Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fitrah manusia sebagai makhluk sosial dalam masyarakat tidak bisa

hidup dan memenuhi kebutuhannya sendiri, baik itu kebutuhan secara

jasmani maupun rohani, sehingga membutuhkan pasangan hidup dalam

ikatan pernikahan. Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang

pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan mengharap ridho Allah

SWT dalam mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah

dan warahmah.

Namun, dalam menjalankan kehidupan rumah tangga sering terjadi

poligami. Dalam konteks pernikahan, terkadang ada pria/laki-laki yang

melakukan poligami. Poligami yaitu pernikahan yang dijalani oleh satu orang

laki-laki dengan dua orang perempuan atau lebih dalam waktu yang sama.

Poligami merupakan problematika tersendiri, krusial dan kontroversial dalam

masyarakat modern diberbagai negara, khususnya di Indonesia. Poligami

merupakan isu klasik yang selalu menarik perhatian masyarakat untuk

dibicarakan bahkan diperdebatkan oleh kaum laki-laki maupun kaum

perempuan. Kebanyakan perempuan tidak setuju dengan poligami, bahkan

menjadi pantangan bagi mereka yang menolaknya. Hal tersebut disebabkan

karena umumnya, karakter wanita tidak ingin diduakan atau dimadu dalam

hidupnya.
2

Hukum tentang poligami di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No.

1 Tahun 1974 pasal 3 ayat (1 dan 2), pasal 4 ayat (1 dan 2), dan pasal 5 ayat

(1 dan 2), serta Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1990. Negara

sesungguhnya berusaha mengatur praktik poligami di Indonesia secara ketat,

sebab UU perkawinan di Indonesia menganut asas monogami. Praktik

poligami yang diatur secara ketat oleh negara, pada dasarnya memberikan

jaminan dan perlindungan hukum terutama bagi kaum perempuan dan anak-

anak yang berada dalam rumah tangga yang berpoligami. Oleh karena itu,

ketentuan detailnya dituangkan lebih lanjut dalam Komplasi Hukum Islam

(KHI). Persyaratan-persyaratan poligami yang diatur dalam KHI termuat

dalam Bab IX, Pasal 55 ayat (1, 2, 3) dan pasal 56 ayat (1, 2, 3), untuk

pengajuan permohonan izin dilakukan menurut tata cara yang diatur dalam

Bab VIII PP Nomor 9 Tahun 1975 (Rismawati, 2014: 250).

Meskipun masalah poligami sudah diatur oleh undang-undang, namun

realitanya praktek poligami di Indonesia marak terjadi dan tidak sesuai

dengan aturan undang-undang yang berlaku. Sebagian besar poligami

dilakukan tanpa mendapat izin dari pengadilan bahkan dilakukan secara

sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan istri pertama. Pelaku poligami

memiliki latar belakang yang berbeda dengan maksud dan motivasi yang

bervariasi. Pernikahan poligami sering diwarnai dengan berbagai

permasalahan, sehingga menimbulkan pro dan kontra terhadap poligami

tersebut, menimbulkan perbedaan presepsidikalangan masyarakat khususnya

perempuan.
3

Fenomena tersebut di atas sebagaimana terjadi di Kecamatan

Amonggedo. Dari pernikahan poligami yang terjadi, terdapat respon yang

berbeda dari pihak keluarga perempuan yang di poligami, ada yang setuju

dengan pernikahan tersebut dan ada juga yang monolak meskipun secara

faktual pernikahan poligami tetap terjadi. Pihak keluarga yang setuju

menganggap bahwa pada dasarnya pernikahan poligami adalah perbuatan

yang tidak melanggar syariat Islam, sehingga selama calon suami di pandang

mampu memenuhi tuntutan hidup calon istrinya serta berlaku adil maka

pernikahan seperti itu bisa saja di laksanakan. Sebaliknya, pihak keluarga

yang menolak menganggap bahwa pernikahan poligami adalah sesuatu

perbuatan yang tabu dalam konteks adat istiadat yang ada di Kecamatan

Amonggedo.

Respon masyarakat terhadap pernikahan poligami di atas senada dengan

pernyataan Romli (2016: 119) yang memandang bahwa perbedaan persepsi

mengenai poligami di kalangan masyarakat terjadi bukan pengaruh

ketidakjelasan dalil-dalilnya, melainkan lebih banyak di pengaruhi oleh

kepentingan para pihak yang terlibat dan buruknya dampak poligami yang di

lakukan kebanyakan masyarakat yang melakukan poligami.

Dalam konteks pernikahan poligami di Indonesia, terdapat beberapa

penelitian yang relevan mengenai praktik poligami, diantaranya adalah

penelitian yang dilakukan oleh Romli (2016: 125) pada Badan Organisasi

Islam Wanita Indonesia (BOIWI) Provinsi Lampung. Hasil penelitian

menyatakan bahwa, terdapat 3 (tiga) kategori persepsi terhadap poligami ada


4

yang membolehkan dengan alasan merujuk padah surah An-Nisa (4):3, ada

yang membolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu serta ada yang

tidak membolehkan poligami dengan alasan khawatir terhadap suami tidak

dapat berlaku adil terhadap istri dan anak-anaknya, penelitian lain dilakukan

oleh Rismawati (2014:262) menyatakan bahwa persepsi perempuan kota

Pekalongan terhadap praktik poligami relative beragam akan tetapi sebagian

besar menolak dengan berbagai alasan sebagai justifikasi. Umumnya

perempuan di kota Pekalongan, memandang bahwa poligami berpotensi

memunculkan konflik dalam rumah tangga yang biasa mengakibatkan

munculnya kekerasan dalam rumah tangga secara berlapis-lapis.

Penelitian Mudhofir (2010: 77) menyimpulkan bahwa perempuan pada

lokus penelitiannya umumnya telah memahami permasalahan poligami,

mereka memandang permasalah poligami ini dari sudut pandang agama dan

undang-undang perkawinan serta prosedur dan tata cara berpoligami dalam

tata aturan Negara Republik Indonesia. Selai itu, mereka memahami faktor-

faktor yang menyebabkan seorang suami berpoligami. Di perbolehkannya

poligami itu bukan merupakan anjuran, akan tetapi alternatif terakhir yang di

berikan kepada mereka yang sangat membutuhkan dan telah memenuhi

syarat-syarat berpoligami.

Berdasarkan berbagai argumen di atas dapat diketahui bahwa poligami

masih menjadi polemik dikalangan masyarakat. Hal ini dikarenakan

perbedaan pendapat atau pandangan masyarakat, umumnya poligami

dianggap sebagai suatu perbuatan negative tapi di sisi lain praktik poligami
5

dipandang sebagai perbuatan yang boleh dilakukan karena tidak bertentangan

dengan nilai agama islam. Sehingga, dengan demikian meskipun terjadi

perbedaan pandangan terhadap pernikahan poligami, namun secara faktual

praktik tersebut tetap terjadi sebagaimana fenomena empiris yang telah di

uraikan sebelumnya di Kecamatan Amonggedo. Untuk itu,

peneliti tertarik mengambil penelitian dengan judul: Faktor-Faktor Yang

Menyebabkan Terjadinya Pernikahan Poligami Di Kecamatan 

Amonggedo Kabupaten Konawe.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka dirumuskan

pertanyaan yaitu: “Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya

pernikahan poligami di Kecamatan Amonggedo?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan menganalisis faktor-

faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan poligami di Kecamatan

Amonggedo.

1.1 Manfaat Penelitian

1.1.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis

sebagai berikut.

(1) Memberikan tambahan pengetahuan dan dapat digunakan sebagai

bahan acuan bagi peneliti yang akan melakukan penelitian yang

serupa.
6

(2) Memberikan wawasan dan pengetahuan mengenai poligami bagi

peneliti khususnya, sehingga dapat menyikapi dengan bijaksana

masalah poligami yang terjadi.

1.1.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis

sebagai berikut.

(1) Memberikan masukan yang bermanfaat bagi pelaku atau pihak

yang akan melakukan poligami.

(2) Memberikan informasi, wawasan dan pengetahuan mengenai

poligami kepada masyarakat khususnya di Kecamatan Amonggedo

Kabupaten Konawe agar tidak salah dalam memahami dan menyik

api masalah poligami.


7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Perempuan

Pengertian perempuan secara etimologis berasal dari kata empu yang

berarti “tuan”, yaitu orang yang mahir atau berkuasa, kepala, hulu, yang paling

besar. Namun menurut Zaitunah Subhan (2004:19) kata perempuan berasal dari

kata empu yang artinya dihargai. Lebih lanjut Zaitunah menjelaskan pergeseran

istilah dari perempuan ke wanita. Kata wanita dianggap berasal dari bahasa

Sansekerta, dengan dasar kata Wan yang berarti nafsu, sehingga kata wanita

mempunyai arti yang dinafsui atau merupakan objek seks.

2.2 Konsep Pernikahan

Erna Karim mengatakan bahwa perkawinan merupakan suatu proses yang

didalamnya menyangkut aspek seperti emosi, ekonomi, social dan pengakuan

secara resmi oleh masyarakat melalui hukum yang berlaku (Karim, 2004, 135).

Pernikahan pada dasarnya tidaklah semata-mata menjadi domain privat antar

individu, akan tetapi juga menjadi domain public yang membutuhkan campur

tangan negara, oleh karena itu setiap negara memiliki aturan hukum tentang

pernikahan. Erna Karim mengatakan bahwa perkawinan merupakan suatu proses

yang didalamnya menyangkut aspek seperti emosi, ekonomi, social dan

pengakuan secara resmi oleh masyarakat melalui hukum yang berlaku (Karim,

2004, 135). Terkait dengan peran negara dalam bidang perkawinan, maka

Scholten mengatakan perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang pria


8

dengan seorang Wanita untuk hidup Bersama dengan kekal, yang diakui oleh

negara. Scholten melihat perkawinan sebagai hubungan yang kekal yang berarti

harus berlangsung abadi, seumur hidup pasangan suami istri dan disahkan oleh

negara. Perkawinan ini harus dilakukan dengan mentaati peraturan perkawinan

yang ditetapkan oleh negara (Suhardana, 2008, 88).

2.3 Konsep Keluarga

Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup Bersama

dengan keterikatan aturan dan emosional dan individu mempunyai peran masing-

masing yang merupakan bagian dari keluarga (friedman,2010).

Keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah

tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Mereka saling

berinteraksi satu dengan lainnya, mempunyai peran masing-masing dan

menciptakan serta mempertahankan suatu budaya (Bailon dan Maglaya, dalam

Setyowati, 2008).

2.4 Konsep Poligami

2.4.1. Pengertian Poligami

Pada dasarnya, kata “poligami” tersusun dari dua kata, yaitu Poli (banyak)

dan Gami (istri), maka dapat diartikan secara etimologi, poligami tersebut adalah

beristri banyak. Bila dilihat secara terminology, poligami yaitu seorang laki-laki

mempunyai lebih dari satu istri (Ghazaly, 2006: 129). Kata poligami berasal dari

bahasa yunani Poli atau Polus yang artinya banyak dan kata Gamein atau Gamos

yang berarti kawin atau perkawinan. Apabila digabungkan kedua kata tersebut
9

menjadi poligami yang berarti perkawinan banyak dan bisa jadi dalam jumlah

yang tidak terbatas. Namun bila ditinjau dari pandangan islam, poligami tersebut

mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu, dua, tiga dan empat perempuan

saja tidak boleh lebih dari itu (Nasution, 1996: 84).

Sementara dari sisi lain ada juga yang mengartikan poligami adalah

perkawinan dengan dua orang perempuan atau lebih dalam waktu yang sama.

Menurut Hamid (2005:19) poligami dapat diartikan sebagai ikatan perkawinan

yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa istri dalam waktu yang

bersamaan, bukan saat ijab qobul melainkan dalam menjalani hidup berkeluarga.

Poligami adalah praktek atau kebiasaan memiliki istri atau suami lebih

dari satu pada saat bersamaan (Olsen, 2009 : 89).

2.4.2. Undang-Undang Yang Mengatur Poligami

1) Menurut Perundang-Undangan Republik Indonesia

Hukum kebolehan poligami diatur dalam Undang-Undang

Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 3, 4 dan 5. Pasal 3 berbunyi:

(1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya

boleh mempunyai seorang istri. Seorang istri hanya boleh

mempunyai seorang suami.

(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk

beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-

pihak yang berkepentingan.

Pasal 4 berbunyi:
10

(1) Bahwa “Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari

seorang sebagaimana tersebut dalam pasal 3 (2) maka ia wajib

mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat

tinggalnya”

(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya

memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri

lebih dari seorang apabila:

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan

Pasal 5 berbunyi:

(1) Syarat-syarat permohonan kepada pengadilan sebagai berikut:

Untuk mengajukan permohonan kepada pengadilan,

sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 (1) harus dipenuhi

syarat-syarat sebagai berikut:

a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri

b. Adanya kepastian bahwa suami menjamin keperluan-

keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap

istri dan anak mereka

Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini

tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak


11

mungkin dimintai persetujuan dan tidak dapat menjadi pihak dalam

perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama

sekurang-kurangnya 2 (dua tahun, atau karena sebab-sebab lainnya

yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.

Pasal 4 (1) Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1983 tentang

izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil yang

akan menikah lagi diubah oleh Peraturan Pemerintah No 9 Tahun

1990, dan menetapkan bahwa laki-laki yang akan menikah lagi, ia

harus mendapat izin terlebih dahulu dari atasannya (Nurrahmah,

2015:13-14).

2) Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Ketentuan pasal-pasal tentang poligami, sebagaimana diatur

pada Bab IX KHI, ternyata syarat-syarat yang diberikan tidak

hanya bersifat substansial tetapi juga syarat-syarat formal dan

komulatif. Pertama, pasal 55 yang memuat syarat substansial dari

pendapat poligami yang melekat pada seorang suami yaitu

terpenuhinya keadilan yang telah ditetapkan, bunyi dalam pasal 55:

(1) Beristri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya

sampai empat istri

(2) Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu

berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.

(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak

mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri dari seorang.


12

Kedua, pasal 56 yang berbunyi:

(1) Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus

mendapat izin dari Pengadilan Agama.

(2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan

menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.

(3) Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau

keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai

kekuatan hukum.

Pasal 56 di atas merupakan syarat-syarat formal poligami

yang harus dijalani seorang suami. Peraturan ini dibuat sebagai

perlindungan hukum bagi pelaku poligami karena di Indonesia

adalah Negara hukum sehingga segala urusan yang berhubungan

dengan manusia maka pelaksanaannya harus diketahui oleh

instansi yang berwenang yaitu Pengadilan Agama.

Ketiga, pasal 57 yang berbunyi: Pengadilan Agama hanya

memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih

dari seorang apabila:

(1) Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri

(2) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan

(3) Istri tidak dapat melahirkan keturunan


13

Pasal 57 di atas merupakan syarat-syarat substansial yang

melekat pada seorang istri yaitu kondisi-kondisi nyata yang

melingkupinya sehingga menjadi alasan logis bagi seorang suami

untuk berpoligami. Selain syarat substansial pada pasal 57 yang

harus ada dalam poligami tetapi juga harus ada syarat komulatif

yaitu pada pasal 58 yang berbunyi:

(1) Selain syarat-syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2)

maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama harus dipenuhi

syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.

1 Tahun 1974 yaitu:

a. Adanya persetujuan istri,

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin

keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 41 huruf b Peraturan

pemerintah No. 9 Tahun 1975, peretujuan istri atau istri-istri

dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi

sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini

dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada siding Pengadilan

Agama.

(3) Persetujuan dimaksud pada ayat 1 huruf a tidak diperlukan bagi

seorang suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin

dimintai persetujuan dan tidak dapat menjadi pihak dalam

perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-
14

istrinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain

yang perlu mendapat penilaian hakim.

Selanjutnya pada pasal 59 yaitu dalam hal istri tidak mau

memberikan persetujuan dan permohonan izin untuk beristri lebih

dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur

dalam pasal 55 ayat (2) dan Pasal 57, Pengadilan Agama dapat

menetapkan tentang memberikan izin setelah memeriksa dan

mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan

Agama dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat

mengajukan banding atau kasasi (Ghozali, 2008: 134-136)

2.4.3 Faktor penyebab Poligami

Banyak faktor yang sering memotivasi seorang laki-laki untuk

melakukan poligami diantaranya faktor biologis, factor internal rumah

tangga, dan factor social, selain itu factor ingin menghindari perzinahan

(Mukhtar, 2013, 135-136). Menurut Sembiring (2007: 117) ada banyak

aspek yang menjadi sebab terjadinya poligami dikalangan masyrakat

diantaranya faktor ekonomi, adat dan yang paling sering terjadi adalah

factor yang ada dalam diri wanita sebagai istri ( tidak dapat memberi

keturunan, kurangnya pelayanan istri, penyakit istri yang tidak dapat

sembuh) dan pria sebagai suami (kebutuhan seksual).Sedangkan

menurut Abbas (2014: 88) penyebab terjadinya poligami di pengaruhi

oleh faktor biologis, ditinggalkan oleh istri, adanya kesempatan, faktor

ekonomi dan faktor garis tangan atau takdir.


15

2.4.4. Dampak Poligami

Dalam poligami terdapak dampak yang sangat berpengaruh

terhadap keluarga baik itu dampak positif maupun dampak negative.

Menurut Rohmad (2016: 34) poligami dapat melatih kesabaran seorang

istri. Kesabaran seorang istri yang dipoligami dapat dikelompokkan

menjadi dua yaitu alasan duniawi dan alasan ukhrowi Alasan duniawi

meliputi factor biologis, ekonomi dan social, sedangkan alasan ukhrowi

meliputi factor keimanan dan ibadah. Menurut (Mubarak, 2003)

Manfaat yang bisa diambil dari adanya pernikahan poligami,

diantaranya adalah mengatasi problem social yang salah satunya

disebabkan oleh bertambahnya jumlah perempuan yang melebihi

jumlah laki-laki. Selain itu juga untuk mengatasi problem pribadi yang

salah satunya disebabkan oleh keadaan istri yang tidak mampu

memiliki anak atau mandul.

Konflik dalam rumah tangga memiliki sisi baik, bisa menjadi

sebuah awal atau perantara menuju hubungan yang lebih baik dalam

rumah tangga. Hal tersebut tergantung pada strategi serta pengambilan

cara yang tepat dalam mengatasi konflik tersebut, terlebih apabila

masing-masing pihak baik istri/istri-istri maupun suami benar-benar

memahami poligami dari sisi positif dan negatifnya dengan tetap

bersandar pada syari’at maka seburuk apapun dampak poligami

pelakunya tetap dapat mengambil sisi maslahatnya (Andayani, 2001).


16

Selain hal diatas, menurut Sugandi (2011: 75) poligami memiliki

dampak positif lainnya diantaranya:

1) Terhindar dari maksiat dan zina,

2) memperbanyak keturunan,

3) melindungi dan menafkahi para janda dan anak yatimnya,

4) Kebutuhan seksual suami terselesaikan saat istrinya melahirkan,

haid, sakit, udzur dan lain-lain

5) Istri terpacu untuk melakukan yang terbaik bagi suaminya karena

ada yang lain

6) Melatih kesabaran dan menekan egoisme

7) Anak yang dilahirkan mempunyai legal formal

8) Perempuan yang dinikahi mempunyai status yang jelas.

Selain dampak positif terdapat pula dampak negative yang timbul

dari poligami. Menurut Usman (2017: 275) dampak negatif yang timbul

terhadap keluarga poligami diantaranya dari pihak istri; tidak mendapat

keadilan dari sang suami, dan secara terpaksa istri mencari uang sendiri

untuk membiayai diri dan anaknya yang ditinggalkan suaminya. Dari

pihak suami; dalam kehidupan sehari-hari selalu diselimuti oleh

kegelisahan, ekonomi tidak pernah cukup, dan persoalan yang

berhubungan dengan kegiatan yang ada dalam lingkungan masyarakat

kurang sempat dipedulikan. Dari pihak anak; kurang mendapat

bimbingan dari orang tua, jarang pulang ke rumah, dan sifat seorang

anak kurang menghormati orang tuanya. Menurut Nurohmah (2003: 12)


17

dampak poligami terhadap perempuan antara lain kekerasan dalam

rumah tangga secara fisik, psikis termasuk penelantaran ekonomi, selain

itu menurut Poerwandari (2003: 16) laki-laki yang berpoligami tidak

memenuhi kewajiban menafkahi istri dan anak-anaknya, dan malah

sebaliknya para perempuan bahkan menafkahi suaminya. Menurut

Muntaha (2015: 49-51) poligami disisi lain membawah manfaat, tetapi

di sisi lainnya juga membawa efek diantaranya krisis keadilan, baik

keadilan yang sifatnya materil dan keadilan yang sifatnya imateril

(kasih sayang) dan timbulnya permusuhan dimana dalam poligami

sering terjadi konflik baik konflik antara suami dan istri, antara sesama

istri maupun istri terhadap anak-anaknya. Menurut Mukhtar (2013: 138)

dampak dari poligami diantaranya dapat menimbulkan dampak

psikologis, ekonomi rumah tangga, hukum, kesehatan dan kekerasan

terhadap perempuan baik kekerasan fisik, ekonomi seksual maupun

psikologi.

2.5 Penelitian Terdahulu

Penelitian serupa pernah dilakukan oleh Dewani Romli (2016) pada

Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI) Provinsi

Lampung. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada tiga kategori

pendapat responden yaitu ada yang menyatakan setuju terhadap suami yang

berpoligami dengan alasan merujuk pada surah An-Nisa (4): 3, ada yang

membolehkan poligami dengan ketentuan dan syarat-syarat tertentu serta ada

yang tidak setuju dengan poligami dengan alasan kekhawatiran terhadap


18

suami tidak dapat berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Dari

ketiga kategori tersebut pendapat responden yang paling banyak adalah

pendapat yang setuju terhadap poligami dengan syarat tertentu

Selain itu, Sinta Dewi Rismawati (2014) pernah melakukan penelitian

yang sama pada perempuan kota pekalongan. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan persepsi perempuan kota Pekalongan terhadap praktek

poligami relatif beragam akan tetapi sebagian besar menolak dengan berbagai

alasan sebagai justifikasinya. Sebagian besar sepakat bahwa poligami

berpotensi besar untuk memunculkan konflik dalam rumah tangga yang bisa

mengakibatkan munculnya kekerasan dalam rumah tangga secara berlapis-

lapis.

2.5 Kerangka Pikir

Sebab Poligami

1. Faktor Ekonomi
2. Faktor Adat Pernikahan Poligami
3. Faktor Yang Ada Dalam Diri
Wanita Sebagai Istri
4. Faktor Pria Sebagai Suami

(Hamid,2005:19)
(Sembiring,2007: 117)
19

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Desa Mendikonu, Amonggedo,

Lalonona, Watulawu Kecamatan Amonggedo Kabupaten Konawe. Pemilihan

lokus penelitian di dasarkan atas pertimbangan bahwa ke empat desa lokus

tersebut adalah desa yang memiliki pasangan pernikahan poligami di

Kecamatan Amonggedo. Selain itu, pemilihan lokasi penelitian juga di

dasarkan oleh fakta bahwa ke empat desa tersebut memiliki penduduk dengan

latar belakang kebudayaan yang berbeda, sehingga faktor penyebab terjadinya

pernikahan poligami dapat berbeda di setiap desa lokus.

3.2 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan

metode deskriptif. Metode deskriptip yaitu melakukan penjabaran atau

pemaparan melalui analisis deduktif atau induktif tentang permasalahan yang

ada di lapangan.

3.3 Informan Penelitian

Dalam Penentuan informan, peneliti menggunakan teknik Purposive

Sampling, yaitu penentuan informan dengan pertimbangan penelitian yaitu

informan dianggap memiliki pengetahuan yang luas mengenai permasalahan

topik penelitian yang dihadapi peneliti, sehingga diharapkan dapat


20

memberikan informasi dan data-data yang di butuhkan. Adapun Informan

yang di pilih dalam penelitian ini berjumlah 12 orang yang terdiri dari:

1. 4 (empat) orang tokoh masyarakat (masing-masing satu orang di setiap

desa)

2. 4 (empat) orang perempuaan yang di poligami

3. 4 (empat) KADES

3.4 Jenis dan Sumber Data

3.4.1 Jenis Data

Jenis data yang akan digunakan pada penelitian ini yaitu berupa

data Kualitatif. Data tersebut merupakan jenis data yang sifatnya tertulis

maupun lisan dalam rangkaian kata-kata atau kalimat dari orang atau

prilaku yang bisa diamati.

3.4.2 Sumber Data

Sumber data dari penelitian ini yaitu sumber yang berupa manusia,

meliputi sebagian Masyarakat yang berada di Kecamatan Amonggedo

Kabupaten Konawe yang terlibat langsung dalam pernikahan poligami.

Sumber data pada penelitian ini terdiri dari:

1) Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh langsung oleh

peneliti dari sumber asli (tidak melalui perantara). Data yang

dimaksud adalah data yang dikumpulkan dari hasil wawancara

dengan Masyarakat Kecamatan Amonggedo Kabupaten Konawe.


21

2) Data Sekunder

Data sekunder pada penelitian ini yaitu sebagai data pendukung

data primer. Data tersebut berasal dari literatur yang relevan baik

berupa buku, skripsi dan jurnal yang ada kaitannya dengan penelitian

yang dilakukan.

3.5 Teknik Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini terdiri dari beberapa tahap

yaitu:

1) Observasi

Pada tahap ini, peneliti melakukan pengamatan atau pengkajian

secara mendalam yang didasari oleh pengetahuan dan gagasan-gagasan,

sehingga memperoleh informasi yang lebih banyak mengenai

permasalahan yang akan diteliti.

2) Wawancara

Pada tahap ini, peneliti melakukan wawancara secara mendalam

dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sudah didesain terkait

masalah poligami kepada setiap informan. Tujuan wawancara ini yaitu

untuk mengetahui respon dari subjek atau informan atas permasalahan

yang diajukan. Untuk memperoleh data atau informasi secara jelas dan

valid, peneliti menggunakan alat penunjang berupa alat perekam.

3) Dokumentasi
22

Pada tahap ini, peneliti melihat kembali data-data yang relevan dari

penelitian terdahulu, baik dalam bentuk dokumen maupun literatur yang

terkait dengan penelitian yang dilakukan.

3.6 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang akan digunakan, yaitu teknik analisis deskriptif

dan komparatif, yang meliputi 3 tahap yaitu:

1) Reduksi Data

Data yang diperoleh dari hasil wawancara dibuat dalam bentuk

laporan yang terperinci, kemudian direduksi, dirangkum dan dipilih

hal-hal yang pokok. Tujuan reduksi data yaitu memberikan gambaran

yang lebih jelas dari hasil pengamatan.

2) Penyajian data

Data yang diperoleh dikategorisasikan berdasarkan pokok

permasalahan penelitian, dan dideskripsikan dalam bentuk narasi

sehingga narasi yang tersaji dapat menjawab permasalahan dalam

penelitian. Data penelitian disajikan dalam bentuk teks naratif dan

matriks.

3) Penarikan Kesimpulan

Data yang sudah direduksi dan disajikan secara sistematis,

selanjutnya akan disimpulkan sementara. Kesimpulan yang diperoleh

pada tahap awal kurang jelas, tetapi pada tahap-tahap selanjutnya

akan semakin tegas dan memiliki dasar yang kuat.


23

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, R, R. 2014. Institusi Keluarga dan Poligami (Studi Kasus


Keluarga Poligami Yang Berpoligini di Kota Makasar).SOCIUS
. Vol XV: 67-90.

Adiwarman A.Karim. 2004. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan.


Jakarta: Rajawali Press.

Andayani, B. 2001. Marital Conflict Resolution of Middle Class


Javanes Couples, La Trobe University: Australia.

Friedman, 201C0. Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Gosyen


Publishing.

Ghazaly,A,2006. Fiqih Manakahat. Kencana: Jakarta.

Ghozali, A, R. 2008. Fiqih Manakahat, Cet. Ke-3. Kencana: Jakarta.

Hamid, A. 2005. Hukum Islam Alternative Terhadap Masalah Fiqih


Kontemporer. Restullahi: Jakarta.

Hanurawan, F. 2010. Psikologi Sosial. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.

Listyana, R., Yudi, H. 2015. Persepsi dan Sikap Masyarakat Terhadap


Penanggalan Jawa dalam Penentuan Waktu Pernikahan (Studi
Kasus Desa Jonggrang Kecamatan Barat Kabupaten Magetan
Tahun 2013). JURNAL AGASTYA. Vol 5(1): 118-138.

Mubarak, S, I. 2003. Poligami yang Didambakan Wanita. Syaamil


Cipta Media: Bandung.

Mukhtar., Nur, A. 2013. Indikasi Sosiologis Terjadinya Poligami di


Kalangan Masyarakat Bogor. Mizan: Jurnal Ilmu Syariah. Vol
1(1): 123-142.

Muntaha, I. 2015. Persepsi Perempuan Terhadap Poligami (Studi


Kasus di Desa Margamulya Kecamatan Cileles Kab. Lebak).
Skripsi. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Maulana
Hasanuddin: Banten.
24

Nasution, K. 1996. Riba & Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran


Muhammad Abduh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet.I.

Nurohmah, L. 2003. Poligami, Saatnya Melihat Realitas. Jurnal


Perempuan. Vol 31: 31-45.

Nurrahmah, L, B. 2015. Perempuan Dalam Pernikahan Poligami


(Studi Kasus: Perempuan di Kampung Cibeber, Desa
Cikahuripan Kabupaten Bogor). Skripsi. Universitas Negeri
Syarif Hidayatullah; Jakarta.

Poerwandari, K. 2003. Ilusi Poligami. Jurnal Perempuan. Vol 31: 19-


29.

Rahmat, J. 1986. Psikologi Komunikasi. Remaja Karya: Bandung.

Rismawati, S, D. 2014. Persepsi Poligami di Mata Perempuan


Pekalongan. MUWAZAH. Vol 6(2):249-263.

Rohmad, M, A. 2016. Kesabaran Istri Poligami. Journal of Islamic


Studies and Humanities. Vol 1(1): 21-36.

Romli, D. 2016. Persepsi Perempuan Tentang Poligami (Studi Pada


Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia
Provinsi Lampung). AL’ADALAH. Vol XIII (1): 117-126.

Sarwono, S, W. 2010. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rajawali


pers.

Sembiring, I, A. 2007. Berbagai Faktor Penyebab Poligami di


Kalangan Pelaku Poligami di Kota Medan. JURNAL
EQUALITY. Vol 12(2): 112-119.

Setyowati, Sri & Arita Murwani. 2008. Asuhan Keperawatan


Keluarga. Mitra          Cendikia Press, Yogyakarta.

Sugandi, I. 2011. Dampak Positif Poligami Dalam Perspektif Hukum


Islam (Studi Kasus Desa Saninten Kecamatan Kadu Hejo
Kabupaten Pandeglang). Skripsi Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah: Jakarta.

Suhardana, Hukum Pedata I. Jakarta, Prenhallindo, 2008.


25

Zaitunah, Subhan. 2004. Kekerasan Terhadap Perempuan. Pustaka


Pesantren: Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai