Anda di halaman 1dari 8

1.

Pendahuluan

Poligami adalah perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isrti
dalam waktu yang bersamaan. Lawan dari poligami adalah monogami. Poligami
sudah berjalan seiring perjalanan sejarah umat manusia, sehingga poligami
bukanlah suatu trend baru yang muncul tiba-tiba saja. Dalam pandangan islam
poligami dapat membawa maslahat apabila suami dapat berlaku adil. Tetapi yang
terjadi di lapangan tidak sesuai dengan konsep poligami yang di maksud dalam
islam.

Seperti yang tejadi oleh amelia. Amelia, perempuan berusia 29 tahun,


harus rela dimadu oleh suaminya dengan Sefti. Sefti adalah janda yang menginjak
usia 37 tahun. Suami amelia yang bernama gilang,telah lama menjalin asmara
dengan sefti tanpa sepengetahuan amelia. Amelia baru mengetahui perselingkuhan
suaminya ketika melihat isi pesan yang ada di hp suaminya. Setelah hubungan
asmara nya di ketahui sang istri, barulah gilang mengajukan poligami ke
Pengadilan Agama Balikpapan. Setelah melewati persidangan selama tiga kali,
Gilang yang berpenghasilan Rp 10 juta per bulan akhirnya memiliki dua istri.
Pada persidangan hakim menitikberatkan izin dari istri pertama karena izin dari
istri pertama sangat penting. Amelia ikhlas di poligami dan tidak meminta cerai
karena dirinya khawatir apabila melakukan perceraian, sang suami akan
menelantarkan anak mereka.

Poligami yang dilakukan sekarang ini banyak yang tidak sesuai dengan
konsep poligami dalam islam. Jika dibandingkan dengan poligami yang dilakukan
oleh Nabi Ibrahim, poligami sekarang ini banyak terjadi hanya karena pemenuhan
nafsu belaka. Poligami yang dijalani Nabi Ibrahim adalah karena rekomendasi
dari istrinya. Pada saat itu Nabi Ibrahim yang telah menikah puluhan tahun
dengan siti sarah belum dikaruniai keturunan. Siti sarah pun merekomendasikan
Nabi Ibrahim untuk menikah lagi agar memiliki keturunan. Kisah poligami Nabi
Ibrahim sesungguhnya menjadi acuan moral (akhlak) bahwa poligami yang
dilatarbelakangi alasan personal sebaiknya atas rekomendasi pihak perempuan
atau istri. Jadi bukan atas inisiatif sepihak dari laki-laki atau suami. Dengan kata
lain, istri adalah pihak yang secara moral menjadi penentu apakah seorang suami
sebaiknya berpoligami atau tidak untuk keluar dari persoalan yang mereka hadapi.

Dalam menciptakan poligami yang sehat, peran izin istri sebagai syarat
poligami sangat menentukan dan harus diwujudkan dalam suatu peraturan yang
berpihak pada kaum perempuan. Prosedur pemberian izin istri sebagai syarat
poligami harus ditaati secara konsisten, sehingga pelaksanaan poligami benar-
benar lebih diarahkan sesuai dengan tujuan perkawinan. Poligami yang sehat tidak
akan menimbulkan masalah-masalah seperti kekerasan pada wanita, perceraian,
broken home pada anak dan sebagainya.

2. Analisis Kasus
Banyak faktor yang membuat seseorang melakukan poligami, yaitu:
a. Kebutuhan Biologis
Hampir setiap informan menyadari bahwa kebutuhan biologis
merupakan kebutuhan yang sangat esensial dalam sebuah lingkup
perkawinan. Hal ini dikarenakan perkawinan dapat menjadi jalan
mewujudkan dorongan seks yang merupakan sebuah kebutuhan biologis
manusia. Apabila kebutuhan biologis ini tidak berjalan sebagaimana yang
diharapkan maka yang muncul adalah upaya untuk mendapatkan pasangan
lain diluar perkawinan.
b. Istri tidak mampu memberi keturunan
Ketika seorang istri tidak mampu melahirkan keturunan bagi
suaminya, maka akan ada 2 keputusan yang mungkin dipilih oleh pasangan
tersebut. Pertama, mengadopsi seorang anak, dan pilihan kedua yaitu sang
istri merelakan suaminya menikah lagi dengan wanita lain. Tetapi tidak
sedikit juga suami yang tetap setia saat istri nya tidak mampu memberikan
keturunan.
c. Istri sakit berkepanjangan
Tidak bisa dipungkiri kalau istri pertama mengidap penyakit
berkepanjangan dan tidak bisa memenuhi kebutuhan biologis suami dan melayani
dan memuaskan suami, istri harus merelakan suaminya untuk menikah lagi.
Daripada membiarkan suami untuk berzina, lebih baik mengizinkannya untuk
berpoligami yang memang sah dimata agama dan negara.
Poligami yang tidak sehat juga akan memberikan dampak bagi istri dan anak,
yaitu:
a. Menjadi pemicu munculnya kasus-kasus KDRT dalam rumah
tangga, tak hanya pada istri namun juga bisa terhadap anak
b. Memicu rasa ketidak adilan bagi sang istri karena suami kini harus
membagi perasaan, harta, dan lainnya kepada wanita lainnya
c. Munculnya perasaan bersalah atau bahkan menyalahkan dirinya
sendiri atas pilihan suaminya untuk melakukan poligami
diakibatkan ketidak mampuannya dan kegagalannya dalam
menjalankan tugas dan kewajiban sebagai istri.
d. Istri merasa malu dengan lingkungan sekitar sehingga sering
menghindari aktivitas sosial di lingkungan masyarakat.
e. Memicu rasa stress dan depresi berat bagi istri yang belum siap
menerima kondisi yang ada.
f. Anak merasa kurang kasih sayang dan perhatian, tak jarang kondisi
ini dapat menjadi faktor penyebab kenakalan anak.
3. Teori Sosiologi Hukum
Poligami yang terjadi saat ini mengalami penyimpangan/perubahan dari
poligami yang di konsep dalam islam sebelumya. Hal ini terjadi dikarenakan
adanya perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Menurut Smelser, terdapat
empat faktor perubahan sosial, yaitu keadaan struktur untuk berubah, dorongan
untuk berubah, adanya mobilisasi untuk berubah, dan pelaksanaan kontrol sosial.
Perubahan sosial yang pertama, dimulai tahun 1945 ketika kemerdekaan
negara Republik Indonesia diproklamirkan. Perubahan praktek poligami dari
privilese para raja, berubah bisa dipraktekkan oleh masyarakat, karena perubahan
bentuk negara Kerajaan menjadi Republik. Perubahan dari Kerajaan ke Republik
ini didorong oleh keinginan kuat dari founding fathers negeri ini untuk
mempersatukan wilayah Nusantara. Bentuk Kerajaan tidak mungkin dapat
mempersatukan wilayah Nusantara, karena secara de facto wilayah Nusantara
terdiri atas banyak kerajaan besar dan kecil. Selain itu, perubahan bentuk negara
Kerajaan menjadi Republik dimobilisasi dan dikontrol oleh founding fathers yang
terdiri atas berbagai unsur dan elemen masyarakat.
Perubahan sosial yang kedua tentang praktek poligami oleh masyarakat
menimbulkan pro dan kontra, tetapi bersifat silent (sunyi). Perubahan sosial yang
kedua ini terjadi sebelum UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 resmi diundangkan.
Pihak yang pro umumnya melakukan praktek poligami secara siri dengan
melibatkan Kiai sebagai Penghulu dan tanpa pesta perkawinan Sementara pihak
yang kontra diam karena tidak memiliki pijakan formal (UndangUndang,
misalnya), untuk melakukan perlawanan. Menurut hemat penulis, meski terjadi
pro dan kontra tetapi pihak pro praktek poligami lebih kuat.
Perubahan sosial ketiga ditandai dengan lahirnya UU Perkawinan No. 1
Tahun 1974. Pihak pro poligami mulai berkurang, meski praktek poligami masih
terjadi. Justru perlawanan dari pihak kontra poligami mulai menguat, karena
memiliki pijakan formal. Wacana menikah sah menurut agama dan tidak sah
menurut negara mulai terpublikasikan. Bagi yang pro poligami, selalu saja
merujuk pada kitab-kitab kuning dan bagi yang kontra otomatis merujuk pada UU
Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
Perubahan sosial keempat terjadi akibat kehadiran PP No. 10 Tahun 1983
tentang Izin Kawin bagi PNS dan PP No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan PP
No. 10 Tahun 1983 yang diterbitkan oleh pemerintahan Orde Baru. Ini semakin
mempersempit ruang gerak mereka yang pro praktek poligami dari kalangan
Pegawai Negeri Sipil dan otomatis memperkuat posisi yang kontra poligami.
Pihak yang kontra poligami secara leluasa memanfaatkan media cetak dan
elektronika untuk publikasi anti poligami.
Perubahan sosial kelima ditandai dengan pembentukan KOMNAS Anti
Kekerasan terhadap Perempuan yang lazim disebut dengan KOMNAS Perempuan
berdasarkan Kepres No. 181 Tahun 1998, kemudian diperkuat dengan KOMNAS
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berdasarkan UU No. 23 Tahun 2002.
Terlebih adanya peran dan keterwakilan perempuan di DPR RI yang sejak orde
Reformasi mengalami peningkatan
4. Dasar Hukum dan Perundang undangan
Undang undang poligami di atur dalam pasal 5 ayat (1) huruf A Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu mengenai adanya
persetujuan istri/istriistri bagi suami yang mengajukan izin poligami, adalah
bersifat mengatur kebolehan berpoligami, adalah sifat mengatur pelaksanaan
kebolehan berpoligami, bukan menutup kebolehannya. Adanya persetujuan dari
istri atau istri-istri bagi suami yang bermaksud ingin menikah lagi dengan wanita
lain (berpoligami) adalah salah satu syarat untulk mengajukan permohonan izin
berpoligami kepengadilan Agama (pasal 4 ayat (1) dan pasal 5 ayat (1) huruf a
Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Selain persyaratan
adanya persetujuan istri, masih terdapat dua persyaratan lagi, yaitu adanya
kepastian bahwa suami yang bersangkutan mampu menjamin keperluan keperluan
hidup istri dan anak-anak mereka dan adanya jaminan bahwa suami akan berlaku
adil terhadap istri istri dan anakanak mereka (Pasal 5 ayat (1) huruf b dan c).
Pengadilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan Kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan bagi yang beragama Islam mengenai perkara Perdata tertentu,
berwenang mengabulkan/mengizinkan atau tidak mengabulkan/tidak mengizinkan
permohonan izin poligami yang diajukan oleh seorang suami (Pasal 10 ayat (1)
Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 49 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama serta Pasal 4 Undangundang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan ). Pengadilan Agama akan mmberikan izin kepada seorang suami
untuk berpoligami apabila terbukti bahwa : a. Istri tidak dapat menjalankan
kewajiban sebagai istri. b. Istri mendapat cacat badan atau tidak dapat
disembuhkan. c. Istri tidak dapat menlahirkan keturunan.
Dari ketentuan peraturan perundangan tersebut diatas secara jelas dapat
disimpulkan bahwa hukum tidak memberikan keleluasaan bagi para suami untuk
melakukan perkawinan poligami. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 bukan
menganut azas monogamy. Seorang suami hanya dapat menikah lagi dengan
wanita lain apabila is lebih daulu memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh
undang-undang.
5. Tinjauan Hukum Islam
Poligami diatur dalam Alqur’an surah An-Nisa ayat 3. Di ayat tersebut
dijelaskan bahwasannya seorang laki-laki bisa menikahi lebih dari satu orang
perempuan. Tetapi pada dasarnya ayat ini menerangkan tentang monogami. Hal
ini dapat dipahami dari ayat tersebut , kendati Allah SWT memberi peluang untuk
beristri sampai empat orang, tetapi peluang itu dibarengi oleh syarat-syarat yang
sebenarnya cukup berat untuk ditunaikan kecuali oleh orang-orang tertentu saja.
Allah SWT membarengi kebolehan berpoligami dengan ungkapan “jika kamu
takut atau cemas tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah satu perempuan
saja”. Firman Allah SWT surat an-Nisa’ ayat (3) tersebut selalu dipahami sebagai
dasar kebolehan berpoligami. Dalam ayat tersebut untuk kebolehan berpoligami
hanya dipersyaratkan dapat berlaku adil. Hal ini dipahami secara kontradiktif dari
mafhum ayat yang jika dungkapkan secara lengkap akan menjadi “jika kamu tidak
yakin dapat berlaku adil cukupkanlah dengan isteri satu saja, namun apabila kamu
benar-benar yakin akan dapat berlaku adil, silahkan menikahi perempuan dua atau
tiga atau empat sebagai istrimu”.
Poligami juga diperbolehkan untuk menjaga keturunan, hal ini sesuai
dengan maqashid syariah “Hifz nasli”. Hifzun nasl sendiri merupakan salah satu

dari dharuriyyatul-khams. Dharûriyyâtul-khams, yaitu menyangkut lima


kebutuhan penting yang semestinya dijaga oleh kaum Muslimin. Dan dalam

masalah ini Al Qur’an dan Hadits telah memberikan perhatian yang besar.
Dharûriyyâtul-khams yang dimaksudkan, yaitu meliputi penjagaan terhadap
agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Kalau di perhatikan praktik poligami di
tengah-tengah masyarakat, dapat kita simpulkan bahwa para poligam masih
banyak yang mengabaikan aturan-aturan poligami sebagaimana yang sudah diatur.
Kebanyakan dari mereka melakukan poligami hanya karena pemenuhan nafsu
belaka, sehingga mengabaikan prinsip-prinsip pokok dalam hukum islam, yakni
terwujudnya keadilan dan kemaslahatan.
6. Kesimpulan

Poligami adalah perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri
dalam waktu yang bersamaan. Dalam pandangan islam poligami dapat membawa
maslahat apabila suami dapat berlaku adil. Tetapi yang terjadi di lapangan tidak
sesuai dengan konsep poligami yang di maksud dalam islam. Poligami yang
dilakukan sekarang ini banyak yang tidak sesuai dengan konsep poligami dalam
islam. Hal ini disebabkan beberapa perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.
Poligami juga disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu:

a. Kebutuhan biologis
b. Istri yang tidak mampu memberikan keturunan
c. Istri yang sakit berkepanjangan
Poligami sendiri diatur dalam pasal 5 ayat (1) huruf A Undang-undang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan di dalam Kompilasi Hukum islam.
Di Al-Qur’an sendiri diperbolehkannya poligami terdapat dalam surah An-
Nisa ayat 3.

7. Rekomendasi
Dalam poligami izin seoran istri sangatlah penting selain untuk meminta
ridha nya izin seorang istri juga menentukan boleh tidaknya poligami yang akan
di putuskan oleh hakim. Jika dilihat dari kasus yang di atas, Gilang suami dari
amelia tidak berani meminta izin ke istrinya. Karena takut gilang akhirnya
menjalin asmara secara diam-diam dengan seorang janda. Tidak lama istrinya
mengetahui hubungan asmara yang dilakukan suaminya. Akhirnya setelah
ketahuan gilang mengajukan untuk poligami. Poligami nya sendiri akhirnya
dikabulkan karena sang istri telah mengizinkannya.
Poligami yang dilakukan oleh masyarakat sekarang sangat berbeda dengan
poligami yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim melakukan poligami
untuk menjaga keturunan, sedangkan masyarakat sekarang hanya untuk
memenuhi nafsu belaka.
Hal menarik untuk diperhatikan terkait kisah poligami Nabi Ibrahim
adalah bahwa inisiatif poligami tidak berasal dari suami tetapi dari istri. Dalam
poligami yang dilakukan Nabi Ibrahim, Siti Sarah adalah inisiator. Artinya
poligami yang dijalani Nabi Ibrahim atas rekomendasi Siti Sarah setelah
menyadari perkawinannya dengan Nabi Ibrahim yang sudah berjalan puluhan
tahun belum menurunkan seorang anakpun. Kisah poligami Nabi Ibrahim
sesungguhnya menjadi acuan moral (akhlak) bahwa poligami yang
dilatarbelakangi alasan personal sebaiknya atas rekomendasi pihak perempuan
atau istri. Jadi bukan atas inisiatif sepihak dari laki-laki atau suami. Dengan kata
lain, istri adalah pihak yang secara moral menjadi penentu apakah seorang suami
sebaiknya berpoligami atau tidak untuk keluar dari persoalan yang mereka hadapi.
Berdasarkan pasal 33 Undang-Undang Perkawinan, suami istri harus saling cinta
mencintai, hormat menghormati, setia dan memberikan bantuan lahir bathin, yang
satu kepada yang lain. Bukan pada saat istri menderita penyakit atau cacat badan
yang tidak dapat disembuhkan, suami bukannya mendampingi dan memberi
semangat, tetapi malah menikah lagi. Pernikahan kedua dan seterusnya dari suami
tersebut, tentunya akan menambah penderitaan istrinya, karena pada dasarnya,
wanita tidak akan rela suminya menikah lagi.

Anda mungkin juga menyukai