Anda di halaman 1dari 16

TUGAS KELOMPOK

HUKUM KELUARGA DAN PERKAWINAN 4.1

Hak dan Kewajiban Istri Dalam Rumah Tangga Serta Putusnya Perkawinan dan Macam
Macam nya

Dosen Pengampu

Dian Amelia., S.H., M.H.

Disusun Oleh

Satya Adhi Wicaksana. 1810112062


Livia Deni Zhandra 1810111054

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2021

DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga
sejahtera bahagia di mana kedua suami isteri memikul amanah dan tanggung jawab.
Sesuai dengan rumusan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan :“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Perkawinan menurut ajaran Agama Islam memiliki nilai ibadah, Pasal 2


Kompilasi Hukum Islam menegaskan “Perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.
Perceraian sebaiknya dihindari karena merupakan hal yang dibenci Allah
SWT.Sabda Rasulullah SAW dalam hadits-nya juga menguatkan hal tersebut. Hadits
tersebut berbunyi : “Demi Allah, diantara perbuatan halal yang sangat dibenci oleh Allah
ialah Thalaq dan Allah menjatuhkan laknatnya kepada laki-laki dan perempuan yang
banyak mempergunakan jalan perceraian guna memenuhi nafsu birahinya”.

Perselisihan-perselisihan yang terjadi sedapat mungkin diselesaikan secara baik-


baik.Perselisihan yang menjurus kearah perceraian harus dihindari karena pada
prinsipnya Undang-Undang Perkawinan di Indonesia menganut ketentuan mempersulit
terjadinya perceraian. Kalaupun terjadi perceraian, hal tersebut merupakan jalan akhir
yang akan di tempuh apabila memang perkawinan tersebut tidak dapat dipertahankan
lagi.
Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk mengajuan perceraian,
sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 39 Ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, dan diulang lagi yang sama bunyinya dalam Pasal 19 Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 adalah :
1. Salah satu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya serta sukar disembuhkan;
2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut- turut, tanpa
izin pihak yang lain dan tanpa alas an yang sah atau karena hal di luar
kemampuannya;
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak yang lain;
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Perlu diketahui bahwa kehidupan rumah tangga tidak lepas dari permasalahan, baik
masalah yang sepele hingga masalah yang membutuhkankedewasaan berpikir agar
terhindar dari pertengkaran yang berkepanjangan.Sehingga hal ini membutuhkan saling
memahami antar suami istri, perlumengetahui hak dan kewajiban suami terhadap isteri
atau hak dan kewajiban isteriterhadap suami.
Dewasa ini banyak kasus perceraian yang terjadi di kalangan masyarakat,apapun
alasannya mengapa kalangan masyarakat sering terjadi kasus perceraian,mungjin mereka
belum banyak memahami hak dan kewajiban suami terhadapistri atau sebaliknya. Maka
dipandang perlu untuk kita mengkaji dan membahashal tersebut secara mendalam.

2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hak dan kewajiba suami dan istri dalam rumah tangga ?
2. Apa itu pengertian putusan perkawinan dan macam – macam nya ?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hak dan Kewajiba Suami dan Istri dalam Rumah Tangga
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI DALAM RUMAH TANGGA

Hak adalah kekuasaan seseorang untuk melakukan sesuatu, sedangkan kewajiban adalah sesuatu
yang harus dikerjakan. Dengan dilangsungkannya akad nikah antara laki-laki dan perempuan
yangdilakukan oleh walinya, maka terjalinlah hubungan suami-istri dan menimbulkan hak dan
kewajiban suami-istri dalam hidup berumah tangga.

Kewajiban suami adalah sesuatu yang harus suami laksanakan dan penuhi untuk istrinya,
sedangkan kewajiban istri adalah sesuatu yang harus istri laksanakan dan penuhi untuk suaminya.
Begitu juga dengan hak, hak suami adalah sesuatu yang harus diterima oleh suami dari istrinya,
sedangkan hak istri adalah sesuatu yang harus diterima oleh istri dari suaminya. Dengan demikian
kewajiban yang dilakukan oleh suami merupakan upayaa untuk memenuhi hak istri, demikian juga
kewajiban yang dilakukan oleh istri merupakan upaya untu memenuhi hak suami.

Hak-hak dalam perkawinan dibagi menjadi tiga, sebagai berikut :

1. Hak-hak bersama suami-istri, sebagai berikut :


a. Hak bergaul antara suami-istri dan masing-masing dapat bersenang-senang satu sama
lain.
b. Terjadinya hubungan mahram semenda; istri menjadi mahram ayah suami, kakeknya,
dan seterusnyaa bagian ke atas, demikian pula suami menjadi mahram ibu, nenek, dan
seterusnya ke atas dari pihak istri.
c. Terjadi hubungan waris-mewaris antara suami-istri sejak akad nikah dilaksanakan. Istri
berhak menerima waris atas peninggalan suami, demikian pula, suami berhak
menerima waris atas peninggalan istri, meskipun mereka belum pernah melakukan
pergaulan suami-istri.
d. Anak ang lahir dari istri bernasab padaa suaminya (apabila pembuahan terjadi sebagai
hasil hubungan setelah menikah).
e. Bergaul dengan baik antara suami-istri, sehingga tercipta kehidupan rumah tangga
yang harmonis dan damai. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S An-
Nisa ayat 19 dan berdasarkan pasal 33 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, bahwa suami-istri wajib saling cinta-mencintai, hormay-menghormati,
setia, dan memberikan bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain.

2. Hak-hak istri, sebagai berikut :


Hak-hak istri yang menjadi kewajiban suami dapat dibagi menjadi dua, sebagai
berikut :
a. Hak-hak kebendaan : terdiri dari mahar dan nafkah lahir batin.
b. Hak-hak bukan kebendaan :
- Istri berhak untuk dihargai, dihormati, dan mendapatkan perlakuan baik
dari suaminya, serta meningkatkan taraf hidupnya dalam bidang agam,
akhlak, dan ilmu pengetahuan yang diperlukan.
- Istri berhak dilindungi dan dijaga nama baiknya oleh suaminya.
- Istri berhak dipenuhi kebutuhan kodrat (hajat) biologis istri oleh
suaminya.
3. Hak-hak suami, sebagai berikut :
Hak-hak suami yang wajib dipenuhi istri hanya merupakan hak-hak bukan
kebendaan, sebab menurut hukum islam istri tidak dibebani kewajiban kebendaan yang
diperlukan untuk mencukupkan kebutuhan hidup keluaraga. Berikut hak-hak suami yang
harus dilakukan dan dipenuhi istri :
a. Hak untuk ditaati sebagai imam dan kepala keluarga dalam rumah tangga.
b. Taat pada perintah suami, kecuali, apabia melanggar larangan Allah SWT.
c. Istri berdiam dirumah, tidak keluar rumah kecuali dengan izin suami.
d. Hak-hak memberikan pelajaran da nasiat yang baik kepada istri.

Mengenai hak-hak suami-istri, berdasarkan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974


tentang perkawinan, berbunyi :

(1) Hak dan kedudukn istri adalah seimbag dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan berumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah kepala keluaraga dalam rumah tangganya dan istri adalah ibu rumah
tangga dalam rumah tangganya.

Ketentuan mengenai Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,


mensejahterakan antara hak dan kedudukan suami-istri dalam kehidupan berumah tangga, hal ini
disesuai dengan tatanan kehidupan bermasyarakat. Begitu juga dalam mempergunakan hak
kebendaa. Hak dan kedudukan istri dalam berumah tangga seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam lingkungan kehidupan keluarga, pergaulan hidup bersama dalam masyarakat dimana
masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Adapun kewajiban-kewajiban suami istri dalam berumah tangga berdasarkan Pasal 34 Undang-
Undang Nomor 1 TTahun 1974 tentang perkawinan :

(1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan berumah
tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2) Istri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya.
(3) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan
ke pengadilan.

Undang-undang memperkuat apa yang merupakan hak yang sepatutnya menjadi kewajiban suami-
istri. Suami yang lalai memberikan hal-hal yang perlu diberikan kepada istrinya, dapat dipaksakan
atau diselesaikan melalui jalur pengadilan. Istri yang meninggalkan rumah tanpa alasan-alasan
yang sah, maka ia kehilangan hak untuk pemberian nafka. Jika suami atau istri melalaikan
kewajibannya masing-masing, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan ke
pengadilan.

PUTUSNYA PERKAWINAN DAN MACAM-MACAMNYA

Berdasarkan ketentuan pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawiana,


terdapat beberapa alasan putusnya perkawinan :

1. Putusnya perkawinan karena kematian; putusnya perkawinan karena kematian bukan


disebabkan oleh kematian perdata (le mort civile), melainkan karen akematian dari pribadi
suami atau istri dalam kehidupan.
2. Putusnya perkawinan karena perceraian dapat disebabkan karena beberapa alasan, sebagai
berikut :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang jelas dan sah atau karen ahal lain yang
diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiaayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain.
e. Salah satu pihakk mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami / istri.
f. Antara suami dan istri terus-meneru terjadi perselisihan atau pertengkara dan
tidak ada harapan akan hidup rukum lagi dalam rumah tangga.
3. Putusnya perkawinan karena keputusan pengadilan.

Tampaknya undang-undang mempersulit upaya suami-istri untuk bercerai. Hal ini tidak lain
karena dalam agama islam dan kristen, perceraian merupakan sesuatu yang tercela. Oleh karena
itu, Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menentukan
bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Berdasarkan Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam, menyatakan alasan putusnya perkawinan
disebabkan oleh :

1. Kematian,
2. Perceraian,
3. Atas putusan pengadilan.

Terdapat juga beberapa macam putusnya perkawinan karena perceraian berdasarkan Kompilasi
Hukum Islam (KHI), sebagai berikut :

1. Khuluk ; khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan
tebusan atau iwadh kepada dan atas persetujuan suami (Pasal 1 i Kompilasi Hukum Islam).
2. Li’an; Li’an terjadi karena suami menuduh istrinya telah berbuat zina atau mengingkari
anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari rahim istrinya, sedangkan istri menolak
tuduhan dan atau pengingkaran tersebut (pasal 126 KHI).
3. Talak ; talak adalah ikrar suami dihadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah
satu sebab putusnya perkawinan (Pasal 117 KHI). Macam-macam talak berdasarkan KHI,
sebagai berikut :
a. Talak Raj’i adalah talak kesatu/kedua, dimana suami berhak rujuk selama istri
dalam masa iddah (Pasal 118 KHI).
b. Talak Ba’in merupakan talak yang ketiga kalinya atau talak sebelum istri
dicampuri atau talak dengan tebusan istri kepada suami. Talak Ba’in ini terdiri
dari talak ba’in shugraa dan tala ba’in kubraa (Pasal 119 dan Pasal 120 KHI).
c. Talak Sunny merupakan talak yang dibolehkan, yakni talak yang dijatuhkan
terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dala waktu suci tersebut
(Pasal 121 KHI).
d. Talak Bid’I adalah talak yang dilarang, yakni talak yang dijatuhkan pada waktu
istri dalam keadaan haid atau istri dalam keaadaan suci, tetapi sudah dicampuri
pada waktu suci tersebut (Pasal 122 KHI0.

2.2 Putusnya Perkawinan dan Macam – Macamnya.


a. Pengertian Putusnya Perkawinan

Putusnya perkawinan merupakan istilah hukum yang sering digunakan


dalam Undang-Undang Perkawinan untuk menjelaskan berakhirnya hubungan
perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang selama hidup
menjadi sepasang suami istri. Istilah yang paling sering digunakan dalam kehidupan
sehari-hari adalah perceraian.
b. Pengertian Putusnya Perkawinan Berdasarkan Undang-Undang

Perkawinan

Istilah “perceraian” terdapat dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang memuat ketentuan bahwa perkawinan dapat

putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan.

Perceraian menurut hukum Agama Islam yang telah dipositifkan dalam


Pasal 38 dan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang telah
dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mencakup perceraian
dalam pengertian cerai talak dan perceraian dalam pengertian cerai gugat.
Perceraian karena talak adalah perceraian yang diajukan oleh suami kepada
Pengadilan Agama. Sedangkan perceraian karena cerai gugat ialah perceraian
yang diajukan oleh istri kepada Pengadilan Agama.

c. Bentuk – Bentuk Putusnya Perkawinan


` Mengenai bentuk-bentuk putusnya hubungan perkawinan ini, sesungguhnya telah

disinggung dalam undang-undang No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, dalam Pasal 38.

Di dalam Pasal 38 ini menyebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena tiga sebab

sebagai berikut: (Pertama) karena kematian ( Kedua) karena Perceraian, dan ( Ketiga)

karena Keputusan Pengadilan

Kendatipun pada pasal ini disebutkan tiga hal atau tiga sebab, tetapi kalau kita

mencoba mencermati dan menafsirkan rumusan Pasal 38 dalam undang-undang ini, maka

dapat dipahami dengan jelas bahwa bubarnya suatu ikatan perkawinan antara suami isteri

tampaknya sangat berkaitan dengan motif-motifnya, yakni kehendak atau keinginan untuk

bercerai. Dipandang dari segi motif atau kehendak tersebut, terjadinya perceraian antara

suami isteri ini dikarenakan empat sebab.

Keempat bentuk penyebab putusnya perkawinan tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, putusnya perkawinan karena meninggalnya salah seorang suami atau

isteri, Seperti diketahui dengan masalah ini, manakala salah seorang dari suami atau isteri

meninggal dunia, maka dengan sendirinya hubungan perkawinan antara suami atau isteri

berakhir. Dalam literatur–literatur tentang hukum Islam disebut bahwa putusnya suatu

perkawinan disebabkan kematian ini disebut dengan cerai mati ( Yunus 1956, hlm: 111)

Kedua, putusnya perkawinan atas kehendak pihak suami dengan alasan alasan

tertentu yang dibenarkan oleh hukum, dan kehendaknya tersebut dinyatakan dalam bentuk

ucapan atau tulisan yang mengandung makna putusnya hubungan perkawinan antara suami

isteri. Dengan ungkapan lain, bahwa berakhirnya suatu perkawinan bermula dari kehendak
suami. Putusnya hubungan perkawinan semacam ini disebut dengan cerai

Thalak .Mengenai konsep thalak menurut hukum Islam dan perundang-undangan ini, lebih

lanjut akan dikemukakan secara rinci dalam uraian mendatang.

Ketiga Putusnya perkawinan atas kehendak isteri dengan alasan-alasan tertentu

dengan pembayaran uang iwadl (Ganti rugi) Artinya dalam hal ini kehendak berpisa itu

berasal dari isteri, sedangkan suami sebenarnya tidak menghendaki bubarnya suatu

perkawinan. Dengan ungkapan lain, keinginan untuk memutuskan hubungan perkawinan

yang disampaikan atau yang datangnya dari kemauan si isteri kepada suami, dengan

pembayaran uang iwadl ( ganti rugi) itu, dan diterima oleh suami dengan dilanjutkan

dengan ucapannya untuk memutuskan perkawinan tersebut didepan Pengadilan Agama

yang, menyebabkan putusnya hubungan perkawinan. Dalam kitab–kitab fiqh, putusnya

perkawinan seperti ini disebut dengan Khulu’. Mengenai konsep khulu, menurut hukum

Islam ini juga akan diuraikan lebih rinci dalam uraian mendatang.

Keempat Putusnya perkawinan atas kehendak bersama antara suami dan isteri,

Perceraian seperti ini biasanya terjadi bukan karena percekcokan antara kedua bela pihak

melainkan biasanya karena belum mempunyai keturunan, tidak jarang terjadi peristiwa

seperti ini, setelah mereka memutuskan untuk bercerai, dengan melalui proses hukum,

kemudian setelah habis masa iddah, masing-masing menikah lagi dengan orang lain. Dan

keduanya mendapat keturunan. Perkawinan seperti ini sejodoh tetapi tidak senasib

Kelima Putusnya perkawinan atas keputusan hakim sebagai pihak ketiga.

Berakhirnya ikatan perkawinan seperti ini disebut Fasakh. Fasakh ini dalam aturan hukum

Islam dapat merusak atau membatalkan perkawinan, atas permintaan salah satu pihak oleh

Hakim Pengadilan Agama. Tuntutan pemutusan perkawinan ini disebut fasakh, karena

salah satu pihak menemui kekurangan yang terdapat pada pihak lain. Perlu dikemukakan
bahwa sesungguhnya kalau dilihat dari segi syarat dan rukun perkawinan yang sudah

berlangsung itu dianggap syah, dengan segala akibat hukumnya. Tetapi karena dikemudian

hari ada hal-hal yang menyenbabkan perkawinan harus dibubarkan, maka hakim dapat

memutuskan hubungan suami isteri tersebut. Dalam hal ini bubarnya hubungan

perkawinan dimulai sejak difasakhkannya perkawinan tersebut.

Seperti dikemukakan bahwa terjadinya faskh ialah dengan cara salah satu pihak

mengajukan permintaan pemutusan hubungan perkawinan itu kepada Pengadilan Agama.

Adapun dasar dari putusnya hubungan perkawinan dalam bentuk fasakh adalah hadits Nabi

Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah yang berbunyi sebagai berikut:”

Rasul membolehkan seorang wanita yang sesudah ia kawin baru mengenal bahwa ia tidak

sekufu ( sederajat atau sepadan ) untuk itu boleh memilih tetap atau diteruskannya

hubungan perkawinannya itu atau ia ingin untuk di fasakh kan wanita itu memilih

meneruskan hubungan perkawinan itu dengan yang lebih rendah derajatnya”

Biasanya alasan menuntut fasakh di Pengadilan adalah isteri. Adapun alasan boleh

seseorang isteri menuntut fasakh di Pengadilan Agama adalah sebagai berikut:

1. Suami sakit gila

2. Suami menderita penyakit menular yang tidak dapat diharapkan sembuh,

3. Suami tidak mampu atau kehilangan kemampuan untuk melakukan hubungan kelamin

4. Suami jatuh miskin hingga tidak mampu memberi nafkah pada isteri

5. Isteri merasa tertipu baik dalam nasab, kekayaan atau kedudukan suami.

6. Suami pergi tanpa diketahui tempat tinggalnya dan tanpa berita, sehingga tidak

diketahui hidup atau mati dan waktunya sudah cukup lama (Sumiyati 1982 hlm: 114)
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Keseimbangan hak dan kewajiban suami istri menurut hukum positif yaitu hak dan
kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah
tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Dalam pelaksanaan memenuhi
kewajiban bagi suami atau istri, keduanya memiliki hak yang berimbang, akan tetapi baik suami
maupun istri memiliki tugas masing-masing, yaitu suami sebagai kepala keluarga sedangkan
ibu sebagai ibu rumah tangga.
Perbedaan hak dan kewajiban suami istri menurut hukum positif ialah hak dan
kewajiban suami istri memiliki arti yang berbeda. Hak diartikan sebagai kekuasaan untuk
berbuat sesuatu, dan apa-apa yang diterima oleh seseorang dari orang lain merupakan arti dari
kata hak. Sedangkan kewajiban ialah apa yang mesti dilakukan seseorang terhadap orang lain.
Dari pengertian dua kata tersebut dapat disimpulkan bahwa hak berarti sesuatu yang didapatkan
dari pekerjaan yang dilakukan, sedangkan kewajiban adalah pekerjaan yang harus dilakukan.
Adapun persamaan hak dan kewajiban suami istri yaitu sama-sama menerima hak dari masing-
masing pasangan suami-istri, bahwa seorang istri mendapatkan hak dari suami dan suami
mendapatkan hak dari istri, dimana keduanya sudah melakukan kewajibannya sebagai sepasang
suami istri dalam sebuah keluarga, tentu ini merupakan kesamaan yang timbul untuk
keharmonisan dalam kerukunan rumah tangga ketika hak dan kewajibannya sama sama di
lakukan oleh suami istri

Masalah putusnya perkawinan serta akibatnya di atur di dalam Undang-undang No. 1


Tahun 1974 dalam Bab VIII Pasal 38 sampai dengan Pasal 41. Di dalam Pasal 38 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi:

“Perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan Pengadilan”.
Putusnya perkawinan karena kematian maksudnya adalah apabila apabila salah seorang
dari kedua suami istri itu meninggal dunia, maka perkawinannya putus karena adanya kematian.
Sementara putusnya perkawinan karena perceraian antara suami istri maksudnya apabila suami
istri itu bercerai. Perceraian ini dapat terjadi langsung atau dengan tempo dengan menggunakan
kata talaq atau kata lain yang senada. Sedangkan putusnya perkawinan karena putusan
Pengadilan terjadi karena pembatalan perkawinan, dengan demikian perkawinan itu harus
memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 6 dan 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Syarat-
syarat yang tidak dapat dipenuhi dalam suatu perkawinan, maka perkawinannya dapat dibatalkan.

3.2 Saran
1. Untuk masyarakat umum di Indonesia, bahwa melaksanakan hak dan kewajiban
suami-istri perlu ada pembelajaran yang harus benar-benar dipahami, sehingga hak dan
kewajibannya bisa terpenuhi secara maksimal, sehingga setelah menikah suami maupun
istri mengetahui dimana yang harus dilakukannya sebagai kewajiban, dan dimana yang
harus di dapatkannya sebagai hak, jangan sampai hal ini terbalik dan akhirnya bisa
menimbulkan kesalah pahaman dalam rumah tangga.
2. Untuk suami istri, dalam melaksanakan hak dan kewajiban, haruslah ada
keterkaitannya dengan hal yang bersangkutan, artinya diantara kedua belah pihak baik
suami maupun istri mendapatkan haknya dengan baik. Karena ketika seseorang
menuntut haknya dengan baik, tentu dia akan sadar mana yang harus dilakukannya
sebagai kewajiban. Agar dalam menjaga keutuhan rumah tangga tetap dalam bahtera
yang penuh dengan kedamaian dan ketentraman.
3. Untuk pembaca karya tulis ini, bahwa hidup dalam sebuah rumah tangga pasti
ada masalah yang berkaitan dengan suami maupun istri, oleh karenannya cobalah untuk
saling mengerti dan memahami sifat perbedaan diantara kedua belah pihak tersebut,
sehingga kerukunan tetap terjalin dengan baik. Oleh karena itu suami maupun istri
alangkah lebih baiknya mengetahui dan memahami terlebih dahulu kewajiban-
kewajiban yang harus dilakukannya sehingga hak-haknya pun akan terpenuhi, dan yang
paling penting adalah suami istri saling menerima dan saling memberi.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai