Anda di halaman 1dari 113

BAHAN AJAR

HUKUM ADAT LANJUTAN


Kode Mata Kuliah : BII 3220

PENYUSUN:

ANAK AGUNG ISTRI ARI ATU DEWI, S.H. M.H.

I GUSTI NGURAH DHARMA LAKSANA, SH., MKn

I GUSTI AGUNG MAS RWA JAYANTIARI, SH., MKn

BAGIAN HUKUM DAN MASYARAKAT


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
2016

i
KATA PENGANTAR

Atas asung kerta wara nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang
Maha Esa proses penyelesaian buku bahan ajar Metode Penelitian dan Penulisan
Hukum edisi revisi ini dapat diselesaikan sesuai harapan. Penyempurnaan buku
bahan ajar ini dilakukan karena pentingnya panduan pe-ngajaran pada Fakultas
Hukum Universitas Udayana Denpasar berkaitan dengan mata kuliah metode
penelitian dan penulisan hukum. Hal ini kita sadari bersama bahwa mengingat
hingga saat ini belum banyak karya tulis yang secara komprehensif tentang
metode penelitian dan penulisan hukum yang baku sebagai pedoman khususnya
bagi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana yang tengah menempuh
mata kuliah ini dan mempersiapkan penyusunan skripsi.Hadirnya buku bahan ajar
ini diharapkan yang dapat memberikan gambaran yang jelas dan sistematis
mengenai proses penelitian dari awal perencanaan dalam bentuk usulan proposal
hingga penulisan laporan penelitian sesuai dengan kaidah penulisan akademik.
Buku bahan ajar ini memuat uraian intisari kuliah metode penelitian dan
penulisan
hukum yang didasari oleh berbagai sumber referensi berupa literatur terkait
sehingga terangkai menjadi satu kesatuan yang sistematis. Hal ini tentu akan
mempermudah mahasiswa dalam mempelajarinya karena dapat mremahami
secara utuh terhadap metode penelitian dan penulisan hukum yang nantinya dapat
digunakan sebagai landasan dalam penyusunan skripsinya.
Dalam mewujudkan buku bahan ajar ini, tim penyusun telah berusaha
maksimal agar hasil sesuai dengan harapan. Tetapi dengan segala keterbatasan
yang ada, penyusun menyadari bahwa buku bahan ajar ini masih jauh dari
sempurna, sehingga kritik dan saran dari berbagai pihak sangat membantu
penyempurnaan hasil revisi ini. Atas kritik dan saran dari semua pihak tersebut
kami ucapkan banyak terima kasih. Tidak lupa, Terimakasih kami sampaikan pula
kepada teman-teman dan pada guru besar khususnya pada bagian hukum dan
masyarakat yang telah memberikan masukan dalam penyusunan bahan ajar ini.
Akhir kata kami tujukan kepada para mahasiswa untuk mempelajari bahan
ajar ini dengan baik sehingga dapat memperoleh pemahaman mengenai metode
penelitian dan penulisan hukum ini dengan baik. Sehingga pada akhirnya akan

ii
mampu dan cakap dalam menyelesaikan tugas akhir sebagai mahasiswa Fakultas
Hukum dengan menghasilkan skripsi yang baik dan berkontribusi bagi
pengembangan ilmu pengetahuan.

Denpasar, Juli 2016


Penyusun

iii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ii
Daftar Isi iv

BAB I : HUKUM ADAT LANJUTAN SECARA UMUM 1


Pengertian Hukum Adat 1
Pengertian Hukum Adat Lanjutan 5
Sumber-Sumber Hukum Adat Lanjutan 6
Dasar Hukum Hukum Adat Lanjutan 8

BAB II : HUKUM ADAT LANJUTAN TENTANG PEMERINTAHAN 12


Masyarakat Hukum Adat 12
Pengertian Masyarakat Hukum Adat 12
Faktor-Faktor Pembentuk Masyarakat Hukum Adat 17
Struktur Pemerintahan Dalam Masyarakat Hukum Adat 19
Struktur Organisasi Tradisional Masyarakat Desa 20

BAB III : HK ADAT LANJUTAN TENTANG HUKUM KELUARGA 22


Hukum Perorangan - Istilah-Istilah Hukum Perorangan 22
Pengertian Hukum Perorangan 22
Subyek Hukum Menurut Hukum Adat 23
Badan Hukum Menurut Hukum Adat 25
Syarat-Syarat Badan Hukum Sebagai Subyek Hukum 27
Bentuk-Bentuk Masyarakat Adat Sebagai Badan Hukum 29

BAB IV : HUKUM ADAT LANJUTAN TENTANG KEKELUARGAAN 30


Pengertian Hukum Adat Kekeluargaan 30
Sistem Kekeluargaan di Indonesia 31
Keturunan 33
Pengertian Keturunan Menurut Hukum Adat Pada Umumnya 34
Jenis-Jenis Anak 35
Hubungan Hukum Antara Anak Dengan Orang Tua 37
Hubungan Hukum Antara Anak Dengan Kerabat Orang Tua 38
Pemeliharaan Anak Yatim Piatu 39
Pengangkatan Anak 40
Akibat Hukum Pengangkatan Anak 42
Pengangkatan Anak Pada Masyarakat Bali 42
Pengangkatan Anak di Minangkabau 43
Pengangkatan Anak di Jawa 44

BAB V : HUKUM ADAT LANJUTAN TENTANG PERKAWINAN 46


Pengertian Dan Sejarah Hukum Perkawinan 46
Sejarah Hukum Perkawinan di Indonesia 47
Sistem Perkawinan 49
Bentuk-Bentuk Perkawinan 49
Syarat-Syarat Dan Prosedur Pengesahan Perkawinan 52
Larangan-Larangan Perkawinan 55

iv
Harta Benda Perkawinan 56
Pengertian Dan Alasan-Alasan Perceraian 57
Sahnya Perceraian Dan Akibat Hukum Dari Perceraian 59
BAB VI : HUKUM ADAT LANJUTAN TENTANG PEWARISAN 62
Pengertian Dan Unsur-Unsur Pewarisan 62
Pengertian Pewarisan Unsur-Unsur 62
Prinsip-Prinsip Pewarisan Dalam Hukum Adat Waris 64
Sifat Hukum Adat Waris 69
Sistem Pewarisan Dalam Hukum Adat Waris 70
Syarat-Syarat Dan Proses Pewarisan 71
BAB VII : HK ADAT LANJUTAN TENTANG PEREKONOMIAN 73
Pengertian Dan Ruang Lingkup Hukum Perekonomian 73
Hak Atas Benda 73
Fungsi Tanah Bagi Masyarakat Hukum Adat 76
Hak Ulayat 76
Kedudukan Tanah Adat Dalam Perundang-Undangan 79
Hak Atas Benda Selain Tanah 81
Hak-Hak Immateriil 82
Transaksi-Transaksi Tanah 83
Hukum Perhutangan 85

BAB VIII : HK ADAT LANJUTAN TENTANG PELANGGARAN 91


Pengertian Dan Sifat-Sifat Pelanggaran Adat 91
Jenis-Jenis Pelanggaran Adat 96
Reaksi Dan Koreksi Adat 98
Pelanggaran Adat Dalam Praktek Peradilan 101
DAFTAR PUSTAKA 106

v
vi
BAB I

HUKUM ADAT LANJUTAN SECARA UMUM

PENGERTIAN HUKUM ADAT

Untuk memahami pengertian Hukum Adat Lanjutan perlu terlebih dahulu


memahami pengertian dari Hukum Adat secara umum, karena Hukum Adat
Lanjutan adalah salah satu model atau bagian dari Hukum Adat Indonesia yang
oleh Van Vollenhoven, Indonesia ini dibagi kedalam 19 lingkaran hukum
(rechtskringen) dan masing-masing lingkaran hukum itu terbagi lagi ke dalam
kukuban-kukuban hukum (rechtsgebouw), seperti Bali adalah merupakan satu
lingkaran hukum bersama-sama dengan Lombok.

Perlu dijelaskan terlebih dahulu apa itu hukum. Hukum itu meliputi
berbagai aspek yang multi dimensi. Karena itulah sampai saat ini para sarjana
hukum belum dapat membuat definisi tentang hukum secara tepat dan lengkap
yang mencakup segala aspek yang diinginkan (Ali Achmad, 2002, h.5).
pengertian sementara tentang hukum adat yang menyebut dengan norma,
peraturan perundang-undangan, kebiasaan dan sebutan lain. Yang jelas hukum itu
mengatur hubungan antar manusia baik hubungan antar individu ataupun
kelompok agar hubungan tersebut berjalan dengan baik aman dan damai.

Apabila dilihat dari segi bentuknya, hukum dapat dibedakan antara


hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, dan Hukum Adat termasuk ke
dalam hukum tidak tertulis karena hidup, tumbuh dan berkembang
berdasarkan kebiasaan-kebiasaan dalam pergaulan hidup bermasyarakat.
Kualifikasi ini dapat ditemukan dalam hasil kesimpulan Seminar Hukum Nasional
dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta 17 Januari 1975 yang
menentukan bahwa yang dimaksud dengan Hukum Adat adalah : Hukumnya
orang Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan
Republik Indonesia yang disana-sini ada unsur agama (BPHN, 1976, h.250).
Tetapi walaupun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa hukum adat yang

1
dicatatkan dan ada hukum adat yang ditulis, namun sifat dari hukum adat adalah
tetap tidak tertulis.

Menurut pendapat beberapa sarjana seeperti Bushar muhammad (1961)


dan Van Dijk (1960) yang dikutip dari Soleman Biasane Taneko (1981, h.13),
mengatakan bahwa istilah hukum adat merupakan terjemahan dari istilah asing
(Belanda), yaitu “Adat Recht”. Istilah ini dikemukakan oleh Snouck
Hurgronye yang dipopulerkan kemudian oleh Van Vollenhoven. Istilah
seperti ini tidak dikenal dalam masyarakat sehingga istilah tersebut hanyalah
merupakan istilah teknis ilmiah (Hilman Hadikusuma, 1977, h.14). Tetapi beliau
tidak menyatakan dengan tegas apa yang dimaksud dengan teknis ilmiah tersebut.

Di dalam masyarakat hanya dikenal kata “Adat” saja dan kata inipun
berasal dari bahasa asing pula yaitu bahasa Arab yang telah di resepsi dan di
masyarakat pun istilah ini sudah umum di kenal, yang diberi arti “kebiasaan”. Itu
berarti dari kata “Adat Recht” secara sederhana dapat diartikan “Hukum
kebiasaan”. Dari terjemahan tersebut akan muncul pertanyaan apakah hukum
kebiasaan itu sama dengan hukum adat ?. Untuk menjawab pertanyaan ini ada
beberapa pendapat antara lain :

Van Dijk menyatakan bahwa sebenarnya antara hukum adat dengan


hukum kebiasaan adalah berbeda, baik dilihat dari sumbernya maupun
sifatnya. Dilihat dari sumbernya hukum kebiasaan tidak bersumber dari alat-alat
perlengkapan masyarakat, sedangkan hukum adat sumbernya adalah dari alat-alat
perlengkapan masyarakat. Sedangkan dilihat dari sifatnya bahwa hukum
kebiasaan itu sepenuhnya bersifat tidak tertulis tetapi hukum adat sebagian adat
yang bersifat tertulis. Tetapi pendapat Van Dijk justru tidak konsisten, karena
pada tulisannya yang lain beliau menyatakan pula bahwa hukum adat bersifat
tidak tertulis dan tidak dikodifikasikan. (dikutip dari Soleman Biasane Taneko,
1981, h.14).

Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, justru menyamakan hukum


adat itu dengan hukum kebiasaan, karena menurut beliau hukum adat itu adalah
kebiasaan-kebiasaan yang mempunyai akibat hukum, yang berbeda dengan

2
kebiasaan saja. Kebiasaan yang merupakan hukum adat adalah perbuatan yang
diulang-ulang dalam bentuk yang sama menuju pada “rechtvardigeordening der
samenliving”. (dikutip dari Soleman Biasana Taneko,1981,h.14).

Soleman Biasane Taneko sendiri berkesimpulan bahwa sebenarnya


antara pengertian hukum adat dengan hukum kebiasaan tidak ada
perbedaan, alasannya :

1. Bahwa istilah atau kata “adat” apabila diterjemahkan ke dalam


bahasa Indonesia akan menjadi kebiasaan. Oleh karena itu “
adatrecht” dapat saja diterjemahkan menjadi hukum adat atau
hukum kebiasaan.
2. Bahwa memang di dalam proses pelaksanaan hukum ini sering
dikuatkan oleh atau melalui alat-alat perlengkapan masyarakat,
namun tidak semua aturan akan bersumber atau mempunyai sumber
dari alat perlengkapan masyarakat itu (Soleman Biasane
Taneko,1981, h.15).

Sedangkan mengenai pengertian dari hukum adat itu sendiri juga ada
pendapat beberapa sarjana antara lain:
Ter Haar yang dikutip dari Soekanto dan Soerjono Soekanto (1978, h.16)
yang terkenal dengan Teori “beslissingenleer-nya” menyatakan bahwa hukum
adat itu mencakup keseluruhan peraturan yang menjelma di dalam
keputusan-keputusan para pejabat hukum adat yang mempunyai
kewibawaan dan pengaruh serta di dalam pelaksanaannya berlaku secara
serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh
keputusan tersebut atau secara singkat dikatakan oleh Ter Haar bahwa hukum
adat itu adalah keputusan yang dapat timbul dari suatu persengketaan yang
berdasarkan kerukunan dan musyawarah atau timbul dari keputusan warga
masyarakat. Jadi Ter Haar membedakan antara hukum adat dengan adat
berdasarkan ada tidaknya “keputusan”.

3
Kusumadi Pudjosewojo berpendirian sama dengan Ter Haar, yaitu
bahwa hukum adat adalah adat yang dihukumkan oleh yang berwajib di
dalam putusan-putusan mereka (Kusumadi Pudjosewojo, 1961,h.16).

Menurut Soepomo bahwa hukum adat dikatakan hukum apabila


diukur dari rasa hukum yang tradisional dan merupakan hukum yang hidup
karena penjelmaan perasaan hukum yang nyata dari pada rakyat
(Soepomo,1965,h.5). Sedangkan menurut Koesnoe bahwa tempat hukum adat itu
adalah di dalam adat. Karena adat mengatur seluruh kehidupan, sedangkan hukum
adat merupakan sebagian saja dari hukum adat yaitu bagian yang memancarkan
kesadaran tentang apa yang adil dan patut, dalam rangka hubungan
kemasyarakatan saja dengan berpedoman pada keadilan dan kepatutan (Koesnoe,
h.11-12).

Selain dari perumusan-perumusan hukum adat seperti tersebut diatas,


dalam seminar nasional hukum adat dan pembinaan hukum nasional di
Yogyakarta tahun 1975 telah merumuskan hukum adat itu sebagai hukumnya
Orang Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan
Republik Indonesia yang disana-sini mengandung unsur agama (Soleman Biasane
Taneko,1981,h23).

Dari beberapa pendapat para sarjana maupun menurut hasil seminar


hukum adat di Yogyakarta Tahun 1975 dapatlah dikemukakan bahwa:

1) Sifat hukum adat adalah tidak tertulis, dalam arti hukum adat bukan
merupakan hukum yang statutair (dikodifikasikan). Sedangkan apabila ada
ditemukan hal-hal yang tertulis maka itu lebih baik disebut sebagai hukum
yang tercatat atau dicatatkan (beschiven adatrecht) atau sebagai hukum yang
didokumentasikan (gedocumenteer adatrecht).
2) Karena sifatnya yang tidak tertulis itu maka hukum adat mempunyai
pula sifat yang mudah menyesuaikan diri atau hukum adat akan
mengalami perubahan karena perubahan pola berfikir dan mengikuti
perkembangan zaman. Sifat hukum adat seperti itu disebut pula dengan istilah
dinamis dan elastis. Atau dapat dikatakan perubahan itu terjadi karena

4
pengaruh-pengaruh tertentu dalam proses kehidupan masyarakat yang terjadi
tidak secara spontan (cepat).
3) Dilihat dari unsur-unsur hukum adat yang terdapat dalam pengertian hukum
adat berdasarkan hasil seminar hukum adat di Yogya, maka unsur-unsur itu
adalah unsur asli dan unsur agama. Jadi agama yang dianut oleh sesuatu
masyarakat akan mempengaruhi pelaksanaan dari hukum adat atau
prilaku dari masyarakat tersebut unsur asli atau unsur tradisional itu
adalah turun temurun.

Sehubungan dengan adanya pengaruh agama dalam pelaksanaan hukum


adat, pada dasarnya bertentangan dengan teori yang dikemukakan oleh Van den
Berg yaitu Teori Receptio in complexu. Teori tersebut mengemukakan bahwa
adat istiadat dan hukum adat suatu golongan masyarakat adalah hasil resepsi
secara bulat atau keseluruhan dari agama yang dianutnya.

Adapun latar belakang dari teori tersebut bahwa apabila suatu masyarakat
memeluk suatu agama maka hukum-hukum ataupun ajaran-ajarannya harus
mengikuti secara konsekwen dan setia. Contohnya : Apabila suatu masyarakat
memeluk agama Hindu maka adat istiadat dan hukum yang berlaku baginya
adalah adat istiadat dan hukum dari mana agama Hindu itu berasal.

A. PENGERTIAN HUKUM ADAT LANJUTAN

Hukum Adat Lanjutan adalah komplek norma-norma baik dalam


sifatnya yang tidak tertulis, tercatat atau didokumentasikan yang berisi
perintah, larangan ataupun keharusan dan kebolehan yang mengatur
kehidupan masyarakat hukum adat Indonesia pada umumnya yang
menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan ataupun hubungan
antara manusia dengan alam lingkungannya atau manusia dengan manusia.

Hukum Adat Lanjutan adalah hukum adat yang berlaku bagi orang
Indonesia yang beragama apapun dan dari suku apapun. Oleh karena agama akan
berpengaruh dalam sistem sosial dan budaya masing-masing suku bangsa di

5
Indonesia dan sangat kuat dan kental dalam pelaksanaan tradisi dan adat
istiadatnya. Kehidupan orang Indonesia sangat khas. Karena kehidupan
bermasyarakat dalam kesehariannya dilandasi oleh sosial kemasyarakatan dan
sosial keagamaan melalui kelompok-kelompok sosial religious, dan melalui
kelompok-kelompok social yang berdasarkan kerena adanya hubungan
genealogis atau hubungan darah maupun kelompok-kelompok social yang
berdasaran kesatuan tempat tinggal atau karena kesamaan teritorial.

Bahan diskusi kelompok :

Diskusikan dalam kelompok mengapa mahasiswa hukum perlu belajar atau perlu
mengetahui hukum adat lanjutan ? Padahal kita Bangsa Indonesia sudah
memasuki era globalisasi atau memasuki abad 21 ?

Agama-Agama yang Diakui di Indonesia.

Penduduk Indonesia terdiri dari berbagai etnis baik yang beragama Hindu,
Islam, Kristen, Budha, atau yang lainnya. Karena penduduknya terdiri dari
beragam agama maka pengaruh agama dalam sistem sosial dan budaya Indonesia
sangat kuat, termasuk dalam pelaksanaan dari ajaran agama yang diakui di
Indonesia, karena itulah kemudian Indonesia diberi julukan Negara yang
Berbhineka Tunggal Ika Berbeda-beda tetapi satu dan keadaan seperti ini harus
diakui dan diterima.

Bahan diskusi :

Diskusikan dalam kelompok dimana letak hubungan antara agama dengan hukum
adat dan bagaimana penerapan Teori Receptio in Complexu dari Van den Berg di
Bali ?

B. SUMBER-SUMBER HUKUM ADAT LANJUTAN

Sumber hukum dapat di ibaratkan sebagai sumber air yaitu dari mana air
itu berasal. Jadi sumber hukum adalah tempat dimana hukum itu dapat ditemukan

6
serta apa yang mempengaruhi isi dari pada hukum tersebut. Sumber hukum ada
2 (dua) yaitu sumber hukum matriil dan sumber hukum formil :

1. Sumber hukum matriil dapat ditemukan pada perasaan hukum masyarakat


yang menjadi determinan materiil yang membentuk hukum itu dan
menentukan isi dari hukum itu.
2. Sumber hukum formal adalah sumber yang menjadi determinan formal
membentuk hukum untuk menentukan berlakunya hukum.

Menurut Utrecht, sumber hukum formal adalah meliputi undang-


undang, kebiasaan dan adat yang masih berlaku atau dipertahankan,
traktat, yurisprudensi dan pendapat-pendapat pakar hukum (doktrin)
(Utrecht, 1966, h.87).

Dimanakah dapat ditemukan Hukum Adat Lanjutan ?. Atau apakah yang


dapat menjadi sumber Hukum Adat Lanjutan ?. Oleh karena Hukum Adat
Lanjutan adalah Hukum Adat yang berlaku bagi orang Indonesia asli yang banyak
dipengaruhi oleh agama yang dianutnya, maka sumber untuk menentukan Hukum
Adat Lanjutan dapat dilakukan melalui pengenalan terhadap masyarakat hukum
adat yang ada di Indonesia. Kenapa demikian ?

Seperti diketahui, bahwa Hukum Adat itu terdiri dari unsur asli dan unsur
agama, maka sumber untuk menentukan Hukum Adat Lanjutan itu selain melalui
hukum-hukum agama dapat pula dilakukan melalui unsur aslinya yaitu pada adat
istiadat, kebiasaan atau tradisi yang telah lama hidup di dalam masyarakat
Indonesia seperti “masyarakat Batak, Bali, Jawa dll”. Untuk mendapatkan materi
ini haruslah terjun ke masyarakat melalui penelitian-penelitian, baik secara
observasi, wawancara, atau dengan menyebarkan angket maupun kuisioner. Di
samping dengan cara penelitian lapangan dapat pula dilakukan pencarian data
elalui sumber kepustakaan seperti membaca tulisan-tulisan para sarjana, baik yang
tercatat maupun yang didokumentasikan atau melalui peraturan-peraturan yang
merupakan keputusan raja-raja.

7
C. DASAR HUKUM, HUKUM ADAT LANJUTAN

Hukum sebagai salah satu masalah manusia adalah merupakan suatu


permasalahan yang akan dihadapi oleh umat manusia dimanapun dan kapanpun
juga. Hukum dalam proses kehidupan manusia akan terwujud dalam berbagai
bentuk, baik dalam bentuknya yang tertulis, tidak tertulis, baik ia itu sebagai
lembaga-lembaga hukum maupun sebagai suatu proses yang tumbuh dan
berkembang dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum adat sebagai salah satu
bagian dari hukum pada umumnya juga akan menemui permasalahan yang akan
dihadapi oleh Bangsa dan Negara Indonesia, khususnya dalam rangka
pelaksanaan pembangunan nasional, tentang bagaimanakah perkembangan
Hukum Adat Lanjutan di Negara ini ?

Sehubungan dengan permasalahan seperti tersebut diatas, para sarjana


saling berbeda pendapat, ada yang pro dan ada yang kontra terhadap Hukum
Adat. Bagi yang pro terhadap Hukum Adat memandang bahwa Hukum Adat itu
adalah salah satu kebanggaan nasional yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia
karena dalam Hukum Adat itulah akan dapat dilihat dan diketahui bentuk serta
wajah dari kepribadian Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan apa yang telah
diungkapkan oleh Nasroen Bahwa : Kesanggupan Bangsa Indonesia dalam soal
kebudayaan ternyata dari Hukum Adat ini adalah tinggi mutunya dalam mengatur
ketatanegaraan dan mengatur budi pekerti dan pergaulan hidup manusia. Karena
Hukum Adat ini adalah asli kepunyaan dan ciptaan Bangsa Indonesia sendiri
(Nasroen, 1967, h.14).

Walaupun demikian harus disadari bahwa Hukum Adat Lanjutan akan


bereksistensi pula dalam suatu perubahan sosial yang sangat cepat, seperti telah
dirasakan terjadinya perubahan yang sangat mencolok sejak Tahun 1945, jika
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Memang perubahan tersebut tidak
terjadi dengan seketika, tetapi disadari ataupun tidak proses perkembangan
masyarakat telah berubah dari proses yang sifatnya spontan sesuai dengan
perkembangan faktor-faktor sosial budaya dalam masyarakat kearah perubahan
yang disengaja sesuai dengan keadaan masyarakat yang diinginkan. Sedangkan
para sarjana yang kontra terhadap Hukum Adat menyatakan bahwa Hukum Adat

8
itu sudah Out of date alias ketinggalan zaman dan harus segera ditinggalkan.
Karena kalau masih tetap berpegang teguh pada Hukum adat, berarti langkah
mundur dari gerak modernisasi, Hukum Adat akan banyak menghambat lajunya
gerak perkembangan nasional di Indonesia. Hukum Adat neburut pandangan
mereka hanyalah penting untuk bahan sejarah hukum saja. Harus disadari pula
bahwa berdasarkan fakta ruang lingkup kuasa Hukum Adat sepakin dibatasi
sebagai akibat tidak dapatnya lagi berperan dalam kehidupan yang modern dalam
pelaksanaan pembangunan, demikian pula Hukum Adat Lanjutan pada
khususnya ?

Untuk menjawab permasalahan tersebutlah perlu dicari dasar hukum


berlakunya Hukum Adat umumnya maupun Hukum Adat Lanjutan pada
khususnya. Hukum Adat maupun Hukum Adat Lanjutan mempunyai dasar
berlaku baik secara sosiologis maupun secara yuridis. Secara sosiologis daya
berlakunya suatu kaedah hukum dapat berarti dua yaitu : (1) apakah kaidah itu
diketahui, diakui, dihargai dan ditaati oleh sebagian terbesar warga masyarakat ?.
Oleh karena Hukum Adat Maupun Hukum Adat Lanjutan timbul dari adat
istiadat masyarakatnya, maka Hukum adat Maupun Hukum Adat Lanjutan
mempunyai dasar hukum yang sah secara sosiologis. (2) apakah kaedah dari
Hukum Adat maupun Hukum Adat Lanjutan itu dapat atau tidak dipaksakan ?.
Bahwa secara ideal kaedah-kaidah Hukum Adat mauun Hukum Adat Lanjutan
dapat dipaksakan berlakunya sebagaimana dikatakan oleh Ter Haar dalam
teorinya yang dikenal dengan eori “Besslisingenleer”.

Sekalipun berlakunya Hukum Adat Maupun Hukum Adat Lanjutan tidak


tergantung dari ketentuan perundang-undangan atau seperti yang dicantumkan
dalam hasil Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di
Yogyakarta Tahun 1975, antara lain berbunyi : bahwa Hukum Adat adalah
hukum yang tidak tertulis dalam perundang-undangan Republik Indonesia.
Namun antara sistem perundang-undangan dengan Hukum Adat tidaklah dapat
dipisahkan begitu saja, karena sebagaimana telah diamanatkan oleh Garis-Garis
Besar Haluan Negara (GBHN) dalam Tap MPR, bahwa dalam pembangunan dan
pembinaan hukum akan diadakan usaha-usaha antara lain, untuk meningkatkan

9
dan demi penyempurnaan pembinaan hukum nasional dalam rangka
pembaharuan hukum antara lain dengan mengadakan kodifikasi dan unifikasi
hukum di bidang-bidang tertentu dengan memperhatikan kesadaran hukum yang
berkembang dalam masyarakat, artinya bahwa dalam pembinaan hukum, azas-
azas pembinaan hukum nasional harus sesuai dengan haluan negara dan
berlandaskan pada Hukum Adat. Hukum Adat adalah merupakan salah satu
sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum
nasional melalui pembuatan peraturan perundang-undangan dengan tidak
mengabaikan timbul, tumbuh dan berkembang hukum kebiasaan dalam keadilan
dalam pembinaan hukum.

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa istilah, atau nama apapun
yang dipakai seperti kesadaran hukum rakyat, hukum adat, hukum kebiasaan dan
lain sebagainya, maka azas-azas yang menjadi dasar dan landasan pembentukan
hukum nasional itu tiada lain adalah hukum adat atau adat istiadat yang ada di
Indonesia, dan sudah tentu termasuk pula Hukum Adat Lanjutan, yang
merupakan kukuban hukum yang termasuk kedalam lingkaran hukum, sesuai
dengan pembagian daerah di Indonesia yang dilakukan oleh Van Vollenhoven.

Perwujudan keinginan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)


termasuk ada dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang memuat
ketentuan dasar hukum berkenaan dengan persoalan Hukum Adat maupun
Hukum Adat Lanjutan tersebut antara lain :

1. UUDN RI Tahun 1945 terutama Pasal 18 dan penjelasan umumnya.


2. Undang-Undang No.1 Drt 1951.
3. Undang-Undang No.5 Tahun 1960 (Undang-Undang Pokok Agraria,
Pasal 5 dan 6).
4. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 (Undang-Undang Pokok
Perkawinan, Pasal 2 ayat 1 dst) dan peraturan pelaksanaannya.
5. UU No.14 Tahun 1970 yang direvisi dengan UU No.4 tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 16 ayat 1).
6. UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (UU tentang KDRT).

10
7. UU No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.
8. UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Bahan diskusi :

1. Diskusikan dalam kelompok bagaimana peranan Hukum Adat Maupun


Hukum Adat Lanjutan dalam Pembentukan Hukum Nasional.
2. Dengan telah dimasukkannya azas-azas Hukum Adat maupun Hukum
Adat Lanjutan dalam Hukum Nasional, apakah Hukum Adat tersebut akan
menjadi hilang ?

11
BAB II
HUKUM ADAT LANJUTAN TENTANG PEMERINTAHAN

MASYARAKAT HUKUM ADAT

Pada dasarnya masyarakat itulah yang mewujudkan hukum adat dan


masyarakat itu pulalah yang merupakan tempat berlakunya hukum adat tersebut.

A. PENGERTIAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

Istilah masyarakat hukum adat sering juga disebut dengan persekutuan


hukum adat yang pada hakekatnya merupakan terjemahan dari
“rechtsgemeenchap”. Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai corak dan
struktur kemasyarakatannya beraneka ragam dan sebagian terbesar penduduknya
bermukim di pedesaan. Salah satu bentuk dari masyarakat hukum adat tersebut
contohnya di Bali, dahulu disebut “Desa Adat” tetapi saat ini sudah diubah
dengan sebutan “Desa Pakraman”.

Seperti diungkapkan oleh Van Vollenhoven yang dikutip dari bukunya


Soepomo : Bab-Bab Tentang Hukum Adat menyatakan bahwa untuk mengetahui
hukum, maka adalah terutama perlu diselidiki buat waktu apabilapun dan di
daerah manapun, sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum dimana
orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu hidup sehari-hari (Soepomo, 1976,
h.49).

Badan-badan persekutuan atau masyarakat hukum yang dimaksud diatas


bukanlah didasarkan pada sesuatu yang bersifat dogmatik tetapi haruslah pada
kehidupan yang nyata dari masyarakat hukum yang bersangkutan, dengan
demikian akan dapat diketahui apakah telah ada perubahan ataukah masih ada
dan terus hidup.?. Jadi untuk mempelajari dan mengetahui hukum dalam suatu
masyarakat, haruslah mempelajari pula badan-badan yang ada dalam masyarakat
hukum tersebut. Itu berarti bahwa untuk mempelajari Hukum Adat Lanjutan,
perlu dan harus pula mempelajari badan-badan yang ada dalam masyarakat

12
hukum adat di Indonesia. Dengan demikian, perlu dipahami terlebih dahulu
pengertian dari masyarakat hukum adat pada umumnya.

Menurut Ter Haar dalam bukunya Beginseelen en stelsel van het adatrecht
Tahun 1939, yang dikutip oleh Soepomo : bahwa di seluruh kepulauan Indonesia
pada tingkatan rakyat jelata, terdapat pergaulan hidup di dalam golongan-
golongan yang bertingkah laku sebaga kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan
bhatin. Golongan-golongan itu mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal dan
orang-orang segolongan itu masing-masing mengalami kehidupannya dalam
golongan sebagi hal yang sewajarnya, hal menurut kodrat alam. Tidak ada
seorangpun dari mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan
pembubaran golongan itu. Golongan manusia tersebut mempunyai pengurus
sendiri, dan mempunyai harta benda milik keduniaan dan milik gaib. Golongan-
golongan demikianlah yang bersifat persekutuan hukum (Soepomo, 1979, h.50).

Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa masyarakat hukum itu sebagai
kelompok-kelompok teratur yang sifatnya ajeg dengan pemerintahan sendiri yang
sifatnya materiil maupun immatriil, berada dalam suatu pergaulan hidup yang
sama dengan kontinuitas hubungan dengan pola berulang tetap.

Dari pengertian persekutuan atau masyarakat hukum seperti tersebut diatas


maka dapatlah ditarik beberapa unsur, agar sesuatu kelompok itu disebut
dengan masyarakat hukum atau persekutuan hukum antara lain :

1. Terdiri dari orang-orang sebagai suatu kelompok/kesatuan


terhadap dunia luar, lahir dan bathin.
2. Kelompok tersebut mempunyai tata susunan yang tetap dan
kekal.
3. Adanya kekuasaan sediri sebagai kelompok yang otonom dan
mempunyai pengurus sendiri.
4. Mempunyai harta kekayaan baik milik keduniawian dan milik
gaib (matriil dan spirituil) yang terpisah antara harta kekayaan
milik kelompok dengan harta kekayaan anggota.

13
5. Tidak ada seorangpun dari anggota kelompok yang mempunyai
keinginan untuk melepaskan diri dari kelompoknya atau ingin
membubarkan kelompoknya.

Dari unsur-unsur diatas sebetulnya belumlah dapat dinyatakan suatu


kelompok itu sebagai suatu persekutuan hukum atau masyarakat hukum karena
perlu ada faktor lain sebagai penentunya untuk membedakannya dengan
kelompok-kelompok lain seperti kelompok-kelompok sosial biasa. Adapun
faktor-faktor penentu itu adalah faktor teritorial dan faktor genealogis.
Sehubungan dengan hal ini Soekanto dalam bukunya, Meninjau Hukum Adat di
Indonesia menyebutkan bahwa desa di Bali adalah persekutuan teritorial, dimana
warganya bersama-sama mempunyai kewajiban dan kemampuan untuk
membersihkan wilayah desa bagi keperluan-keperluan yang berhubungan dengan
agama. Ini berarti bahwa desa-desa di Bali disamping memiliki unsur-unsur
pembentuk (constituent element), juga memiliki unsur yang bersifat magis
religius. Unsur pembentuk itu tampak pada adanya wilayah kekuasaan, warga,
pemerintahan yang berwibawa dan harta kekayaan baik materiil maupun
immateriil. Sedang unsur yang bersifat religio magis tampak dari keberadaan desa
yang menjadi tempat persembahyangan bersama bagi warga desa secara
keseluruhan dan pelaksanaan ritual-ritual lain berkenaan dengan kesejahteraan
warganya (Soekanto, 1981, h.73).

Sesuai dengan uraian diatas maka jelaslah bahwa “Nagari di


Minangkabau atau desa adat di Bali” merupakan suatu masyarakat hukum adat
yang mempunyai bentuk dan corak tersendiri yang berbeda dengan desa-desa
yang ada di Jawa dan Madura atau desa-desa lainnya di Indonesia.

B. FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK MASYARAKAT HUKUM ADAT

Agar suatu kriteria jelas dapat menunjukkan unsur-unsur dari suatu


asyarakat hukum dapat membedakannya dengan kelompok-kelompok sosial yang
lain yang bukan merupakan masyarakat hukum adat, perlu dicarikan kretiria lain
sebagai identifikasi diluar unsur-unsur yang telah disebutkan diatas yang akan

14
mewujudkan kelompok tersebut sebagai persekutuan hukum atau masyarakat
hukum adat. Sebagai kriteria tambahan yang akan dapat membedakannya dengan
kelompok sosial yang lain yaitu berupa faktor-faktor pembentuknya yaitu :

1. Faktor Teritorial.
2. Faktor Genealogis.

Ad.1. Faktor Teritorial, apabila dilihat dari dasar teritorial semata


sebagai dasar pembentukan suatu masyarakat hukum adat, yaitu adanya
kesamaan wilayah atau tempat tinggal maka kelompok tersebut telah dapat
diartikan sebagai suatu masyarakat hukum. Karena contoh dan jumlah
masyarakat seperti itu banyak ada di indonesia antara lain di jawa dan bali (desa
adat seperti yang dikemukakan oleh Soekanto, seperti tersebut diatas).

Ad.2. Faktor Genealogis, yaitu karena adanya hubungan darah.


Artinya bahwa kelompok dalam masyarakat hukum itu terbentuk karena
anggotanya berasal dari adanya hubungan darah antara orang yang satu
dengan orang yang lainnya.

Tetapi menurut Ter Haar, faktor genealogis semata tidaklah dapat


mewujudkan kelompok tersebut sebagai persekutuan hukum. Karena
tindakan keluar dari kelompok-kelompok tersebut hanyalah dalam hal-hal tertentu
saja yaitu yang berkaitan dengan pemujaan leluhur. Atau kalau toh mereka
dianggap persekutuan hukum maka itu hanyalah merupakan persekutuan hukum
yang sangat terbelakang dalam pelaksanaan fungsi sosialnya (Ter haar, 1974,
h.29).

Disamping kedua faktor sebagai pembentuk dari suatu masyarakat hukum


adat terjadi pula campuran dari keduanya yaitu faktor teritorial genealogis atau
genealogis teritorial yang bentuknya bermacam-macam (Soepomo, 1976, h.49).

Dari uraian diatas nampak bahwa masyarakat hukum adat terbentuk lebih
banyak didasarkan atas faktor teritorial. Hal ini karena ada kaitannya dengan sifat
hubungan hukum yang tampak dalam kelompok-kelompok tersebut, seperti sifat
“Patembayan” lebih menonjol dalam masyarakat hukum adat yang didasari oleh

15
faktor teritorial sedangkan sifat “paguyuban” lebih mendasari masyarakat hukum
yang bersifat genealogis (Djojodiguno, 1964, h.5).

Soepomo dalam bukunya Bab-Bab Tentang Hukum Adat juga


menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat terbentuk karena faktor
genealogis, maksudnya adalah karena orang-orang tersebut termasuk dalam
suatu keturunan yang sama yaitu :

a. Garis keturunan menurut garis bapak (Patrilinial) seperti orang-


orang Batak, Nias, Sumba dan Bali.
b. Pertalian darah menurut garis ibu (Matrilinial) seperti : famili di
Minangkabau
c. Pertalian darah menurut garis ibu dan bapak (tata susunan
parentil) seperti orang-orang Jawa, Sunda, Aceh dan Kalimantan.

Sedangkan persekutuan hukum atau masyarakat hukum yang


terbentuk atas dasar faktor teritorial atau berdasar lingkungan daerah dapat
dibagi dalam tiga jenis pula yaitu :

a. Persekutuan desa (dorp).


b. Persekutuan daerah (streek).
c. Persekutuan dari beberapa desa.

Terhadap persekutuan hukum atau masyarakat hukum teritorial ini orang


dapat untuk sementara waktu meninggalkan tempat tinggalnya tanpa kehilangan
keanggotaannya dari golongan tersebut. Orang yang dari luar yang masuk ke
daerah persekutuan tersebut tidak dengan sendirinya menjadi teman segolongan.
Ia harus diterima sebagai teman segolongan menurut hukum adat (Soepomo,
1979, h.51-52).

Arti dari penjelasan diatas bahwa pendatang akan mempunyai hak dan
kewajiban yang berbeda dengan penduduk yang sejak awal nenek moyangnya
sudah bertempat tinggal di dalam daerah persekutuan tersebut, oleh karenanyalah
mereka pada umumnya mempunyai kedudukan lebih penting daripada penduduk
pendatang.

16
Bahan diskusi :

Diskusikan dalam kelompok apakah faktor-faktor pembentuk maupun unsur-


unsur dari masyarakat hukum adat pada umumnya dan berikan contoh-contoh dan
dimana itu ada ?

C. STRUKTUR PEMERINTAHAN DALAM MASYARAKAT HUKUM


ADAT

Untuk dapat memahami struktur pemerintahan maupun struktur organisasi


dalam masyarakat hukum adat maka perlulah terlebih dahulu memahami struktur
masyarakat hukum pada umumnya. Secara teoritis dapat dikatakan bahwa ada
dua faktor pengikat yang membentuk tumbuhnya suatu suatu masyarakat hukum
yaitu faktor genealogis yaitu masyarakat hukum yang anggota-anggotanya
merasa terikat karena berasal dari nenek moyang yang sama, masyarakat hukum
teritorial yaitu masyarakat hukum terbentuk karena anggota-anggotanya merasa
dilahirkan dan menjalani kehidupan bersama di tempat yang sama, dan tipe yang
ketiga merupakan gabungan antara faktor genealogis dan teritorial sehingga
masyarakat hukum tersebut terbentuk karena anggota-anggotanya merasa terikat
atu sama lain dari kedua faktor tersebut.

Masyarakat hukum yang terbentuk karena faktor teritorial, dalam


kepustakaan hukum adat dapat dibedakan lagi kedalam (3) tiga jenis antara
lain :

1. Persekutuan desa yaitu segolongan orang yang terikat pada suatu


tempat kediaman yang sama meliputi perkampungan-
perkampungan yang jauh dari pusat pemerintahan dimana
pejabat-pejabat desa bertempat tinggal. Contohnya : Banjar di
Bali.
2. Persekutuan daerah yaitu kesatuan dari beberapa tempat
kediaman yang masing-masing tempat kediaman itu mempunyai
pimpinannya sendiri-sendiri, sejenis dan sederajat. Tetapi tempat

17
kediaman tadi merupakan bagian dari satu kesatuan yang lebih
besar yang mempunyai hak ulayat atas tanah-tanah yang ada
dalam persekutuan hukum tersebut. Contohnya : desa pakraman
di Bali.
3. Perserikatan dari beberapa desa yaitu gabungan dari beberapa
persekutuan desa yang letaknya saling berdekatan satu sama lain,
mengadakan permufakatan untuk saling bekerja sama
memelihara kepentingan-kepentingan yang sama atau tujuan yang
sama. Contohnya di Bali : kerja sama dibidang pengairan subak,
atau kegiatan lain disebut dengan sekaa-sekaa antara lain sekaa
manyi (menunai padi), sekaa gong, sekaa semal (tupai kelapa).

Indonesia yang merupakan negara kepulauan sejak 17 Agustus 1945


adalah negara yang merdeka dan berdaulat. Sebagai negara kesatuan yang
bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia berlandaskan falsafah Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut dapat ditarik
kesimpulan akan pengakuan secara konstitusionil adanya hukum yang tidak
tertulis. Dengan demikian dari kesimpulan tersebut dapat diketahui hak hidup dan
terpeliharanya aturan-aturan hukum adat di Indonesia baik secara kenyataan
maupun secara yuridisnya mendapat tempat yang wajar (Tjokorda Raka Dherana,
1975, h.2).

Pengakuan terhadap hukum yang tidak tertulis seharusnya diterima dan


diakui mengingat masyarakat adalah dalam proses kehidupan dan
perkembangannya, dan aturan-aturan hidup yang ada diharapkan dapat
menyesuaikan diri dengan perkembangan hidup dari masyarakat yang
bersangkutan maka bentuk aturan-aturan yang tertulis tidak cukup mempunyai
kemampuan menyesuaikan diri dengan kepentingan masyarakat yang terus
berkembang.

18
Menurut Koesnoe, secara tradisional masyarakat hukum adat
mempunyai fungsi-fungsi yang dapat dibedakan antara lain :

1. Fungsi pemerintahan yaitu sebagai fungsi untuk mempertahankan


tertib adat dan kesejahteraan warganya.
2. Fungsi pemeliharaan roh yaitu sebagai fungsi untuk menjaga
masyarakat dan warganya dalam hubungannya dengan alam gaib.
3. Fungsi pemeliharaan agama yaitu sebagai fungsi untuk merealisir
apa yang ditetapkan oleh agama.
4. Fungsi pembinaan hukum adat yaitu sebagai fungsi untuk
menampung segala tuntutan perkembangan hukum adat
(Koesnoe, 1971, h.24-25).

Sedangkan Soepomo mencoba melihat fungsi-fungsi masyarakat hukum


adat itu dari aktifitas-aktifitas kepala rakyat (kepala adat) dalam rangka menjaga
tertib masyarakat hukum adat. Adapun aktifitas-aktifitas tersebut dapat
dibedakan kedalam tiga kelompok yaitu :

1. Tindakan-tindakan mengenai urusan tanah berhubung dengan


adanya pertalian yang erat antara tanah dengan masyarakat
hukum adat.
2. Penyelenggaraan hukum sebagai usaha untuk mencegah
pelanggaran hukum, supaya hukum berjalan sebagaimana
mestinya.
3. Menyelenggarakan hukum sebagai pembetulan hukum setelah
hukum itu dilanggar (Soepomo, 1979, h.66).

D. STRUKTUR ORGANISASI TRADISIONAL MASYARAKAT DESA.


1. Struktur Organisasi Tradisional masyarakat Desa di Jawa

Masyarakat desa di Jawa termasuk masyarakat yang susunannya


berdasarkan pada ikatan teritorial. Anggota masyarakat terdiri dari orang-orang
yang satu sama lainnya tidak mempunyai hubungan keturunan (hubungan darah).

19
Kepala desa (lurah, petinggi) di Zaman dahulu ditunjuk dari orang-orang
yang menjadi keturunan pembuka desa (pendiri desa). Cara seperti ini sekarang
sudah ditinggalkan. Dalam menjalankan tugasnya sehari-hari didampingi oleh
sebagai contoh :

- Di Garut, Jawa Barat


 Lurah (Kepla Desa);
 Juru tulis desa;
 Polisi desa (Jogo-boyo);
 Ulu-ulu (bidang pengairan);
 Tua-tua Kampung;
 Lebe atau amil (bidang keagamaan).
- Di Wonosobo Jawa Tengah
 Bekel (Kepala Desa);
 Carik (Panitera);
 Bahu (wakil Kepala Desa);
 Kami Tuo (Kepala Kampung);
 Kabayan (Pesuruh);
 Tamping (pesuruh);
 Kaum (bidang Keagamaan);
 Ulu-ulu (bidang pengairan).

2. Struktur Organisasi Tradisional Desa di Bali

Sama halnya dengan masyarakat desa di Jawa, masyarakat desa di Bali


juga disusun berdasarkan ikatan teritoroal. Dewasa ini di Bali ada dua macam
pengertian desa yaitu desa adat dan desa (disebut juga dengan desa otonom) dan
desa dinas (disebut dengan desa administrative) (baca UU No.5 tahun 1979
tentang Undang-Undang Pemerintahan Desa dan perubahan-perubahannya).
Sebagai contoh struktur organisasi desa tua di Bali.

20
Desa Tenganan Pagringsingan, Karangasem Bali

 Luanan;
 Baha duluan;
 Baha tebenan;
 Penyalikan;
 Saya arah;
 Penyeluduhan.

LATIHAN :

1. Sebutkan jenis-jenis atau faktor-faktor pembentuk masyarakat hukum adat


?
2. Sebutkan pula contoh-contoh dari masing-masing bentuk masyarakat
hukum!

Tugas mandiri (PR) : mahasiswa meringkas buku Soepomo : Bab-Bab Tentang


Hukum Adat dan Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan
Masyarakat Hukum Adat Bali masuk kedalam bentuk
yang mana ?

21
BAB III

HUKUM ADAT LANJUTAN TENTANG HUKUM KELUARGA

HUKUM PERORANGAN

ISTILAH-ISTILAH HUKUM PERORANGAN

Istilah hukum perorangan dipakai sebagai terjemahan dari


“Personenrecht”, dan para ahli hukum adat atau sarjana hukum adat
mempergunakan berbagai istilah untuk menterjemahkannya. Adapun istilah yang
dipergunakan antara lain :

a. Hukum perseorangan (Personenrecht) : Ter Haar


b. Pribadi hukum (Rechtspersoon) : Soekanto
c. Hukum keorangan : Djojodiguno
d. Hukum perseorangan : Soerojo Wignyodipuro
e. Hukum pribadi : Soerjono Soekanto

A. PENGERTIAN HUKUM PERORANGAN

Hukum perorangan maupun istilahnya hukum pribadi pada prinsipnya


mengatur tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari subyek hukum. Yang
menurut hukum adat subyek hukum itu adalah manusia atau pribadi kodrati dan
badan hukum atau pribadi hukum (Soerjono Soekanto dan Soleman Biasane,
1981, h.184). dan yang termasuk badan hukum/pribadi hukum menurut
hukum adat antara lain : desa, suku, nagari, wakaf, subak, sekehe dan
banjar (Soerojo Wignyodipuro, 1975, h.115). oleh karena setiap subyek hukum
itu mempunyai hak, apakah setiap subyek hukum itu mampu mempertanggung
jawabkan perbuatannya di mata hukum ?

22
B. SUBYEK HUKUM MENURUT HUKUM ADAT

Siapakah yang merupakan subyek hukum menurut hukum adat ?

Untuk menjawab pertanyaan ini perlu pula terlebih dahulu mengerti dan
memahami pengertian subyek hukum menurut hukum adat pada umumnya,
karena hukum adat lanjutan adalah merupakan bagian dari hukum adat pada
umumnya, yang pada dasarnya mempunyai pengertian yang sama.

Kalau mengikuti pendapat dari Soerjono Soekanto dan Soleman Biasane


taneko, maka yang dimaksud dengan subyek hukum menurut hukum adat
adalah pribadi (natuurlijk persoon) dan juga pribadi hukum (rechtpersoon).
Dan pribadi hukum adalah pribadi (persoon) yang merupakan ciptaan
hukum (Soerjono Soekanto dan Soleman Biasane Taneko, 1981, h.184).

Yang dimaksud pribadi dalam pengertian diatas adalah manusia,


sedangkan yang dimaksud dengan pribadi hukum adalah badan hukum.
Pada prinsipnya setiap manusia/pribadi kodrati (manusia karena kelahirannya)
telah mempunyai hak dan juga kewajiban sejak lahir sampai meninggal dunia.
Dan menurut hukum adat dikatakan sebagai subyek hukum setiap manusia
mempuyai kecakapan berhak atau wenang hukum, tetapi ketentuan ini tidak
berlaku disemua wilayah hukum adat di Indonesia karena di daerah-daerah
tertentu yang mengadakan perbedaan seperti di daerah Minangkabau bahwa
orang perempuan tidak berhak menjadi mamak kepala waris atau menjadi
penghulu andiko. Demikian pula halnya dengan hukum barat yang terdapat
dalam Pasal 2 BW, bahwa anak yang masih berada dalam kandungan
karena kepentingan-kepentingannya tertentu dianggap telah mulai
mempunyai hak dan kewajiban. Namun dalam kenyataannya tidak demikian
karena walaupun setiap pribadi kodrati itu dianggap mampu atau cakap bersikap
atau mampu melakukan perbuatan hukum. Antara orang yang cakap hukum dan
orang yang tidak cakap hukum atau orang yang dianggap mampu
mempertanggung jawabkan akibat dari perbuatan hukumnya dengan orang yang
dianggap tidak mampu mempertanggung jawabkan akibat dari perbuatan
hukumnya dibedakan. Untuk membedakannya hukum adat memakai kriteria atau

23
ukuran yaitu kedewasaan atau mempergunakan ukuran menurut pandangan atau
pengakuan masyarakat hukum adat itu sendiri yaitu ciri-ciri tertentu dan menurut
beberapa sarjana berbeda :

Menurut Ter Haar : bahwa yang dianggap cakap hukum itu adalah
lelaki atau perempuan yang sudah kawin dan memisahkan diri dari rumah
tangga orang tuanya atau mertuanya dan mempelai tadi mempunyai rumah
tangga yang berdiri sendiri (Ter Haar, 1960, h.166-167).

Sedangkan menurut Soerojo Wignyodipuro mengemukakan bahwa


hukum adat menentukan orang yang dianggap cakap hukum adalah
seseorang baik pria maupun wanita adalah yang sudah dewasa. Dan
kedewasaan menurut hukum adat tradisional ini bukanlah umur tetapi
menurut ciri-ciri tertentu seperti :

- Apabila sudah kuwat gawe (mampu bekerja sendiri);


- Apabila sudah cakap mengurus haeta benda dan segala keperluan
sendiri;
- Apabila sudah cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam
kehidupan kemasyarakatan serta mampu mempertanggung
jawabkan sendiri segala-galanya (Soerojo Wignyodipuro, 1973,
h.96).

Ciri-ciri sebagaimana telah dikemukakan diatas, maka didalam struktur


hukum adat tidak mengenal perbedaan yang tajam antara orang yang sama
sekali tidak cakap bertindak dalam salah satu perbuatan hukum dengan
orang yang dapat melakukan berbagai perbuatan hukum. Peralihan dari
keadaan tidak cakap sama sekali kepada keadaan cakap penuh berlangsung
sedikit demi sedikit menurut keadaan.

Menurut hukum adat seperti telah dijelaskan diatas, bahwa semua orang
mempunyai hak yang sama yang sifatnya keperdataan tetapi hak-hak berkaitan
dengan masyarakat hukum adat apakah namanya desa, nagari, kampong, maupun
subak adalah tergantung pada status orang tersebut di dalam kelompok-kelompok
tersebut, karena hak-hak yang berhubungan dengan desa timbul atau diperoleh

24
seiring dengan diperolehnya status sebagai anggota dalam kelompok tersebut
setelah memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan.

Pandangan masyarakat hukum adat tentang kretiria yang disebutkan diatas


pada mulanya disebabkan karena ketidak tahuan mereka bahwa secara umum
menurut hukum setiap orang adalah subyek hukum khususnya dibidang
keperdataan, yang artinya bahwa setiap orang yang hidup dapat memiliki sesuatu
hak. Tetapi di dalam perkembangan selanjutnya kriteria yang dipakai untuk
menentukan kedewasaan seseorang tidak lagi berdasarkan kriteria ataupun ciri-ciri
seperti tersebut diatas melainkan telah berubah karena dipengaruhi oleh
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Hukum Perdata yaitu berdasarkan umur
atau status yaitu sudah atau belum kawin. Seperti contohnya : pada UU No.1
Tahun 1974, Undang-Undang Pokok Perkawinan, umur untuk kawin, 19 tahun
bagi pria dan 16 tahun bagi wanitanya dan bagi mereka yang belum berumur 21
tahun harus mendapat izin untuk kawin.

Bahan diskusi :

Diskusikan dalam kelompok mengenai kriteria untuk menentukan berhak dan


tidaknya seseorang bertindak dalam hukum menurut hukum adat !

C. BADAN HUKUM MENURUT HUKUM ADAT

Telah dikemukakan diatas bahwa pribadi hukum yang merupakan pribadi


ciptaan hukum lebih umum dikenal dengan sebutan Badan Hukum. Menurut
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto menyatakan bahwa alasan
dibentuknya pribadi hukum atau badan hukum tersebut antara lain :

- Adanya kebutuhan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan


tertentu atas dasar kegiatan-kegiatan yang dilakukan bersama
oleh pribadi kodrati (manusia).
- Adanya tujuan-tujuan idiil yang perlu dicapai tanpa senantiasa
tergantung pada pribadi-pribadi kodrati secara perseorangan
(Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1979, h.74-75).

25
Sebagai subyek hukum pribadi hukum atau badan hukum haruslah
mempunyai tujuan dan harta kekayaan sendiri terlepas dari harta kekayaan pribadi
dari para pelaksananya.

Menurut Djoyodiguno, hukum adat mengenal pula badan hukum


sebagai subyek hukum seperti desa, nagari, subak bahkan perkumpulan-
perkumpulan yang mempunyai organisasi yang dinyatakan dengan tegas dan
rapi diakui sebagai badan hukum (Djoyodiguno, 1964, h.23).

Demikian pula halnya di Bali, yang dimasukkan kedalam bentuk suatu


badan hukum antara lain : sekaa-sekaa, banjar dan subak. Pengakuan
bentuk-bentuk ini sebagai badan hukum terlepas dari pengakuan undang-
undang. Berbeda halnya dengan badan hukum menurut hukum Barat yang
keberadaannya harus dengan pengakuan undang-undang. Badan hukum atau
pribadi hukum sebagai subyek hukum menurut hukum adat seperti desa
pakraman, subak, banjar, sekaa-sekaa dan lain sebagainya dapat melakukan
perbuatan atau tindakan hukum dan itu diakui dan ditaati oleh anggotanya. Badan-
badan hukum sebagai subyek hukum tersebut didalam melakukan perbuatan atau
tindakan hukum diwakili oleh kepala adat atau pengurusnya. Tetapi tidak semua
perbuatan atau tindakan hukum dapat dilakukan atau dilaksanakan oleh badan
hukum sebagai subyek hukum seperti misalnya kewajiban sebagai orang tua,
suami, istri, karena badan hukum sebagai subyek hukum tidak mengenal
kecakapan berhak ataupun kecakapan bertindak seperti halnya yang dimiliki oleh
manusia sebagai subyek hukum. Badan hukum atau pribadi hukum.

Dalam lingkungan masyarakat hukum adat selain desa pakraman, subak


maupun banjar dikenal pula perkumpulan-perkumpulan yang lebih cenderung
kearah yang bersifat sosial antara anggota-anggotanya pada satu bidang usaha
atau kegiatan yang tertentu. Sebagai perkumpulan yang bergerak dibidang sosial
mereka mempunyai pengurus sendiri, harta kekayaan sendiri untuk keperluan
kelompok itu sendiri. Selain perkumpulan seperti itu ada pula suatu perkumpulan
sebagai suatu organisasi yang telah melembaga seperti “ SUBAK” di Bali. Subak
yaitu suatu perkumpulan dari pemilik sawah yang mempunyai kegiatan dibidang
pengairan.

26
Perkumpulan ini dipimpin oleh Kelian Subak yang disebut “Pekaseh”,
mempunyai aturan-aturan tersendiri yaitu “awig-awig subak”, yang berisi aturan-
aturan pokok yang menetapkan hak dan kewajiban kerama subak (anggota),
mempunyai harta kekayaan sendiri sebagai milik bersama dari krama subak yang
bersangkutan dan juga mempunyai satu tempat persembahyangan atau tempat
pemujaan bersama yang disebut dengan “bedugul atau ulun sui”.

D. SYARAT-SYARAT BADAN HUKUM SEBAGAI SUBYEK HUKUM

Mengenai syarat-syarat manusia sebagai subyek hukum telah dijelaskan


diatas, selanjutnya dibawah ini akan dijelaskan mengenai syarat-syarat badan
hukum sebagai subyek hukum. Badan hukum atau pribadi hukum yang diakui
oleh hukum adat sebagai subyek hukum haruslah memenuhi beberapa
persyaratan yang ditentukan oleh hukum adat. Adapun syarat-syarat yang
dipakai sebagai kriteria oleh hukum adat antara lain :

1. Merupakan kesatuan yang memiliki tata peraturan yang rapi;


2. Memiliki pengurus sendiri;
3. Memiliki harta kekayaan sendiri;
4. Bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar dan batin
(Surojo Wignyodipuro, 1973, h.103).

Dalam perkembangan selanjutnya keberadaan dari badan-badan hukum


menurut hukum adat ini mendapat pertanyaan sejauh mana badan-badan hukum
ini mendapat pengakuan dari perundang-undangan Republik Indonesia ?

Untuk menjawab permasalahan ini perlu dilihat dari beberapa paraturan


antara lain peraturan-peraturan sebelum keluarnya UUPA (Undang-Undang
Pokok Agraria) atara lain dapat disimpulkan :

1. Tidak diatur secara tegas;


2. Kedudukan masyarakat hukum adat seperti : Nagari, Desa diakui
dalam Pasal 18 UUDRI Tahun 1945, penjelasan umum No.6 UU No5
Tahun 1979.

27
3. Pengakuan masyarakat hukum sebagai badan hukum secara tidak
langsung dilihat atau diketahui dari beberapa putusan Makamah Agung
antara lain : Putusan MA No.39 K/Sip/1956 tanggal 19 September
1956 yang pada intinya tentang peralihan hak desa atas sebidang tanah
desa yang dipegang oleh warga desa atas dasar pinjaman dapat
dialihkan kepada pihak ketiga apabila ada persetujuan dari desa di
daerah Lamongan.
Keputusan MA tersebut setelah keluarnya UUPA (Undang-Undang
Pokok Agraria) perlu dipertanyakan juga karena apakah UUPA
mengakui masyarakat hukum adat seperti desa, nagari dan lain-lain
sebagai badan hukum ?. Karena pada azasnya menurut UUPA badan
hukum tidak dapat mempunyai hak milik dan dalam Pasal 21 ayat 2
UUPA telah menentukan badan-badan hukum yang dapat mempunyai
hak milik. Berdasarkan ketentuan ini Pemerintah melalui Menteri
Agraria yaitu Peraturan Menteri No.2 Tahun 1960 yo No.5 Tahun
1960 yang isinya antara lain bahwa : desa, nagari, huta dan lain
sebagainya tidak tercantum atau tidak disebutkan sebagai badan
hukum yang boleh mempunyai hak milik. Selanjutnya bila
dihubungkan dengan Pasal II ayat 1 ketentuan-ketentuan tentang
Konversi yang menyebutkan bahwa hak-hak atas tanah yang memberi
wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam
Pasal 20 ayat 1 seperi yang disebutkan dengan nama dibawah ini yang
ada pada mulai berlakunya undang-undang ini yaitu : yasan, andarbeni,
hak atas druwe, hak atas druwe desa dan seterusnya, sejak berlaunya
undang-undang ini, menjadi hak milik seperti tersebut dalam Pasal 20
(1) dan seterusnya (Beni I Wayan, Cs, 1983, h.62).

Jadi berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa nagari


maupun huta tidak lagi mempunyai wewenang untuk mengatur hak-hak atas
tanah. Itu berarti sebagai subyek hukum telah kehilangan kewenangannya,
demikian pula dengan badan-badan hukum adat yang pada mulanya
mempunyai hak-hak tertentu dalam perkembangannya sekarang menjadi
terbatas bahkan terhapus sama sekali.

28
Bahan diskusi :

Diskusikan dalam kelompok tentang kedudukan desa maupun subak sebagai


masyarakat hukum adat yang berbentuk badan hukum saat ini ?

E. BENTUK-BENTUK MASYARAKT HUKUM ADAT SEBAGAI


BADAN HUKUM

Dimuka telah dijelaskan bahwa pribadi hukum yang merupakan


pribadi yang diciptakan oleh hukum ada berbagai bentuk sesuai dengan
kepentingan maupun tujuan dibentuknya badan-badan hukum tersebut.
Seperti misalnya :

1. Pribadi hukum menurut hukum adat yaitu masyarakat hukum adat


seperti desa pakraman. Desa pakraman sebagai subyek hukum walaupun
wewenangnya terbatas tidak seperti manusia sebagai subyek hukum akan
diwakili oleh kepala adat yang di Bali apakah namanya “Bendesa Adat atau
Kelian Adat”, karena masyarakat hukum adat merupakan suatu kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai kesatuan lingkungan hidup, mempunyai
kekuasaan sendiri serta harta kekayaan sendiri harta benda yang tampak
maupun yang tidak tampak.
2. Pribadi hukum yang cenderung lebih berupa perkumpulan-
perkumpulan sosial yang bergerak dalam bidang usaha sebagai contoh
perkumpulan suka-duka.
3. Pribadi hukum yang khusus bergerak dibidang pengairan di sawah yang
di Bali lebih umum dikenal dengan “Subak”.
Sedangkan badan-badan hukum dari masyarakat hukum adat yang lebih
bersifat modern karena terbentuk berdasarkan peraturan-peraturan baik pusat
maupun daerah seperti : KUD, LPD dan lain sebagainya.

Tugas mandiri (PR): Mahasiswa ditugaskan mendapatkan informasi tentang


kriteria yang dijadikan ukuran untuk menentukan
kedewasaan seseorang saat ini di desa masing-masing
dengan berpedoman pada kriteria yang ada pada Bahan
Ajar Hukum Adat Lanjutan.

29
BAB IV

HUKUM ADAT LANJUTAN TENTANG KEKELUARGAAN

A. PENGERTIAN HUKUM ADAT KEKELUARGAAN

Istilah hukum kekeluargaan diantara para sarjana hukum adat tidak ada
kesatuan istilah seperti Ter Haar memakai istilah hukum kesanak saudaraan,
Soerjono Soekanto memakai istilah Hukum Keluarga, sedangkan Djaren
Saragih maupun Soerojo Wignyodipuro memakai istilah Hukum
kekeluargaan. Untuk mengetahui lebih lanjut apa yang dimaksud dengan
Hukum Adat Kekeluargaan itu, perlu mencari beberapa pendapat sarjana. Secara
umum pengertian yang terkandung dalam hukum adat kekeluargaan itu antara
lain :

Menurut Djaren Saragih : Hukum keluarga adalah sekumpulan


kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum yang
ditimbulkan oleh hubungan biologis (Djaren Saragih, 1980, h.123).

Akibat hukum yang timbul dari adanya hubungan biologis akan beraneka
ragam tergantung dari bentuk perkawinan yang dilakukan oleh pria dan wanita
atau orang tua mereka. Apabila hubungan biologis yang dilakukan oleh seorang
pria dan wanita tanpa dilakukan secara sah maka anak-anak yang lahir dari
hubungan tersebut akan menjadi anak tidak sah. Hal seperti ini akan menjadi
berbeda apabila hubungan biologis itu dilakukan secara saah maka anak-anak
yang dilahirpun akan menjadi anak-anak yang sah.

Sedangkan di Bali, kedudukan seorang anak dalam keluarga dan keluarga


besarnya selain ditentukan oleh sah tidaknya perkawinan orang tuanya, juga
ditentukan oleh bentuk perkawinan orang tuanya, apakah dalam bentuk
perkawinan biasa atau dalam bentuk perkawinan nyeburin. Karena bentuk
perkawinan tersebut akan mempengaruhi pula hubungan-hubungan hukum yang
akan timbul baik dengan orang tua maupun keluarga besarnya (kerabatnya).

30
B. SISTEM KEKELUARGAAN DI INDONESIA

Untuk mengetahui sistem hukum kekeluargaan yang berlaku, perlu


terlebih dahulu mengerti dan memahami sistem kekeluargaan yang secara umum
dikenal di Indonesia.

Sistem kekeluargaan ini perlu dipahami karena sistem kekeluargaan


merupakan kunci untuk dapat memahami persoalan-persoalan yang akan muncul
kemudian antara lain seberapa jauh ada hubungan hukum maupun hubungan
kekeluargaan antara orang yang satu dengan orang yang lainnya sehingga dengan
mengetahui hubungan-hubungan itu akan dapat diketahui pula apakah ada
halangan atau larangan diantara mereka apabila mereka ingin melangsungkan
perkawinan, serta untuk dapat mengetahui apakah mereka mempunyai hak atau
tidak sebagai ahli waris.

Pada prinsipnya di seluruh Indonesia terdapat 3 (tiga) sistem


kekeluargaan, yaitu cara melihat atau menarik keturunan sehingga dapat
diketahui dengan siapa seseorang itu mempunyai hubungan hukum
kekeluargaan atau keturunan siapa mereka serta dapat pula diketahui batas-batas
hubungan tersebut. Apakah mereka merupakan hubungan sedarah, bukan sedarah
atau pada derajat ke berapa mereka berada ?

Adapun ketiga cara menarik garis keturunan itu di indonesia antara lain :

1. Keturunan semata-mata dihitung menurut garis laki-laki saja


(garis patrilinial), seperti pada masyarakat suku Batak, Nias,
Sumba, Bali.
2. Keturunan semata-mata dihitung menurut garis wanita (ibu) saja
(garis matrilinial), seperti masyarakat suku minangkabau.
3. Keturunan yang dilihat baik garis laki-laki maupun garis wanita
(garis keturunan yang bersifat parental), seperti suku Jawa,
Sunda, Aceh, Dayak dan lain-lain.

31
Perbedaan sistem kekeluargaan seperti tersebut diatas hanyalah berfungsi
untuk menunjukkan adanya suatu perbedaan kadar hubungan kekeluargaan antara
orang yang satu dengan orang yang lainnya yang ada antara kedua belah pihak
yaitu garis bapak dan garis ibu, tetapi antara hubungan kedua belah pihak itu tidak
terputus sama sekali.

Sebagai contoh : masyarakat hukum adat di Bali yang menganut sistem


kekeluargaan patrilinial yang menghitung garis keturunan melalui garis ayah,
walaupun perkawinannya mungkin berbeda kasta tetap saja hubungan dengan
keluarga ibu juga dijaga. Hanya saja porsi hubungan itu lebih tinggi kekeluarga
ayah dari pada kekeluarga ibu apalagi dalam peristiwa-peristiwa yang penting
seperti dalam upacara dan upacara “Pitra Yadnya”.

Itu berarti keluarga dari pancar laki-laki lebih utama dari keluarga pancar
wanita kecuali keluarga dari pancar laki-laki sudah tidak ada lagi, barulah
keluarga dari pancar wanita mendapat perhatian baik mengenai penerimaan
warisan maupun pemeliharaan anak. Dalam masyarakat yang berhukum
kekeluargaan patrilinial pada umumnya terdapat cara perkawinan, dimana si
wanita sesudahnya kawin akan tinggal pada kelompok keluarga suami, demikian
pula si anak masuk golongan keluarga (clan) bapaknya. Sebagai corak kedua
dalam susunan kekeluargaan di Indonesia pada umumnya yang bersifat
“klasifikatoris”, artinya bahwa seluruh generasi dari bapak (dan ibu), seorang
anak dari beberapa hal mempunyai kedudukan yang sama dengan bapak serta
ibunya, tanpa memperhatikan umur yang bersangkutan (Gde Panetja, 1986, h.41).

Hal diatas adalah berkaitan dengan istilah menyapa dan menyebut atau
cara memanggil seseorang dalam keluarga baik keluarga dari bapak maupun dari
keluarga ibu tanpa memandang umur dari mereka yang disapa atau disebut
tersebut.

Bahan diskusi :

a. Apakah ada perbedaan kedudukan antara orang yang satu dengan orang
yang lainnya sebagai akibat adanya hubungan biologis atau karena
perbuatan hukum lainnya di Indonesia ?

32
b. Jelaskan perbedaan konsep dan akibat hukumnya antara patrilinial Batak
dengan patrilinial Bali ?
c. Jelaskan pengertian unilateral, bilateral, patrilinial beralih-alih !

C. KETURUNAN

Pengertian keturunan menurut hukum adat pada umumnya

Berdasarkan pendapat dari Surojo Wignyodipuro yang dimaksud


dengan keturunan adalah ketunggalan leluhur, yang artinya ada
perhubungan darah antara orang yang seorang dengan orang lain. Dua
orang atau lebih yang mempunyai hubungan darah, jadi yang tunggal
leluhur adalah keturunan yang seorang dari yang lain (Surojo
Wignyodipuro, 1979, h,128).

Sedangkan menurut T I P. Astiti, Cs : dikatakan bahwa keturunan itu


adalah orang-orang laki dan perempuan yang mempunyai hubungan darah
dengan orang yang menurunkannya (T.I.P. Astiti, Cs, 1984, h.2).

Dari kedua pendapat tersbut dapat dikatakan bahwa : keturunan adalah


merupakan unsur yang mutlak harus ada jika satu keluarga tidak
menginginkan dirinya dikatakan tidak ada generasi penerusnya.

Oleh karena itu, jika khawatir akan menghadapi kenyataan tidak


mempunyai keturunan maka dapat melakukan pengangkatan anak untuk
menghindari kepunahan. Orang yang satu sebagai keturunan dari orang yang
lainnya mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu sesuai dengan
kedudukan dalam keluarga yang bersangkutan.

Keluarga wajib saling membantu, saling mewakili, saling pelihara-


memelihara, boleh mempergunakan nama keluarga mereka yang menjadi
keturunan seorang bapak akan menjadi anggota pula dari clan bapak.

33
SIFAT-SIFAT KETURUNAN

Menurut sifatnya keturunan ada dua (2), yaitu :

1. Keturunan menurut garis lurus keatas dan kebawah, maksudnya adalah


keturunan langsung keatas yaitu apabila rangkaiannya dilihat dari
bawah keatas yaitu dari : anak, bapak, kakek. Sedangkan sebaliknya
apabila rangkaian itu dilihat dari atas kebawah yang disebut lurus
kebawah yaitu dari : kakek, bapak, anak.
2. Keturunan menurut garis menyimpang, menyamping atau bercabang
yaitu : apabila antara kedua orang atau lebih itu terdapat adanya
ketunggalan leluhur, yang disebut dengan “sepupu”.
3. Hubungan darah antara seseorang dengan orang lainnya.

Menurut T.I.P. Astiti, dapat pula dilihat dari jauh dekatnya hubungan
tersebut, karena jauh dekatnya hubungan darah ini akan membawa akibat hukum
yang berbeda. Jadi harus dibedakan antara hubungan darah yang sangat dekat
dengan hubungan darah yang cukup dekat. Terhadap hubungan darah yang sangat
dekat mengakibatkan adanya larangan yang sangat mutlak bahwa diantara mereka
ada larangan perkawinan, seperti antara : bapak dengan anak atau antara kakek
dengan cucunya, atau antara saudara kandung.

Sedangkan mereka yang mempunyai hubungan darah cukup jauh secara


relatif masih dimungkinkan untuk melangsungkan perkawinan. Dan mereka yang
mempunyai hubungan darah yang jauh, diantara mereka sudah tidak ada lagi
istilah untuk menyebutkan hubungan itu (T.I.P. Astiti, Cs, 1984, h.3).

Selain ada istilah melihat garis keturunan melalui sifat-sifatnya, maka


keturunan dapat pula dilihat melalui derajat atau tingkatannya yang disebut
dengan derajat keturunan. Hal ini juga untuk menentukan jauh dekatnya hubungan
kekeluargaan seseorang dengan orang lain yang akan bermanfaat dalam
menentukan siapa yang akan muncul sebagai ahli waris pertama apabila ada
seseorang yang meninggal, apakah dia berada pada derajat I (anak), pada derajat
II (kakek), pada derajat III (cucu). Dan seterusnya.

34
Keturunan mempunyai arti penting karena :

a. Sebagai penerus generasi sehingga seseorang tidak dikatakan


punah (caput).
b. Merupakan harapan dan tujuan dari setiap perkawinan.
c. Sebagai ahli waris apabila ada yang meninggal.
d. Wadah atau tempat orang tua atau keluarga berharap dan
berlindung.
e. Melalui keturunan dapat dibuat ssisilah keluarga yang akan
memberikan gambaran dengan jelas garis-garis keturunan dari
seseorang atau suami istri, baik yang lurus keatas maupun
kebawah, menyimpang, menyamping baupun bercabang.
f. Berkaitan dengan masalah perkawinan, yaitu untuk meyakinkan
apakah diantara mereka ada hubungan darah dekat yang
merupakan larangan untuk mereka kawin (menjadi suami-istri),
misalnya adik dengan kakak sekandung.

Ketiadaan keturunan atau anak dapat menimbulkan berbagai akibat hukum


atau peristiwa hukum seperti yang diungkapkan oleh Soerjono Soekanto yaitu
perceraian, poligami atau pengangkatan anak, walaupun itu bukan merupakan
alasan satu-satunya dalam perkawinan karena tidak adanya keturunan (Soerjono
Soekanto dan Soleman Biasana Taneko, 1981, h.275).

JENIS-JENIS ANAK

Apabila yang dimaksud dengan keturunan ini adalah anak, maka dalam
masyarakat hukum adat pada umumnya akan dikenal macam-macam atau jenis-
jenis anak yaitu :

1. Anak sah, adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah orang
tuanya.
Yang dimaksud dalam kelompok anak yang demikian adalah :
a. Anak kandung.
b. Bukan anak kandung, meliputi : anak angkat, anak tiri dan anak
piara.

35
2. Anak tidak sah anak luar kawin (natuurlijk kind) atau anak alam,
yaitu anak yang dilahirkan dari hubungan perkawinan yang tidak
pernah disahkan. Sebagai konsekwensi dari kedudukan anak yang
demikian menurut hukum adat mereka hanya mempunyai hubungan
hukum dengan ibunya saja. Dalam UU No.1 Tahun 1974, anak tidak
sah hanya mempunyai hubungan keperdataan saja dengan ibu dan
keluarga ibu. Berbeda halnya dalam hukum barat, yang perlu
mendapatkan pengakuan terlebih dahulu dari ibu maupun laki-laki yang
mengawini ibunya. Anak luar kawin disebut dengan “anak bebinjat atau
anak haram”.

Dari bermacam-macam jenis anak seperti tersebut diatas perlu


dijelaskan atau diberi pengertian antara lain :

- Anak kandung adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah
dari orang tuanya.
- Anak angkat adalah anak orang lain yang lahir dari perkawinan
yang sah yang diangkat sebagai anak karena alasan-alasan dan
tujuan tertentu.
- Anak tiri adalah anak dari salah satu pihak baik dari suami
maupun istri yang dibawa kedalam perkawinan mereka.
- Anak piara adalah anak orang lain yang dipelihara oleh seseorang
karena orang tuanya tidak mampu memeliharanya dan status
anak yang demikian tetap ada pada orang tua kandungnya.

Penggolongan anak seperti tersebut diatas mempunyai arti penting dalam


hal :

1. Hubungan antara anak dengan orang tuanya.


2. Hubungan antara anak dengan kerabat/keluarga.

Perbedaan antara hubungan anak dengan orang tuanya dengan hubungan


anak dengan kerabat/keluarga/sanak saudaranya merupakan hal penting untuk
diketahui karena hubungan-hubungan tersebut diberbagai sistem kekeluargaan
nilai untuk anak akan berbeda dalam berbagai hubungan-hubungan hukum seperti

36
kewajiban memelihara, hak untuk dipelihara, wewenang untuk mengawinkan,
hubungan waris dan lain sebagainya.

1. HUBUNGAN HUKUM ANTARA ANAK DENGAN ORANG TUA

Hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya dikatan ada,


apabila pada waktu anak tersebut lahir, orang tuanya ada dalam
perkawinan yang sah. Pekawinan yang sah baik menurut hukum adat
maupun Undang-Undang No.1 Tahun 1974 apabila perkawinan itu telah
dilangsungkan menurut hukum agama dan kepercayaannya seperti dalam
Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan.

Pada umumnya terdapat suatu hubungan hukum berdasarkan atas


hubungan antara orang tua dengan anak-anaknya. Akibat hukum yang timbul dari
adanya hubungan hukum itu adalh beraneka ragam, tergantung dari bentuk
perkawinan orang tuanya. Anak-anak yang lahir dari perkawinan yang sah wajib
dipelihara oleh orang tuanya. Dan dalam pemeliharaan itu orang tua tidak
membedakan jenis kelamin dari anak-anaknya baik yang laki maupun
perempuan, anak tertua maupun terkecil sama-sama dipelihara oleh ayah dan ibu
mereka. Hubungan hukum antara anak dengan orang tua sudah dimulai sejak si
anak masih berada dalam kandungan, kemudian lahir, hidup menjadi dewasa
sampai kemudian kawin. Dan hubungan ini dapat dibuktikan dengan adanya
upacara dan upakara yang dilakukan terhadap si anak dan juga memelihara orang
tua yang sudah tidak mampu bekerja lagi. Dengan demikian jelaslah bahwa
hubungan hukum antara anak dengan orang tua secara umum akan menimbulkan
hak dan kewajiban antara anak dengan orang tua secara bertimbal balik.
Kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya antara lain : memelihara dan
mendidiknya, menjamin kesejahteraannya sesuai dengan kemampuan orang
tua.

Seperti, upacara perkawinan dan lain sebagainya dan juga memberikan


pembagian warisan (kalau punya harta warisan). Dan si anak berhak memakai

37
nama keluarga bapaknya. Sebaliknya orang tua mengharapkan dari anak-
anaknya antara lain mengenai :

- Sebagai penegak dan penerus generasinya.


- Menggantikan kedudukan orang tua.
- Memberikan nafkah dan memelihara orang tua kalau sudah tidak
mampu lagi.

Sebagai akibat hukum atau konsekwensi adanya hubungan hukum


antara orang tua dengan anak adalah :

- Adanya larangan kawin diantara mereka. Karena apabila


ketentuan ini dilanggar maka akan timbul adanya delik adat dan
pelakunya akan dijatuhi reaksi dan koreksi adat sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di desa masing-masing.
- Berhak memakai nama keluarga bapaknya.
- Berhak sebagai ahli waris.
- Timbul hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak
(alimentasi).

Hubungan antara anak dengan orang tua dapat putus dalam hal anak
dipecat sebagai anak karena dianggap durhaka terhadap orang tua. Akibatnya si
anak dapat tidak diberikan hak untuk mewaris.

2. Hubungan Hukum Antara Anak dengan Kerabat Orang Tuanya

Dalam sistem kekeluargaan yang bersifat patrilinial, maka hubungan


antara anak dengan kerabat ayahnya, lebih erat dan lebih penting daripada
hubungan dengan kerabat ibunya penentuan hubungan kekeluargaan ini di
dasarkan atas adanya ketunggalan leluhur atau “kawitan” karena garis
kebapaan. Disamping itu dapat pula ditentukan hubungan kekeluargaan
berdasarkan garis ibu, yang timbul karena perkawinan.

38
Hubungan anak dengan leluhurnya yang dihitung lurus ke atas dapat
disebutkan dengan tingkatan-tingkatan sebagai berikut: 1. Anak, 2. Ayah, 3.
Kakek, 4. Buyut, 5... dst. Sedangkan hubungan kekeluargaan kesamping dapat
disebut dengan tingkatan-tingkatan seperti : 1. Sepupu dan sebutan lainnya.
Adanya hubungan kekeluargaan ini juga berperan untuk menentukan ada dan
tidaknya larangan perkawinan, seperti larangan perkawinan antara mereka yang
masih ada hubungan darah yang sangat dekat misalnya antara anak dengan
bibinya.

Hubungan kekeluargaan antara anak dengan kerabat ibunya tidak


menimbulkan adanya hubungan dalam hal waris. Karena itulah yang
menyebabkan si anak tidak mempunyai kewajibanhukum pada kerabat
ibunya.

Pemeliharaan Anak Yatim Piatu

Dalam sistem kekeluargaan patrilinial dimana kedudukan keluarga ayah


lebih penting dari pada keluarga ibu, hal ini akan lebih jelas tampak di dalam
upacara-upacara, terlebih –lebih dalam bidang hukum waris.

Bilamana ayah meninggal dunia terlebih dahulu, maka si ibu meneruskan


memegang kekuasaan atas keluarganya. Si ibu tetap mendidik anak-anaknya.
Tetapi kalau si ibu kawin lagi dengan orang lain yang bukan dari saudara
suaminya, maka kekuasaan dan kewenangannya untuk mendidik maupun
memelihara anak-anak menjadi putus dan berarti si ibu tersebut telah memutuskan
tali kekeluargaannya dengan keluarga suami dan anak-anaknya tetapi dipelihara
dan tetap berada dilingkungan keluarga suami. Demikian pula kalau si ibu yang
meninggal dunia atau orang tuanya yang meninggal dunia, maka si anak tetap
berada dan dipelihara oleh keluarga bapaknya yang terdekat. Dalam hubungan
dengan pemeliharaan terhadap anak yang ditinggal mati oleh kedua orang tuanya,
tidak mempunyai kewajiban hukum terhadap orang yang memeliharanya. Si anak
hanya mempunyai kewajiban moral dan kewajiban membantu mereka yang telah
memeliharanya.

39
D. PENGANGATAN ANAK

Suami istri yang telah lama melangsungkan perkawinan dan kemudian


tidak mempunyai anak, maka mereka kadang-kadang meminjam anak kecil dari
orang lain yang sering disebut istilah pinjam anak kecil sebagai “penuntun”.
Tetapi ada pula dengan cara lain untuk mendapatkan anak yaitu dengan cara
mengangkat anak.

Mengangkat anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengambil


anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara
orang yang mengangkat dengan orang yang diangkat itu timbul suatu
hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua
dengan anak kandung sendiri (surojo Wignyodipuro : 1979 : 141).
Sedangkan menurut Ter Haar, pengangkatan anak mempunyai sifat sebagai
suatu perbuatan hukum yang rangkap dab juga bersifat magis religius,
terang dan tunai (Ter Haar : 1966 : 153). Dari pengertian tersebut dapat
diartikan bahwa pengangkatan anak itu mempunyai sifat:

1. Perbuatan hukum yang rangkap berarti ada dua perbuatan hukum


yang harus dilalui dalam proses pengankatan anak yaitu di satu pihak
melepaskan anak tersebut dari ikatan kekeluargaan dengna orang tua
kandungnya dan di pihak lain memasukkan anak tersebut ke dalam
ikatan kekeluargaan orang tua angkatnya.
2. Magis religius berarti pada saat pengambilan anak tersebut harus
disertai suatu upacara penyerahan suatu benda sebagai pengganti
anak tersebut.
3. Terang artinya agar pengangkatan anak tersebut dikatakan sah,
maka dalam proses pengesahannya haruslah disaksikan oleh
dihadapan kepala desa dan selanjutnya diumumkan secara luas
keseluruhan desa.
4. Tunai artinya bahwa pengambilan anak harus disertai dengan
penyerahan benda yang kelihatan sebagai pengganti anak tersebut
pada saat upacara yang dilaksanakan pada saat yang bersamaan.

40
Pengangkatan anak melalui dua tahapan seperti tersebut diatas. Dalam
pengangkatan anak selalu diadakan upacara keagamaan yang di Bali disebut
“upacara pemerasan”. Yang dimaksud dengan perbuatan magis religius
dalam pengangkatan anak ini adalah upacara tunai dalam hal penyerahan
anak disertai dengan penyerahan benda sebagai pengganti si anak kepada
orang tua si anak yang dilakukan pada saat itu juga sedangkan sifat terang
yang dimaksudkan disini adalah adanya kesaksian dari pengurus desa.

Alasan-Alasan Pengangkatan Anak :

1. Tidak diperolehnya anak dalam suatu perkawinan (karena tidak


mempunyai anak);
2. Karena adanya rasa belas kasihan;
3. Untuk memperoleh tenaga kerja.

Tujuan pengangkatan anak

1. Untuk mendapatkan anak sebagai pelanjut keturunan atau penerus


generasi;
2. Sebagai penuntun agar memperoleh anak;
3. Untuk menghindari perkawinan yang rangkap atau bertukar;
4. Untuk mendapatkan tenaga kerja.

Pengangkatan anak memerlukan beberapa persyaratan baik bagi orang tua


yang mengangkat maupun bagi anak yang akan diangkat :

Persyaratan bagi orang tua angkat antara lain :

1. a. Anak angkat harus dicari dari lingkungan keluarga terdekat


menurut garis ayah;
b. apabila tidak ada anak dilingkungan keluarga purusa, maka
dapat dicari dari lingkungan keluarga garis ibu.
c. Apabila tidak didapat anak baik dari keluarga bapak maupun
keluarga ibu barulah dapat dicari dari keluarga lain dan bahkan
dari anak yang tidak ada hubungan kekeluarganya.
2. Harus mendapat persetujuan dari keluarga atau kerabatnya.

41
3. Sudah pernah atau masih ada dalam ikatan perkawinan bagi suami
istri yang akan mengangkat anak. Tetapi keadaan sekarang sudah
berubah dan lebih diutamakan adalah adanya hubungan batin antara
anak yang diangkat dengan orang tua angkatnya.

Persyaratan bagi anak yang akan diangkat :

1. Belum dewasa;
2. Usianya lebih muda daripada yang mengangkat;
3. Diutamakan laki-laki.

Prosedur pengangkatan anak :

1. Secara umum proses pengangkatan anak menurut hukum adat


didahului dengan mencari kesepakatan diantara keluarga si
pengangkat dan di keluarga anak yang akan diangkat.
2. Adanya upacara pelepasan antara orangtuanya dengan anak yang
akan diangkat. Demi adanya kepastian hukum saat ini anak angkat
dimintakan penetapannya ke Pengadilan Negeri karena anak angkat
akan mempunyai kedudukan yang sama dengan anak kandung.

Apabila anak angkat tidak melaksanakan dharmanya sebagai anak, maka


anak angkatpun dapat dipecat sebagai anak misalnya : tidak menuruti perintah
yang baik dari orang tua angkatnya, tidak melakukan kewajiban-kewajiban yang
menjadi beban orang tua angkatnya.

E. AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANAK

PENGANGKATAN ANAK PADA MASYARAKAT BALI

Pada masyarakat Bali yang menganut sistem kekeluargaan patrilinial, anak


yang diangkat biasanya adalah anak laki-laki, tetapi boleh juga anak wanita dan
anak yang diambil lebih diutamakan dari garis laki yang umum disebut dengan
garis “purusa”.

42
Pengangkatan anak di Bali umum dikenal dengan sebutan “meras sentana
atau meras pianak” sehingga anak yang diangkat itu disebut dengan “sentana
peperasan”. Selain itu orang Bali sering pula mengangkat status anak
perempuannya menjadi berstatus laki-laki apabila hanya mempunyai anak
perempuan dengan sebutan “Putrika atau Sentana Rajeg”, dengan syarat harus
melakukan perkawinan “Keceburin”, yaitu perkawinan secara khusus dengan
cara mencari suami yang akan masuk kedalam kelompok keluarga istri
dengan status sebagai perempuan (predana) agar istrinya mempunyai
kedudukan yang sama dengan anak laki. Sentana seperti ini juga dinamakan
“Sentana Tarikan atau Sentana Nyeburin”.

Disamping itu masyarakat hukum adat Bali juga dikenal cara lain yaitu
mengangkat “Sentana Laki” yang kemudian dikawinkan terlebih dahulu dengan
anak perempuannya agar tidak terjadi delik adat, tetapi anak perempuannya tetap
berstatus perempuan, tetapi berbeda dengan “Sentana Rajeg” dan Sentana Laki
tersebut tetap pula berstatus laki-laki yang disebut dengan istilah “Sentana Silih
Dihi dan Sentana Kepala Dara”. Pengangkatan anak ini menjadi penting bagi
masyarakt hukum adat Bali terutama bagi keluarga yang tidak mempunyai anak
baik laki maupun perempuan. Pentingnya itu karena akan ada yang menggantikan
kedudukan terutama yang berkaitan dengan hak dan kewajiban orang tua angkat
baik kewajiban terhadap leluhur maupun masyarakat dimana mereka berada. Dan
bagi masyarakat hukumnya anak angkat tersebut akan menjadi warga desa baru.
Pengangkatan anak di Bali umum dilakukan terhadap orang-orang yang masih
berada dalam lingkungan satu leluhur (satu tempat persembahyangan) dan anak
angkat tersebut berkedudukan sebagai anak kandung sepanjang pengangkatan
anak itu sah menurut hukum adat Bali dan selanjutnya akan putus hubungan
hukum kekeluargaannya (terutama hak warisnya) dengan orang tua kandungnya.

PENGANGKATAN ANAK DI MINANGKABAU

Pada prinsipnya di Minangkabau tidak dikenal lembaga pengangkatan


anak, karena dalam satu rumah gadang sudah berkumpul anak-perempuan dengan

43
anak-anaknya, sehingga bagi perempuan yang tidak memiliki anak tidak perlu
mengangkat anak. Namun kadang-kadang terdapat juga pengangkatan anak
apabila tidak ada sama sekali anak yang lahir disitu dengan maksud untuk
menghindari punahnya kerabat (famili) tersebut, dan anak yang diangkat adalah
anak perempuan.

Selain itu pada masyarakat Minangkabau dikenal pula pengangkatan anak


tiri yaitu anak dari seorang istri yang bukan suku Minang kedalam suku ibunya
sehingga si anak masuk kedalam suku ibu angkatnya (Djaren Saragih, 1980,
h.136).

PENGANGKATAN ANAK DI JAWA

Pengangkatan anak di Jawa umumnya dilakukan terhadap kemenakan-


kemenakannya baik laki maupun perempuan. Pengangkatan anak di Jawa pada
umumnya tidak menuntut prosedur dan persyaratan seperti halnya pada
masyarakat Bali dan juga tanpa sepengetahuan penghuu rakyat. Pada pokoknya
pengangkatan anak di Jawa lebih bersifat “Social Psikologis” dari pada sifat
yuridisnya (Djaren Saragih, 1980, h.132). berbeda halnya dengan anak angkat di
Bali, anak angkat di Jawa tidak berkedudukan sebagai anak kandung dari orang
tua angkatnya sehingga ia tidak berhak mewaris dari orang tua angkatnya, ia akan
tetap mewaris di orang tua kandungnya. Namun ia juga mempunyai hak tertentu
atas barang-barang harta peninggalan orang tua angkatnya tetapi tidak berhak
sama sekali atas harta ayah ataupun ibu angkatnya. Mengenai hal ini sudah pernah
ada putusan pengadilan yaitu Putusan MA N.37/K/Sip/1959 tanggal 18 Maret
1959 dan dalam Putusan MA No.82/K/Sip/1957 tanggal 24 Mei 1958 (Soebekti:tt,
h.30-32).

Oleh karena itu anak angkat di Jawa mempunyai hak mewaris dari orang
tua kandungnya dan mempunyai hak tertentu pula dari orang tua angkatnya, maka
Djojodiguno menyatakan bahwa anak angkat di Jawa dikatakan “menerima air
dari dua sumber mata air” dengan catatan bahwa dalam pernikahan, bapak
angkat tidak dapat menjadi wali nikah dan dalam hal perkawinan terjadinya

44
larangan untuk kawin antara anak angkat dengan anak kandung bapak angkatnya
atau keturunan dari orang tua angkatnya (Soerojo Wignyodipuro, 1979, h.137).

LATIHAN :

a. Sebutkan jenis-jenis atau penggolongan anak menurut hukum adat !


b. Carilah perbedaan kedudukan anak angkat di Bali dengan anak angkat di
Jawa!
c. Apakah akibat hukum dari pengangkatan anak pada masyarakat hukum
adat Bali dan di Jawa ? Dan bagaimana di Minangkabau ?

Tugas mandiri (PR) : mahasiswa menjelaskan kedudukan anak diluar kawin baik
menurut hukum adat maupun menurut Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 (Undang-Undang Pokok-Pokok
Perkawinan).

45
BAB V

HUKUM ADAT LANJUTAN TENTANG PERKAWINAN

A. PENGERTIAN DAN SEJARAH HUKUM PERKAWINAN

untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan perkawinan menurut hukum


adat beberapa sarjana akan mengemukakan pendapatnya antara lain :

Ter Haar menyebutkan bahwa perkawinan itu adalah urusan kerabat,


keluarga, masyarakat, derajat dan pribadi masing-masing pihak yang akan
melangsungkan perkawinan (Ter Haar, 1966, h.158). sedangkan menurut hazairin
dalam bukunya “Rejang” menyebutkan bahwa perkawinan adalah merupakan
tiga buah rentetan peristiwa dan perbuatan magis yang bertujuan menjamin
ketenangan, kebahagiaan dan kesuburan. Yang menurut A.Van Gennep perbuatan
magis itu adalah berkaitan dengan upacara-upacara peralihan yang terdiri dari 3
(tiga) stadium disebut dengan “Rites de passage”, meliputi :

- Rites de separation (upacara perpisahan);


- Rites de marge (upacara perjalanan);
- Rites de aggregation (upacara penerimaan) (Hazairin, dikutip dari
Surojo Wignyodipuro, 1973, h.140).

Pengertian perkawinan dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan


menentukan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga dan rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dari beberapa pengertian perkawinan seperti tersebut diatas dapat


dikatakan bahwa perkawinan itu bersangkut paut dengan :

a. Aspek sosial (pandangan hidup) melalui perkawinan akan dibentuk


masyarakat kecil untuk mendapatkan keturunan, mempertahankan silsilah
dan kedudukan sosial yang bersangkutan, merupakan cita-cita leluhur

46
untuk membentuk keluarga yang bahagia sebagai suatu nilai yang
diharapkan dalam hidup.
b. Aspek agama, karena pelaksanaan pengesahan perkawinan senantiasa
dimulai dan seterusnya disertai dengan upacara-upacara lengkap dengan
(Bali : upakara berupa sesajen atau banten).
c. Aspek hukum, bahwa sahnya perkawinan ditentukan oleh hukum yang
berlaku di tiap negara atau masyarakat dimana perkawinan itu
dilangsungkan. Karena aspek hukum akan membawa akibat hukum
terhadap kedudukan istri, kedudukan anak-anak dan harta benda
perkawinan.

Lembaga perkawinan adalah lembaga suci yang harus dipertanggung


jawabkan kepada Tuhan Yang maha Esa yang artinya bahwa orang tidak dapat
seenaknya melakukan kawin cerai karena harus memenuhi syarat-syarat maupun
alasannya bila ingin bercerai. Berbeda halnya dengan ketentuan dalam BW atau
KUH Perdata yang dasar ketentuannya adalah individual bahwa perkawinan
adalah kontrak yang dapat dibuktikan dengan bolehnya mereka membuat
perjanjian kawin, bahwa segala akibat yang akan timbul kemudian dapat
diperjanjikan terlebih dahulu sebelum mereka melangsungkan perkawinan.

Sedangkan pengertian “ikatan” yang disebutkan dalam Pasal 1 Undang-


Undang Perkawinan bukanlah merupakan perjanjian diantara mereka yang kawin
tetapi lebih bersifat “paguyuban” yang artinya ada ketunggalan atau kesatuan
dalam keluarga tersebut yang ditujukan dengan adanya perubahan nama atau
perubahan panggilan ataupun perubahan sebutan (contoh di Bali, panggilan baru
“Pan Kelor, dst).

Sejarah Hukum Perkawinan di indonesia

Hukum perkawinan di Indonesia telah mengalami perkembangan, dan


untuk memudahkan memahaminya perkembangan tersebut dibagi dalam beberapa
tahap antara lain :

a) Sebelum keluarnya UU No.1 tahun 1974 (Undang-Undang Pokok


Perkawinan) di Indonesia berlaku berbagai hukum perkawinan sehingga

47
disebut pluralisme dibidang perkawinan. Ketentuan-ketentuan yang
berlaku pada saat itu adalah : KUH Perdata, Ordonansi Perkawinan
Indonesia Kristen (S.1933 -74), Peraturan Perkawinan Campuran (GHR :
S .1898 -158), Hukum Adat, Hukum Islam, Hukum Agama.
b) Setelah keluarnya UU No.1 Tahun 1974, yang diundangkan 2 Januari
1974 dan baru dapat berlaku efektif setelah keluarnya Peraturan
Pemerintah (PP) No.9 Tahun 1975, aturan tentang perkawinan diatur
secara nasional. Ini artinya bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan
perkawinan sepanjang telah diatur dalam undang-undang ini maka yang
berlaku adalah undang-undang ini dan peraturan yang lama tidak berlaku
lagi, karena undang-undang ini merupakan unifikasi dalam hukum
perkawinan (lebih lanjut baca Pasal 66 UU No.1 Tahun 1975). Di
Indonesia undang-undang ini terbentuk setelah melalui perbincangan
diberbagai perdebatan dan kesempatan yang juga bertujuan melindungi
hak-hak wanita dalam keluarga, maupun emansipasi wanita.
c) Kemudian dalam perkembangan selanjutnya untuk lebih efektifnya
undang-undang perkawinan ini berlaku dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara maka keluarlah Peraturan Pemerintah (PP) No.9 Tahun 1975
selanjutnya keluar lagi PP No.10 tahun 1983 dan kemudian PP ini direvisi
lagi dengan PP No.45 Tahun 1990 yang mengatur tentang Izin Perkawinan
dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. Dan untuk lebih
mengefektifkan undang-undang perkawinan ini kemudian keluar lagi
beberapa perauran perundangan lainnya seperti UU No.7 Tahun 1984
tentang Ratifikasi Konvensi Wanita Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita, UU No.23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), UU No.23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan lain-lain.
d) Dilihat dari sifat UU No.1 Tahun 1974, Hazairin menyebutkan dengan
“Unik dan Luas” :
- Unik artinya unifikasi tetapi dalam kenyataannya berlaku lagi
ketentuan-ketentuan lain yang dirujuk oleh undang-undang
perkawinan.

48
- Luas artinya bahwa dalam undang-undang perkawinan selain mengatur
perkawinan juga mengatur hal-hal yang lain seperti : masalah anak,
perceraian, harta benda perkawinan dan lan sebagainya. Demikian pula
dapat ditemukan dalam pasal-pasal seperti : Pasal 2 ayat (1), Pasal 6
ayat (6), Pasal 37 dan Pasal 66.

SISTEM PERKAWINAN

Dalam hukum adat dikenal ada 3 sistem perkawinan yaitu : Endogamy,


Exogami dan Eleuthrogami :

1. Sistem Endogamy yaitu bahwa dalam sistem ini seseorang hanya


diperbolehkan kawin dengan seseorang dari sukunya sediri. Sistem ini
antara lain terdapat di daerah Toraja;
2. Sistem Exogami yaitu bahwa orang diharuskan kawin dengan orang di
luar suku atau clannya. Artinya dilarang kawin dengan sesama anggota
klan. Contohnya : Batak.
3. Sistem Eleuthrogami yaitu bahwa dalam sistem ini tidak dikenal
larangan-larangan ataupun keharusan-keharusan seperti yang terdapat
dalam sistem Endogamy ataupun Exogami. Dan sistem inilah yang
terbanyak di Indonesia.

B. BENTUK-BENTUK PERKAWINAN

Dilihat dari bentuk-bentuk perkawinan pada prinsipnya ada 3 (tiga) bentuk


yang masing-masing merupakan corak khas dari sistem kekeluargaan yang ada di
Indonesia yaitu :

1. Perkawinan jujur merupakan corak khas perkawinan pada masyarakat


patrilinial. Dalam perkawinan jujur ditandai dengan pemberian jujur oleh
pihak laki-laki atau yang berstatus laki-laki (Bali). Fungsi jujur : secara
yuridis mengubah status salah satu pihak, secara ekonomis, menimbulkan
adanya pergeseran harta kekayaan. Dan secara social, kedudukan menjadi
lebih dihormati dan bukan sebagai uang pembelian (hak milik). Sifat jujur :

49
lebih bersifat keharusan atau magis dari pemberian. Karena jujur lebih
berfungsi sebagai pengganti kedudukan si gadis dalam keluarganya (karena
dengan keluarganya seseorang dari kelompok keluarganya dianggap
mengganggu keseimbangan magis, perlu ada benda pengganti untuk
menetralisir keadaan). Jenis-jenis perkawinan jujur :
a. Perkawinan mengabdi/nyalindung kagelung (bila jujur belum dibayar);
b. Perkawinan bertukar/berbesan rangkap (di Bali : mekedeng ngaad);
c. Perkawinan meneruskan (bila istri meninggal, suami kawin lagi dengan
saudara istri);
d. Perkawinan mengganti/perkawinan ganti tikar (bila suami meninggal,
janda dikawini oleh saudara suami);
e. Perkawinan pinjam jago, dll.

2. Perkawinan semendo merupakan corak khas perkawinan pada masyarakat


matrilineal. Adalah bentuk perkawinan yang tanpa memakai dasar uang jujur
sebaga tanda peminangan, karena pada prinsipnya adalah untuk
mempertahankan keturunan pihak wanita (ibu) atau klan istri. Adapun
tingkatan-tingkatan perkawinan semendo adalah : perkawinan semendo
bertendang, semendo menetap dan semendo bebas. Sedangkan bentuk-bentuk
perkawinan semendo adalah : semendo raja-raja, semendo lepas, semendo
nunggu, semendo anak dagang dan semendo ngangkit/nyangkit.
3. Perkawinan bebas (mentas) merupakan corak khas perkawinan pada
masyarakat parental (Djaren Saragih, 1980, h.135-143).

Bentuk-bentuk perkawinan dapat dilihat dari cara si wanita didapat, karena


cara-cara si wanita didapat ada bermacam-macam seperti :

1) Dengan cara meminang/melamar.

Cara ini pada umumnya dilakukan kedua mempelai sudah saling cinta
mencintai dan telah pula mendapatkan persetujuan dari orang tua kedua belah
pihak.

50
Oleh karena telah ada persetujuan dari kedua belah pihak maka
dilanjutkanlah dengan pelamaran diawali dari pihak laki-laki ke rumah pihak
perempuan. Dengan adanya kesepakatan ini lalu diberikanlah kepada pihak suatu
tanda yang disebut “Peningset” sebagai tanda bahwa si wanita sudah ada yang
melamar. Apabila tidak ada aral melintang dengan didasarkan pada hari baik dan
berdasarkan kesepakatan dilakukanlah penjemputan mempelai wanita lengkap
dengan membawa pakaian, sirih pinang dengan perlengkapan lainnya sesuai
dengan adat kebiasaan yang berlaku pada masing-masing suku di Indonesia. Dan
dari sini pulalah akan terlihat berbhinekanya adat istiadat yang ada di Indonesia.
Setelah upacara ini selesai lalu si wanita dibawa kerumah mempelai laki-laki
untuk disahkan perkawinan mereka. Pada umumnya proses pengesahan
perkawinan melalui peminangan ini berjalan sesuai dengan adat istiadat masing-
masing daerah yang ada di Indonesia.

2) Dengan Cara Kawin Lari Bersama

Cara ini lazim dilakukan dengan cara kawin lari bersama-sama yang pada
umumnya antara kedua pasangan itu sudah ada hubungan cinta, dan tidak ada
unsur paksaan didalamnya, tetapi karena diantara mereka ada sesuatu halangan
yang memungkinkan perkawinan itu terancam batal, maka jalan lain yang dapat
ditempuh agar perkawinan itu tidak batal adalah dengan cara kawin lari bersama,
yang pada awalnya mereka membuat perjanjian yang matang tentang, hari, jam,
tempat mempelai wanita dijemput. Berdasarkan kesepakatan itulah mempelai
wanita dilarikan menuju kerumah mempelai laki-laki atau ketempat yang lain
sebagai tempat persembunyian kedua mempelai. Setelah pelarian ini berjalan
mulus barulah pihak laki-laki mengirim utusan kepada keluarga pihak wanita
untuk memberi tahukan bahwa anak gadisnya telah dilarikan untuk dikawini oleh
si A, misalnya : lengkap dengan identitas mempelai laki-laki maupun identitas
orang tua mempelai laki-laki. Utusan ini bertugas sebagai utusan dari mempela
laki-laki dan agar tidak mendapatkan halangan dari keluarga mempelai wanita.

51
3) Dengan Cara “Nyeburin”

Perkawinan dengan cara ini hanya dikenal pada masyarakat hukum adat
Bali yang umumnya dilakukan diantara keluarga karena orang tua calon
mempelai wanita yang tidak mempunyai anak laki-laki. Perkawinan dalam
bentuk ini berbeda dengan dua bentuk perkawinan diatas, karena dalam
perkawinan “nyeburin” segala proses perkawinan dimulai dari pihak wanita.
Uacara pelamaran maupun tempat pengesahan perkawinan mereka dilakukan di
rumah mempelai wanita.

Keadaan yang demikian akan membawa perbedaan akibat hukum baik


pada laki-laki maupun perempuannya karena dalam perkawinan “nyeburin”
mempelai laki-laki akan berubah status secara hukum menjadi berstatus
“predana/wanita” dan yang wanita akan berubah menjadi berstatus “purusa/laki-
laki”. Segala hak dan kewajiban baik dalam hukum keluarga maupun hukum
waris akan dihitung melalui garis wanita yang telah berstatus laki-laki yang
disebut “sentana rajeg atau putrika”.

Didalam perkawinan nyeburin dikenal beberapa istilah yang masing-


masing akan memberikan kedudukan yang berbeda kepada pelakunya yaitu :

a) Perkawinan nyeburin biasa.


b) Perkawinan nyeburin silih dihi dan nyeburin kepala dara.

C. SYARAT-SYARAT DAN PROSEDUR PENGESAHAN PERKAWINAN

Pada masyarakat hukum adat tidak ada ukuran yang pasti bagi seseorang
yang dianggap pantas untuk melangsungkan perkawinan, karena antara desa yang
satu dengan desa yang lainnya memakai kretiria yang berbeda. Sebelum
berlakunya UU No.1 Tahun 1974 kretiria yang dipakai adalah :

- Untuk wanita apabila sudah mentruasi satu kali.


- Untuk laki-laki apabila sudah dianggap mampu untuk mencari nafkah
sendiri, atau sudah dapat menggendong padi satu pikul atau sudah
mampu melaksanakan kewajiban di desa, atau sudah terjadi perubahan

52
suara (perubahan biologis). (Tim Peneliti Fak. Hukum Unud,
1980/1981,h.51)

Tetapi setelah berlakunya UU No.1 Tahn 1974, yang berarti segala


ketentuan yang berlakulah tentang perkawinan sepanjang telah diatur dalam
undang-undang ini akan berlakulah undang-undang ini, (lihat pasal-pasal tentang
persyaratan tersebut dalam UU No.1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya),
kecuali belum diatur barulah berlaku ketentuan lain yang juga akan ditunjuk oleh
undang-undang ini (Pasal 66 UU No.1 Tahun 1974).

Oleh karena persyaratan-persyaratan perkawinan telah diatur dalam


undang-undang ini maka ketentuan dalam undang-undang inilah yang berlaku dan
tidak berlaku lagi ketentuan seperti tersebut diatas.

Disimak dari undang-undang perkawinan tersebut, dapat disimpulkan


bahwa persyaratan untuk dapatnya suatu perkawinan disahkan haruslah melalui
antara lain :

- Persyaratan formal : meliputi ketentuan umur dan tidak melanggar


larangan-larangannya, yang tercantum dalam Pasal-Pasal : 6, 7, 8, 9,
10, 11 dan 12 UU No.1 Tahun 1974.
- Persyaratan materiil : meliputi proses dan prosedur pengesahan yang
harus dilakukan mengikuti ketentuan menurut hukum agama dan
kepercayaan masing-masing (misalnya Pasal 2 ayat 1 dan 2 UU No.1
Tahun 1974).
- Disamping kedua persyaratan tersebut harus pula dilengkapi dengan
tata administrasi yaitu berupa pencatatan perkawinan yang akan
dibuktikan dengan akte perkawinan yang merupakan alat bukti yang
kuat.

Sebagai suatu masyarakat hukum yang terikat pada berbagai kepercayaan


disamping adanya larangan-larangan seperti yang telah ditentukan oleh undang-
undang ada pula hal-hal lain yang perlu pula mendapatkan perhatian agar akibat-
akibat yang tidak baik atau yang dianggap membawa bencana tidak terjadi, seperti
perkawinan antara saudara sekandung atau antara ibu dengan anaknya.

53
Disamping adanya perkawinan-perkawinan yang dilarang, ada juga
perkawinan yang dianggap idial bagi masyarakatnya seperti pada masyarakat
Minangkabaau, diharapkan laki-laki kawin dengan anak perempuan mamaknya
(anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya), di Batak, perkawinan yang
dianggap idial adalah anak laki kawin dengan anak perempuan saudara laki-laki
ibunya, di Jawa perkawinan yang idial adalah perkawinan antara dua orang yang
tidak terikat hubungan kekeluargaan. Disana diperbolehkan adanya perkawinan
“Karang Wulu” yang artinya perkawinan oleh seorang duda dengan seorang
wanita adik dari almarhum istrinya.

Proses Dan Prosedur Pengesahan Perkawinan

Setiap perkawinan dilakukan dengan cara melamar atau meminang, baik


secara besar-besaran atau secara sederhana akan selalu diikuti oleh suatu upacara
perkawinan setelah proses, prosedur maupun persyaratan dipenuhi. Upacara ini
pada umumnya dilakukan ditempat mempelai laki-laki. Sesuai dengan catatan
sebagai komentar dari suatu putusan pengadilan yang dibuat oleh : I Wayan Beni
dan Sagung Ngurah : bahwa tempat dilangsungkan upacara pengesahan
perkawinan sangat menentukan status perkawinan mereka dan membawa
konsekwensi pula didalam hukum warisnya. (Beni I Wayan dan Sagung Ngurah,
1986, h.72)

Perkawinan dengan cara meminang mempunyai proses dan prosedur yang


berbeda dengan perkawinan lari bersama.

Pada perkawinan meminang selalu dimulai dengan pelamaran,


pembicaraan pengambilan dari rumah mempelai wanita lalu diboyong kerumah
mempelai laki-laki, selanjutnya barurah dibuatkan upacara pengesahannya.

Sedangkan dalam perkawinan lari bersama, awalnya dimulai dengan


selarian, setelah sampai dirumah mempelai laki-laki atau barulah dilanjutkan
dengan pemberitahuan kepada orang tua si gadis melalui utusan yang dikirim oleh
keluarga mempelai laki-laki bahwa anak gadisnya telah kawin lari. Dan kemudian
ada tidaknya persetujuan dari orang tua si gadis tidak menghalangi proses
pengesahan perkawinannya asalkan semua persyaratan telah dipenuhi, baik

54
menurut undang-undang perkawinan (Pasal 2 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974)
maupun menurut hukum adat.

Baik perkawinan itu dilakukan dengan cara meminang atau, dengan cara
lari bersama ataupun dengan cara “nyeburin pada masyarakat hukum adat Bali”
puncaknya atau pada akhirnya akan melakukan upacara pengesahannya yang pada
pokoknya terdiri dari 3 (tiga) tahap yaitu : Upacara penerimaan di rumah
mempelai wanita, Upacara perjalanan ke rumah mempelai laki-laki dan Upacara
pengesahan pada statusnya yang baru, di rumah mempelai laki-laki.

Tujuannya tiada lain adalah untuk menjaga hal-hal yang tidak


diinginkanmuncul kemudian, dan apabila sesuatu terjadi atas perkawinan tersebut
maka masyarakat dapat sebagai saksi dalam kasus yang terjadi. Mereka yang
sudah sah kawin akan dicatat atau didaftar di desa sebelum ke catatan sipil yang
merupakan pertanda bahwa telah resmi menjadi anggota masyarakat yang baru.

Dan pendaftaran atau pencatatan atau pencatatan ini dimasing-masing


desa juga berbeda waktunya. Pencatatan atau pendaftaran inipun saat ini akan
berkaitan dengan pembuatan akte perkawinan seperti yang diinginkan oelh UU
No.1 Tahun 1974 (Pasal 2 ayat 2 UU No.1 Tahun 1974).

LARANGAN-LARANGAN PERKAWINAN.

Mengenai larangan-larangan perkawinan menurut hukum adat terdapat


variasi antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Larangan-larangan
perkawinan menurut hukum adat dapat terjadi karena hubungan darah dekat, atau
karena perbedaan kedudukan. Larangan perkawinan juga berkaitan dengan sistem
perkawinan yang dianut oleh sesuatu masyarakat seperti :

Bagi masyarakat yang menganut sistem endogamy maka yang menjadi


larangan adalah perkawinan dengan orang luar klan (suku), contoh : masyarakat
Bali. Sedangkan masyarakat yang menganut sitem perkawinan exogami, dilarang
kawin dengan orang yang masih ada dalam satu klan (suku), contoh : masyarakat
Batak. Sedangkan masyarakat yang menganut sistem perkawinan eleuthrogami,

55
hanya dikenal larangan perkawinan karena ikatan kekeluargaan yang terdekat,
seperti keturunan garis lurus keatas atau kebawah, contoh masyarakat Jawa.

Oleh karena masalah yang menyangkut perkawinan sudah ada unifikasi


undang-undang perkawinan yaitu Undang-Undang No.1 Tahun 1974, maka
mengenai larangan-larangan perkawinan ini lihat pula Pasal 8 ayat 1 UU No.1
Tahun 1974.

D. HARTA BENDA PERKAWINAN

Harta benda dalam perkawinan ini dapat terdiri dari :

a) Harta benda yang dibawa oleh si gadis maupun si laki-laki kedalam


perkawinan atas pemberian orang tuanya yang dinamakan “Bawaan”. Harta
ini akan diurus sendiri oleh si istri atau suami dan apabila terjadi perceraian
harta tersebut tetap diurus oleh mereka masing-masing.
b) Harta yang didapat berasal dari warisan disebut harta pusaka.
c) Harta yang dihadiahkan kepada suami istri tersebut “pemberian”.
d) Harta benda yang diperoleh suami istri sebelum kawin disebut dengan “harta
penghasilan”.
e) Harta benda yang diperoleh suami istri baik secara sendiri-sendiri atau
bersama-sama selama dalam masa perkawinan berlangsung dinamakan “harta
bersama” (Tim Peneliti Fak.Hukum Unud, 1980/1981, h.60).

Penggabungan dari kesemua harta-harta seperti tersebut diataslah yang


dinamakan dengan “harta kekayaan” atau harta benda perkawinan yang
dikuasai oleh suami istri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan. Dan
harta benda perkawinan ini adalah merupakan modal kekayaan yang dapat
dipergunakan oleh suami istri untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-
hari dalam kehidupan mereka berumah tangga. Harta benda perkawinan ini
diurus bersama-sama oleh suami istri yang bersangkutan atau dapat dilakukan
perjanjian kawin sebelum perkawinan dilangsungkan di Notaris dan apabila
terjadi perceraian maka harta tersebut akan dibagi oleh suami istri itu pula,
kecuali ada anak atau anak-anak mereka.

56
DISKUSIKAN :

a. Jelaskan bagaimanakah pengesahan perkawinan menurut UU No.1


Tahun1974 ?
b. Jelaskan syarat umur orang boleh kawin baik menurut hukum adat maupun
menurut UU No.1 Tahun 1974 ?
c. Bagaimanakah kedudukan hukum anak yang lahir dari perkawinan yang sah
dengan yang tidak sah ?
d. Jelaskan pengertian perkawinan “Nyeburin”, perkawinan lari bersama, kawin
bawa lari dan perkawinan meminang !

E. PENGERTIAN DAN ALASAN-ALASAN PERCERAIAN

Tujuan perkawinan seperti yang disebutkan dalam UU No.1 Tahun 1974


adalah untuk mewujudkan keluarga dan rumah tangga yang bahagia dan kekal.
Dan untuk mencapai tujuan tersebut undang-undang telah pula membuat syarat-
syarat yang ketat agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti
mempersulit terjadinya perceraian atau memperketat terjadinya poligami. Tetapi
kadang-kadang tidak dapat dihindari pula suatu perceraian.

Menurut hukum adat, yang dimaksud dengan perceraian adalah


perkawinan yang putus antara suami istri, yang serinng disebut dengan cerai.
Sedangkan menurut UU No.1 Tahun 1974 terutama Pasal 38 yang mengatur
tentang perceraian, bahwa putusnya perkawinan karena :

a. Putus karena kematian;


b. Putus karena cerai;
c. Putus karena putusan pengadilan.

Alasan-alasan perceraian

Pada umumnya yang dijadikan alasan untuk bercerai adalah bervariasi,


yang menurut hukum adat antara lain :

a. Istri berzinah;
b. Istri mandul;

57
c. Suami impoten;
d. Suami meninggalkan istri sangat lama atau istri bertingkah laku tidak
baik;
e. Kerukunan rumah tangga tidak dapat dipertahankan lagi;
f. Campur tangan pihak mertua atau orang tua daram urusan rumah
tangga anak-anaknya;
g. Istri tidak mau dimadu (poligami);
h. Karena adanya suatu penyakit;
i. Penganiayaan oleh suami, dan lain sebagainya ( T.I.P. Astiti, Cs, 1984,
h.44).

Alasan-alasan seperti yang telah disebutkan diatas ternyata telah


dimasukkan dalam UU No.1 Tahun 1974, Pasal 39 yang menentukan bahwa
alasan-alasan yang dapat dipakai sebagai dasar unntuk mengajukan gugatan cerai
antara lain :

a. Salah satu pihak berbuat zina, pemabok, pemadat, penjudi, dan lain-
lain.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut
tanpa ijin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau hal lain diluar
kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkwinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak yang lain. (KDRT).
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami
atau istri.
f. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak lagi ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.

Oleh karena UU No.1 Tahun 1974 adalah undang-undang perkawinan


yang bersifat nasional dan berbentuk unifikasi, maka itu berarti undang-undang
ini berlaku bagi seluruh warga Negara Republik Indonesia termasuk masyarakat

58
hukum adat. Sehingga apabila ada anggota masyarakat adat yang akan bercerai
maka alasan-alasan yang bisa dijadikan dasar perceraian hanyalah alasan yang
telah disebutkan dalam undang-undang perkawinan ini.

F. SAHNYA DAN AKIBAT HUKUM PERCERAIAN

Sahnya Perceraian

Sebelum berlakunya UU No.1 Tahun 1974, perceraian tidak dilakukan


melalui proses pengadilan, tetapi cukup melapor kepada “Kepala Desa”.

Dengan keluarnya UU No.1 Tahun 1974, suatu perceraian baru dapat


dikatakan sah apabila telah ada putusan pengadilan dan kemudian dicatatkan di
Kantor Catatan Sipil di tempat perkawinannya dulu dicatatkan. Seperti tercantum
dalam Pasal 39 UU No.1 Tahun 1974 yo PP No.9 Tahun 1975 Bab V.

Jadi bagi masyarakat yang ingin bercerai, maka haruslah terlebih dahulu
memperoleh Putusan Pengadilan, dan putusan perceraian itu juga harus
dicatatkan di Kantor Catatan Sipil dan selanjutnya barulah atas dasar putusan
pengadilan itulah diumumkan di desa atau di RT/RW atau Kelurahan. Hanya
dengan proses itulah perceraian saat ini dapat dikatakan sah menurut UU No.1
tahun 1974.

Akibat Hukum Perceraian

Sebagai akibat dari adanya perceraian maka kedua belah pihakyang


dahulunya menjadi suami istri, setelah perceraian dapat kawin lagi dengan orang
lain. Dan akibat hukum yang lain adalah tentang anak-anak yang lahir dalam
perkawinan mereka, maupun terhadap harta bersama mereka.

Menurut hukum adat, wanita yang sudah bercerai akan kembali lagi
kerumah orang tuanya, dan berkedudukan kembali seperti sebelum dia kawin
yang disebut dengan “Janda” yang hanya mempunyai hak menikmati harta

59
kekayaan orang tuanya. Sedangkan menurut UU No.1 tahun 1974, akibat hukum
yang timbul dari perceraian itu terhadap anak diatur dalam Pasal 41 nya, sebagai
berikut :

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik


anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan si anak. Bilamana
terjadi perselisihan mengenai pengasuhan anak-anak, Pengadilan
memberikan keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu dan bilamana bapak dalam
kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
istri.

Selain UU No.1 Tahun 1974 mengatur tentang siapa yang lebih berhak
mengatur, mengurus dan memelihara anak-anak yang telah lahir dalam
perkawinan mereka setelah perceraian, maka undang-undang juga mengatur
tentang harta bersama mereka setelah perceraian, seperti diatur dalam Pasal 37
mengenai :

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut


hukumnya masing-masing.

Jadi disini maksudnya adalah hukum mana yang dulunya mengesahkan


perkawinan mereka maka hukum tersebut pulalah yang akan menyelesaikan
masalah yang menyangkut harta besama mereka.

LATIHAN :

a. Jelaskan apakah perceraian yang dilakukan menurut hukum adat dapat


dinyatakan sah ?
b. Jelaskan, apakah perkawinan antar agama dapat disahkan menurut UU
No.1 Tahun 1974 ?

60
c. Jelaskan bagaimanakah kedudukan hukum dari anak yang lahir dalam
perkawinan biasa dan dari perkawinan lari bersama setelah orang tua
mereka bercerai ?

Tugas Mandiri (PR) : Mahasiswa membuat paper tentang perkawinan antar


agama dengan referensi beberapa literatur dan Buku
Ajar Hukum Adat Lanjutan. Dan selanjutnya
dikumpulkan pada saat Ujian Tengah Semester.

61
BAB VI

HUKUM ADAT LANJUTAN TENTANG PEWARISAN

A. PENGERTIAN DAN UNSUR-UNSUR PEWARISAN

PENGERTIAN PEWARISAN

Untuk memahami pengertian hukum adat waris, terlebih dahulu perlu


mengenal pengertian hukum adat waris pada umumnya. Ada beberapa pendapat
sarjana yang mengemukakan pengertian hukum adat waris antara lain :

Soepomo dalam bukunya Bab-Bab Tentang Hukum Adat merumuskan


bahwa : Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses
meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang
yang tidak berwujud benda (immatriil goederen) dari suatu angkatan manusia
(generatie) kepada keturunannya (Soepomo, 1966, h.67).

Ter Haar mengemukakan bahwa : Hukum adat waris pada pokoknya


berisikan aturan-aturan mengenai proses penerusan dan pengoperan harta
kekayaan matriil maupun immatriil dari turunan ke keturunan (Ter Haar, 1974,
h.231).

Sedangkan Surojo Wignyodipuro memberi rumusan : Hukum adat waris


meliputi norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik matriil maupun
immatriil yang dapat diserahkan pada keturunannya serta sekaligus mengatur soal
cara dan proses peralihannya (Surojo Wignyodipuro, 1968, h.199).

Dari beberapa pengertian hukum adat waris seperti tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa hukum adat waris itu meliputi :

1. Hukum waris adalah merupakan aturan hukum


2. Aturan hukum itu mengatur proses penerusan dan pengoperan harta
warisan.

62
3. Harta warisan yang dioperkan atau diteruskan tersebut dapat berupa
harta yang berwujud (matriil) dan harta tidak berwujud (immatriil).
4. Penerusan atau pengoperan itu berlangsung dari satu generasi kepada
generasi berikutnya.

Ketentuan hukum adat waris seperti ini menunjukkan corak khas bagi
aliran pikiran tradisional Indonesia yang bersendi pada prinsip-prinsip komunal
dan konkrit (Soepomo, 1967, h.72).

Dengan demikian dalam hukum adat waris, tidak terlepas pula dari
prinsip-prinsip komunal dan konkrit seperti tersebut diatas, ditambah dengan
prinsip religio magis (keagamaan) yang sangat besar pengaruhnya kepada proses
penerusan dan pengoperan dalam pewarisan tersebut.

Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Hazairin bahwa
menyatukan adat dan agama (Hindu) di Bali secara umum merupakan perpaduan
yang rampung pada masyarakat Hindu di Bali (Hazairin, 1968, h.24).

Sebagai contoh pengaruh agama Hindu di bidang hukum waris pada


masyarakat hukum adat Bali tampak landasannya yaitu dalam sistem
kekeluargaannya yaitu patrilinial (sistem purusa), yang menjadi ciri dan corak
yang khas pada hukum adat warisnya.

Corak maupun ciri yang khas pada sistem kekeluargaan patrilinial Bali
(purusa) memberikan tempat pada anak laki-laki sebagai “Puthra” yang akan
dapat membebaskan arwah leluhur dari penderitaan di dunia akhirat. Jadi sistem
kekeluargaan patrilinial di Bali yang memperhitungkan keanggotaan kerabat
berdasarkan garis laki-laki mendapat daya dukung yang kuat dari pandangan
agama Hindu yang menegaskan pentingnya anak (keturunan) laki-laki bagi
kebahagiaan suatu keluarga di dunia dan di akhirat. Artinya : Arti pentingnya
anak (keturunan) laki-laki tidak hanya dilihat dari segi kepercayaan agama tetapi
juga dapat meneruskan pemenuhan dan pelaksanaan hak dan kewajiban
kemasyarakatan dalam desa pakraman.

63
UNSUR-UNSUR PEWARISAN

Agar pewarisan atau proses penerusan dan pengoperan harta warisan dapat
berlangsung maka harus memenuhi unsur-unsur pewarisan yang meliputi 3 (tiga)
unsur yaitu :

1. PEWARIS adalah : orang yang meninggalkan harta warisan, baik ia itu


laki-laki, wanita, janda, duda maupun anak-anak.

Seperti halnya dalam hukum adat waris pada umumnya, bahwa untuk
menentukan siapa yang dapat berkedudukan sebagai pewaris, maupun ahli waris
pertama-tama haruslah dilihat dari sistem kekeluargaan yang dianut oleh yang
bersangkutan, sebelum mengetahui ketentuan yang lain-lainnya. Oleh karena
sesuatu masyarakat hukum adat menganut sistem kekeluargaan patrilinial, maka
yang berkedudukan sebagai ahli waris utama adalah anak laki-laki, sehingga
dengan sendirinya anak laki-laki itulah juga yang akan berkedudukan sebagai
pewaris.

Dalam hubungan ini, walaupun telah terkena pengaruh modernisasi dan


telah memasuki era globalisasi, yang berkaitan dengan kedudukan pewaris ini
dalam hukum adat waris belumlah mengalami perubahan.

2. AHLI WARIS adalah : orang-orang yang akan menerima warisan dari


pewaris.

Pada prinsipnya ahli waris adalah mereka yang mempunyai hubungan


darah dengan pewaris, dimana orangnya bisa laki-laki atau bisa juga wanita
tergantung dari sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat yang
bersangkutan. Ahli waris bisa digaris menurun (anak, cucu dan seterisnya), bisa
digaris mendaki (orang tua, kakek dan sebagainya) dan digaris menyamping
(saudara pewaris, paman, keponakan).

Ahli waris digaris menurun pada prinsipnya anak. Anak dapat mempunyai
pengertian yang bermacam-macam yang masing-masing mempunyai kedudukan
yang berbeda-beda terhadap harta peninggalan seorang. Selain anak sebagai ahli
waris, maka perlu juga dibicarakan kedudukan janda dan duda terhadap harta

64
warisan, karena janda dan duda disini sebenarnya tidak dalam ikatan pertalian
darah dengan pewaris.

Seperti dikemukakan oleh Soerjono Soekanto dan Soleman Biasane


Taneko bahwa untuk memudahkan menentukan ataupun menetapkan siapa yang
dapat berkedudukan sebagai ahli waris apabila ada seseorang yang meninggal,
dipakailah 2 (dua) garis pokok yaitu :

1. Garis pokok keutamaan yang terdiri dari :


 Kelompok keutamaan I : keturunan pewaris.
 Kelompok keutamaan II : orang tua pewaris.
 Kelompok keutamaan III : saudara-saudara pewaris dan keturunannya.
 Kelompok keutamaan IV : kakek atau nenek.
2. Garis pokok penggantian yang terdiri dari :
 Orang yang tidak ada hubungannya dengan pewaris.
 Orang yang tidak ada lagi penghubungnya dengan pewaris (selanjutnya
baca Soerjono Soekanto dan Soleman Biasane Taneko, 1981, h.286-287).

Ketentuan yang menyebutkan bahwa yang berhak mewaris dalam


masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan patrilinial seperti masyarakat
hukum adat Bali ataupun batak adalah anak kandung laki-laki dari pewaris dapat
diketahui dari beberapa putusan pengadilan (baca : Pangkat, 1972 dan Paneca,
1986). Demikian pula dalam yurisprudensi Makamah Agung No.32K/Sip/1971
tanggal 24 Maret 1971. Juga dalam laporan penelitian Fak.Hukum Unud,
1980/1981, serta Laporan Penelitian Fak.Hukum Unud, 1987/1988.

Jadi berdasarkan putusan-putusan pengadilan serta ditunjang oleh adanya


laporan penelitian tersebut diatas maka tampak dengan jelas bahwa yang
berkedudukan sebagai ahli waris adalah anak laki-laki sepanjang tidak melakukan
perkawinan “keceburin” atau diangkat anak oleh orang lain. Sedangkan anak
wanita, baru akan berkedudukan sebagai ahli waris apabila ia sudah berstatus
„sentana rajeg dan sudah melakukan perkawinan keceburin”.

Walaupun anak wanita ditegaskan tidak sebagai ahli waris, tetapi dalam
kenyataannya anak wanita tetap dapat menikmati harta kekayaan orang tua

65
mereka selama ia belum kawin. Apabila anak wanita telah kawin dan keluar dari
lingkungan orang tuanya secara mewaris ia tidak dapat tetapi orang tuanya akan
memberikan bekal hidupna seperti di Bali : ada (pengupa jiwa) yang disebut
dengan bekal yaitu berupa : “jiwadana” ataupun “ketipatan dan atau tetadtadan”.
Untuk mengetahui bagaimana sebenarnya kedudukan wanita dalam hukum adat
waris Bali, lebih lanjut perlu diketahui terlebih dahulu kedudukan wanita
terseebut dalam keluarganya apakah ia berkedudukan sebagai anak saja, sebagai
istri atau janda (dalam perkawinan biasa atau dalam perkawinan nyeburin) sebagai
“sentana rajeg”, atau sebagai wanita yang “mulih dehe”, karena perbedaan
kedudukan maupun status akan mempengaruhi terhadap kedudukannya sebagai
ahli waris (Sagung Ngurah, 1992).

Untuk sementara ini ternyata berdasarkan penjelasan yang diungkapkan


dari putusan pengadilan, yurisprudensi maupun dari laporan-laporan penelitian,
bahwa hak janda, istri maupun anak perempuan terhadap harta warisan baik dari
keluarga maupun suaminya masih terbatas dan bersyarat, seperti dalam hukum
adat waris pada umumnya.

Dengan demikian yang dimaksudkan kedalam golongan ahli waris adalah


mereka-mereka yang berada digaris menurun, yang utama adalah anak (kelompok
I), bila ini tidak ada barulah mereka yang berada digaris keatas yaitu ayah
(kelompok keutamaan II), dan kalau ini tidak ada barulah digaris menyamping
yaitu kelompok keutamaan III yaitu saudara-saudara pewaris dan keturunannya,
kalau ini tidak ada barulah masuk ke kelompok keutamaan IV yaitu kakek/nenek.
Orang-orang yang berada pada kelompok keutamaan III dan IV itulah yang
dimaksud dengan garis pokok penggantian atau cucu menggantikan ayahnya
sebagai ahli waris karena ayah anak tersebut sudah meninggal dunia.

Selain dikenal anak kandung dan anak angkat, dalam hukum adat juga
dikenal anak yang lain yaitu :

 Anak tiri yaitu anak yang dibawa oleh salah satu pihak kedalam perkawinan
mereka yang baru. Anak ini bukanlah ahli waris dari orang tua tirinya tetapi
tetap dari orang tua kandungnya saja.

66
 Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak
pernah disahkan, yang dalam hukum adat Bali ada dua jenis.
2.1. Anak bebinjat, adalah anak yang tidak dikethui siapa bapak dari
anak tersebut. Dalam asal 43 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974
ditentukan bahwa anak yang demikian hanya mempunyai
hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibu. Tetapi dalam
hubungan waris ia hanya mewarisi ibunya saja.
2.2. Anak astra, adalah anak yang lahir dari perkawinan orang tuanya
yang tidak pernah disahkan tetapi dapat diketahui siapa bapak dari
anak tersebut. Dalam hukum waris maupun hukum keluarga ia
adalah tetap keluarga ahli waris ibunya. Hanya saja kadang-kadang
ayah biologisnya memberikan pula biaya-biaya hidup anak tersebut
tetapi tidak sebagai ahli waris ayah biologisnya. Demikian pula
sebaliknya si anak hanya mempunyai kewajiban moral terhadap
ayah biologisnya tetapi tidak tehadap kewajiban hukum.

3. HARTA WARISAN adalah : semua harta yang ditinggalkan pewaris baik


harta yang berwujug benda (matriil), harta yang dapat dibagi-bagi atau harta
tidak berwujud benda (immatriil) atau harta yang tidak dapat dibagi-bagi dan
hutang-hutang pwaris. Harta peninggalan yang termasuk harta benda yang
tidak dapat dibagi-bagi ini adalah berdasarkan atas alasan kenapa tidak
dibagi-bagi, dapat dibedakan sebagai berikut :
a. Karena sifatnya memang tidak memungkinkan untuk dibagi-bagi
(misalnya barang milik suatu kerabat atau famili).
b. Karena kedudukan hukumnya memang terikat kepada suatu
tempat/jabatan tertentu (misalnya barang-barang keraton yang harus
disimpan di Keraton).
c. Karena belum bebas dari persekutuan hukum (contoh di Bali Tanah
Pekarangan Desa).
d. Karena pembagiannya untuk sementara ditunda.
e. Karena hanya diwariskan pada seseorang saja (sistem Harta bawaan adalah
harta yang dibawa oleh masing-masing pihak (suami-istri) kedalam

67
perkawinan yang disebut “harta bawaan”. Pada umumnya harta ini
nantinya akan menjadi harta warisan bagi keturunannya. Tetapi kalau
pasangan ini tidak memiliki keturunan, atau terjadi perceraian maka harta
tersebut akan kembali kepada pemiliknya.

Harta perkawinan atau harta bersama adalah harta yang diperoleh selama
atau dalam perkawinan, baik harta tersebut diperoleh istri sendiri, suami sendiri
atau suami istri bersama-sama. Di Bali harta semacam ini disebut dengan istilah
“harta guna kaya atau druwe gabro”, di Jawa disebut dengan “harta gono gini”.
Dan terhadap harta ini, apabila terjadi perceraian sesuai dengan ketentuan undang-
undang perkawinan diatur menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya.

Disamping harta-harta seperti tersebut diatas juga diwariskan seperti


hutang-hutang pewaris, hak mempergunakan gelar (nama keluarga), kalau di Bali
ada hak-hak yang belakunya terbatas yaitu hak untuk bersembahyang di tempat
persembahyangan keluarga.

Disamping itu juga termasuk didalamnya hak-hak yang berkaitan dengan


desa pakraman seperti mempergunakan kuburan, persembahyangan di pura milik
desa dan hak-hak lainnya (berlaku bagi masyarakat hukum adat Bali). Tetapi
semua harta yang berupa hak-hak ini haruslah diimbangi dengan kewajiban-
kewajiban, baik berupa kewajiban hukum maupun kewajiban moral seperti
“ngaben”, menyembah orang tua sebagai leluhur, maupun membayar hutang-
hutangnya (baca UU No.1 Tahun 1974 antara lain Pasal 35, 36 dan 37).

Masing-masing unsur ini pada pelaksanaan proses penerusan serta


pengoperan kepada orang yang berhak menerima harta kekayaan itu, selalu
menimbulkan persoalan sebagai berikut :

1. Unsur utama menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai dimana


hubungan seorang meninggal warisan dengan kekayaannya dipengaruhi
oleh sifat lingkungan kekeluargaannya dimana si meninggal warisan itu
berada.

68
2. Unsur kedua menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai dimana
harus ada tali kekeluargaan antara peninggal warisan dengan ahli waris.
3. Unsur ketiga menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai dimana
wujud kekayaan yang beralih itu, dipengaruhi oleh sifat lingkungan
kekeluargaan dimana si peninggal warisan dan ahli waris bersama-sama
berada (Wirjono Prodjodikoro, 1978, h.9).

B. PRINSIP-PRINSIP PEWARISAN DALAM HUKUM ADAT WARIS

Apabila diteliti lebih seksama, maka secara prinsip dapat diketahui bahwa
hukum adat waris adalah mengikuti pula prinsip-prinsip pewarisan yang berlaku
pada masyarakat kekhususan-kekhususan yang harus diperhatikan, seperti sistem
kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan karena hukum adat
waris seperti halnya Bali yang dalam hukum kekeluargaannya dilandasi oleh
hukum agama Hindu, maka dalam hukum warispun dilandasi oleh hukum agama
Hindu.

SIFAT HUKUM ADAT WARIS

Hukum adat waris pada prinsipnya mempunyai perbedaan-perbedaan


dengan hukum waris Barat, terutama dalam hal-hal sebagai berikut :

1. Hukum adat waris tidak mengenal “legitieme portie”.


2. Proses pembagian berdasarkan kerukunan dan memperhatikan persamaan
hak.
3. Ahli waris tidak berhak memaksa agar harta warisan dibagi.
4. Dalam hukum adat terdapat benda-benda yang menurut sifatnya memang
tidak dapat dibagi-bagi.
5. Hukum adat waris mengenal sistem penggantian tempat (plaats
vervulling).
6. Harta benda tidak merupakan satu kesatuan, tetapi harus memperhatikan
sifat-sifatnya yang khusus (Surojo Wignyodipuro, 1973, h.194-195).

69
C. SISTEM PEWARISAN DALAM HUKUM ADAT WARIS

Seperti halnya dalam sistem kekeluargaan menurut hukum adat pada


umumnya mengenal 3 (tiga) sistem, maka dalam sistem pewarisan juga dikenal
tiga sistem yang sekaligus sistem ini juga oleh masyarakat hukum adat antara
lain:

a. Sistem pewarisan individual, yaitu sistem pewarisan dimana harta warisan


dapat dibagi secara perseorangan atau masing-masing ahli waris akan
mendapatkan bagiannya, tetapi masih tetap memperhatikan sifat maupun
jenis dari hartsa yang akan dibagi. Sistem pewarisan individual ini di Bali
umumnya diterapkan pada barang-barang atau harta warisan yang tidak
mempunyai nilai keagamaan atau barang-barang yang termasuk harta
benda matriil.
b. Sistem pewarisan kolektif, yaitu sistem pewarisan dimana harta warisan
berada atau dikuasai oleh satu orang dan semua ahli waris hanya
mempunyai hak untuk menikmati saja. Tidak ada penerimaan warisan
secara perorangan. Dan sistem ini pada masyarakat hukum adat Bali
umumnya diterapkan terhadap barang-barang atau harta pusaka yang
mempunyai nilai keagamaan atau religio magis (immatriil) seperti : keris
pusaka, sanggah/merajan, alat-alat upacara dan upakara dan lain-lain yang
dianggap mempunyai nilai seperti itu.
c. Sistem pewarisan mayorat yaitu sistem pewarisan dimana harta warisan
berada dibawah penguasaan seorang ahli waris yang ditunjuk, bisa anak
tertua atau anak terkecil tergantung kesepakatan. Menguasai disini tidak
berarti memiliki, tetapi hanya bersifat mengatur pemanfaatannya dan
dengan konsekwensi harus menghidupi ahli waris yang lain.

Masing-masing sistem pewarisan ini tidak merupakan corak khas dari


masing-masing sistem kekeluargaan karena ketiga sistem pewarisan ini dapat
menjadi dasar pembagian warisan dalam satu keluarga, sistem yang mana yang
akan dipilih adalah tergantung dari kesepakatan masing-masing keluarga.

70
D. SYARAT-SYARAT DAN PROSES PEWARISAN

Syarat-Syarat Sebagai Ahli Waris

Menurut hukum adat pada prisnsipnya harta warisan beralih dari pewaris
kepada ahli warisnya. Ahli waris yang dimaksudkan itu adalah sesuai menurut
asas yang berlaku dalam sistem kekeluargaan yang dianut. Apabila telah
memenuhi syarat-syarat antara lain :

a. Ahli waris harus mempunyai hubungan darah dengan pewaris, baik itu karena
ahli waris merupakan keturunannya atau karena berdasarkan undang-undang
atau ketentuan lain.
b. Anak itu harus laki-laki (bila dalam sistem kekeluargaan patrilinial).
c. Bila tidak ada anak barulah jatuh kepada anak yang bukan sedarah, yang
karena hukum ia berhak menjadi ahli waris, misalnya anak angkat.
d. Bila tidak ada anak dan juga tidak ada anak angkat, dimungkinkan adanya
penggantian melalui penggantinya atau kelompok ahli waaris dengan hak
keutamaan kepada kelompok dengan hak pengganti lainnya yang memenuhi
syarat (Gde Puja, 1977, h.91).

Oleh karena secara nasional belum ada unifikasi dibudang hukum waris,
maka ketentuan-ketentuan mengenai pewarisan samapi saat ini masih berlaku
ketentuan yang lama, sama seperti halnya untuk menentukan syarat-syarat
sebagai ahli waris seperti tersebut diatas.

Proses Pewarisan

Proses pewarisan adalah pengoperan harta warisan dari pewaris kepada


ahli warisnya. Sejak kapan harta warisan tersebut dapat dioperkan atau dialihkan
kepada ahli warisnya ?

Menurut Soepomo, bahwa proses meneruskan dan mengoperkan barang-


barang harta keluarga kepada anak-anaknya sudah dapat dimulai selagi orang tua
masih hidup.

71
Sedangkan menurut ketentuan yang umum berlaku pada masyarakat
hukum adat terdapat juga penetapan harta kekayaan semasa pewaris masih hidup
yang dapat berupa :

a. Hibah yaitu pemberian lepas dari pewaris kepada ahli warisnya.


b. Hibah wasiat yaitu pemberian yang dilakukan melalui surat wasiat
yang baru boleh dibuka setelah pemberi hibah meninggal.

Pemberian harta kekayaan pada waktu pewaris masih hidup, tidak dengan
sendirinya merupakan pengalihan harta warisan. Penerusan dan pengoperan ini
tergantung pada kesepakatan ahli waris, dan kadang-kadang harta warisan tersebut
akan dibiarkan tidak terbagi.

LATIHAN :

a. Jelaskan apakah orang yang tidak ada hubungan darah dapat berkedudukan
sebagai ahli waris ? dan bagaimana dengan kedudukan janda dan duda ?
b. Jelaskan perbedaan pengertian antara hibah, hibah wasiat, bekel dan warisan
?
c. Jelaskan mengapa pewarisan terhadap anak wanita di Bali dikatakan terbatas
dan bersyarat ?

Tugas mandiri (PR) : Mahasiswa membuat silsilah keluarga untuk menunjukkan


kedudukan seseorang sebagai ahli waris dengan
menggunakan garis pokok keutamaan dan garis pokok
penggantian !

72
BAB VII

HUKUM ADAT LANJUTAN TENTANG PEREKONOMIAN

A. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP HUKUM PEREKONOMIAN

Pengertian hukum perekonomian, adalah aturan-aturan hukum yang


mengatur tentang hak-hak sesuatu benda yang ada dan dimiliki oleh masyarakat
hukum adat maupun dimasing-masing daerah.

Ruang Lingkup Hukum Perekonomian.

Dalam bab tentang hukum perekonomian ini akan dibahas meliputi :

1. Hak atas benda, yang dibahas disini adalah hak atas tanah (hak perorangan
dan hak ulayat) dan hak yang bersangkut paut dengan tanah 9meliputi : hak
atas rumah, tumbuh-tumbuhan, ternah, dll).
2. Hak-hak immatriil yang meliputi pengertian dan macam-macam hal
immatriil.
3. Transaksi-transaksi, meliputi transaksi tanah dan transaksi yang bersangkut
paut dengan tanah.
4. Hukum perhutangan meliputi pengertian dan macam-macam hukum
perhutangan, hukum perjanjian lainnya.

B. HAK-HAK ATAS BENDA

Hak-hak atas benda ini meliputi :

1. Hak-hak atas tanah, meliputi hak perorangan dan hak persekutuan


(hak ulayat).
2. Hak-hak atas benda selain tanah.

Ad.1. Hak-hak atas benda.

Hak atas tanah yang meliputi hak perseorangan dan hak ulayat (hak
persekutuan atau masyarakat hukum) telah berubah dengan dikeluarkannya UU

73
No.5 Tahun 1960 Undang-Undang Pokok Agraria yang merupakan unifikasi
hukum pertanahan yang ada di Indonesia.

Didalam kehidupan masyarakat hukum adat, tanah memegang peranan


yang sangat penting dan menentukan. Seperti dikemukakan oleh Soerojo
Wignyodipuro, bahwa ada dua hal yang menyebabkan tanah itu memiliki fungsi
yang penting dalam kehidupan masyarakat hukum adat yaitu : karena sifat dan
karena fakta.

C. Fungsi tanah bagi Masyarakat Hukum Adat.

Sebagaimana bahwa tanah merupakan benda yang sangat penting bagi


kehidupan umat manusia. Adapun fungsi penting dari tanah dalam kehidupan
masyarakat hukum adat yaitu :

1. Karena sifatnya :

Yaitu merupakan satu-satunya benda kekayaan yang menkipun mengalami


keadaan-keadaan yang bagaimanapun akan masih bersifat tetap dalam keadaan
seperti semula dan bahkan menjadi lebih menguntungkan. Seperti misalnya
dijatuhi bom, tanah tetap tidak akan lenyap atau berkurang atau kalau terjadi
banjir, setelah banjir surut kadang-kadang dapat lebih menyuburkan tanah
tersebut.

2. Karena fakta :

Yaitu suatu kenyataan bahwa tanah itu :

 Merupakan tempat tinggal persekutuan


 Memberi penghidupan kepada persekutuan
 Merupakan tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal dunia
di kebumikan
 Merupakan pula tempat tinggal danyang-danyang pelindung persekutuan
dan roh para leluhur persekutuan (Surojo Wignyodipuro, 1968, h.247).

Bagi masyarakat hukum adat pada umumnya bahwa tanah mempunyai


fungsi yang sangat penting. Karena tanah merupakan tempat mereka hidup,

74
tempat mereka tinggal, dan tanah merupakan tempat yang memberikan
penghidupan kepada mereka.

Berdasarkan kenyataan ini, maka antara tanah dengan masyarakat hukum


dimana mereka tinggal terdapat hubungan yang erat sekali dan bahkan bersifat
religio magis, hubungan yang erat dan bersifat religio magis inilah yang
menyebabkan masyarakat hukum mempunyai hak untuk menguasai tanah-tanah
yang ada dalam masyarakat hukum tersebut dalam arti masyarakat hukum dapat
memanfaatkan tanah itu, memungut hasil-hasil dari tumbuh-tumbuhan yang ada
diatas tanah tersebut, serta berburu binatang-binatang yang hidup disitu untuk
kepentingan hidup dan kehidupannya. Hak semacam ini disebut dengan hak
ulayat atau disebut pula dengan istilah “beschikkings recht”. Seperti di Jawa ada
tanah disebut dengan “tanah pikulen dan ada “tanah gogol”, sedangkan di Bali ada
tanah-tanah dengan nama : tanah PKD (Pekarangan Desa) dan ada tanah AYDS
(Ayahan Desa).

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Iman Sudiyat, bahwa sebagai salah
satu unsur essensiil pembentuk negara, tanah memegang peran vital dalam
kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara tersebut, lebih-lebih corak
agrarisnya menominasi. Di negara yang rakyatnya berhasrat melaksanakan
demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat merupakan suatu “conditio sine qua non” (Iman sudiyat,
1978, h.1).

Hak persekutuan atas tanah seperti yang dijelaskan diatas disebut dengan
“Hak Ulayat” antara hak ulayat dengan hak perseorangan atas tanah terdapat asas
yang disebut dengan “asas mulur mungkret atau mengembang mengempis”,
artinya dimana hak perseorangan kuat maka berarti hak ulayat atas tanah di daerah
tersebut menjadi melamah atau berkurang. Demikian sebaliknya dimana hak
perseorangan melemah maka berarti hak ulayat di daerah tersebut menjadi kuat.

75
HAK ULAYAT

Hubungan yang erat antara tanah dengan masyarakat hukum dimana


masyarakat huum tersebut berada menimbulkan hak menguaai yang ada pada
masyarakat hukum itu. Hak atas tanah tersebut disebut dengan “ hak ulayat atau
hak pertuanan”. Hak ulayat ini oleh Van Vollenhoven diistilahkan dengan nama
“beschikkingsrecht”. Istilah beschikkingsrecht ini dipakai oleh Van Vollenhoven
sebagai pengganti istilah yang dipakai sebelumnya adalah “hak egiendom
(eigendomsrecht)” dan atau hak yasan komunal (dikutp dari Ter Haar, 1968,
h.71).

Sedangkan para ahli hukum Indonesia memakai istilah-istilah antara lain :


Hak purba (Djojodiguno), Hak pertuanan (Soepomo), Hak bersama (Hazairin),
dan Hak ulayat (UUPA). Dan selanjutnya dalam tulisan-tulisan ilmiah lebih
populer istilah “Hak Ulayat”.

Istilah beschikkingsrecht seperti yang dikemukakan oleh Van


Vollenhoven harus dibedakan lagi dengan pengertian “beschikkingskring”,
karena disebut belakangan ini adalah mengenai “lingkungan ulayat”.
Lingkungan ulayat ini adalah merupakan tanah wilayah yang dikuasai oleh
hak ulayat. Dan terhadap lingkungan ulayat (beschikkingskring) ini di tiap-
tiap wilayah Indonesia mempunyai istilah yang berbeda-beda misalnya :
patuanan (Ambon), prabumian (Bali).

Jadi hak ulayat adalah hubungan antara masyarakat hukum dengan tanah,
melahirkan suatu hak dari masyarakat hukum terhadap tanah-tanah yang ada di
dalam batas-batas lingkungannya.

Sedangkan yang menjadi obyek dari hak ulayat antara lain adalah
meliputi: tanah (daratan), air (perairan seperti kali, danau, pantai beserta
perairannya), tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar (pohon buah-buahan,
pohon untuk kayu pertukangan, kayu bakar) dan binatang yang hidup liar.

Hak ulayat yang dimiliki oleh masyarakat hukum dengan obyek seperti
tersebut diatas, maka masyarakat hukum di dalam menerapkan hak ulayat

76
dilakukan dengan cara menikmati atau memungut hasil tanah, hewan maupun
tumbuh-tumbuhan. Disamping itu, masyarakat hukum berdasarkan wewenangnya
membatasi kebebasan warga masyarakatnya untuk memungut hasil tersebut.

Setelah berlakunya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria, UU No.5


Tahun 1960), hak menguasai dari masyarakat hukum adat seperti dimiliki hak
ulayat, beralih kepada negara. Dengan demikian hak-hak atas tanah yang dapat
diperoleh oleh Warganegara Republik Indonesia diatur sesuai dengan ketentuan
yang terdapat dalam UUPA tersebut. Seperti diatur dalam Pasal 16 UUPA, pada
intinya menyebutkan pada penjelasannya bahwa UUPA adalah berlandaskan pada
hukum adat. Seperti juga tertuang dalam Pasal 5 UUPA menyebutkan bahwa
UUPA berlandaskan hukum adat.

Disimak dari ketentuan-ketentuan tersebut seharusnya hak-hak atas tanah


didasarkan pula pada sistematika hukum adat. Tetapi dalam kenyataannya tidak
demikian, karena berdasarkan Pasal 1 dan Pasal 10 UUPA, dinyatakan bahwa
hak-hak adat bertentangan dengan kedua pasal tersebut seharusnya dihapus.
Tetapi karena keadaan masyarakat belum memungkinkan untuk dihapus, maka
kemudian diberilah sifat sementara, yang artinya sewaktu-waktu hak-hak adat
tersebut akan dihapuskan.

Pengaturan tentang hak ulayat dalam UUPA dapat ditemukan dalam


Pasal3, yang isinya dapat disimpulkan sebagai berikut :

a. Hak ulayat dari masyarakat hukum sepanjang dalam kenyataannya


masih ada harus menyesuaikan diri dengan negara dan nasional.
b. Pelaksanaan daripada hak ulayat tidak boleh bertentangan dengan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
c. Pengaturan hak ulayat dilakukan oleh negara dengan Pasal 1 dan 2
UUPA.
Penjelasan dari Pasal 3 UUPA, menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu ialah apa yang didalam
perpustakaan hukum adat disebut dengan “beschikkingsrecht”, itu
berarti termasuk pula jenis-jenis tanah adat yang ada di Bali yang

77
dikuasai oleh masyarakat hukum adat Bali seperti desa pakraman
menguasai tanah ayahan desa (AYDS) atau tanah pekarangan desa
(PKD).

Bahan Diskusi :

Diskusikan dalam kelompok kedudukan hak ulayat ? dan bagaimana menurut


UUPA ?

Seperti telah diuraikan diatas bahwa tanah bagi masyarakat hukum adat
pada umumnya merupakan hal yang sangat penting, oleh karena tanah merupakan
tempat tinggal, tempat hidup dan kehidupannya, tempat “roh” para leluhurnya
yang dikebumikan dan disemayamkan oleh anggota masyarakat hukum adat yang
bersangkutan, dengan demikian dapat dikatakan bahwa antara tanah dengan
masyarakat hukum mempunyai hubungan yang sangat erat sekali.

Hubungan yang demikian itu pula akan melahirkan suatu hak dari
masyarakat hukum adat terhadap tanah-tanah yang ada di dalam batas lingkungan
wilayahnya, yang oleh Van Dijk dikatakan bahwa hak ulayat ataupun disebut
dengan “hak prabumian” di Bali adalah berakibat kedalam dan keluar (selanjutnya
baca : I Wayan Beni, Cs, 1983, h.4 dan Wayan P Windia dan I Ketut Sudantra,
2006, h.127-128).

Yang dimaksud dengan hak ulayat yang berlaku kedalam adalah anggota
masyarakat hukum adat diperbolehkan untuk menikmati tanah dengan segala
isinya yang menimbulkan adanya hubungan antara hak ulayat dengan hak
perseorangan atas tanah yang lama kelamaan menjadi kuat, dan akhirnya
melahirkan hak milik atas tanah dari anggota masyarakat hukum adat.

Hak ulayat dengan hak-hak anggota masyarakat hukum adat mempunyai


hubungan timbal balik yang bertujuan untuk mempertahankan keserasian antara
kepentingan masyarakat hukum dan hubungan ini saling desak atau batas
membatasi atau disebut pula mempunyai sifat mulur mungkret atau mengembang-
mengempis atau tarik ulur yang artinya, dimana hak ulayat kuat disitu hak

78
perseorangan atas tanah menjadi lemah atau sebaliknya. Contohnya di Desa
Tenganan Pengingsingan.

Sedangkan yang dimaksud dengan hak ulayat yang berlaku keluar adalah
larangan-larangan terhadap orang luar yang tidak menjadi anggota masyarakat
hukum adat kecuali atas seijin desa setelah membayar uang pengakuan atau mesi
atau recognitie ( di Bali disebut dengan batu-batu atau penanjung batu).

KEDUDUKAN TANAH ADAT DALAM PERUNDANG-UNDANGAN

Pokok persoalan mengenai tanah yang pada mulanya terjadi dualisme


pengaturan, setelah Negara Republik Indonesia merdeka persoalan-persoalan
mengenai tanah ini dibuatkan satu unifikasi hukum tanah yang lebih dikenal
dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UU No.5 Tahun 1960), yang mulai
berlaku sejak 24 September 1960. Dengan demikian sampai saat ini ketentuan-
ketentuan hukum yang berlaku terhadap tanah adalah berpedoman pada UUPA
tersebut disamping ketentuan-ketentuan lain yang ada kemudian sebagai peraturan
pelaksana dari UUPA tersebut.

Untuk mengetahui lebih jauh mengenai kedudukan hukum tanah-tanah


adat, tidak lepas dari pengetahuan tentang ketentuan hukum agraria yang berlaku
sebelum keluarnya UUPA tersebut.

Seperti yang diungkapkan oleh Suasthawa D, bahwa sebelum berlakunya


UUPA, di Indonesia berlaku dua macam hukum tanah yaitu : hukum tanah adat
dan hukum tanah barat, sehingga dengan demikian menyebabkan ada dua macam
tanah yaitu “ tanah adat atau disebut pula tanah Indonesia yang sepenuhnya
tunduk pada hukum adat, sepanjang tidak diadakan ketentuan yang khusus untuk
hak-hak tertentu. Dan dilain pihak ada “tanah barat” atau disebut pula dengan
tanah eropah, yang dapat dikatakan bahwa tanah-tanah ini tunduk pada hukum
agraria barat yang kesemuanya terdaftar pada kantor pendaftaran tanah menurut
“overschrijvingsordonantie” atau ordonansi balik nama (stb.1834 No.27). jadi

79
tanah-tanah yang tunduk pada hukum (agraria) adat adalah termasuk tanah adat
yang ada di Bali (Selanjutnya baca : I Made Suasthawa D, 1987, h.21-22).

Setelah berlakunya UUPA (Undang-Undang pokok Agraria No.5 Tahun


1960), didalam Pasal II, VI dan VII Ketentuan Konversi dapat ditemukan bahwa
nama-nama hak atas tanah yang terdapat dalam pasal itu persis sama dengan
nama-nama hak atas tanah adat atau tanah Indonesia. Adapun nama-nama hak atas
tanah adat sebagaiana yang tersebut dalam Pasal II, VI, VII Ketentuan Konversi
adalah :

1. Hak agrarisch eigendom;


2. Hak milik;
3. Yasan;
4. Andarbeni;
5. Hak atas druwe;
6. Hak atas druwe desa;
7. Pesini, ......dst.

Dengan keluarnya Peraturan Menteri Agraria No.2 Tahun 1960 tentang


pelaksanaan beberapa ketentuan UUPA, dalam Bab II yang berjudul “Pelaksanaan
Ketentuan Konversi, terdiri dari dua bagian yaitu :

- Bagian I, tentang hak-hak yang didaftar menurut


overschrijvingsordonansi.
- Bagian II, tentang hak-hak yang tidak didaftar menurut
overschrijvingsordonansi. Dan yang dimaksud dengan hak-hak ini
adalah hak-hak atas tanah Indonesia (tanah adat).

Selanjutnya dengan keluarnya Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria


No.2 Tahun 1962 dan kemudian dirubah lagi dengan Surat Keputusan Menteri
Dalam Negeri No. SK./26/DDA/1970, ditegaskan bahwa hak-hak yang dimaksud
dalam Ketentuan Konversi dan pendaftaran bekas-bekas hak Indonesia atas tanah
adalah hak-hak atas tanah Indonesia (tanah adat). Disamping itu juga dapat dilihat
dari Pasal 3 UUPA, yaitu pasal yang mengatur tentang keberadaan hak ulayat,
sedangkan di tingkat daerah diatur dalam PERDA No.3 Tahun 2001 tentang Desa

80
Pakraman terutama Pasal 9, yang pada pokoknya mengatur tentang pengakuan
terhadap eksistensi tanah desa pakraman.

HAK ATAS BENDA SELAIN TANAH

Hak-hak atas tanah selain tanah meliputi : hak atas rumah, hak atas
tanaman atau tumbuh-tumbuhan, hak atas ternak dan hak atas barang atau benda-
benda lain. Hak-hak ini menurut Van Dijk adalah merupakan “HAK MILIK
BEBAS”, artinya bahwa hak perseorangan atas barang-barang selain tanah tidak
dikuasai dan dibatasi oleh hak pertuanan atau hak masyarakat hukum (Van Dijk,
1971, h.55).

Hal inilah yang merupakan yang prinsip dengan hak-hak atas tanah,
dimana hak-hak atas tanah terikat kepada hak pertuanan (hak ulayat), sedangkan
hak atas benda selain tanah dikuasai oleh hak ulayat. Meskipun dikatakan bahwa
hak-hak atas benda selain tanah bersifat hak milik bebas, dalam arti tidak dikuasai
dan dibatasi oleh hak ulayat, namun di beberapa daerah atau masyarakat hukum
terdapat beberapa kecualian seperti di Tenganan Pegringsingan Bali, terhadap
tanah milik warga persekutuan seperti (ternak/babi hutan, tumbuh-tumbuhan)
berlaku sepenuhnya hak persekutuan. Hak atas rumah, tumbuh-tumbuhan atau
tanaman dalam hukum adat terdapat sistem : bahwa tanah disatu pihak dan
barang-barang lainnya dilain pihak. Dan sistem ini oleh Ter Haar dinyatakan :
bahwa hak milik atas rumah dan atas tumbuh-tumbuhan tertanam adalah pada
azasnya terpisah dari hak atas tanah dimana benda-benda itu berada (Ter Haar,
1960, h.117). dan pemisahan ini dikenal dengan istilah : “HORIZONTALE
SCHEIDING atau azas pemisahan secara horizontal (Teng Tjiang Leng, 1974,
h.20). ini berarti bahwa tanah secara yuridis harus dipandang terlepas dari
bangunan-bangunan atau tanaman diatasnya. Dengan dikenalnya prinsip ini, maka
dimungkinkan : bahwa pemilik tanah dengan benda-benda diatasnya adalah sama
orangnya. Atau pemilik tanah dan benda-benda diatasnya adalah berbeda
orangnya.

81
Sebagai konsekwensi dari asas tersebut diatas maka tanaman diatas tanah
dapat dijual secara terpisah bahkan juga dalam hal pemilik tanah dan pemilik
bangunan diatasnya adalah sama.

Azas atau prisip pemisahan horizontal ini mengenal beberapa


pengecualian (Surojo Wignyodipuro, 1973, 264) yaitu :

1. Dalam transaksi tentang pekarangan termasuk praktis selalu rumah dan


tumbuh-tumbuhan yang ada disitu. Transaksi ini disebut : adol
ngebregi.
2. Kadang-kadang hak milik atas tumbuh-tumbuhan membawa hak milik
atasnya. Dalam hal ini hak tanah mengikuti hak tumbuh-tumbuhan.
3. Hak milik atas tanah terikat oleh hak milik atas rumah tembok yang
ada disitu.

Prinsipnya pemisahan secara horizontal ini kemudian dapat dimodifikasi


dan kemudian diterapkan dalam kegiatan membuat rumah susun, karena
masyarakat banyak yang memerlukan rumah sedangkan dipihak lain tanah sulit
bertambah. Dalam hubungan dengan inilah kemudian azas ini diterapkan,
sehingga kemungkinannya penghuni rumah susun bukanlah pemilik tanah diatas
mana rumah susun itu dibangun.

HAK-AK IMMATRIIL

Yang dimaksudkan hak-hak immatriil dalam hukum adat, adalah hak atas
hal-hal yang tidak dapat dilihat atau diraba. Di zaman sekarang hak-hak semacam
ini sudah dimasukkan kedalam mata kuliah HAKI.

Yang termasuk kedalam hukum hak-hak immatriil yaitu “hak atas merek, hak
cipta. Dan kedua jenis hak ini kemudian dapat dipatenkan.

Dalam hukum adat, yang juga dapat dimasukkan kedalam kelompok hak-hak
immatriil adalah : Gelar, yang merupakan kedudukan tertentu dalam masyarakat,
sedangkan merek, logo adalah merupakan hasil ciptaan seperti :

82
1. Hiasan pada kain terdapat pada kain songket, endek dan masing-masing
daerah mempunyai ciri khasnya sendiri-sendiri seperti : songket
Minangkabau, Bali (Tenganan), Timor, dll.
2. Hiasan pada perahu misalnya perahu pinisi dari daerah Bugis, Sulawesi
Selatan.
3. Gelar : masing-masing daerah juga mempunyai ciri khas dalam pemakaian
gelar, yang merupakan kedudukan tertentu yang dimiliki oleh seseorang
dalam masyarakat, sebagai ciri atau tanda bahwa dalam masyarakat
tersebut ada stratifikasi social. Contoh : Bali (ada kasta), Jawa (ada
sebutan Raden, Hamengku, Paku, Sultan), di tempat-tempat lain ada
sebutan, Datuk Tengku, Teuku. Gelar erat kaitannya dengan kedudukan
seseorang dalam masyarakat, sehingga tidak sembarang bisa diwariskan,
hanya orang-orang tertentu yang bisa menerimanya.

TRANSAKSI-TRANSAKSI TANAH

Transaksi-transaksi tanah.

Setiap anggota masyarakat pada dasarnya mempunyai kewenangan untuk


memindahkan haknya atas tanah kepada orang lain. Oleh karenanya di dalam
masyarakat hukum adat dikenal pula proses pemindahan hak atas tanah.
Transaksi-transaksi ini meliputi :

1. Transaksi atau perbuatan hukum atas tanah


2. Transaksi atau perbuatan hukum yang bersangkut paut dengan tanah

Ad.1. Transaksi atau perbuatan hukum atas tanah ini adalah perbuatan
hukum dimana tanah sebagai obyek transaksi. Pemindahan hak atas tanah ini
merupakan suatu perbuatan hukum yang menimbulkan pemindahan hak dan
kewajiban yang sifatnya tetap atau sementara.ntuk dari perbuatan hukum atas
tanah ini menurut hukum adat terdiri dari :

- Jual lepas, menurut UUPA, adalah merupakan jual beli yang sudah bersifat
tetap dan saat ini lebih banyak mengikuti ketentuan-ketentuan dalam UUPA.

83
- Jual gadai, menurut UUPA, adalah merupakan hak yang bersifat sementara,
karena perpindahan hak atas tanah dengan pembayaran sejumlah uang yang
dibayar dengan tunai dan orang yang memindahkan hak atas tanah tersebut
(yang menggadaikan) dapat memperoleh kembali tanah itu, jika ia membayar
kembali kepada yang mendapatkan tanah itu, uang sebanyak yang telah
diterimanya dahulu (Van Dijk, 1971, h.51).
Dari pengertian diatas maka dapat ditarik unsur-unsur yang terdapat dalam
jual gadai yaitu, perpindahan (hak menguasai yang sifatnya sementara dan
penyerahan atau penerimaan hak atas tanah tidak dengan cara dicicil, tetapi
dengan cara tunai dan ada hak untuk menebus kembali tanahnya.
- Jual tahunan, menurut UUPA adalah juga merupakan hak yang bersifat
sementara. Karena perpindahan hak atas tanah dari si pemilik tanah dalam
jangka waktu tertentu kepada pemilik uang dan tanah tersebut akan kembali
sesudah jangka waktu tertentu tersebut tiba.
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam jual tahunan adalah : perpindahan
tanah, jangka waktu tertentu (tidak diatur dengan tegas tetapi tergantung
kesepakatan para pihak), dengan pembayaran sejumlah uang tunai dan tanah
akan kembali dengan sendirinya jika jangka waktu telah berakhir (tanpa perlu
dengan tindakan penebusan).

Ad.2. Transaksi atau perbuatan hukum yang bersangkut paut dengan tanah

Didalam perbuatan hukum yang bersangkut paut dengan tanah, obyek dari
perbuatan hukum ini bukanlah tanah. Namun tanah tersangkut didalam hukum ini.
Pokok dari perbuatan ini adalah “Perjanjian”.

Bentuk-bentuk dari perbuatan hukum semacam ini dapat dibedakan menjadi :

1. Pertanian belah pinang/maro, yaitu perjanjian dimana pemilik tanah


mengijinkan orang lain untuk mengerjakan tanahnya, menanam, memetik
hasil tanahnya dengan tujuan membagi hasil menurut perbandingan yang
telah ditentukan. Proses perjanjian tidak tertulis antara pemilik tanah
tersebut petai pemilik dengan orang lain yang disebut petani penggarap,
dengan jangka waktu minimal satu kali panene dan dapat diperpanjang

84
sesuai dengan kesepakatan. Pembagian hasil tergantung jenis tanaman.
Contoh untuk padi 1:1 (dibagi dua), untuk palawija 1:2. Dengan keluarnya
UUPA model perjanjian belah pinang ini ditingkatkan kedalam UU No.2
Tahun 1960 dengan sebutan UU Bagi Hasil, dengan bentuk dan sistem
yang berbeda dengan menurut hukum adat (Lihat UU No.2 Tahun 1960).
2. Menyewa tanah, artinya adalah suatu perjanjian dalam mana pemilik tanah
mengizinkan orang lain untuk mengolah, menanami atau memungut hasil
dari tanah itu dengan pembayaran sejumlah uang. Dengan beberapa
persyaratan seperti : tanahnya tanah pertanian, perjanjian secara lisan,
jangka waktu minimal satu kali panen, tidak dapat dipindahkan kepada
pihak ketiga, kecuali tidak mampu tetapi seizin pemilik tanah. Pemilik
tidak diperkenankan membatalkan sewa sebelum jatuh tempo. Bila ia
menginginkan tanahnya kembali sebelum jatuh tempo ia harus membayar
uang sewa.
3. Memakai tanah sebagai jaminan, yaitu perjanjian yang terjadi bilamana
seseorang meminjam uang dengan tanah sebagai jaminan. Jadi perjanjian
pokoknya adalah hutang piutang dan tanah hanya sebagai jaminan, dengan
dasar kepercayaan, karena tanah sebagai jaminan tidak beralih ketangan
pemberi uang. Batas waktu perjanjian tergantung pada pihak-pihak yang
bersangkutan. Dan berakhirnya perjanjian ini bilamana utang telah
dibayar. Oleh karena inti pokok dari perjanjian adalah uang, maka tanah
sebagai jaminan tidak banyak mempunyai pengaruh didalamnya, misalnya
musnah maka perjanjian tetap berlangsung.

D. HUKUM PERHUTANGAN

Hukum perhutangan adalah keseuruhan peraturan-peraturan hukum


menguasai hak-hak mengenai barang-barang selain dari pada tanah dan
perpindahan dari pada hak-hak itu dan hukum mengenai jasa-jasa (Van Dijk,
1971, h.55).

Jenis-jenis perbuatan hukum perhutangan dibagi menjadi dua yakni :

1. Hukum perjanjian. 2. Hukum perikatan lainnya.

85
Ad.1. Bentuk-Bentuk dari Perjanjian

Bentuk-bentuk perjanjian dalam hukum adat lanjutan ada bermacam-


macam seperti perjanjian kredit, perjanjian kempitan, perjanjian tebasan (ijon),
perjanjian perburuhan, perjanjian pemegangan, perjanjian pemeliharaan,
perjanjian pertanggungan, gaduh ternak (deelwinning). Tetapi dalam uraian
berikut ini tidak semua bentuk itu akan dijelaskan disini karena kemungkinan dari
beberapa bentuk itu sudah tidak sesuai lagi dengan zamannya.

Yang akan dijelaskan berikut ini antara lain :

- Perjanjian kredit adalah ama dengan perbuatan kredit perseorangan yaitu


perjanjian uang dengan atau tanpa bunga atau barang-barang tertentu yang
harus dikembalikan sesuai dengan nilainya masing-masing pada saat yang
telah ditentukan.
- Perjanjian kempitan yang mungkin saat ini dapat disamakan dengan
perjanjian membeli atau menjual dengan cara mencicil. Perjanjian kempitan
mengandung syarat :
 Harus ada musyawarah terlebih dahulu;
 Kepercayaan;
 Surat perjanjian ada batas waktu;
 Tentang harga; dan
 Jika barang hilang ada komisi.
- Perjanjian tebasan (ijon), adalah penjanjian untuk menjual padi yang masih
muda, karena pemilik padi sangat membutuhkan uang. Dalam perjanjian ini
tidak saja padi sebagai obyeknya tetapi juga bisa palawija atau buah-buahan.
Dengan perjanjian tebasan atau ijon ini hak dari pemilik tanaman sudah
berpindah kepada pemilik uang, tetapi pemilik tanaman tetap berkewajiban
menjaga tanaman tersebut sampai tanaman siap untuk dipetik. Perjanjian
pemeliharaan, ngaranan atau mangara anak. Perjanjian seperti ini di Bali lebih
dikenal dalam serah diri (mekidihang-raga), dimana antara dua pihak baik
yang akan memelihara maupun yang akan dipelihara saling berjanji untuk
memenuhi hak dan kewajiban mereka masing-masing.

86
- Perjanjian pemeliharaan hewan/ternak/gaduh ternak/deelwining. Perjanjian
ini berupa pemberian hewan atau ternak kepada pihak lain untuk dipelihara
atau ditingkatkan nilai dari hewan/ternak tersebut, untuk selanjutnya dibagi
hasilnya. Istilahnya yang umum dikenal di Bali adalah “mekadasang”. Dan
aturan-aturan yang diterapkan dalam perjanjian ini dalam kenyataannya
berbeda-beda, tergantung jenis hewan atau ternaknya dan juga sesuai dengan
kesepakatan bersama para pihak yang membuat perjanjian, apakah dibagi
anaknya kalau beranak atau kalau di jual uangnya di bagi setelah dikurangi
biaya untuk pembelian bibit ternak atau mungkin biaya-biaya yang lain. (Beni
I Wayan Cs : 1983 : 45 – 49). Perjanjian gaduh ternak atau di Bali disebut
dengan “mekadasang” itu dalam PERDA No. 4 Tahun 1974 telah
dimodifikasi dengan istilah “PIR yaitu Pola Inti Rakyat”, yang sifatnya
memberikan pembinaan pada petani peternak yang terbentuk dalam “TRI
TEMU, yaitu : Inti “perusahaan atau pemilik modal, Plasma = peternak dan
Dinas Peternakan = pembina). Jadi PERDA No. 4 Tahun 1974 mengatur
tentang Kadas Mengadas Ternak.

Ad. 2. PERJANJIAN DAN PERIKATAN LAINNYA


Perbuatan yang berbentuk perjanjian atau disebut pula dengan perikatan
lainnya meliputi kegiatan tolong-menolong, gotang royong dan panjer.
Perbuatan tolong menolong dapat pula diartikan sebagai perbuatan kredit
dalam arti luas, karena dengan perbuatan tersebut disatu pihak ada orang atau
kelompok orang yang memberikan tenaga yang diperlukan (kredit) dan pihak lain
ada orang atau sekelompok orang yang menerima bantuan tenaga tersebut,
dengan suatu konsekwensi bahwa orang yang menerima bantuan tenaga itu pada
suatu saat dituntut pula (secara moral) untuk membantu pihak lain yang telah
pernah membantunya (Tim Peneliti Fak.Hukum Unud, 1980/1981, h.73).
Sedangkan mengenai aturan-aturan yang diterapkan dalam kegiatan
tolong-menolong ini tampak menunjukkan keseragaman, baik sebagai wujud
nyata dari sifat kebersamaan maupun hal-hal yang melekat pada diri mereka yang
memperoleh pertolongan untuk memenuhi imbalan bagi mereka yang
menolongnya.

87
Kegiatan tolong-menolong ini dapat terjadi dalam hal yang menyangkut
kegiatan orang perorangan yang bersifat fisik (membuat rumah, menanam padi)
atau yang bersifat non fisik atau bersifat keagamaan dan yang berkaitan dengan
suka dan duka.
Perbuatan tolong-menolong ini nampaknya masih dikenal dan
dilaksanakan sampai saai ini, walaupun tidak semua kegiatan dilakukan dengan
sistem ini, mengingat terbatasnya waktu dan dana yang harus dikeluarkan oleh
masing-masing pihak.
Disamping itu juga tergantung dari besar kecilnya atau tinggi rendahnya
tingkatan suatu upacara yang akan diambil. Jadi dalam tolong-menolong
tergantung keterikatan secara tidak langsung antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
Sedangkan dalam pengertian gotong royong lebih mengarah kepada
pembangunan fisik misalnya : membangun rumah, membuat jalan desa,
membangun balai desa dan lain sebagainya. Konsep gotong royong erat
kaitannya dengan kehidupan rakyat kecil, maupun kehidupan dalam masyarakat
pedesaan. Jadi gotong royong adalah merupakan sistem pengerahan tenaga yang
tidak hanya terjadi dilingkungan keluarga tetapi dapat pula terjadi dengan orang
lain diluar lingkungan keluarga.
Kompensasi lain dari sistem gotong royong ini tidak ada, yang ada hanya
unsur pengembalian bantuan. Dalam perkembangan selanjutnya sistem gotong
royong dianggap kurang praktis, karena kalau ada uang semuanya dapat dianggap
beres alias selesai (Koentjaraningrat, 1982, h.62-67).

Perbuatan Dalam Bentuk Perjanjian atau Perikatan Lainnnya

Perbuatan perhutangan yang berpangkal pada suatu perjanjian atau dalam


bentuk perikatan lainnya, jelas belum merupakan perbuatan yang tunai menurut
hukum adat. Tetapi walaupun demikian perbuatan tersebut telah merupakan
perbuatan perhutangan yang telah mengikat para pihak untuk melaksanakannya.

Adapun tanda pengikat itu biasanya dapat berupa uang, yang disebut
dengan “panjer”. Dengan telah diterimanya tanda ikatan tersebut baik bagi
penerima maupun pemberi sama-sama terikat dengan persetujuan yang telah

88
mereka buat atau sepakati. Jadi bentuk perbuatan perikatan lainnya adalah berupa
“panjer”.

Panjer adalah sebagai penjelmaan dari corak hukum perhutangan


yang riil dan visuil, karena merupakan satuan pengikat dan sebagai tanda
lahir untuk memberikan daya pengikat pada persetujuan atau persesuaian
kehendak belaka.

Menurut Van Vollenhoven, bahwa : kewajiban tidak timbul karena


konsensus semata. Untuk itu diperlukan bergeser atau berpindahnya sesuatu
benda, harus ada perbuatan hukum lain lagi. Tetapi perlu digaris bawahi bahwa
“panjer” bukan persekot, karena ia tidak mengurangi harga pembelian, kadang-
kadang ia berupa surat yang diberikan secara sepihak (sebagai tanda bukti adanya
perjanjian).

Walaupun penting : “panjer” tidak merupakan syarat “hakiki atau mutlak”


untuk adanya suatu hubungan hukum. Ia hanya sebagai alat bukti atau cambuk
pendorong bagi suatu itikad baik (dikutip dari Hilman Hadikusuma, 1984, h.35).

Panjer dalam hukum adat mempunyai dua fungsi yaitu :

a. Sebagai bukti atau tanda yang kelihatan bahwa antara pihak-pihak yang
bersangkutan telah terjadi suatu perjanjian jual beli.
b. Sebagai pengikat bagi kedua belah pihak yang diharapkan dalam waktu
dekat setelah itu akan segera melaksanakan transaksi jual beli yang
dimaksud.

Demikian pula dalam hukum adat “panjer” tidak semata-mata pada


perbuatan transaksi jual beli, tetapi mencakup pula aspek yang lebih luas misalnya
: tanda pengikat dalam pertunangan, yang disebut peningset (Jawa, base
penglarang (Bali).

Panjer juga mengandung konsekwensi atau akibat hukum yaitu : apabila


memberikan panjer itu ingkar janji atau tidak menepati kesepakatan maka panjer
itu akan dianggap hilang. Sedangkan apabila yang menerima panjer itu yang
inngkar janji atau tidak menepati kesepakatan mereka maka ia harus

89
mengembalikan panjer itu ditambah dengan membayar lagi (sebagai denda)
sebesar panjer yang telah diterimanya (Beni I Wayan, 1983, h.52).

LATIHAN :

a. Diskusikan apakah sistem tolong menolong maupun gotong royong itu


menghambat jalannya pembangunan ?
b. Jelaskan apakah sistem “gaduh ternak” itu masih relevan untuk
dipertahankan ?
c. Sebut dan jelaskan apakah fungsi dari “panjer” ?

Tugas Mandiri (PR) : Mahasiswa meresume/meringkas buku Surojo


Wignyodipuro, 1968 dan Buku Ajar Hukum
Adat Lanjutan, tentang Hukum Perhutangan dan
bagian-bagian dari Hukum Perhutangan
tersebut.

BAB VIII

90
HUKUM ADAT LANJUTAN TENTANG PELANGGARAN

A. PENGERTIAN DAN SIFAT-SIFAT PELANGGARAN ADAT

Dilihat dari sifat masyarakat hukum adat berbeda dengan masyarakat biasa
yang ada di kota-kota, bahwa masyarakat hukum adat sifat atau alam pikiran
komunal dan kosmis (religio magisnya) masih kuat. Hal ini menjadi sesuatu
yang sangat penting karena akan menjadi latar belakang kemasyarakatan, tempat
hukum adat pelanggaran itu berperan. Alam pikran masyarakat hukum adat yang
komunal dan kosmis tersebut memandang segala-galanya sebagai satu kesatuan
yang homogin dalam kehidupan mereka, dimana kedudukan manusia adalah
pusatnya. Manusia merupakan bagian dari alam besar (kosmos), tidak terpisah
dari dunia lahir maupun gaib dan malahan berpadu dengan alam hewan dan
tumbuh-tumbuhan, lebih-lebih dengan masyarakatnya sendiri sebagai satu
kesatuan. Jadi semuanya bersangkut paut, saling pengaruh mempengaruhi dan
semuanya berada dalam keseimbangan, yang senantiasa harus dijaga dan jika
suatu saat ada gangguan terhadap keseimbangan tersebut haruslah dipulihkan
kembali (Bushar Muhammad, 1983, h.67).

Apa yang telah diungkapkan oleh Bushar Muhammad seperti tersebut


diatas, kiranya mempunyai prinsip yang sama dengan yang berlaku di Indonesia,
bahwa untuk terwujudnya kebahagiaan haruslah terjaga keseimbangan hubungan
yang di Bali dikenal dengan “Tri Hita Karana”. Apabila antara ketiga hubungan
tersebut terganggu seperti : hubungan antara manusia dengan Ida Sanghyang
Widhi Wasa, hubungan antara manusia dengan alam lingkungan maupun
hubungan antara manusia dengan sesamanya, maka akan muncullah ketidak
seimbangan magis yang lebih umum disebut ada “delik adat atau pelanggaran
adat”.

Jadi alam pikiran yang komunal dan kosmis dalam kehidupan masyarakat
hukum adat, merupakan latar belakang timbulnya delik adat atau pelanggaran
adat. Di dalam alam pikiran yang tradisional yang bersifat komunal dan kosmis

91
itu, masyarakat hukumnya serta orang-orang tertentu yang dipentingkan dari pada
orang-perorangan secara individual.

Berdasarkan penjelasan diatas maka menurut Bushar Muhammad, yang


dimaksud dengan delik adat adalah : Suatu perbuatan sepihak dari seorang atau
kumpulan perorangan, mengancam atau menyinggung atau mengganggu
keseimbangan dalam kehidupan persekutuan, bersifat matriil atau immatriil,
terhadap orang seorang atau terhadap masyarakat berupa kesatuan. Tindakan atau
perbuatan yang demikian mengakibatkan suatu reaksi adat yang dipercayainya
dapat memulihkan keseimbangan yang telah terganggu, antara lain dengan
berbagai jalan dan cara, dengan pembayaran adat berupa barang, uang,
mengadakan selamatan, memotong hewan besar atau kecil dan lain-lain (Bushar
Muhammad, 1983, h.67-68).

Sedangkan menurut Ter Haar, yang disebut dengan delik adalah perbuatan
mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangan masyarakat. Dan
kegoncangan ini tidak hanya terdapat, apabila peraturan-peraturan hukum dalam
suatu masyarakat dilanggar, melainkan juga apabila norma-norma keagamaan,
kesusilaan dan sopan santun dalam masyarakat dilanggar (Ter Haar, dikutip dari
Surojo Wignyodipuro, 1068, h.286).

Istilah-istilah yang dipakai dalam penyebutan terhadap perbuatan


melanggar ini oleh beberapa sarjana berbeda karena ada yang memakai istilah
delik adat (Soepomo), hukum pelanggaran (Ter Haar), hukum pidana adat
(Bushar Muhammad) demikian pula Surojo Wignyodipuro dengan hukum adat
delik. Walaupun dengan istilah yang berbeda maksud dan tujuannya sama yaitu
menunjukkan segala perbuatan yang melanggar norma-norma maupun yang
menyebabkan ketidak seimbangan magis dalam kehidupan masyarakat, tanpa
membatasi bidang-bidang tertentu, dan yang utama adalah untuk
membedakannya dengan delik dalam hukum Barat, dimana dalam sistem hukum
Barat memisahkan antara hukum pidana dengan hukum perdata.

Sedangkan dalam sistem hukum adat, pelanggaran bisa terjadi pada


peraturan-peraturan hukum dalam masyarakat, norma keagamaan, kesopanan,

92
kesusilaan, sopan santun demikian pula hukum adat membedakan antara benda-
benda matriil dan benda-benda immatriil, jadi sifat obyeknya adalah homogin.
Dan selanjutnya dalam pembahasan lebih lanjut akan dipergunakan istilah
“Hukum Pelanggaran Adat”.

Sifat-Sifat Hukum Pelanggaran Adat

Sistem hukum adat menyatakan bahwa segala perbuatan yang


bertentangan dengan peraturan hukum adat merupakan perbuatan yang illegal dan
hukum adat sendiri mempunyai ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki kembali hukum
(rechtsherstel) jika hukum itu diperkosa (Soepomo, 1979, h.110).

Sifat hukum pelanggaran adat yang dilandasi alam pikiran tradisional


masyarakat yang mempertautkan antara yang nyata dengan yang tidak nyata,
antara alam fana dengan alam baka, antara kekuasaan manusia dan kekuasaan
gaib antara hukum manusia dengan hukum Tuhan, yang menempatkan manusia
itu sebagai bagian dari alam menyebabkan kehidupan manusia itu bertaut dengan
alam sehingga kegoncangan alam adalah akibat ketidak seimbangan kehidupan
manusia dan sebaliknya kehidupan manusia merupakan ketidak seimbangan
dengan kehidupan alam. Oleh karena itulah yang menyebabkan masyarakat
hukum adat tidak banyak yang dapat berfikir rasionalistis, intelektualistis atau
liberalistis sebagaimana halnya dengan cara berfikir orang Barat sehingga hukum
adat bukan hasil ciptaan pikiran yang rasionil, intelektual dan liberal tetapi hasil
ciptaan pikiran yang komunal, magis religius atau komunal kosmis.

Sebagai akibat dari pengaruh alam pikiran yang komunal dan kosmis
tersebut membawa pengaruh pula terhadap sifat-sifat dari hukum pelanggaran adat
yaitu :

a. Menyeluruh dan menyatukan, artinya


Karena latar belakang untuk timbulnya suatu pelanggaran adat dilandasi oleh
pikiran yang komunal dan kosmis yang berarti yang satu bertautan dengan
yang lain maka yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Demikian

93
pula hukum pelanggaran adat tidak membedakan antara pelanggaran yang
bersifat pidana yang harus diperiksa oleh hakim pidana dengan pelanggaran
yang bersifat perdata yang harus diperiksa oleh hakim perdata. Begitu pula
hukum pelanggaran adat tidak membedakan apakah itu pelanggaran adat,
agama, kesusilaan atau kesopanan. Kesemua bentuk pelanggaran tersebut
akan diperiksa dan diadili oleh hakim adat dengan pertimbangan
keputusannya yang bersifat menyeluruh berdasarkan segala faktor yang
mempengaruhinya. Walaupun dalam hukum adat pelanggaran dapat
dibedakan antara perbuatan yang bersifat kejahatan dengan perbuatan yang
bersifat pelanggaran, tetapi hukum adat pelanggaran tidak membedakannya
karena hukum adat pelanggaran tidak mementingkan pembagian kekuasaan.
b. Ketentuan yang terbuka, artinya
Oleh karena manusia itu tidak akan mampu meramalkan masa datang, maka
ketentuan dalam hukum adat tidak bersifat pasti, sifat ketentuannya selalu
terbuka untuk segala peristiwa atau perbuatan yang mungkin terjadi. Yang
penting yang dijadikan ukuran menurut hukum adat adalah rasa keadilan
menurut kesadaran hukum masyarakat sesuai dengan perkembangan keadaan,
waktu dan tempat (Hilman Hadikusuma, 1979, h.22). Hal ini disebabkan oleh
sifat maupun corak dari hukum adat itu sendiri yaitu bersifat elastis, plastis
dan tidak kaku bahkan akan mengikuti perubahan pola pikir dari masyarakat.
Jadi tidak menolak perubahan dan juga tidak menghambat perubahan. Di Bali
pun keadaan seperti ini diakui yaitu desa, kala, patra dan mengakui pula
waktu (atita, nagata, wartamana). Ketentuan yang sifatnya terbuka dalam
hukum adat pelanggaran menyebabkan hukum adat pelanggaran tidak
menganut sistem peraturan yang statis, artinya suatu pelanggaran adat tidak
selamanya merupakan pelanggaran adat. Demikian pula dapat dikatakan
bahwa dalam hukum adat pelanggaran tidak ada ketentuan dibuat terlebih
dahulu sebelum perbuatan dilakukan. Berbeda halnya dalam hukum pidana
Barat, peraturannya harus ada terlebih dahulu sebelum menyatakan suatu
perbuatan itu melanggar hukum atau tidak (azas legalitas dalam pasal
KUHP).

94
c. Membeda-bedakan permasalahan
Dalam hukum pelanggaran adat, apabila terjadi peristiwa pelanggaran maka
yang dilihat tidak hanya perbuatan dan akibatnya saja, tetapi diperhatikan
pula apa yang menjadi latar belakang perbuatannya dan siapa pelakunya.
Dengan alam pikiran yang demikian, maka dalam cara mencari penyelesaian
dan melakukan tindakan hukumnya terhadap sesuatu peristiwa menjadi
berbeda-beda (Hilman Hadikusuma, 1979, h.23).
Menurut hukum adat antara orang-orang yang mempunyai kedudukan penting
dalam suatu masyarakat akan berbeda dengan orang biasa yang tidak
mempunyai kedudukan penting. Keadaan seperti ini akan berpengaruh pula
terhadap subyek dalam hukum pelanggaran adat, sehingga dikatakan pula
hukum adat membeda-bedakan kedudukan orang dalam masyarakat adat.
Karena perbedaan ini akan membawa konsekwensi pada akibat hukum
terhadap pelanggaran yang dilakukannya. Orang yang mempunyai kedudukan
hukum lebih tinggi di masyarakat apabila melakukan pelanggaran adat, maka
hukumannya akan lebih berat daripada orang yang melakukan perbuatan yang
termasuk kedalam “kejahatan” dengan termasuk “pelanggaran” diatur dalam
ketentuan yang berbeda.
d. Lahir dan lenyapnya hukum pelanggaran adat
Hukum adat tidak menganut sistem yang statis melainkan dinamis, slastis dan
plastis. Dengan demikian setiap ketentuan dalam hukum adat dapat timbul,
tumbuh, berkembang dan berganti dengan ketentuan yang baru, yang lebih
sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat pada
saat itu. Demikian pulalah yang berlaku dalam hukum pelanggaran adat,
bahwa pelanggaran terhadap hukum adat akan lahir, berkembang dan
kemudian lenyap dikarenakan rasa keadilan dan kepatutan serta kesadaran
hukum rakyat sudah berubah. Jadi lahirnya hukum adat pelanggaran adalah
serupa dengan lahirnya tiap-tiap peraturan hukum yang tidak tertulis. Tiap-
tiap peraturan hukum adat timbul berkembang dan selanjutnya lenyap dengan
lahirnya peraturan baru, sedang peraturan baru itu akan berkembang juga dan
kemudian akan lenyap pula dengan adanya perubahan perasaan keadilan yang
akan menimbulkan perubahan peraturan. Begitu seterusnya, keadaannya

95
seperti jalannya ombak di pesisir samudra (Soepomo, 1970, h.111). Demikian
pula halnya dengan lahir dan lenyapnya pelanggaran adat yang berarti
perbuatan-perbuatan uang semula dianggap merupakan pelanggaran adat
tetapi karena adanya perubahan rasa keadilan dan kepatutan yang hidup
dalam masyarakat menyebabkan hukum menjadi berubah akibatnya
perbuatan yang tadinya pelanggaran adat menjadi tidak lagi dianggap
pelanggaran adat. Hal inilah pula yang menunjukkan adanya perbedaan
dengan sistem hukum pidana Barat. Menurut hukum pidana Barat, delik itu
lahir dengan diundangkannya suatu peraturan tentang delik tersebut dalam
Lembaran Negara. Sedangkan untuk menyatakan delik tersebut tidak berlaku
lagi secara formal, haruslah dibuat peraturan baru lagi apapun bentuknya
yang nantinya menyatakan bahwa peraturan yang lama tidak berlaku lagi,
walaupun secara matrial peraturan itu tetap tercantum dalam Lembaran
Negara.
e. Peradilan dengan permintaan
Untuk memeriksa dan menyelesaikan perkara pelanggaran, sebagian besar
didasarkan pada adanya permintaan atau pengaduan. Artinya petugas hukum
tidak selalu mengambil inisiatif sendiri untuk menindak si pelanggar hukum.
Terhadap beberapa pelanggaran hukum petugas hukum hanya akan bertindak
apabila ada permintaan dari orang yang terkena pelanggaran tersebut. Ukuran
yang dipakai untuk menentukan kapan saatnya petugas hukum bertindak atas
inisiatif sendiri, hukum adat menentukannya yaitu apabila “kepentingan
umum terganggu” yang dalam hal ini adalah kepentingan dari masyarakat
hukumnya langsung terkena pelanggaran tersebut. Kepentingan umum inipun
maksudnya adalah tertuju pada terganggunya keseimbangan magis dalam
masyarakat yang didasarkan pada aliran tradisional yang bersifat kosmis
komunalistis.

B. JENIS-JENIS PELANGGARAN ADAT

Terlebih dahulu haruslah diketahui bahwa perkara delik adat itu dapat
bersifat :

96
a. Melulu delik adat : misalnya pelanggaran adat terhadap peraturan-
peraturan exogami, pelanggaran peraturan panjer, atau peraturan-
peraturan khusus adat lainnya.
b. Disamping delik adat, juga bersifat delik-delik terhadap harta
kekayaan seseorang, menghina seseorang, apalagi seseorang tersebut
mempunyai kedudukan tinggi dalam masyarakat tersebut seperti
menghina kepala adat, dll.

Berlainan dengan hukum criminal Barat, hukum adat tidak mengenal


sistem pelanggaran hukum yang ditetapkan lebih dahulu (sistem prae existente
regels), hukum adat tidak mengadakan peraturan semacam Pasal 1 KUHPidana
(Soerojo Wignyodipuro, 1968, h.293).

Dalam hukum adat seluruh lapangan hidup menjadi batu ujian perihal apa
yang boleh dilakukan dan apa yang dilarang. Tiap perbuatan atau tiap situasi yang
tidak selaras dengan atau yang memperkosa keselamatan masyarakat, keselamatan
teman semasyarakat, keselamatan golongan famili dapat merupakan pelanggaran
adat.

Delik yang paling berat ialah segala pelanggaran yang memperkosa


keseimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib, serta pelanggaran yang
memperkosa dasar susunan masyarakat, misalnya perbuatan penghianatan, delik
terhadap diri pribadi kepala adat.

Karena kepala adat penjelmaan masyarakat. Sedangkan delik yang tidak


terdapat dalam KUHPidana, tetapi yang didalam sistem hukum adat masuk
golongan perbuatan yang menentang keselamatan masyarakat seluruhnya seperti
perbuatan : “sihir atau tenung”. Orang perempuan yang melahirkan di
persawahan, di Bali (kembar buncing) mencemarkan tempat suci seperti : langgar,
gereja. Mata air dan lain sebagainya

97
C. REAKSI DAN KOREKSI ADAT

Dalam tiap-tiappelanggaran hukum, para petugas hukum menimbang


bagaimana mereka akan bertindak untuk membetulkan kembali perimbangan
hukum. Tindakan atau upaya (pertahanan adat atau adat reaksi) yang diperlukan
mungkin hanya berupa hukuman untuk membayar sejumlah uang sebagai
pelunasan hutang atau sebagai pengganti kerugian (Soepomo, 1976, h.114).

Pandecten van het adatrecht bagian X mengumpulkan bahan-bahan


mengenai hukum adat delik (adatstrafrecht) dan yang diterbitkan pada tahun 1936
menyebutkan beberapa reaksi dan koreksi adat sebagai berikut :

1. Penggantian kerugian “immatriil” dalam pelbagai rupa seperti paksaan


menikahi gadis yang telah tercemar.
2. Bayaran “uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang
sakti sebagai pengganti kerugian rokhani.
3. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran
gaib.
4. Penutup malu, perintaan maaf.
5. Pelbagai hukuman badan, hingga hukuman mati.
6. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum
(dikutip dari Soepomo, 1976, h.115).

Suatu perbuatan yang mungkin melanggar beberapa norma hukum


sekaligus, sehingga untuk memulihkan perimbangan hukum harus diambil
beberapa tindakan koreksi, misalnya pengganti kerugian dan selamatan untuk
membersihkan masyarakat dan sebagainya. Dan tujuan dari segala reaksi dan
koreksi adat dari segala tindakan yang menetralisir pelanggaran-pelanggaran
hukum itu, ialah “memulihkan perimbangan hukum” . Dan perimbangan hukum
ini meliputi pula perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib. Sedangkan
tujuan untuk memperbaiki orang yang salah, orang yang melanggar hukum,
sebagai salah satu dasar yang terdapat dalam sistem hukum pidana Barat rupa-
rupanya tidak ada dalam hukum adat tradisional.

98
LATIHAN :

a. Jelaskan dimanakah letak perbedaan lahirnya delik menurut hukum adat


dan menurut hukum Barat ?
b. Sebutkan alasan-alasan yang dapat menimbulkan adanya pelanggaran
adat!
c. Sebutkan jenis-jenis atau penggolongan pelanggaran adat yang ada di
beberapa daerah di Indonesia !

Lahirnya delik adat dapat disebabkan karena melanggar aturan-aturan


hukum atau tata tertib dilanggar atau karena keseimbangan magis dalam
masyarakat terganggu.

Apabila terjadi suatu pelanggaran hukum apalagi perbuatan tersebut


menyangkut kepentingan umum (keseimbangan magis dalam masyarakat)
terganggu, maka petugas hukum adat (kepala adat) akan mengambil tindakan
konkrit yang disebut dengan “reaksi adat” yang berguna untuk membetulkan
hukum yang dilanggar tersebut.

Menurut Hilman Hadikusuma, dalam hal petugas hukum melakukan


tindakan reaksi atau koreksi dalam menyelesaikan akibat peristiwa yang telah
mengganggu keseimbangan masyarakat dengan maksud mengembalikan
keseimbangan sebagaimana semula, tidak saja dapat bertindak terhadap
pelakunya, tetapi juga dapat dikenakan pertanggungan jawab terhadap keluarga
atau kerabat pelaku atau juga mungkin diperlukan membebankan kewajiban
kepada masyarakat bersangkutan atau seluruhnya untuk mengembalikan
keseimbangan dengan jalan mengadakan upacara desa atau lain-lain. (Hilman
Hadikusuma : 1979 :24).

Dari penjelasan diatas dapat dikemukakan bahwa reaksi adat yang


digunakan untuk mengembalikan ketidakseimbangan magis dalam masyarakat
dapat berupa suatu kewajiban atau upacara selamatan yang kemudian dapat
dibebankan kepada pelaku, tapi juga keluarga atau kerabatnya dan bahkan
terhadap masyarakatnya.

99
Dalam hubungan ini dapat pula diketahui bahwa yang dapat menjadi
subyek hukum dalam hukum adat pelanggaran tidak hanya orang sepertidalam
hukum pidana Barat, tetapi juga keluarga, kerabat atau masyarakatnya ikut
bertanggung jawab atas perbuatan pelaku.

Adapun jenis-jenis reaksi dan koreksi adat yang tujuannya untuk


mengembalikan ketidakseimbangan magis dalam masyarakat, yang di Bali umum
dikenal dengan istilah “danda atau pamidanda”. Danda atau pamidanda ini ada
tiga golongan yang disebut “Tri Danda” yaitu :

a. Artha danda yaitu tindakan hukum berupa penjatuhan hukum berupa


denda dalam bentuk uang.
b. Jiwa danda yaitu tindakan hukum yang berupa pengenaan hukuman
berupa penderitaan badan maupun rohani bagi pelaku pelanggaran.
c. Sangaskara danda yaitu berupa tindakan hukum untuk mengembalikan
keseimbangan magis berupa tindakan untuk melakukan upacara-upacara
agama (Selanjutnya baca W.P.Windia dan Sudantra I Ketut, 2006, h.143-
144).

Sedangkan jenis-jenis reaksi dan koreksi adat yang ditemukan dalam


penelitian oleh Tim Peneliti Fak.Hukum Unud, dapat digolong-golongkan sebagai
berikut :

1. Reaksi atau koreksi adat beupa kewajiban untuk melakukan sesuatu seperti
membuat upacara/upakara Agama.
2. Reaksi atau koreksi adat berupa pembayaran sejumlah uang yang dapat
dibedakan antara “danda dan dedosan atau dosa”. Danda adalah dikenakan
terhadap orang yang melanggar larangan. Sedangkan dedosan atau dosa
dikenakan bagi mereka yang melalaikan kewajibannya.
3. Dibuat malu yaitu pada umumnya sanksi yang diberikan kepada mereka
yang suka mencuri atau diarak keliling desa.
4. Pencabutan hak yaitu saksi yang dikenakan kepada mereka yang
melalaikan kewajibannya pada desa/banjar (tidak melaksanakan ayah-
ayahan desa/banjar).

100
5. Perampasan hak yaitu yang disebut dengan “Kerampag”, berupa
pengambilan barang-barang milik seseorang karena tidak membayar
hutangnya (Tim peneliti Fak.Hukum Unud, 1980/1981, h.79-80).

D. PELANGGARAN ADAT DALAM PRAKTEK PERADILAN

Hukum Pelanggaran Adat Dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Untuk mengetahui bagaimanakah pelanggaran adat dalam praktek


peradilan, perlu terlebih dahulu mengetahui sifat-sifat dari pelanggaran adat
tersebut :

1. Pelanggaran adat yang murni pelanggaran adat, artinya bahwa pelanggaran


tersebut benar-benar melanggar peraturan-peraturan adat. Misalnya tentang
peraturan mengenai panjer, pelanggaran peraturan Exogami.
2. Pelanggaran adat yang juga merupakan pelanggaran atau delik menurut
KUHP. Misalnya delik yang menyangkut harta kekayaan seseorang,
menghina seseorang (Soerojo Wignyodipuro, 1979, h.293).

Adapun ketentuan hukum pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum


Pidana (KUHP) dan hukum pelanggaran adat terdapat perbedaan, sebagai
berikut:

a. Sistem pemidanaan.

Berbeda halnya dengan hukum pidana Barat, hukum adat pelanggaran


tidak mengenal pelanggaran hukum yang ditetapkan terlebih dahulu (disebut
dengan prae existebte regels). Hukum adat pelanggaran tidak menganut azas
legalitas seperti yang tertuang dalam Pasal 1 KUHP. Pelanggaran adat baru akan
menjadi hukum setelah para fungsionaris hukum menjatuhkan sanksi terhadap
pelakunya. Hal ini sesuai pula dengan apa yang disampaikan oleh Ter Haar,
bahwa adat baru akan menjadi hukum adat setelah diputuskan oleh para
fungsionaris hukum (kepala adat, tetua-tetua adat, dan lain-lain). Dan azas ini
lebih dikenal dengan “teori keputusan atau beslissingen leer”.

101
Sedangkan menurut hukum Barat (KUHP) untuk menentukan bahwa
seseorang itu melakukan suatu pelanggaran adat atau delik haruslah ada
aturannya terlebih dahulu yang akan menyatakan perbuatannya tersebut
melanggar atau bertentangan dengan peraturan tersebut. Apabila peraturannya
belum ada maka akan sulit menyatakan bahwa seseorang itu melakukan
pelanggaran atau tidak. Jadi KUHP dikatakan menganut azas “legalitas” seperti
yang diatur dalam Pasal 1 KUHP, yang bunyinya : tiada suatu perbuatan yang
dapat dihukum melaikan atas kekuatan aturan pidana di dalam undang-undang
yang telah ada terlebih dahulu dari perbuatan tersebut.

b. Perbuatan Salah

KUHP menyatakan bahwa perbuatan salah yang berakibat dapat dijatuhi


hukuman ditujukan kepada orang yang berbuat atau orang yang melakukan
kesalahan dan perbuatannya tersebut dilakukan dengan sengaja (opzet) atau
karena kelalaian (culpa). Sedangkan dalam hukum pelanggaran adat tidak
membedakan apakah perbuatannya itu dilakukan dengan sengaja atau karena
kelalaian, tetapi lebih memperhatikan pada akibat dari perbuatannya yaitu apakah
akibat perbuatannya itu mengganggu keseimbangan magis dalam masyarakat
atau tidak.

c. Kesalahan Yang Berulang (Residivise).

KUHP menentukan bahwa seseorang yang melakukan kesalahan beberapa kali


henya dapat dihukum atas perbuatannya yang terakhir dan atau terberat ancaman
hukumannya (disini berlaku Prinsip “ne bis in idem”). Sedangkan dalam hukum
pelanggaran adat memperhitungkan keseluruhan dari perbuatan yang
dilakukannya karena perhitungan ini akan menjadi dasar pertimbangan apakah
perbuatannya itu dapat dimaafkan atau tidak. Apabila “perbuatan salah itu telah
dilakukan berkali-kali maka dalam hukum pelanggaran adat dapat dikenakan
sanksi antara lain “diusir” atau kalau di Bali disebut “katundung dari desa” atau
“kerampag”. (prinsip ne bis in idem tidak berlaku).

d. Berat ringannya hukuman

102
Penghilangan atau pengurangan hukuman ataupun penambahan hukuman
dalam KUHP ditentukan atas dasar Pasal 44 – 52 KUHP dan Hakim tidak boleh
mempergunakan dasar yuridis yang lain dalam pertimbangan hukumnya.
Sedangkan dalam hukum pelanggaran adat justru permintaan maaf dan
pengakuan kesalahan yang dilakukan oleh pelaku menjadi pertimbangan dalam
pengenaan hukumannya. Hal ini didasarkan atas azas kekeluargaan, kedamaian,
kerukunan dan rasa keadilan masyarakat.

e. Pertanggung jawaban kesalahan

KUHP berdasarkan pertanggung jawaban pada kondisi fisik si pelaku,


artinya orang yang dapat dihukum hanyalah orang secara jasmani dan rohani
sehat. Orang yang tidak waras (gila) tidak dapat dipidana karena jiwanya tidak
dapat dijatuhi sanksi sebagai akibat dari perbuatannya. Sedangkan dalam hukum
pelanggaran adat, kesalahan tidak hanya dapat dijatuhkan kepada pelakunya
tetapi juga pada orang tua, sanak saudara atau bahkan pada masyarakat hukum
adatnya. Karena hukum adat membedakan kedudukan seseorang di masyarakat
adat. Makin tinggi kedudukannya di masyarakat, apabila melakukan kesalahan
maka hukumannyapun akan lebih berat. Demikian pula dalam KUHP
membedakan antara pelaku (dader) dengan orang yang membantu melakukan
(mede plichtigheid) dan orang yang ikut berbuat (mede daderchap), membujuk
berbuat (uitlokking), dan usaha percobaan (strafbare poging) dalam suatu
perbuatan pidana. Tetapi dalam hukum pelanggaran adat semua perbuatan dan
pelaku dipandang sebagai satu kesatuan dan diperlakukan sama sejauh itu
menimbulkan gangguan keseimbangan dalam masyarakat (I Gede A.B.Wiranata,
2005, h.213-216).

Hukum Pelanggaran Adat dan Reaksi atau Koreksi Adat Dalam Praktek
Peradilan

Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan


UU No.1 Tahun 1946 yang mengatur tentang Wetboek van Strafrecht (WVS)”
yang lebih dikenal dengan sebutan “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

103
(KUHP)”. Ketentuan ini dinyatakan berlaku untuk wilayah Republik Proklamasi.
Dan selanjutnya berdasarkan UU No.73 Tahun 1958 barulah dinyatakan berlaku
untuk wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seperti diketahui bersama
KUHP ini berasal dari Code Penal Prancis yang berlaku di Negeri Belanda sejak
Tahun 1810, dan atas perintah Gubernur Jendral Hindia Belanda dibuatlah
kodifikasi Tahun 1915 dan kemudian dinyatakan berlaku di Indonesia Tahun
1918.

Kemudian berdasarkan usaha untuk pembentukan KUHP Nasional pada


masa yang akan datang, hukum pelanggaran adat masih relevan untuk dikaji, dan
peluang ini telah ditunjukkan oleh UU Darurat No.1 Tahun 1951 terutama Pasal
1 ayat 3 yang menunjukkan pada Pasal 3a RO, yang menyatakan bahwa di bekas
wilayah Pengadilan Adat Indonesia, hukum pelanggaran adat masih tetap diakui
berlaku di daerah tersebut dengan catatan bahwa asas-asas hukum pelanggaran
adat dan sanksi-sanksinya tidak boleh ditetapkan lagi. Sanksi yang digunakan
adalah sanksi delik yang serupa atau mirip dengan yang terdapat dalam KUHP.
Selain itu dalam rancangan KUHP Nasional telah dicantumkan beberapa pasal
yang memberikan peluang pada huum pelanggaran adat, seperti Pasal 1 ayat (3),
Pasal 93 ayat (1), Pasal 93 ayat (2), Pasal 93 ayat (3) dan Penjelasan Umum Buku
1 huruf 1 (Selanjutnya baca I Gede A.B Wiranata, 2005, h.220-221)

Selanjutnya dilihat dari praktek peradilan, bahwa peluang berlakunya


hukum adat pada umumnya dan hukum pelanggaran adat pada khususnya dapat
diketahui dari UU No.4 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman terutama Pasal 16 ayat (1) yang dengan tegas menyatakan bahwa :
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Sedangkan dalam Pasal 28
ditegaskan pula bahwa : Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Undang-undang ini
tampaknya menjembatani asas legalitas dalam hukum pidana dari legalitas formal
ke arah asas legalitas formal dan material (Wayan P. Windia dan Sudantra I
Ketut, 2004, h.153-154).

104
Jadi seolah-olah hukum adat maupun hukum pelanggaran akan mendapat
tempat dalam Hukum Pidana nasional yang baru nanti.

LATIHAN :

a. Antara ketentuan hukum pidana menurut KUHP dengan hukum adat


pelanggaran dikatakan berbeda. Sebut dan jelaskan dimana letak
perbedaannya !
b. Jelaskan bagaimanakah eksistensi hukum adat pelanggaran dalam KUHP
Nasional nanti ?
c. Jelaskan, sejak kapan dapat dikatakan timbulnya suatu pelanggaran adat ?

Tugas mandiri (PR) : Mahasiswa membahas satu kasus baru pelanggaran adat
yang termasuk ke Pengadilan dan memberikan komentar terhadap keputusan
hakim atas kasus tersebut ditinjau dari KUHP dan Hukum Adat Pelanggaran

105
DAFTAR PUSTAKA
AB Wiranata I Gede,2005 , Hukum Adat Indonesia, Perkembangannya dari Nusa
ke Nusa, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Hazairin, 1987 , Hukum Kekeluargaan Nasional, Pradnya Paramita, Jakarta.
Koesnoe Moch.1979 , Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa ini,
Airlangga Universitas Press, Surabaya.
Soepomo R., 1976 , Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.
Ridwan Syahrani, 1987, Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil,
PT. Media Sarana Press, Jakarta.
Abdurrahman, 1985 , Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang
Perkawinan, Akademika Pressindo, Jakarta.
Soerjono Soekanto, dan Soleman B Taneko, 1981 : Hukum Adat Indonesia, CV
Rajawali, Jakarta.
Soerojo Wignyodipuro, 1973, Pengantar dan asas-asas Hukum Adat, Alumni,
Bandung.
Wantjik Saleh,K, 1976 , Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Wiryono Prodjodikoro, 1981 , Hukum Waris di Indonesia, Sumur, Bandung.
Wiryono Prodjodikoro, 1981 , Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung.
Chidir Ali, 1979 , Hukum Adat Minangkabau Dalam Yurisprudensi Indonesia,
Pradnya Paramita, Jakarta.
Hilman Hadikusuma, 1979, Hukum Perkawinan Adat , Alumni, Bandung.
Bushar Muhammad, 1983 , Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita,
Jakarta.
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987 , Azas-Azas Hukum Perkawinan di
Indonesia, Bina Aksara, Jakarta.
Sagung Ngurah, dkk, 2008, Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan, Bagian Hukum dan
Masyarakat, Fak.Hukum, Universitas Udayana.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang KDRT.
Undang-Undang RI No.7 Tahun 1984 tentang Penghapusan segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan.

106
UU RI No.23 Tahun 2002 Undang-Undang Tentang Perlindungan anak.
PP No.9 tahun 1975, PP No.10 tahun 1983, PP No. 45 tahun 1990.
UU No.5 tahun 1960 tentang UUPA.
Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP).
UU Kekuasaan kehakiman.
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
UU No. 10 Tahun 1998 tentang Peruahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan.
Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.
Peraturan Daerah No. 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa.

107

Anda mungkin juga menyukai