan dalam melaksanakan poligami. Ibnu Jarir al-Thabari
menekankan bahwa jika seseorang tidak yakin dapat memenuhi standar
keadilan yang ditetapkan oleh agama dalam poligami, lebih baik untuk
membatasi diri hanya pada satu pasangan.
2.3.1 Hukum Poligami Dalam Islam

8
Hukum poligami dapat dilihat dari perspektif tujuan dan manfaat
serta apakah poligami tersebut dilakukan dengan benar atau tidak.
Dalam pandangan hukum, poligami dibagi menjadi tiga kategori yaitu
sunah (dianjurkan), makruh (dibolehkan namun tidak diutamakan), dan
haram (dilarang).
a. Sunah (dianjurkan)
Poligami dikatakan sunah ketika suami mendapatkan izin dari
istri pertama atau dalam kondisi di mana istri pertama tidak dapat
memiliki keturunan karena alasan kesehatan yang tidak
memungkinkan secara medis, namun suami sangat ingin memiliki
dan mendambakan keturunan. Dalam situasi ini, poligami menjadi
dianjurkan lebih kuat karena terdapat kemaslahatan yang lebih besar
yang melibatkan keinginan suami untuk memiliki keturunan dan
mempertahankan keturunan keluarga. Namun, penting untuk dicatat
bahwa poligami yang disunahkan ini tetap harus dilakukan dengan
syarat dan kemampuan suami untuk berlaku adil terhadap istri-istri
yang terlibat. Keadilan menjadi prinsip utama yang harus dijunjung
tinggi dalam menjalankan poligami. Suami harus mampu
memberikan perlakuan yang adil, baik dalam hal nafkah, perhatian,
waktu, dan hak-hak lainnya kepada setiap istri.
b. Makruh (di Bolehkan namun tidak di utamakan)
Poligami dimakruhkan ketika seseorang memiliki tujuan yang
kurang tepat dalam melakukannya, seperti hanya untuk bersenang-
senang atau memenuhi keinginan nafsu biologisnya. Hal ini juga
berlaku ketika individu tersebut meragukan kemampuannya untuk
berlaku adil atau khawatir akan menjadi dzalim terhadap istri-istri
yang terlibat. poligami menjadi makruh karena tidak dilakukan
dengan niat dan tujuan yang benar. Poligami yang hanya didorong
oleh nafsu semata, tanpa mempertimbangkan tanggung jawab,
kewajiban, dan perlakuan yang adil terhadap istri-istri yang terlibat,
dapat menjadi sumber ketidakadilan, ketidakstabilan, dan keretakan
dalam keluarga. Dalam agama Islam, makruh berarti perbuatan yang

9
tidak dilarang secara tegas, namun tidak diutamakan atau dianjurkan.
Hal ini menunjukkan pentingnya mempertimbangkan faktor-faktor
moral, keseimbangan, dan keadilan dalam menjalankan poligami.
Ketika seseorang meragukan kemampuannya untuk berlaku adil atau
khawatir akan berbuat dzalim, maka sebaiknya menghindari
poligami dan memilih untuk menikahi satu istri saja.
c. Haram (dilarang)
Poligami dilarang atau diharamkan ketika seseorang yang
lemah, baik secara ekonomi maupun kemampuan untuk berlaku adil,
nekat melakukan poligami. Dalam Islam, aturan poligami memiliki
prinsip yang tegas bahwa berpoligami hanya diperbolehkan jika
seseorang mampu menjaga keadilan dan keseimbangan antara istri-
istri yang terlibat. Dalam situasi di mana seseorang tidak memiliki
kemampuan ekonomi yang memadai, yang akan berdampak pada
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan
kesejahteraan istri-istri yang ada, poligami menjadi dilarang. Hal ini
untuk melindungi hak-hak istri-istri tersebut agar tidak terabaikan
dan mencegah terjadinya ketidakadilan. Selain itu, jika seseorang
memiliki kelemahan dalam kemampuan berlaku adil, seperti tidak
dapat memberikan perhatian, waktu, kasih sayang, atau hak-hak lain
secara adil kepada istri-istri yang terlibat, maka poligami juga
menjadi diharamkan. Keadilan menjadi prinsip utama dalam
poligami, dan jika seseorang tidak mampu memenuhi prinsip
tersebut, maka lebih baik untuk tidak melibatkan diri dalam
poligami. Dalam konteks ini, larangan atau haramnya poligami bagi
seseorang yang lemah baik secara ekonomi maupun kemampuan
berlaku adil adalah untuk melindungi kesejahteraan, keadilan, dan
stabilitas dalam keluarga. Poligami yang dilakukan dengan
kelemahan tersebut dapat mengakibatkan ketidakadilan, konflik, dan
kerusakan dalam hubungan keluarga.
2.3.2 Hukum Poligami Dalam UU Negara Indonesia

10
Sejalan dengan persetujuan poligami dalam Islam, Indonesia
sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim juga mengizinkan
poligami. Di Indonesia, peraturan hukum memperbolehkan poligami
asalkan seseorang yang ingin berpoligami memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan. Indonesia sebagai negara dengan keberagaman agama dan
budaya mengakomodasi praktik poligami sebagai bagian dari
kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi. Undang-undang di
Indonesia memperbolehkan poligami dengan beberapa syarat yang
harus dipenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi persetujuan dari istri
pertama, kemampuan ekonomi yang memadai untuk memenuhi
kebutuhan istri-istri yang terlibat, keseimbangan perlakuan terhadap
istri-istri tersebut, serta kewajiban untuk memberikan nafkah dan
perlindungan kepada semua istri dan anak-anak yang dilahirkan dalam
perkawinan poligami. “Dalam UU No. 1 tahun 1974 disebutkan bahwa
sistem kekeluargaan yang dianut oleh Negara Indonesia adalah bersifat
monogami atau hanya memiliki satu istri. Meskipun demikian, dalam
aturan tersebut juga dijelaskan bahwa seseorang diberi kelonggaran dan
diperbolehkan berpoligami jika pengadilan memberikin izin disertai
izin dari pihak yang terkait yakni istri”
Dari undang-undang tersebut, seorang suami harus mengajukan
permohanan untuk melakukan poligami kepada pengadilan di
daerahnya yang dilanjukan dengan pertimbangan pihak pengadilan
untuk mengizinkan atau tidak. Di samping itu, pengadilan juga melihat
dan memperhatikan kondisi istri baik dari segi moral, kesuburan
kandungan dan sebagainya. Kecukupan ekonomi juga dijadikan dasar
bagi pengadilan untuk memberikan izin. Ekonomi yang tidak cukup
tentu akan menjadikan sumber masalah dalam berkeluarga terlebih
poligami. Mekanisme permohonan seseorang dalam melakukan
poligami dijelaskan oleh aturan Negara yang tertuang dalam pasal 5
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa:

11
a. Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini
harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Adanya persetujuan dari istri/ isteri-isteri
2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan
hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-
isteri dan anak-anak mereka.
b. Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak
diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak
mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak
dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, karena sebab-sebab lainnya yang
perlu mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama.
Di samping itu, Dalam satu pasal bahkan dijelaskan jika
seseorang ingin melakukan poligami harus melengkapi beberapa surat
yang diserahkan kepada pengadilan dimana dia mengajukan poligami.
Surat-surat yang dimaksud yaitu:
a. Surat keterangan yang berisi tentang hasil atau pendapatan yang
diperoleh serta ditanda tangani oleh bendahara tempat seseorang
bekerja.
b. Surat keterangan tentang pajak penghasilan atau
c. Surat lain yang dapat diterima oleh pihak pengadilan.
Aturan ini sebagai acuan bagi pengadilan untuk mengetahui
apakah orang tersebut telah mampu secara finansial atau belum
sehingga menentukan tidak dan diizinkannya poligami bagi seseorang.
Seperti halnya yang kita ketahui bahwa poligami yang dibolehkan
dalam agama Islam itu juga terbatas jumlahnya. Seseorang yang
berpoligami maksimal hanya boleh memiliki istri 4 tidak lebih dari itu.
Batasan dalam berpoligami ini sama persis dengan aturan poligami
dalam undangundang. Aturan Negara juga tidak memperbolehkan
seseorang memiliki istri lebih dari 4 orang serta suami dituntut untuk

12
bersikap adil. Oleh karena itu, tidak diperkenankan seseorang
berpoligami oleh Negara di samping juga agama jika hal tersebut tidak
terpenuhi.

2.4 Persyaratan Poligami


Dalam pandangan Ilham Marzuq, syarat diperbolehkannya poligami
dalam Islam bagi seseorang antara lain:
2.4.1 Ahklak Mahmudah
Akhlak, sebagai budi pekerti yang mencerminkan nilai-nilai
mulia seseorang, memainkan peran yang sangat penting dalam
kehidupan sehari-hari. Hal ini juga berlaku dalam konteks rumah
tangga, di mana akhlak yang baik menjadi landasan yang
fundamental. Tujuan pernikahan adalah untuk menciptakan kedamaian
dan kasih sayang yang tidak dapat terwujud tanpa adanya akhlak yang
baik dari setiap individu yang terlibat. Pentingnya akhlak yang baik
dalam konteks poligami sangatlah relevan. Seseorang yang berencana
untuk melakukan poligami haruslah memiliki akhlak yang luhur dan
budi pekerti yang terpuji. Ini berarti mereka harus mampu
menunjukkan sikap adil, kesabaran, pengertian, dan kejujuran
terhadap semua istri dan keluarga yang terlibat. Tanpa akhlak yang
baik, poligami berpotensi menimbulkan ketidakseimbangan,
ketidakadilan, dan keretakan hubungan.
Sebagai contoh, seorang suami yang berpoligami harus memiliki
sifat adil dalam membagi waktu, perhatian, dan kasih sayangnya di
antara istri-istri dan keluarga mereka. Mereka harus berupaya menjaga
hubungan yang harmonis dan saling mendukung antara istri-istri, serta
menghormati hak-hak dan kebutuhan masing-masing istri dengan
penuh kejujuran. Selain itu, seorang suami juga harus memiliki
kesabaran dalam menghadapi perbedaan pendapat, tantangan, dan
dinamika yang mungkin terjadi dalam poligami. Dengan memiliki
akhlak yang baik, seorang suami dapat menjalankan poligami dengan
penuh integritas dan menjaga tujuan pernikahan, yaitu menciptakan

13
kedamaian, kebahagiaan, dan kasih sayang di dalam rumah tangga.
Oleh karena itu, penting bagi seseorang yang berencana untuk
melakukan poligami untuk senantiasa mengembangkan akhlak yang
baik, mengasah budi pekerti yang luhur, dan memiliki kesadaran akan
tanggung jawab moral mereka terhadap semua anggota keluarga yang
terlibat dalam poligami. Dengan demikian, tujuan pernikahan yang
mulia dapat tetap terwujud dalam setiap langkah mereka.
2.4.2 Iman Yang Kuat
Iman, sebagai kepercayaan yang melekat dalam hati dan
tercermin dalam kehidupan sehari-hari, memiliki peran yang sangat
penting dalam membentuk keberhasilan sebuah rumah tangga. Iman
yang kuat yang dimiliki seseorang akan menjadi kunci kekuatan
dalam menghadapi tantangan kehidupan. Terutama dalam konteks
poligami, di mana naluri manusia dapat menghadirkan rasa cemburu
dan gejolak dalam rumah tangga, iman yang teguh sangatlah penting.
Dalam poligami, kecemburuan dan ketidakpastian dapat muncul
sebagai masalah yang kompleks dan menantang. Namun, dengan
adanya keteguhan iman, seorang suami mampu mengendalikan
dirinya dan dengan penuh kontrol, mampu membentuk keluarga yang
harmonis dan tenteram. Seorang suami yang memiliki iman yang
kokoh dapat mengatasi rasa cemburu dan konflik internal dengan
kesadaran akan kebenaran hukum poligami dalam Islam serta
tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga.
2.4.3 Harta Yang Cukup
Sebagai pemimpin dalam rumah tangga, seorang suami
memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan menciptakan
ketentraman bagi istri dan anak-anaknya. Tanggung jawab ini meliputi
tidak hanya melindungi mereka dari gangguan orang lain, tetapi juga
dari kekurangan sandang, papan, dan makanan. Seorang suami
diharapkan mampu memenuhi kebutuhan materi keluarga dengan
baik. Oleh karena itu, kecukupan materi dalam berumah tangga,
terutama bagi suami yang memilih untuk berpoligami, memiliki peran

14
yang sangat penting. Ketika seorang suami melakukan poligami, ia
harus mampu menjalankan perannya dengan adil dan memberikan
hak-hak yang proporsional kepada setiap istrinya. Dalam konteks ini,
kecukupan materi menjadi faktor yang sangat diperlukan. Meskipun
harta bukan segalanya, namun keberadaan harta atau sumber daya
ekonomi yang cukup memainkan peranan penting dalam menjaga
kesejahteraan keluarga. Tanpa kecukupan ekonomi, kehidupan
keluarga dapat menjadi tidak nyaman dan bahkan memicu
pertengkaran yang berpotensi menyebabkan perpecahan.
Kehadiran lebih dari satu istri dalam poligami tentu saja akan
meningkatkan kebutuhan ekonomi keluarga. Oleh karena itu,
kecukupan materi menjadi salah satu syarat yang tidak dapat
diabaikan dalam konteks berpoligami. Keseimbangan dan keadilan
dalam membagi sumber daya, perhatian, dan waktu antara istri-istri
adalah penting untuk menjaga keharmonisan dalam poligami. Dengan
adanya kecukupan materi, seorang suami dapat memenuhi kebutuhan
masing-masing istri serta memastikan bahwa mereka merasa dihargai
dan diperhatikan. Namun, penting untuk dicatat bahwa kecukupan
materi hanyalah salah satu aspek dalam menjalani poligami dengan
baik. Selain itu, komunikasi yang baik, rasa saling pengertian,
kesetiaan, dan adil dalam perlakuan juga harus diperhatikan.
Keseimbangan antara kecukupan materi dan nilai-nilai kehidupan
yang baik akan membantu menciptakan lingkungan keluarga yang
harmonis dan bahagia dalam poligami.
2.4.4 Uzur (darurat)
Seperti halnya kita ketahui bahwa manusia butuh terhadap
adanya penerus atau generasi. Dari fitrah manusia inilah agama
mengatur bagaimana manusia dapat memiliki keturunan secara sah
dengan cara melaksanakan pernikahan. Meskipun demikian, tidak
semua orang bisa memiliki keturunan dengan mudah. Hal ini yang
terkadang menjadi pemicu pertengkaran dalam rumah tangga. Dengan

15
demikian sangat wajar jika poligami dibolehkan bagi keluarga yang
mengalami demikian demi untuk menjaga nasab maupun keturunan.
2.4.5 Adil
Keadilan menjadi prinsip yang sangat penting bagi seseorang
yang ingin menjalani poligami. Tanpa keadilan, akan muncul perasaan
cemburu dan iri dari pasangan yang lain, yang pada akhirnya dapat
menyebabkan pertengkaran dalam keluarga. Sebagaimana kita semua
tahu, tujuan utama dari sebuah keluarga adalah menciptakan
kedamaian dan kebahagiaan baik secara fisik maupun emosional.
Namun, mewujudkan rasa adil dalam poligami memang sangat sulit.
Mayoritas ulama fikih juga mengakui bahwa mencapai keadilan
kualitatif dalam poligami adalah sesuatu yang sangat sulit, bahkan
mustahil. Abdurrahman al-Jazairi menyatakan bahwa mengharapkan
kesetaraan dalam hal kebutuhan seksual dan kasih sayang di antara
istri-istri yang dinikahi bukanlah suatu kewajiban bagi orang yang
menjalani poligami. Al-Jazairi berpendapat bahwa sebagai manusia
biasa, sangatlah berat bahkan tidak mungkin untuk membagi kasih
sayang dengan adil sesuai dengan kebutuhan masing-masing istri.
Oleh karena itu, wajar jika seorang suami memiliki ketertarikan yang
lebih besar terhadap salah satu istri dibandingkan yang lain, karena hal
tersebut adalah hal yang manusiawi.
Pendapat al-Jazairi memberikan pemahaman bahwa ada
kelonggaran dalam kewajiban untuk berlaku adil dalam poligami.
Kesulitan dalam mencapai keadilan seharusnya menjadi alarm bagi
seseorang untuk mempertimbangkan kembali niatnya dalam menjalani
poligami. Ada hal yang lebih penting daripada poligami itu sendiri,
yaitu kedamaian jiwa dalam keluarga. Oleh karena itu, ketika
kedamaian tersebut sudah tercapai, tidak ada lagi alasan untuk
menjalani poligami. Dalam konteks ini, penting untuk
mengedepankan kestabilan emosional dan keseimbangan dalam
keluarga. Komunikasi yang baik, kesetaraan dalam perlakuan, serta
memperhatikan kebutuhan dan perasaan setiap anggota keluarga

16
menjadi faktor kunci dalam menciptakan keharmonisan. Poligami
seharusnya dipertimbangkan dengan matang, dengan memperhatikan
kemampuan individu untuk berlaku adil dan menjaga ketenangan jiwa
dalam keluarga.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Makalah ini bertujuan untuk memberikan manfaat bagi yang
membacanya terutama bagi seorang muslim yang belum mengetahui
mengenai poligami dalam pandangan Islam. Yang disimpulkan sebagai
berikut :
a. Poligami merupakan perkawinan antara satu suami dengan dua wanita
atau lebih (walaupun biasanya mengacu pada perkawinan satu suami
dengan dua istri atau lebih).
b. Hukum poligami dalam Islam yang terbagi menjadi tiga kategori: sunah
(dianjurkan), makruh (dibolehkan namun tidak diutamakan), dan haram
(dilarang). Poligami yang dianjurkan adalah ketika dilakukan dengan
persetujuan istri pertama dan dengan tujuan yang benar, sedangkan
poligami yang dibolehkan namun tidak diutamakan adalah ketika
dilakukan dengan tujuan yang kurang tepat atau ragu-ragu dalam
kemampuan untuk berlaku adil. Poligami menjadi dilarang jika seseorang
tidak memiliki kemampuan ekonomi yang memadai atau tidak mampu
berlaku adil terhadap istri-istri yang terlibat.
c. Indonesia mengizinkan poligami sebagai bagian dari kebebasan
beragama, dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi, seperti persetujuan
dari istri pertama, kemampuan ekonomi yang memadai, keseimbangan
perlakuan, serta kewajiban memberikan nafkah dan perlindungan kepada
semua istri dan anak-anak yang dilahirkan dalam poligami.

17
3.2 Saran
Demikian makalah mengenai poligami dalam pandangan Islam yang
kami buat, tentunya masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahannya.
Penyusun berharap pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang
membangun untuk menyempurnakan makalah ini, dan penyusun
menyarankan untuk penulis berikutnya agar mengkaji mengenai permasalah
poligami dalam pandangan Islam dengan studi kasus dilingkungan sekitar.

18
DAFTAR PUSTAKA

Istiqlaliyah, N., & Thobroni, A. Y. (2022). PRA-SYARAT POLIGAMI DALAM


ALQURAN (Studi Komparatif Pemikiran Muhammad Abduh dan
Muhammad Quraish Shihab). Mahkamah : Jurnal Kajian Hukum Islam,
7(1), 39. https://doi.org/10.24235/mahkamah.v7i1.9697

19

Anda mungkin juga menyukai