Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH HUKUM PERKAWINAN

“ POLIGAMI ”

Disusun oleh :

Kelompok 5

1. Suci Ulandari (19110002)


2. Shinta Amelia (19110010)
3. Mardiana (19110058)
4. Yusnani Jayanti (19110063)
5. Zeki One Wansen M (19110069)
6. Sepri Suwandi (19110071)
7. Sirwan Sabana (19110022.P)

FAKULTAS/JURUSAN
HUKUM/ILMU HUKUM
UNIVERSITAS TAMANSISWA PALEMBANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah S.W.T, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah dan karunianya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah Hukum
Perkawinan judul “Poligami”.

Tidak lupa penyusun mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada segenap


pihak yang telah membantu dan memberikan bimbingan serta arahan selama penulisan
makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dalam kesempurnaan, oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun sangat penyusun harapkan demi kesempurnaan makalah
ini.

Palembang, 29 November 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………i

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………..ii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………..1

1.1 Latar belakang…………………………………………………………………………1

1.2 Rumusan masalah……………………………………………………………………...3

1.3 Tujuan………………………………………………………………………………….3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………..………………......4

2.1 Pengertian Poligami...………………………………………………………………….4

2.2 Historisitas Poligami…...………………………………………………………………5

BAB III PEMBAHASAN...………………………………………………………………7

3.1 Poligami Menurut Hukum Positif...……………………………………………………7

3.2 Pandangan Ulama Klasik Tentang Hukum Poligami…………………………………..11

BAB IV PENUTUP...…………………….………………………………………………16

Kesimpulan…………………………………………………………………………………16

Saran………………………………………………………………………………………..16

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..………….17
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Poligami adalah perkawinan antara seorang pria dengan beberapa wanita pada
waktu yang sama, atau antara seorang wanita dengan beberapa orang pria pada waktu yang
sama (Seccombe & Warner, 2004). Poligami dapat dibagi menjadi tiga bentuk yaitu
Polygyny, Polyandry, dan Group marriage. Polygyny (poligini) adalah perkawinan antara
seorang pria dengan beberapa wanita pada waktu yang sama. Polyandry (poliandri) yaitu
perkawinan antara seorang wanita dengan lebih dari seorang pria pada waktu yang sama.
Group marriage (perkawinan kelompok) atau yang juga disebut dengan poliginandri
merupakan perkawinan dua orang pria atau lebih dengan dua orang wanita atau lebih pada
waktu yang sama (Seccombe & Warner, 2004; Fisher & Goodwin dalam Regan, 2003).
Dari ketiga bentuk poligami tersebut menurut Murdock (dalam Regan, 2003) berdasarkan
penelitian yang diperoleh dari 862 kelompok masyarakat di seluruh dunia, bentuk
perkawinan poligini terjadi pada sekitar 83% atau 713 kelompok masyarakat, sehingga
poligini merupakan bentuk perkawinan poligami yang terbanyak dilakukan oleh
masyarakat. Istilah poligini jarang sekali dipakai dalam penggunaan sehari-hari, dan
cenderung diartikan sama dengan poligami (Radjab, 2003). Oleh karena itu, untuk
selanjutnya dalam penelitian ini digunakan istilah poligami untuk menggambarkan
perkawinan satu orang pria dengan beberapa perempuan dalam waktu yang sama.

Ahmad (2007) memaparkan bahwa Poligami sendiri sebenarnya sudah dikenal


sejak berabad-abad lalu oleh orang-orang Mesir, Perancis dan Syiria, juga Rusia serta
Jerman, sebagian juga oleh Raja-raja Yunani dulu. Dia juga menjelaskan bahwa menurut
para ahli sejarah dan ahli sosial, Poligami telah ada dalam berbagai fase sejarah. Pada
awalnya diketahui bahwa tujuan poligami adalah untuk memperbudak wanita. Orang-
orang yang kuat dan kaya raya, terutama para raja, mengambil beberapa perempuan untuk
kenikmatan dan melayani mereka. Seperti yang terjadi pada suku Nouvella Caledonia
(Perancis) yang menikahkan seorang laki-laki dengan sepuluh atau lebih perempuan
dengan tujuan mempekerjakan mereka di sawah. Hingga akhirnya muncul keyakinan
bahwa adalah suatu kehormatan jika para lelaki dapat mengumpulkan banyak istri
(Husein, 2003). Begitu juga halnya yang terjadi pada orang-orang Arab yang
membolehkan poligami tanpa ada batasan atau ikatan tertentu. Laki-laki Arab ketika itu
boleh menikahi sebanyak mungkin perempuan asalkan dia memiliki keperkasaan dan
kekayaan yang banyak (Ahmad, 2007). Hingga akhirnya ajaran Muhammad SAW
disebarkan di negara-negara Arab yang kemudian membatasi jumlah wanita yang dikawini
menjadi hanya empat saja dan mensyaratkan untuk berbuat adil pada istri-istrinya. Hingga
kini Poligami masih diberlakukan di beberapa negara seperti negara-negara timur-tengah,
asia, afrika, amerika utara juga pada beberapa komunitas di Eropa (Altman & Ginat, 1996;
Broude, 1994 dalam Al- Krenawi, Slonim-Nevi & Graham, 2006) bahkan Husein (2003)
menambahkan bahwa beberapa suku di Australia, Tasmania, Selandia baru, dan
Madagaskar juga masih melakukan Poligami. Menurut Ahmad (2007) poligami bukanlah
karakteristik negara timur dan monogami tidak juga menjadi karakteristik Negara barat.

Di Indonesia, juga cukup banyak kasus poligami mulai dari kalangan pejabat, artis,
pemuka agama, hingga masyarakat biasa. Berdasarkan data pada tahun 2001, permohonan
izin untuk berpoligami yang diajukan ke Pengadilan Tinggi Agama di seluruh Indonesia
adalah sebanyak 1130 perkara, namun yang sudah dikabulkan sebanyak 860 perkara
(Fahmayanti, 2003). Pada tahun 2005 menjadi 989 permohonan izin poligami yang
diajukan pada Pengadilan Tinggi Agama. Ada 803 permohonan dikabulkan, sisanya
ditangguhkan atau ditolak (Menguak sisi gelap poligami, Hukum Online, 2006).

Sebagai suatu sistem perkawinan, poligami juga tidak terlepas dari pemenuhan
fungsi-fungsi perkawinan. Menurut Duvall dan Miller (1985) terdapat beberapa fungsi
penting dalam perkawinan dan berkeluarga, antara lain untuk menumbuhkan dan
memelihara cinta serta kasih sayang, menyediakan rasa aman dan penerimaan,
memberikan kepuasan dan tujuan, menjamin kebersamaan, menyediakan status sosial dan
kesempatan bersosialisasi, serta memberikan pengawasan dan pembelajaran tentang
kebenaran. Meskipun tidak disangkal juga bahwa terdapat keinginan untuk
memenuhi fungsi-fungsi tersebut, namun dalam perkawinan poligami perlu menjadi
pertimbangan karena seorang suami yang berpoligami sekarang harus mengurus,
bertanggungjawab dan memperhatikan dua unit rumah tangga, ia harus mengubah sikap
dan perilakunya. Tuntutan untuk membagi waktu, keuangan, pribadi dan lain-lain seadil-
adilnya akan dihadapinya. Fungsi-fungsi keluarga harus ia jalankan untuk 2 unit rumah
tangga atau lebih. (Soewondo, 2001)
Menurut Fathurrohman (2007) dalam ajaran Islam syarat untuk seorang laki- laki dapat
berpoligami mampu berbuat adil baik dalam hal materi, ataupun perhatian dan kasih
sayang serta alokasi waktu. (Fathurrohman, 2007). Di Indonesia perkawinan poligami
diakui bahkan diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974. Ketentuan ini
terdapat pada pasal 3,4 dan 5. (Mulia, 2004; Undang- undang perkawinan,
www.sdm.ugm.ac.id). Seorang suami yang ingin menikah lagi diberikan syarat-syarat dan
kewajiban yang harus dipenuhi untuk dapat mengajukan permohonan perkawinan lagi. Hal
ini diatur dalam pasal 5 yang menjelaskan bahwa suami tersebut harus mendapat
persetujuan dari istri/istri-istri, serta adanya kepastian bahwa suami akan mampu
memenuhi kebutuhan istri-istri dan anak-anaknya, juga suami tersebut harus menjamin
bahwa dirinya akan berlaku adil terhadap mereka.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana poligami menurut Hukum Positif ?


2. Bagaimana pandangan ulama klasik tentang Hukum Poligami?

1.3 Tujuan

1. Agar mengetahui poligami menurut Hukum Positif


2. Agar mengetahui pandangan ulama klasik tentang Hukum Poligami
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Poligami

Salah satu bentuk perkawinan yang sering diperbincangkan dalam masyarakat


adalah poligami karena mengundang pandangan yang kontroversial. Poligami adalah
ikatan perkawinan dalam hal mana suami mengawini lebih dari satu istri dalam waktu
yang sama. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersifat
poligami. Selain poligami disebut juga poliandri. Jika dalam poligami suami yang
memiliki beberapa istri, dalam poliandri sebaliknya, justri istri yang mempunyai
beberapa suami dalam waktu yang sama. Akan tetapi dibandingkan poligami, bentuk
poliandri tidak banyak dipraktekkan. Praktek poliandri hanya dijumpai pada beberapa
suku tertentu seperti suku Tuda dan suku-suku di Tibet.

Secara etimologis (lughawi) kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu
gabungan dari dua kata: poli atau polus yang berarti banyak dan gamein dan gamos yang
berarti perkawinan. Dengan demikian poligami berarti perkawinan yang banyak. Secara
terminologi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, poligami didefinisikan sebagai
ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenis
dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan berpoligami berarti menjalankan atau
melakukan poligami.

Walaupun ada juga yang memahami ayat tentang poligami dengan batasan empat
atau bahkan lebih dari Sembilan isteri. Singkatnya, poligami adalah ikatan perkawinan
yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) isteri dalam waktu
yang bersamaan. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan
bersifat poligami.

Islam mendefinisikan poligami sebagai perkawinan seorang suami dengan isteri


lebih dari seorang dengan batasan maksimal empat orang isteri dalam waktu yang
bersamaan. Batasan ini didasarkan pada QS. al- Nisa’(4): 3 yang berbunyi:

”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Dari ayat itu ada juga sebagian ulama yang memahami bahwa batasan poligami itu
boleh lebih dari empat orang isteri bahkan lebih dari sembilan isteri. Namun batasan
maksimal empat isterilah yang paling banyak diikuti oleh para ulama dan dipraktikkan
dalam sejarah.

2.2 Historisitas Poligami


Menurut catatan sejarah, poligami telah ada jauh sebelum Islam hadir. Bahkan
praktik poligami pada saat itu dapat dikatakan cukup marak. Hal ini dapat dilihat dari
ajaran agama yang dibawa oleh para nabi sebelum Rasulullah. Nabi Musa misalnya, ia
tidak melarang dan juga tidak membatasi jumlah wanita yang diperistri oleh seorang
lelaki.Baidan mengemukakan bahwa poligami sudah ada di kalangan bangsa-bangsa
yang hidup pada zaman purba, seperti Yunani, China, India, Babilonia, Asyria, Mesir,
dan lain-lainnya. Bahkan, poligami pada masyarakat tersebut tidak dibatasi jumlahnya
hingga mencapai 130 istri bagi seorang suami. Seorang raja di China malah memiliki
istri sebanyak 30.000 orang.

Kitab Talmud yang disebut sebagai penafsiran hukum Taurat telah membatasi
berapa istri yang boleh dinikahi. Akan tetapi, umat Yahudi pada akhirnya menjalankan
poligami tanpa memberikan batasan mengenai jumlah istri. Sebagianahli hukum dari
Bangsa Yahudi melarang praktik poligami, namun sebagian lainnya memperbolehkan
dengan syarat istri pertama mandul. Namun, menurut Abbas Al-‘Aqqad, agama samawi
selain Islam, termasuk Yahudi dan Nasrani, membolehkan pemeluknya untuk menikah
secara poligami tanpa adanya batas. Dalam bukunya, Haqa>iq Al-Isla>m wa
Aba>thilu Khushu>mihi, ia mengatakan, tidak ada larangan di dalam Taurat maupun
Injil untuk beristri banyak. Memiliki istri yang banyak jumlahnya merupakan sesuatu
yang diperbolehkan yang diambil dari (ajaran) nabi-nabi mereka sejak zaman Nabi
Ibrahim sampai dengan anak keturunannya.

Syariat yang dibawa oleh Nabi Isa juga tidak melarang poligami. Umat Nasrani kuno
tidak ada yang menyatakan bahwa poligami tidak diperbolehkan. St. Agustinus juga
menyatakan kebolehan poligami. Bahkan, di abad IV, Raja Valintinian membuat undang-
undang yang mengizinkan seorang lelaki mempunyai istri lebih dari satu. Baru pada
masa Raja Yustinian dikeluarkan larangan poligami.Ajaran Zoroaster melarang bangsa
Persia berpoligami, namun membolehkan memelihara gundik. Karena mereka banyak
berperang, maka dibutuhkan keturunan laki-laki dalam jumlah banyak dari istri maupun
gundiknya. Meski awalnya dilarang, praktik poligami pada akhirnya tetap terjadi. Tidak
ada undang-undang yang melarang poligami ataupun yang membatasi jumlah istri.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Poligami Menurut Hukum Positif

1. Undang-Undang No.1 tahun 1974


Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 4 dan pasal 5 telah
mengatur bahwa pada hakikatnya asas perkawinan adalah monogami akan tetapi
poligami diperbolehkan jika memenuhi syarat- syarat yang ditentukan oleh undang-
undang. Seorang laik-laki yang beristri untuk dapat melakukan poligami harus
mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya dengan
membawa kutipan akta nikah yang terdahulu dan surat-surat izin yang diperlukan.
Dalam UU No.1 Tahun 1974, yang berkaitan dengan poligami adalah pasal 3, 4 dan 5.
Adapun bunyi pasal tersebut sebagai berikut:

Pasal 3
1. Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya
boleh memiliki seorang suami.
2. Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
3.
Pasal 4
1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam
pasal 3 ayat Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan
di daerah tempat tinggalnya.
2. Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang
akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Permohonan ini bisa diajukan jika syarat-syarat yang dibawah ini terpenuhi:
Pasal 5
1. Adanya persetujuan dari istri
Permohonan ini akan dikabulkan oleh pengadilan jika memenuhi persyaratan sebagai
berikut:

a) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.


b) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup istri-istri
dan anak-anak mereka.
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak
mereka.
Adapun ketentuan-ketentuan yuridis formil yang menjadi dasar
hukumpemberian izin poligami diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun1974
tentang perkawinan,junctoPeraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975, junto Instruksi
Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 Pasal 3 ayat (2) junto Pasal 43 Peraturan Pemerintah No.9
tahun1975,menyatakan bahwa “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami
untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki pihak-pihak yang bersangkutan”.
Selain itu dalam Pasal 4 ayat (1) dinyatakan “dalam hal seorang suami akan beristeri
lebih dariseorang,sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat
(2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di
daerah tempat tinggalnya”.57

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 mengatur ketentuan pelaksanaan


pemberian izin poligami dalam pasal 43 disebutkan bahwa”apabila Pengadilan
berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka
Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.58

Dianutnya asas monogami dalam ketentuan pasal 3 ayat 1 Undang- Undang


Perkawinan mencerminkan pengutamaan diterapkannya asas monogami dalam setiap
perkawinan. Namun, dalam hal kondisi tertentu dan darurat, dimungkinkan adanya
poligami dengan dasar alasan ketat dan persyaratan yang sangat berat. Hal tersebut juga
dimaksudkan untuk menghargai pandangan sebagian masyarakat muslim yang
membolehkan poligami dengan syarat harus mampu berlaku adil.Ketentuan adanya asas
monogami ini bukan hanya bersifat limitatif saja, karena dalam pasal 3 ayat 2 UU
Perkawinan disebutkan dimana pengadilan dapat memberikan izin pada seorang suami
untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh para pihak yang bersangkutan.
Untuk mendapatkan izin poligami dari Pengadilan harus memenuhi syarat-syarat tertentu
disertai dengan alasan yang dibenarkan. Tentang hal ini lebih lanjut diatur dalam pasal 5
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor
9/1975 juga harus mengindahkan ketentuan khusus yang termuat dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 10/1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri
Sipil.59

2. Kompilasi Hukum Islam (KHI)


Sedangkan prosedur poligami diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) bab
IX yaitu pasal 56-59. Sebagaimana berikut:
1. Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan terbatas hanya sampai
empat istri.
2. Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil
terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
3. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
4. Istri mendapatkan cacat badan dan tidak dapat disembuhkan.
5. Istri tidak dapat menghasilkan keturunan.
6. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari
Pengadilan Agama.
7. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin
dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Ketentuan yang termuat dalam Kompilasi hukum Islam tersebut pada
hakekatnya adalah hukum Islam, yang dalam arti sempit sebagai
fikihlokalyangbercirike-Indonesia-an.Dikatakan demikian karena Kompilasi Hukum
Islam digali dari sumber-sumber dan dalil-dalil hukum Islam melalui suatu ijtihad dan
pemikiran hukum kotemporer.61

Tujuan Kompilasi Hukum Islam adalah unifikasi hukum Islam yang


diberlakukan bagi umat Islam menurut kondisi dan kebutuhan hukum masyarakat Islam
Indonesia.Unifikasi hukum Islam tersebut dilakukan berlandaskan atas pemikiran
hukum para ahli hukum Islam tentang perlunya transformasi hukum Islam
kedalamhukum positif, sehingga tercipta keseragaman pelaksanaan hukum Islam
dalam mengatasi masalah-masalah kehidupan ummat Islam dalam bidang mua’amalah.

Dengan demikian perkawinan poligamidianggap sah apabila memenuhi


ketentuan hukum materiil, yaitu telah dilakukan sesuai dan dengan memenuhi syarat-
syarat dan rukunnya menurut hukum Islam, dan telah memenuhi hukum formal, yaitu
dilakukan setelah mendapat izin dari Pengadilan yang membolehkan untuk
melangsungkan perkawian poligami tersebut.

3. Pemerintahan RI Nomor 9 Tahun 1975

Pada Peraturan Pemerintahan RI Nomor 9 Tahun 1975 juga menjelaskan tentang


dasar hukum kebolehan seseorang melakukan poligami. Diantaranya yaitu: Apabila
seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan
permohonan secara tertulis kepada Pengadilan dalam hal ini terdapat pada pasal 40,
setelah adanya pengajuan permohonan secara tertulis, dilanjutkan pada tahap selanjutnya
yang terletak pada pasal 41 yaitu, yang harus dilakukan oleh pengadilan yaitu tahap
pemeriksaan mengenai ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami
kawin lagi, alasan tersebut juga telah di uraikan pada UU No.1 Tahun 1974:

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.


b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Selain itu pengadilan juga memeriksa ada atau tidaknya pernjanjian dari istri, baik
perjanjian lisan maupun tertulis, dengan syarat apabila perjanjian itu merupakan
perjanjian lisan, perjanjian itu harus diucapkan di depan sidang Pengadilan. Pada pasal
41 juga menjelaskan untuk membuktikan bahwa suami sanggup menjamin keperluan
hidup istri-istri dan anak-anak dan pernyataan bahwa suami sanggup berbuat adil
terhadap istri- Untuk melakukan pemeriksaan mengenai syarat yang telah diuraikan pada
pasal 40 dan 41, maka pengadilan harus memanggil dan mendengar penjelasan dari istri
yang bersangkutan dan pemeriksaan ini dilakukan oleh hakim pengadilan yang
bersangkutan, dengan kurun waktu yang telah ditentukan adalah selambat-lambatnya
selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan beserta
lampiran-lampirannya.
Berikutnya pada pasal 42 juga dijelaskan keharusan pengadilan memanggil para
istri untuk memberikan penjelasan atau kesaksian. Di dalam pasal ini juga dijelaskan
bahwa pengadilan diberi waktu selama 30 hari untuk memeriksa permohonan poligami
setelah diajukan oleh suami, lengkap dengan persyaratannya.

3.2 Pandangan Ulama Klasik Tentang Hukum Poligami

1. Pandangan Ulama madzhab tentang Hukum Poligami


a. Madzhab Syafi’i

Imam Syafi`i (w.204 H/820 M) tidak membahas poligami secara spesifik dalam
buku fiqhnya yang sangat monumental, yakni al-Umm. Beliau hanya membicarakan
perempuan yang boleh atau tidak boleh dipoligami dan mengenai batasan jumlah istri.
Menurut Imam Syafi`i, perempuan yang tidak boleh dipoligami secara mutlak dalam
waktu yang sama adalah kakak beradik, baik ia seorang hamba maupun merdeka.
Demikian juga larangan mengawini antara perempuan dan tantenya (baik ‘ammah
maupun khola>h), sebagaimana dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah.Al-
Syafi’i berpendapat bahwa Hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Umar tentang
Gailan bin Salamah al-Saqafi, seorang sahabat nabi yang masuk Islam dengan membawa
sepuluh istrinya, kemudian diperintahkan oleh Nabi untuk memilih empat dari mereka
adalah sebagai dalil akan kebolehan poligami. Bilangan empat yang dimaksud adalah
sebagai batas maksimal bagi seorang yang ingin melakukan poligami.68

Imam Syafi`i sama sekali tidak berbicara tentang syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh seseorang yang ingin berpoligami. Hanya saja, di dalam satu bab khusus
yang bertema‚ Kitab ‘Asyrah al-Nisa>, Syafi`i berbicara tentang masalah bagaimana
seharusnya seorang suami mempergauli istrinya dengan baik, kewajiban dan cara bergilir
bagi seorang lelaki yang berpoligami. Syafi`i juga menegaskan bahwa antara suami dan
istri memiliki hak dan kewajiban masing-masing. Dikatakan juga bahwasanya seorang
yang berpoligami harus adil dalam memberikan jatah kunjungan kepada semua istrinya
dengan perhitungan berdasarkan kuantitas. Tidak ada alasan untuk tidak menggilir
seorang istri walau istri tersebut dalam keadaan sakit parah, haid atau nifas, kecuali jika
istri tersebut menyerahkan jatahnya kepada istri yang lain.69

b. Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi menginterpretasikan surat al-Nisa [4]: 3 secara berbeda dengan
pendapat umum. Pendapat ini diwakili oleh Abu Bakar Jassas Razi yang mengatakan
dalam Ahkam al-Qur’an, bahwa kata yatim dalam ayat tersebut tidak berarti anak yang
ditinggal mati ayahnya semata, tetapi mencakup janda yang ditinggal mati suaminya
juga.

Al-Kasyani (W. 1191M) berpendapat, poligami dibolehkan tetapi syaratnya harus


adil. Namun jika seseorang khawatir tidak bisa berbuat adil dalam nafkah lahir (sandang,
pangan dan papan) dan nafkah batin (membagi giliran tidur) terhadap istri-istrinya, maka
Allah menganjurkan kaum lelaki untuk menikah dengan satu istri saja. Karena bersikap
adil dalam nafkah (lahir-batin) merupakan kewajiban syar’i yang bersifat dlarurah, dan itu
sungguh berat sekali. D{larurah berarti suatu keperluan yang harus ditunaikan karena ia
sangat penting dan pokok. Antara bentuk perlakuan adil terhadap beberapa istri adalah
nafkah lahir yang berkaitan dengan materi (seperti makanan, tempat tinggal dan pakaian)
harus sama. Baik diberikan pada istri merdeka maupun hamba sahaya, karena semua itu
merupakan keperluan-keperluan primer. Suami juga dilarang mengganti kewajiban
nafkah batinnya dengan uang. Demikian pula bagi istrinya, tidak boleh memberikan
uang kepada suaminya agar mendapat jadwal giliran lebih dari istri yang lain.

c. Mazhab Maliki
Kebanyakan buku-buku ulama Malikiyah membahas seputar hukum poligami
hamba sahaya, keharaman beristri lebih dari empat orang serta kewajiban membagi
jadwal giliran terhadap istri-istrinya.Dalam kitab al-Muwatta’, Imam Malik mengatakan
bahwa orang yang melakukan poligami hanya diperbolehkan sebanyak empat istri dan
ini berlaku bagi suami yang merdeka.70
Sementara masalah sikap adil, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa kewajiban bersikap adil di
antara para istri sudah menjadi ijma’ ulama yang tidak boleh ditawar-tawar lagi. Secara
umum, dalam masalah ‘keadilan’ di sini menunjukkan bahwa poligami (baik untuk yang
merdeka maupun hamba) dalam pandangan ulama Malikiyah tak berbeda dengan
pendapat sebagian besar ulama lainnya, yakni poligami dibolehkan tetapi yang menjadi
pertimbangan utama adalah tetap harus berlaku adil.

d. Mazhab Hambali
Penganut mazhab Hambali, Ibnu Taymiyah (w.728 H/1328 M) menjelaskan,
poligami termasuk salah satu keistimewaan dalam syariat Islam sepanjang masa karena
mengandung banyak hikmah di sebaliknya, baik bagi lelaki dan perempuan maupun
masyarakat sosial pada umumnya.Manakala di sudut lain, masalah monogami malah
menjadi perhatian penting bagi Ibnu Quddamah. Senada dengan Imam Al-Nawawi
(mazhab Syafi’i), Ibnu Quddamah pun berpendapat bahwa monogami adalah lebih baik
karena bersikap adil bukanlah hal yang mudah dalam poligami. Sedangkan bersikap adil
adalah wajib bagi yang berpoligami.
Sehubungan itu, Ibnu Quddamah bersama Imam Al-Hajawi, Ibnu Taymiyah dan
Ibnu Al-Qayyim menjelaskan, jika calon seorang istri mengajukan syarat agar tidak
dimadu, dan calon suami setuju, maka suami tidak boleh poligami. Tetapi jika suami
melakukannya, maka istri tersebut berhak mengajukan gugatan untuk membubarkan
pernikahannya. Ahmad bin Hanbal menyebutkan batas maksimal seorang laki-laki
berpoligami hanyalah empat istri dan harus diikuti dengan sikap adil, seperti pembagian
giliran terhadap istri-istri sehingga tidak diperbolehkan condong pada salah satu istri.
Dengan mengutip pada QS. Al-Nisa’ ayat 129, Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa
keadilan yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah keadilan dalam hati, sehingga
dalam ayat itu, Allah menyatakan kemustahilannya kepada manusia untuk membagi
hatinya secara adil.

2. Pandangan Ulama Tafsir tentang Hukum Poligami


a. Ibnu Jarir Al-Tabari (224-310 H/838-923 M)

Tafsir Al-Tabari banyak digunakan oleh sarjana Barat sebagai sumber informasi
utama. Al-Tabari sependapat dengan Imam Malik dalam memahami kebolehan poligami
dengan empat orang istri tidak hanya pada orang merdeka, tetapi hamba pun mempunyai
hak menikahi wanita sampai empat orang. Namun, yang terpenting di sini adalah
perlakuan adil terhadap para istri tersebut. Maksud ayat al-Nisa: 3 tersebut adalah: Jika
kalian takut tidak bisa berbuat adil (dalam mahar) terhadap anak-anak yatim, wahai para
wali yatim. Maka bersikap adillah kepada mereka dan bayarlah mahar mereka sesuai
dengan mahar mitsil (mahar yang serupa dengan kerabat wanita mereka). Lalu janganlah
nikahi mereka, nikahlah dengan wanita lain yang dihalalkan oleh Allah kepada kalian
dan yang kalian senangi dari satu sampai empat wanita. Jika kalian khawatir tidak
bersikap adil dengan menikahi wanita lain lebih dari satu, maka nikahlah dengan satu
wanita saja, kalau tidak cukuplah dengan hamba wanita yang kalian miliki’.71

Demikian pula Al-Tabari dalam memahami ayat di atas adalah dalam konteks
perlakuan terhadap anak-anak yatim yang ada dalam asuhan walinya dan juga
perempuan-perempuan lain yang menjadi istri mereka. Al-Tabari mengatakan bahwa
ayat poligami tersebut diturunkan dalam kasus lelaki yang menikahi sepuluh perempuan
atau lebih dan kemudian memanfaatkan harta kekayaan anak yatim yang diasuhnya
ketika diperlukan karena dia harus menghidupi banyak istri, sehingga menghalangi anak
yatim tersebut terhadap kekayaannya.72

b. Fakhruddin Al-Razi (544-606 H/1149-1209 M)

Al-Razi telah menjelaskan tafsir ayat poligami dari pelbagai sudut pendapat dan
perbedaan pandangan ulama secara detail serta membantah beberapa pendapat yang
dipandang lemah. Antaranya dalam menjelaskan maksud frasa‚ ‘yang merupakan syarat
utama’. Menurutnya, frasa tersebut bermaksud‚’ jika kalian takut tidak bisa berbuat adil
terhadap istri yang berjumlah banyak, maka nikahlah dengan satu perempuan saja atau
dengan hamba wanita dan tinggalkan poligamii’. Di sini beliau menekankan bahwa
hukum poligini bergantung pada kemampuan boleh tidaknya seseorang bersikap adil
terhadap istri-istrinya.
Lebih dari itu, Al-Razi juga sama dengan Al-Tabari dalam menjelaskan
penafsiran ayat di atas. Menurutnya, hendaklah seseorang memperhatikan ayat
sebelumnya, yaitu tentang anak-anak yatim dan larangan memakan harta mereka karena
ia sebagian dari dosa besar. Sehingga ayat tersebut, menurut Al-Razi, seakan-akan
dikatakan kepada mereka: Jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil terhadap anak-
anak yatim, maka hendaklah kalian berhati-hati atau keluar dari tanggungjawab
tersebut. Jika kalian khawatir tiak mampu berlaku adil terhadap istri-istrimu, maka
sedikitkanlah jumlah istri (hendaklah mengawini seorang saja).73
Walau apapun, hukum ‘iba>hah’ poligami yang dimaksudkan al- Qur’an bukan
tidak bersyarat dan tak terlepas dari keadaan sosial ketika ayat tersebut diwahyukan. Jadi
ayat poligami ini bukan saja sebagai pemberi batasan jumlah perempuan yang boleh
dikawin, tetapi justru adalah sebagai peringatan bagi masyarakat yang ketika itu memang
gemar berpoligami sampai tiada batas jumlah istrinya dengan tanpa memperhatikan hak-
hak para perempuan tersebut. Sehingga menurut Al- Razi, penafsiran ayat tersebut lebih
dekat, seolah-olah Allah mengkhawatirkan orang yang memiliki banyak istri, boleh jadi
ia akan terjerumus seperti wali yang mengambil harta anak yatim yang ada dalam
asuhannya, untuk menutupi keperluan yang banyak disebabkan ia memiliki banyak istri.

c. Al-Jashshash (m. 370-980)


Ulama lain yang juga cukup intensif mengupas masalah poligami adalah Al-
Jashshash. Menurutnya, ayat poligami berkenaan dengan anak yatim yang dinikahi
walinya. Pendapat ini didasarkan oleh Al-Jashshash pada satu riwayat hadits dari Urwah,
yang mengatakan, seorang wali dilarang menikahi seorang anak yatim yang ada di
bawah pengampuannya hanya karena alasan kecantikan dan harta anak tersebut. Sebab
dikhawatirkan para wali tersebut memperlakukan anak yatim yang ada di bawah
pemeliharaannya secara tidak adil. Karenanya, lebih baik mereka menikahi wanita lain.
Untuk menguatkan pandangan bahwa ayat ini berhubungan dengan pernikahan dengan
anak yatim, bisa dilihat, bahwa Al-Jashshash meletakkan pembahasan ayat ini
(pernikahan di bawah umur). Menurut Al-Jashshash, poligami hanya bersifat boleh
(mubah). Kebolehan itu juga disertai dengan syarat kemampuan berbuat adil di antara
para istri. Untuk ukuran keadilan di sini, menurut Al-Jashshash, termasuk material,
seperti tempat tinggal, pemberian nafkah, pakaian dan sejenisnya. Kedua kebutuhan non
material, seperti rasa kasih sayang, kecenderungan hati dan semacamnya. Namun dia
mencatat, bahwa kemampuan berbuat adil di bidang non material ini amat berat. Hal ini
disebut sendiri oleh Allah SWT dalam surat Al- Nisa:3.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan

Saran
DAFTAR PUSTAKA

Pengalman Suami dab Istri pada perkawinan poligami Tri Haryadi Fpsi UI
Musdah Mulia, Islam Mengguggat, hal. 46.
WJS Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia(Jakarta:Balai Pustaka, 1984), hal.
693.
Al-Syaukani, Fath al-Qadir: al-Jami’ Bain Fann al-Riwayah wa al-Dirayah min ‘Ilm al-
Tafsir Jilid I(Beirut:Dar al-Fikr, 1973), hal. 240.
Nashruddin Baidan, Tafsir bi Al-Ra’yi: Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al-
Qur’an(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1999), hal. 38.

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta:UII Press, 1999), hal. 37.

Hariyanti, “Konsep Poligami dalam Hukum Islam”,Jurnal Risalah Hukum, Vol. 4 No. 2,
2008, hal. 106.

Ahmad Azhar Basyir, hal. 37.

Jami’ul al-Ahadist, Maktabah Syamilah, Juz 21, hal. 336.

Humaidi Tatapangarsa, Hakekat Poligami dalam Islam(Malang:IKIP MALANG, 1977), hal.


26.

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional(Jakarta:PT. Rineka Cipta, 1991), hal. 289.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang


Perkawinan(Bandung :Citra Umbara), hal. 76-77.

Ibid, hal. 811.

Musdah Mulia, Islam Menggugat, hal. 69.

Asep Nurdin, Hadis-hadis tentang Poligami (Studi Pemahaman Hadis Berprespektif


Jender
(Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2003), hal. 70.

Iffatul Umniati dan Fathonah, Poligami dalam Pandangan Ulama Klasik (Kuala
Lumpur:Sisters In Islam, 2008), hal. 23.

Anda mungkin juga menyukai