“ POLIGAMI ”
Disusun oleh :
Kelompok 5
FAKULTAS/JURUSAN
HUKUM/ILMU HUKUM
UNIVERSITAS TAMANSISWA PALEMBANG
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah S.W.T, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah dan karunianya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah Hukum
Perkawinan judul “Poligami”.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dalam kesempurnaan, oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun sangat penyusun harapkan demi kesempurnaan makalah
ini.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………..ii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………..1
1.3 Tujuan………………………………………………………………………………….3
BAB IV PENUTUP...…………………….………………………………………………16
Kesimpulan…………………………………………………………………………………16
Saran………………………………………………………………………………………..16
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..………….17
BAB 1
PENDAHULUAN
Poligami adalah perkawinan antara seorang pria dengan beberapa wanita pada
waktu yang sama, atau antara seorang wanita dengan beberapa orang pria pada waktu yang
sama (Seccombe & Warner, 2004). Poligami dapat dibagi menjadi tiga bentuk yaitu
Polygyny, Polyandry, dan Group marriage. Polygyny (poligini) adalah perkawinan antara
seorang pria dengan beberapa wanita pada waktu yang sama. Polyandry (poliandri) yaitu
perkawinan antara seorang wanita dengan lebih dari seorang pria pada waktu yang sama.
Group marriage (perkawinan kelompok) atau yang juga disebut dengan poliginandri
merupakan perkawinan dua orang pria atau lebih dengan dua orang wanita atau lebih pada
waktu yang sama (Seccombe & Warner, 2004; Fisher & Goodwin dalam Regan, 2003).
Dari ketiga bentuk poligami tersebut menurut Murdock (dalam Regan, 2003) berdasarkan
penelitian yang diperoleh dari 862 kelompok masyarakat di seluruh dunia, bentuk
perkawinan poligini terjadi pada sekitar 83% atau 713 kelompok masyarakat, sehingga
poligini merupakan bentuk perkawinan poligami yang terbanyak dilakukan oleh
masyarakat. Istilah poligini jarang sekali dipakai dalam penggunaan sehari-hari, dan
cenderung diartikan sama dengan poligami (Radjab, 2003). Oleh karena itu, untuk
selanjutnya dalam penelitian ini digunakan istilah poligami untuk menggambarkan
perkawinan satu orang pria dengan beberapa perempuan dalam waktu yang sama.
Di Indonesia, juga cukup banyak kasus poligami mulai dari kalangan pejabat, artis,
pemuka agama, hingga masyarakat biasa. Berdasarkan data pada tahun 2001, permohonan
izin untuk berpoligami yang diajukan ke Pengadilan Tinggi Agama di seluruh Indonesia
adalah sebanyak 1130 perkara, namun yang sudah dikabulkan sebanyak 860 perkara
(Fahmayanti, 2003). Pada tahun 2005 menjadi 989 permohonan izin poligami yang
diajukan pada Pengadilan Tinggi Agama. Ada 803 permohonan dikabulkan, sisanya
ditangguhkan atau ditolak (Menguak sisi gelap poligami, Hukum Online, 2006).
Sebagai suatu sistem perkawinan, poligami juga tidak terlepas dari pemenuhan
fungsi-fungsi perkawinan. Menurut Duvall dan Miller (1985) terdapat beberapa fungsi
penting dalam perkawinan dan berkeluarga, antara lain untuk menumbuhkan dan
memelihara cinta serta kasih sayang, menyediakan rasa aman dan penerimaan,
memberikan kepuasan dan tujuan, menjamin kebersamaan, menyediakan status sosial dan
kesempatan bersosialisasi, serta memberikan pengawasan dan pembelajaran tentang
kebenaran. Meskipun tidak disangkal juga bahwa terdapat keinginan untuk
memenuhi fungsi-fungsi tersebut, namun dalam perkawinan poligami perlu menjadi
pertimbangan karena seorang suami yang berpoligami sekarang harus mengurus,
bertanggungjawab dan memperhatikan dua unit rumah tangga, ia harus mengubah sikap
dan perilakunya. Tuntutan untuk membagi waktu, keuangan, pribadi dan lain-lain seadil-
adilnya akan dihadapinya. Fungsi-fungsi keluarga harus ia jalankan untuk 2 unit rumah
tangga atau lebih. (Soewondo, 2001)
Menurut Fathurrohman (2007) dalam ajaran Islam syarat untuk seorang laki- laki dapat
berpoligami mampu berbuat adil baik dalam hal materi, ataupun perhatian dan kasih
sayang serta alokasi waktu. (Fathurrohman, 2007). Di Indonesia perkawinan poligami
diakui bahkan diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974. Ketentuan ini
terdapat pada pasal 3,4 dan 5. (Mulia, 2004; Undang- undang perkawinan,
www.sdm.ugm.ac.id). Seorang suami yang ingin menikah lagi diberikan syarat-syarat dan
kewajiban yang harus dipenuhi untuk dapat mengajukan permohonan perkawinan lagi. Hal
ini diatur dalam pasal 5 yang menjelaskan bahwa suami tersebut harus mendapat
persetujuan dari istri/istri-istri, serta adanya kepastian bahwa suami akan mampu
memenuhi kebutuhan istri-istri dan anak-anaknya, juga suami tersebut harus menjamin
bahwa dirinya akan berlaku adil terhadap mereka.
1.3 Tujuan
Secara etimologis (lughawi) kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu
gabungan dari dua kata: poli atau polus yang berarti banyak dan gamein dan gamos yang
berarti perkawinan. Dengan demikian poligami berarti perkawinan yang banyak. Secara
terminologi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, poligami didefinisikan sebagai
ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenis
dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan berpoligami berarti menjalankan atau
melakukan poligami.
Walaupun ada juga yang memahami ayat tentang poligami dengan batasan empat
atau bahkan lebih dari Sembilan isteri. Singkatnya, poligami adalah ikatan perkawinan
yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) isteri dalam waktu
yang bersamaan. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan
bersifat poligami.
”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Dari ayat itu ada juga sebagian ulama yang memahami bahwa batasan poligami itu
boleh lebih dari empat orang isteri bahkan lebih dari sembilan isteri. Namun batasan
maksimal empat isterilah yang paling banyak diikuti oleh para ulama dan dipraktikkan
dalam sejarah.
Kitab Talmud yang disebut sebagai penafsiran hukum Taurat telah membatasi
berapa istri yang boleh dinikahi. Akan tetapi, umat Yahudi pada akhirnya menjalankan
poligami tanpa memberikan batasan mengenai jumlah istri. Sebagianahli hukum dari
Bangsa Yahudi melarang praktik poligami, namun sebagian lainnya memperbolehkan
dengan syarat istri pertama mandul. Namun, menurut Abbas Al-‘Aqqad, agama samawi
selain Islam, termasuk Yahudi dan Nasrani, membolehkan pemeluknya untuk menikah
secara poligami tanpa adanya batas. Dalam bukunya, Haqa>iq Al-Isla>m wa
Aba>thilu Khushu>mihi, ia mengatakan, tidak ada larangan di dalam Taurat maupun
Injil untuk beristri banyak. Memiliki istri yang banyak jumlahnya merupakan sesuatu
yang diperbolehkan yang diambil dari (ajaran) nabi-nabi mereka sejak zaman Nabi
Ibrahim sampai dengan anak keturunannya.
Syariat yang dibawa oleh Nabi Isa juga tidak melarang poligami. Umat Nasrani kuno
tidak ada yang menyatakan bahwa poligami tidak diperbolehkan. St. Agustinus juga
menyatakan kebolehan poligami. Bahkan, di abad IV, Raja Valintinian membuat undang-
undang yang mengizinkan seorang lelaki mempunyai istri lebih dari satu. Baru pada
masa Raja Yustinian dikeluarkan larangan poligami.Ajaran Zoroaster melarang bangsa
Persia berpoligami, namun membolehkan memelihara gundik. Karena mereka banyak
berperang, maka dibutuhkan keturunan laki-laki dalam jumlah banyak dari istri maupun
gundiknya. Meski awalnya dilarang, praktik poligami pada akhirnya tetap terjadi. Tidak
ada undang-undang yang melarang poligami ataupun yang membatasi jumlah istri.
BAB III
PEMBAHASAN
Pasal 3
1. Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya
boleh memiliki seorang suami.
2. Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
3.
Pasal 4
1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam
pasal 3 ayat Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan
di daerah tempat tinggalnya.
2. Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang
akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Permohonan ini bisa diajukan jika syarat-syarat yang dibawah ini terpenuhi:
Pasal 5
1. Adanya persetujuan dari istri
Permohonan ini akan dikabulkan oleh pengadilan jika memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
Imam Syafi`i (w.204 H/820 M) tidak membahas poligami secara spesifik dalam
buku fiqhnya yang sangat monumental, yakni al-Umm. Beliau hanya membicarakan
perempuan yang boleh atau tidak boleh dipoligami dan mengenai batasan jumlah istri.
Menurut Imam Syafi`i, perempuan yang tidak boleh dipoligami secara mutlak dalam
waktu yang sama adalah kakak beradik, baik ia seorang hamba maupun merdeka.
Demikian juga larangan mengawini antara perempuan dan tantenya (baik ‘ammah
maupun khola>h), sebagaimana dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah.Al-
Syafi’i berpendapat bahwa Hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Umar tentang
Gailan bin Salamah al-Saqafi, seorang sahabat nabi yang masuk Islam dengan membawa
sepuluh istrinya, kemudian diperintahkan oleh Nabi untuk memilih empat dari mereka
adalah sebagai dalil akan kebolehan poligami. Bilangan empat yang dimaksud adalah
sebagai batas maksimal bagi seorang yang ingin melakukan poligami.68
Imam Syafi`i sama sekali tidak berbicara tentang syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh seseorang yang ingin berpoligami. Hanya saja, di dalam satu bab khusus
yang bertema‚ Kitab ‘Asyrah al-Nisa>, Syafi`i berbicara tentang masalah bagaimana
seharusnya seorang suami mempergauli istrinya dengan baik, kewajiban dan cara bergilir
bagi seorang lelaki yang berpoligami. Syafi`i juga menegaskan bahwa antara suami dan
istri memiliki hak dan kewajiban masing-masing. Dikatakan juga bahwasanya seorang
yang berpoligami harus adil dalam memberikan jatah kunjungan kepada semua istrinya
dengan perhitungan berdasarkan kuantitas. Tidak ada alasan untuk tidak menggilir
seorang istri walau istri tersebut dalam keadaan sakit parah, haid atau nifas, kecuali jika
istri tersebut menyerahkan jatahnya kepada istri yang lain.69
b. Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi menginterpretasikan surat al-Nisa [4]: 3 secara berbeda dengan
pendapat umum. Pendapat ini diwakili oleh Abu Bakar Jassas Razi yang mengatakan
dalam Ahkam al-Qur’an, bahwa kata yatim dalam ayat tersebut tidak berarti anak yang
ditinggal mati ayahnya semata, tetapi mencakup janda yang ditinggal mati suaminya
juga.
c. Mazhab Maliki
Kebanyakan buku-buku ulama Malikiyah membahas seputar hukum poligami
hamba sahaya, keharaman beristri lebih dari empat orang serta kewajiban membagi
jadwal giliran terhadap istri-istrinya.Dalam kitab al-Muwatta’, Imam Malik mengatakan
bahwa orang yang melakukan poligami hanya diperbolehkan sebanyak empat istri dan
ini berlaku bagi suami yang merdeka.70
Sementara masalah sikap adil, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa kewajiban bersikap adil di
antara para istri sudah menjadi ijma’ ulama yang tidak boleh ditawar-tawar lagi. Secara
umum, dalam masalah ‘keadilan’ di sini menunjukkan bahwa poligami (baik untuk yang
merdeka maupun hamba) dalam pandangan ulama Malikiyah tak berbeda dengan
pendapat sebagian besar ulama lainnya, yakni poligami dibolehkan tetapi yang menjadi
pertimbangan utama adalah tetap harus berlaku adil.
d. Mazhab Hambali
Penganut mazhab Hambali, Ibnu Taymiyah (w.728 H/1328 M) menjelaskan,
poligami termasuk salah satu keistimewaan dalam syariat Islam sepanjang masa karena
mengandung banyak hikmah di sebaliknya, baik bagi lelaki dan perempuan maupun
masyarakat sosial pada umumnya.Manakala di sudut lain, masalah monogami malah
menjadi perhatian penting bagi Ibnu Quddamah. Senada dengan Imam Al-Nawawi
(mazhab Syafi’i), Ibnu Quddamah pun berpendapat bahwa monogami adalah lebih baik
karena bersikap adil bukanlah hal yang mudah dalam poligami. Sedangkan bersikap adil
adalah wajib bagi yang berpoligami.
Sehubungan itu, Ibnu Quddamah bersama Imam Al-Hajawi, Ibnu Taymiyah dan
Ibnu Al-Qayyim menjelaskan, jika calon seorang istri mengajukan syarat agar tidak
dimadu, dan calon suami setuju, maka suami tidak boleh poligami. Tetapi jika suami
melakukannya, maka istri tersebut berhak mengajukan gugatan untuk membubarkan
pernikahannya. Ahmad bin Hanbal menyebutkan batas maksimal seorang laki-laki
berpoligami hanyalah empat istri dan harus diikuti dengan sikap adil, seperti pembagian
giliran terhadap istri-istri sehingga tidak diperbolehkan condong pada salah satu istri.
Dengan mengutip pada QS. Al-Nisa’ ayat 129, Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa
keadilan yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah keadilan dalam hati, sehingga
dalam ayat itu, Allah menyatakan kemustahilannya kepada manusia untuk membagi
hatinya secara adil.
Tafsir Al-Tabari banyak digunakan oleh sarjana Barat sebagai sumber informasi
utama. Al-Tabari sependapat dengan Imam Malik dalam memahami kebolehan poligami
dengan empat orang istri tidak hanya pada orang merdeka, tetapi hamba pun mempunyai
hak menikahi wanita sampai empat orang. Namun, yang terpenting di sini adalah
perlakuan adil terhadap para istri tersebut. Maksud ayat al-Nisa: 3 tersebut adalah: Jika
kalian takut tidak bisa berbuat adil (dalam mahar) terhadap anak-anak yatim, wahai para
wali yatim. Maka bersikap adillah kepada mereka dan bayarlah mahar mereka sesuai
dengan mahar mitsil (mahar yang serupa dengan kerabat wanita mereka). Lalu janganlah
nikahi mereka, nikahlah dengan wanita lain yang dihalalkan oleh Allah kepada kalian
dan yang kalian senangi dari satu sampai empat wanita. Jika kalian khawatir tidak
bersikap adil dengan menikahi wanita lain lebih dari satu, maka nikahlah dengan satu
wanita saja, kalau tidak cukuplah dengan hamba wanita yang kalian miliki’.71
Demikian pula Al-Tabari dalam memahami ayat di atas adalah dalam konteks
perlakuan terhadap anak-anak yatim yang ada dalam asuhan walinya dan juga
perempuan-perempuan lain yang menjadi istri mereka. Al-Tabari mengatakan bahwa
ayat poligami tersebut diturunkan dalam kasus lelaki yang menikahi sepuluh perempuan
atau lebih dan kemudian memanfaatkan harta kekayaan anak yatim yang diasuhnya
ketika diperlukan karena dia harus menghidupi banyak istri, sehingga menghalangi anak
yatim tersebut terhadap kekayaannya.72
Al-Razi telah menjelaskan tafsir ayat poligami dari pelbagai sudut pendapat dan
perbedaan pandangan ulama secara detail serta membantah beberapa pendapat yang
dipandang lemah. Antaranya dalam menjelaskan maksud frasa‚ ‘yang merupakan syarat
utama’. Menurutnya, frasa tersebut bermaksud‚’ jika kalian takut tidak bisa berbuat adil
terhadap istri yang berjumlah banyak, maka nikahlah dengan satu perempuan saja atau
dengan hamba wanita dan tinggalkan poligamii’. Di sini beliau menekankan bahwa
hukum poligini bergantung pada kemampuan boleh tidaknya seseorang bersikap adil
terhadap istri-istrinya.
Lebih dari itu, Al-Razi juga sama dengan Al-Tabari dalam menjelaskan
penafsiran ayat di atas. Menurutnya, hendaklah seseorang memperhatikan ayat
sebelumnya, yaitu tentang anak-anak yatim dan larangan memakan harta mereka karena
ia sebagian dari dosa besar. Sehingga ayat tersebut, menurut Al-Razi, seakan-akan
dikatakan kepada mereka: Jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil terhadap anak-
anak yatim, maka hendaklah kalian berhati-hati atau keluar dari tanggungjawab
tersebut. Jika kalian khawatir tiak mampu berlaku adil terhadap istri-istrimu, maka
sedikitkanlah jumlah istri (hendaklah mengawini seorang saja).73
Walau apapun, hukum ‘iba>hah’ poligami yang dimaksudkan al- Qur’an bukan
tidak bersyarat dan tak terlepas dari keadaan sosial ketika ayat tersebut diwahyukan. Jadi
ayat poligami ini bukan saja sebagai pemberi batasan jumlah perempuan yang boleh
dikawin, tetapi justru adalah sebagai peringatan bagi masyarakat yang ketika itu memang
gemar berpoligami sampai tiada batas jumlah istrinya dengan tanpa memperhatikan hak-
hak para perempuan tersebut. Sehingga menurut Al- Razi, penafsiran ayat tersebut lebih
dekat, seolah-olah Allah mengkhawatirkan orang yang memiliki banyak istri, boleh jadi
ia akan terjerumus seperti wali yang mengambil harta anak yatim yang ada dalam
asuhannya, untuk menutupi keperluan yang banyak disebabkan ia memiliki banyak istri.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Pengalman Suami dab Istri pada perkawinan poligami Tri Haryadi Fpsi UI
Musdah Mulia, Islam Mengguggat, hal. 46.
WJS Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia(Jakarta:Balai Pustaka, 1984), hal.
693.
Al-Syaukani, Fath al-Qadir: al-Jami’ Bain Fann al-Riwayah wa al-Dirayah min ‘Ilm al-
Tafsir Jilid I(Beirut:Dar al-Fikr, 1973), hal. 240.
Nashruddin Baidan, Tafsir bi Al-Ra’yi: Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al-
Qur’an(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1999), hal. 38.
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta:UII Press, 1999), hal. 37.
Hariyanti, “Konsep Poligami dalam Hukum Islam”,Jurnal Risalah Hukum, Vol. 4 No. 2,
2008, hal. 106.
Iffatul Umniati dan Fathonah, Poligami dalam Pandangan Ulama Klasik (Kuala
Lumpur:Sisters In Islam, 2008), hal. 23.