PENYUSUN:
i
KATA PENGANTAR
Atas asung kerta wara nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang
Maha Esa proses penyelesaian buku bahan ajar Metode Penelitian dan Penulisan
Hukum edisi revisi ini dapat diselesaikan sesuai harapan. Penyempurnaan buku
bahan ajar ini dilakukan karena pentingnya panduan pe-ngajaran pada Fakultas
Hukum Universitas Udayana Denpasar berkaitan dengan mata kuliah metode
penelitian dan penulisan hukum. Hal ini kita sadari bersama bahwa mengingat
hingga saat ini belum banyak karya tulis yang secara komprehensif tentang
metode penelitian dan penulisan hukum yang baku sebagai pedoman khususnya
bagi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana yang tengah menempuh
mata kuliah ini dan mempersiapkan penyusunan skripsi.Hadirnya buku bahan ajar
ini diharapkan yang dapat memberikan gambaran yang jelas dan sistematis
mengenai proses penelitian dari awal perencanaan dalam bentuk usulan proposal
hingga penulisan laporan penelitian sesuai dengan kaidah penulisan akademik.
Buku bahan ajar ini memuat uraian intisari kuliah metode penelitian dan
penulisan
hukum yang didasari oleh berbagai sumber referensi berupa literatur terkait
sehingga terangkai menjadi satu kesatuan yang sistematis. Hal ini tentu akan
mempermudah mahasiswa dalam mempelajarinya karena dapat mremahami
secara utuh terhadap metode penelitian dan penulisan hukum yang nantinya dapat
digunakan sebagai landasan dalam penyusunan skripsinya.
Dalam mewujudkan buku bahan ajar ini, tim penyusun telah berusaha
maksimal agar hasil sesuai dengan harapan. Tetapi dengan segala keterbatasan
yang ada, penyusun menyadari bahwa buku bahan ajar ini masih jauh dari
sempurna, sehingga kritik dan saran dari berbagai pihak sangat membantu
penyempurnaan hasil revisi ini. Atas kritik dan saran dari semua pihak tersebut
kami ucapkan banyak terima kasih. Tidak lupa, Terimakasih kami sampaikan pula
kepada teman-teman dan pada guru besar khususnya pada bagian hukum dan
masyarakat yang telah memberikan masukan dalam penyusunan bahan ajar ini.
Akhir kata kami tujukan kepada para mahasiswa untuk mempelajari bahan
ajar ini dengan baik sehingga dapat memperoleh pemahaman mengenai metode
penelitian dan penulisan hukum ini dengan baik. Sehingga pada akhirnya akan
ii
mampu dan cakap dalam menyelesaikan tugas akhir sebagai mahasiswa Fakultas
Hukum dengan menghasilkan skripsi yang baik dan berkontribusi bagi
pengembangan ilmu pengetahuan.
iii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iv
iv
Harta Benda Perkawinan 56
Pengertian Dan Alasan-Alasan Perceraian 57
Sahnya Perceraian Dan Akibat Hukum Dari Perceraian 59
BAB VI : HUKUM ADAT LANJUTAN TENTANG PEWARISAN 62
Pengertian Dan Unsur-Unsur Pewarisan 62
Pengertian Pewarisan Unsur-Unsur 62
Prinsip-Prinsip Pewarisan Dalam Hukum Adat Waris 64
Sifat Hukum Adat Waris 69
Sistem Pewarisan Dalam Hukum Adat Waris 70
Syarat-Syarat Dan Proses Pewarisan 71
BAB VII : HK ADAT LANJUTAN TENTANG PEREKONOMIAN 73
Pengertian Dan Ruang Lingkup Hukum Perekonomian 73
Hak Atas Benda 73
Fungsi Tanah Bagi Masyarakat Hukum Adat 76
Hak Ulayat 76
Kedudukan Tanah Adat Dalam Perundang-Undangan 79
Hak Atas Benda Selain Tanah 81
Hak-Hak Immateriil 82
Transaksi-Transaksi Tanah 83
Hukum Perhutangan 85
v
vi
BAB I
Perlu dijelaskan terlebih dahulu apa itu hukum. Hukum itu meliputi
berbagai aspek yang multi dimensi. Karena itulah sampai saat ini para sarjana
hukum belum dapat membuat definisi tentang hukum secara tepat dan lengkap
yang mencakup segala aspek yang diinginkan (Ali Achmad, 2002, h.5).
pengertian sementara tentang hukum adat yang menyebut dengan norma,
peraturan perundang-undangan, kebiasaan dan sebutan lain. Yang jelas hukum itu
mengatur hubungan antar manusia baik hubungan antar individu ataupun
kelompok agar hubungan tersebut berjalan dengan baik aman dan damai.
1
dicatatkan dan ada hukum adat yang ditulis, namun sifat dari hukum adat adalah
tetap tidak tertulis.
Di dalam masyarakat hanya dikenal kata “Adat” saja dan kata inipun
berasal dari bahasa asing pula yaitu bahasa Arab yang telah di resepsi dan di
masyarakat pun istilah ini sudah umum di kenal, yang diberi arti “kebiasaan”. Itu
berarti dari kata “Adat Recht” secara sederhana dapat diartikan “Hukum
kebiasaan”. Dari terjemahan tersebut akan muncul pertanyaan apakah hukum
kebiasaan itu sama dengan hukum adat ?. Untuk menjawab pertanyaan ini ada
beberapa pendapat antara lain :
2
kebiasaan saja. Kebiasaan yang merupakan hukum adat adalah perbuatan yang
diulang-ulang dalam bentuk yang sama menuju pada “rechtvardigeordening der
samenliving”. (dikutip dari Soleman Biasana Taneko,1981,h.14).
Sedangkan mengenai pengertian dari hukum adat itu sendiri juga ada
pendapat beberapa sarjana antara lain:
Ter Haar yang dikutip dari Soekanto dan Soerjono Soekanto (1978, h.16)
yang terkenal dengan Teori “beslissingenleer-nya” menyatakan bahwa hukum
adat itu mencakup keseluruhan peraturan yang menjelma di dalam
keputusan-keputusan para pejabat hukum adat yang mempunyai
kewibawaan dan pengaruh serta di dalam pelaksanaannya berlaku secara
serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh
keputusan tersebut atau secara singkat dikatakan oleh Ter Haar bahwa hukum
adat itu adalah keputusan yang dapat timbul dari suatu persengketaan yang
berdasarkan kerukunan dan musyawarah atau timbul dari keputusan warga
masyarakat. Jadi Ter Haar membedakan antara hukum adat dengan adat
berdasarkan ada tidaknya “keputusan”.
3
Kusumadi Pudjosewojo berpendirian sama dengan Ter Haar, yaitu
bahwa hukum adat adalah adat yang dihukumkan oleh yang berwajib di
dalam putusan-putusan mereka (Kusumadi Pudjosewojo, 1961,h.16).
1) Sifat hukum adat adalah tidak tertulis, dalam arti hukum adat bukan
merupakan hukum yang statutair (dikodifikasikan). Sedangkan apabila ada
ditemukan hal-hal yang tertulis maka itu lebih baik disebut sebagai hukum
yang tercatat atau dicatatkan (beschiven adatrecht) atau sebagai hukum yang
didokumentasikan (gedocumenteer adatrecht).
2) Karena sifatnya yang tidak tertulis itu maka hukum adat mempunyai
pula sifat yang mudah menyesuaikan diri atau hukum adat akan
mengalami perubahan karena perubahan pola berfikir dan mengikuti
perkembangan zaman. Sifat hukum adat seperti itu disebut pula dengan istilah
dinamis dan elastis. Atau dapat dikatakan perubahan itu terjadi karena
4
pengaruh-pengaruh tertentu dalam proses kehidupan masyarakat yang terjadi
tidak secara spontan (cepat).
3) Dilihat dari unsur-unsur hukum adat yang terdapat dalam pengertian hukum
adat berdasarkan hasil seminar hukum adat di Yogya, maka unsur-unsur itu
adalah unsur asli dan unsur agama. Jadi agama yang dianut oleh sesuatu
masyarakat akan mempengaruhi pelaksanaan dari hukum adat atau
prilaku dari masyarakat tersebut unsur asli atau unsur tradisional itu
adalah turun temurun.
Adapun latar belakang dari teori tersebut bahwa apabila suatu masyarakat
memeluk suatu agama maka hukum-hukum ataupun ajaran-ajarannya harus
mengikuti secara konsekwen dan setia. Contohnya : Apabila suatu masyarakat
memeluk agama Hindu maka adat istiadat dan hukum yang berlaku baginya
adalah adat istiadat dan hukum dari mana agama Hindu itu berasal.
Hukum Adat Lanjutan adalah hukum adat yang berlaku bagi orang
Indonesia yang beragama apapun dan dari suku apapun. Oleh karena agama akan
berpengaruh dalam sistem sosial dan budaya masing-masing suku bangsa di
5
Indonesia dan sangat kuat dan kental dalam pelaksanaan tradisi dan adat
istiadatnya. Kehidupan orang Indonesia sangat khas. Karena kehidupan
bermasyarakat dalam kesehariannya dilandasi oleh sosial kemasyarakatan dan
sosial keagamaan melalui kelompok-kelompok sosial religious, dan melalui
kelompok-kelompok social yang berdasarkan kerena adanya hubungan
genealogis atau hubungan darah maupun kelompok-kelompok social yang
berdasaran kesatuan tempat tinggal atau karena kesamaan teritorial.
Diskusikan dalam kelompok mengapa mahasiswa hukum perlu belajar atau perlu
mengetahui hukum adat lanjutan ? Padahal kita Bangsa Indonesia sudah
memasuki era globalisasi atau memasuki abad 21 ?
Penduduk Indonesia terdiri dari berbagai etnis baik yang beragama Hindu,
Islam, Kristen, Budha, atau yang lainnya. Karena penduduknya terdiri dari
beragam agama maka pengaruh agama dalam sistem sosial dan budaya Indonesia
sangat kuat, termasuk dalam pelaksanaan dari ajaran agama yang diakui di
Indonesia, karena itulah kemudian Indonesia diberi julukan Negara yang
Berbhineka Tunggal Ika Berbeda-beda tetapi satu dan keadaan seperti ini harus
diakui dan diterima.
Bahan diskusi :
Diskusikan dalam kelompok dimana letak hubungan antara agama dengan hukum
adat dan bagaimana penerapan Teori Receptio in Complexu dari Van den Berg di
Bali ?
Sumber hukum dapat di ibaratkan sebagai sumber air yaitu dari mana air
itu berasal. Jadi sumber hukum adalah tempat dimana hukum itu dapat ditemukan
6
serta apa yang mempengaruhi isi dari pada hukum tersebut. Sumber hukum ada
2 (dua) yaitu sumber hukum matriil dan sumber hukum formil :
Seperti diketahui, bahwa Hukum Adat itu terdiri dari unsur asli dan unsur
agama, maka sumber untuk menentukan Hukum Adat Lanjutan itu selain melalui
hukum-hukum agama dapat pula dilakukan melalui unsur aslinya yaitu pada adat
istiadat, kebiasaan atau tradisi yang telah lama hidup di dalam masyarakat
Indonesia seperti “masyarakat Batak, Bali, Jawa dll”. Untuk mendapatkan materi
ini haruslah terjun ke masyarakat melalui penelitian-penelitian, baik secara
observasi, wawancara, atau dengan menyebarkan angket maupun kuisioner. Di
samping dengan cara penelitian lapangan dapat pula dilakukan pencarian data
elalui sumber kepustakaan seperti membaca tulisan-tulisan para sarjana, baik yang
tercatat maupun yang didokumentasikan atau melalui peraturan-peraturan yang
merupakan keputusan raja-raja.
7
C. DASAR HUKUM, HUKUM ADAT LANJUTAN
8
itu sudah Out of date alias ketinggalan zaman dan harus segera ditinggalkan.
Karena kalau masih tetap berpegang teguh pada Hukum adat, berarti langkah
mundur dari gerak modernisasi, Hukum Adat akan banyak menghambat lajunya
gerak perkembangan nasional di Indonesia. Hukum Adat neburut pandangan
mereka hanyalah penting untuk bahan sejarah hukum saja. Harus disadari pula
bahwa berdasarkan fakta ruang lingkup kuasa Hukum Adat sepakin dibatasi
sebagai akibat tidak dapatnya lagi berperan dalam kehidupan yang modern dalam
pelaksanaan pembangunan, demikian pula Hukum Adat Lanjutan pada
khususnya ?
9
dan demi penyempurnaan pembinaan hukum nasional dalam rangka
pembaharuan hukum antara lain dengan mengadakan kodifikasi dan unifikasi
hukum di bidang-bidang tertentu dengan memperhatikan kesadaran hukum yang
berkembang dalam masyarakat, artinya bahwa dalam pembinaan hukum, azas-
azas pembinaan hukum nasional harus sesuai dengan haluan negara dan
berlandaskan pada Hukum Adat. Hukum Adat adalah merupakan salah satu
sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum
nasional melalui pembuatan peraturan perundang-undangan dengan tidak
mengabaikan timbul, tumbuh dan berkembang hukum kebiasaan dalam keadilan
dalam pembinaan hukum.
Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa istilah, atau nama apapun
yang dipakai seperti kesadaran hukum rakyat, hukum adat, hukum kebiasaan dan
lain sebagainya, maka azas-azas yang menjadi dasar dan landasan pembentukan
hukum nasional itu tiada lain adalah hukum adat atau adat istiadat yang ada di
Indonesia, dan sudah tentu termasuk pula Hukum Adat Lanjutan, yang
merupakan kukuban hukum yang termasuk kedalam lingkaran hukum, sesuai
dengan pembagian daerah di Indonesia yang dilakukan oleh Van Vollenhoven.
10
7. UU No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.
8. UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Bahan diskusi :
11
BAB II
HUKUM ADAT LANJUTAN TENTANG PEMERINTAHAN
12
hukum adat di Indonesia. Dengan demikian, perlu dipahami terlebih dahulu
pengertian dari masyarakat hukum adat pada umumnya.
Menurut Ter Haar dalam bukunya Beginseelen en stelsel van het adatrecht
Tahun 1939, yang dikutip oleh Soepomo : bahwa di seluruh kepulauan Indonesia
pada tingkatan rakyat jelata, terdapat pergaulan hidup di dalam golongan-
golongan yang bertingkah laku sebaga kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan
bhatin. Golongan-golongan itu mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal dan
orang-orang segolongan itu masing-masing mengalami kehidupannya dalam
golongan sebagi hal yang sewajarnya, hal menurut kodrat alam. Tidak ada
seorangpun dari mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan
pembubaran golongan itu. Golongan manusia tersebut mempunyai pengurus
sendiri, dan mempunyai harta benda milik keduniaan dan milik gaib. Golongan-
golongan demikianlah yang bersifat persekutuan hukum (Soepomo, 1979, h.50).
Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa masyarakat hukum itu sebagai
kelompok-kelompok teratur yang sifatnya ajeg dengan pemerintahan sendiri yang
sifatnya materiil maupun immatriil, berada dalam suatu pergaulan hidup yang
sama dengan kontinuitas hubungan dengan pola berulang tetap.
13
5. Tidak ada seorangpun dari anggota kelompok yang mempunyai
keinginan untuk melepaskan diri dari kelompoknya atau ingin
membubarkan kelompoknya.
14
mewujudkan kelompok tersebut sebagai persekutuan hukum atau masyarakat
hukum adat. Sebagai kriteria tambahan yang akan dapat membedakannya dengan
kelompok sosial yang lain yaitu berupa faktor-faktor pembentuknya yaitu :
1. Faktor Teritorial.
2. Faktor Genealogis.
Dari uraian diatas nampak bahwa masyarakat hukum adat terbentuk lebih
banyak didasarkan atas faktor teritorial. Hal ini karena ada kaitannya dengan sifat
hubungan hukum yang tampak dalam kelompok-kelompok tersebut, seperti sifat
“Patembayan” lebih menonjol dalam masyarakat hukum adat yang didasari oleh
15
faktor teritorial sedangkan sifat “paguyuban” lebih mendasari masyarakat hukum
yang bersifat genealogis (Djojodiguno, 1964, h.5).
Arti dari penjelasan diatas bahwa pendatang akan mempunyai hak dan
kewajiban yang berbeda dengan penduduk yang sejak awal nenek moyangnya
sudah bertempat tinggal di dalam daerah persekutuan tersebut, oleh karenanyalah
mereka pada umumnya mempunyai kedudukan lebih penting daripada penduduk
pendatang.
16
Bahan diskusi :
17
kediaman tadi merupakan bagian dari satu kesatuan yang lebih
besar yang mempunyai hak ulayat atas tanah-tanah yang ada
dalam persekutuan hukum tersebut. Contohnya : desa pakraman
di Bali.
3. Perserikatan dari beberapa desa yaitu gabungan dari beberapa
persekutuan desa yang letaknya saling berdekatan satu sama lain,
mengadakan permufakatan untuk saling bekerja sama
memelihara kepentingan-kepentingan yang sama atau tujuan yang
sama. Contohnya di Bali : kerja sama dibidang pengairan subak,
atau kegiatan lain disebut dengan sekaa-sekaa antara lain sekaa
manyi (menunai padi), sekaa gong, sekaa semal (tupai kelapa).
18
Menurut Koesnoe, secara tradisional masyarakat hukum adat
mempunyai fungsi-fungsi yang dapat dibedakan antara lain :
19
Kepala desa (lurah, petinggi) di Zaman dahulu ditunjuk dari orang-orang
yang menjadi keturunan pembuka desa (pendiri desa). Cara seperti ini sekarang
sudah ditinggalkan. Dalam menjalankan tugasnya sehari-hari didampingi oleh
sebagai contoh :
20
Desa Tenganan Pagringsingan, Karangasem Bali
Luanan;
Baha duluan;
Baha tebenan;
Penyalikan;
Saya arah;
Penyeluduhan.
LATIHAN :
21
BAB III
HUKUM PERORANGAN
22
B. SUBYEK HUKUM MENURUT HUKUM ADAT
Untuk menjawab pertanyaan ini perlu pula terlebih dahulu mengerti dan
memahami pengertian subyek hukum menurut hukum adat pada umumnya,
karena hukum adat lanjutan adalah merupakan bagian dari hukum adat pada
umumnya, yang pada dasarnya mempunyai pengertian yang sama.
23
ukuran yaitu kedewasaan atau mempergunakan ukuran menurut pandangan atau
pengakuan masyarakat hukum adat itu sendiri yaitu ciri-ciri tertentu dan menurut
beberapa sarjana berbeda :
Menurut Ter Haar : bahwa yang dianggap cakap hukum itu adalah
lelaki atau perempuan yang sudah kawin dan memisahkan diri dari rumah
tangga orang tuanya atau mertuanya dan mempelai tadi mempunyai rumah
tangga yang berdiri sendiri (Ter Haar, 1960, h.166-167).
Menurut hukum adat seperti telah dijelaskan diatas, bahwa semua orang
mempunyai hak yang sama yang sifatnya keperdataan tetapi hak-hak berkaitan
dengan masyarakat hukum adat apakah namanya desa, nagari, kampong, maupun
subak adalah tergantung pada status orang tersebut di dalam kelompok-kelompok
tersebut, karena hak-hak yang berhubungan dengan desa timbul atau diperoleh
24
seiring dengan diperolehnya status sebagai anggota dalam kelompok tersebut
setelah memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan.
Bahan diskusi :
25
Sebagai subyek hukum pribadi hukum atau badan hukum haruslah
mempunyai tujuan dan harta kekayaan sendiri terlepas dari harta kekayaan pribadi
dari para pelaksananya.
26
Perkumpulan ini dipimpin oleh Kelian Subak yang disebut “Pekaseh”,
mempunyai aturan-aturan tersendiri yaitu “awig-awig subak”, yang berisi aturan-
aturan pokok yang menetapkan hak dan kewajiban kerama subak (anggota),
mempunyai harta kekayaan sendiri sebagai milik bersama dari krama subak yang
bersangkutan dan juga mempunyai satu tempat persembahyangan atau tempat
pemujaan bersama yang disebut dengan “bedugul atau ulun sui”.
27
3. Pengakuan masyarakat hukum sebagai badan hukum secara tidak
langsung dilihat atau diketahui dari beberapa putusan Makamah Agung
antara lain : Putusan MA No.39 K/Sip/1956 tanggal 19 September
1956 yang pada intinya tentang peralihan hak desa atas sebidang tanah
desa yang dipegang oleh warga desa atas dasar pinjaman dapat
dialihkan kepada pihak ketiga apabila ada persetujuan dari desa di
daerah Lamongan.
Keputusan MA tersebut setelah keluarnya UUPA (Undang-Undang
Pokok Agraria) perlu dipertanyakan juga karena apakah UUPA
mengakui masyarakat hukum adat seperti desa, nagari dan lain-lain
sebagai badan hukum ?. Karena pada azasnya menurut UUPA badan
hukum tidak dapat mempunyai hak milik dan dalam Pasal 21 ayat 2
UUPA telah menentukan badan-badan hukum yang dapat mempunyai
hak milik. Berdasarkan ketentuan ini Pemerintah melalui Menteri
Agraria yaitu Peraturan Menteri No.2 Tahun 1960 yo No.5 Tahun
1960 yang isinya antara lain bahwa : desa, nagari, huta dan lain
sebagainya tidak tercantum atau tidak disebutkan sebagai badan
hukum yang boleh mempunyai hak milik. Selanjutnya bila
dihubungkan dengan Pasal II ayat 1 ketentuan-ketentuan tentang
Konversi yang menyebutkan bahwa hak-hak atas tanah yang memberi
wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam
Pasal 20 ayat 1 seperi yang disebutkan dengan nama dibawah ini yang
ada pada mulai berlakunya undang-undang ini yaitu : yasan, andarbeni,
hak atas druwe, hak atas druwe desa dan seterusnya, sejak berlaunya
undang-undang ini, menjadi hak milik seperti tersebut dalam Pasal 20
(1) dan seterusnya (Beni I Wayan, Cs, 1983, h.62).
28
Bahan diskusi :
29
BAB IV
Istilah hukum kekeluargaan diantara para sarjana hukum adat tidak ada
kesatuan istilah seperti Ter Haar memakai istilah hukum kesanak saudaraan,
Soerjono Soekanto memakai istilah Hukum Keluarga, sedangkan Djaren
Saragih maupun Soerojo Wignyodipuro memakai istilah Hukum
kekeluargaan. Untuk mengetahui lebih lanjut apa yang dimaksud dengan
Hukum Adat Kekeluargaan itu, perlu mencari beberapa pendapat sarjana. Secara
umum pengertian yang terkandung dalam hukum adat kekeluargaan itu antara
lain :
Akibat hukum yang timbul dari adanya hubungan biologis akan beraneka
ragam tergantung dari bentuk perkawinan yang dilakukan oleh pria dan wanita
atau orang tua mereka. Apabila hubungan biologis yang dilakukan oleh seorang
pria dan wanita tanpa dilakukan secara sah maka anak-anak yang lahir dari
hubungan tersebut akan menjadi anak tidak sah. Hal seperti ini akan menjadi
berbeda apabila hubungan biologis itu dilakukan secara saah maka anak-anak
yang dilahirpun akan menjadi anak-anak yang sah.
30
B. SISTEM KEKELUARGAAN DI INDONESIA
Adapun ketiga cara menarik garis keturunan itu di indonesia antara lain :
31
Perbedaan sistem kekeluargaan seperti tersebut diatas hanyalah berfungsi
untuk menunjukkan adanya suatu perbedaan kadar hubungan kekeluargaan antara
orang yang satu dengan orang yang lainnya yang ada antara kedua belah pihak
yaitu garis bapak dan garis ibu, tetapi antara hubungan kedua belah pihak itu tidak
terputus sama sekali.
Itu berarti keluarga dari pancar laki-laki lebih utama dari keluarga pancar
wanita kecuali keluarga dari pancar laki-laki sudah tidak ada lagi, barulah
keluarga dari pancar wanita mendapat perhatian baik mengenai penerimaan
warisan maupun pemeliharaan anak. Dalam masyarakat yang berhukum
kekeluargaan patrilinial pada umumnya terdapat cara perkawinan, dimana si
wanita sesudahnya kawin akan tinggal pada kelompok keluarga suami, demikian
pula si anak masuk golongan keluarga (clan) bapaknya. Sebagai corak kedua
dalam susunan kekeluargaan di Indonesia pada umumnya yang bersifat
“klasifikatoris”, artinya bahwa seluruh generasi dari bapak (dan ibu), seorang
anak dari beberapa hal mempunyai kedudukan yang sama dengan bapak serta
ibunya, tanpa memperhatikan umur yang bersangkutan (Gde Panetja, 1986, h.41).
Hal diatas adalah berkaitan dengan istilah menyapa dan menyebut atau
cara memanggil seseorang dalam keluarga baik keluarga dari bapak maupun dari
keluarga ibu tanpa memandang umur dari mereka yang disapa atau disebut
tersebut.
Bahan diskusi :
a. Apakah ada perbedaan kedudukan antara orang yang satu dengan orang
yang lainnya sebagai akibat adanya hubungan biologis atau karena
perbuatan hukum lainnya di Indonesia ?
32
b. Jelaskan perbedaan konsep dan akibat hukumnya antara patrilinial Batak
dengan patrilinial Bali ?
c. Jelaskan pengertian unilateral, bilateral, patrilinial beralih-alih !
C. KETURUNAN
33
SIFAT-SIFAT KETURUNAN
Menurut T.I.P. Astiti, dapat pula dilihat dari jauh dekatnya hubungan
tersebut, karena jauh dekatnya hubungan darah ini akan membawa akibat hukum
yang berbeda. Jadi harus dibedakan antara hubungan darah yang sangat dekat
dengan hubungan darah yang cukup dekat. Terhadap hubungan darah yang sangat
dekat mengakibatkan adanya larangan yang sangat mutlak bahwa diantara mereka
ada larangan perkawinan, seperti antara : bapak dengan anak atau antara kakek
dengan cucunya, atau antara saudara kandung.
34
Keturunan mempunyai arti penting karena :
JENIS-JENIS ANAK
Apabila yang dimaksud dengan keturunan ini adalah anak, maka dalam
masyarakat hukum adat pada umumnya akan dikenal macam-macam atau jenis-
jenis anak yaitu :
1. Anak sah, adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah orang
tuanya.
Yang dimaksud dalam kelompok anak yang demikian adalah :
a. Anak kandung.
b. Bukan anak kandung, meliputi : anak angkat, anak tiri dan anak
piara.
35
2. Anak tidak sah anak luar kawin (natuurlijk kind) atau anak alam,
yaitu anak yang dilahirkan dari hubungan perkawinan yang tidak
pernah disahkan. Sebagai konsekwensi dari kedudukan anak yang
demikian menurut hukum adat mereka hanya mempunyai hubungan
hukum dengan ibunya saja. Dalam UU No.1 Tahun 1974, anak tidak
sah hanya mempunyai hubungan keperdataan saja dengan ibu dan
keluarga ibu. Berbeda halnya dalam hukum barat, yang perlu
mendapatkan pengakuan terlebih dahulu dari ibu maupun laki-laki yang
mengawini ibunya. Anak luar kawin disebut dengan “anak bebinjat atau
anak haram”.
- Anak kandung adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah
dari orang tuanya.
- Anak angkat adalah anak orang lain yang lahir dari perkawinan
yang sah yang diangkat sebagai anak karena alasan-alasan dan
tujuan tertentu.
- Anak tiri adalah anak dari salah satu pihak baik dari suami
maupun istri yang dibawa kedalam perkawinan mereka.
- Anak piara adalah anak orang lain yang dipelihara oleh seseorang
karena orang tuanya tidak mampu memeliharanya dan status
anak yang demikian tetap ada pada orang tua kandungnya.
36
kewajiban memelihara, hak untuk dipelihara, wewenang untuk mengawinkan,
hubungan waris dan lain sebagainya.
37
nama keluarga bapaknya. Sebaliknya orang tua mengharapkan dari anak-
anaknya antara lain mengenai :
Hubungan antara anak dengan orang tua dapat putus dalam hal anak
dipecat sebagai anak karena dianggap durhaka terhadap orang tua. Akibatnya si
anak dapat tidak diberikan hak untuk mewaris.
38
Hubungan anak dengan leluhurnya yang dihitung lurus ke atas dapat
disebutkan dengan tingkatan-tingkatan sebagai berikut: 1. Anak, 2. Ayah, 3.
Kakek, 4. Buyut, 5... dst. Sedangkan hubungan kekeluargaan kesamping dapat
disebut dengan tingkatan-tingkatan seperti : 1. Sepupu dan sebutan lainnya.
Adanya hubungan kekeluargaan ini juga berperan untuk menentukan ada dan
tidaknya larangan perkawinan, seperti larangan perkawinan antara mereka yang
masih ada hubungan darah yang sangat dekat misalnya antara anak dengan
bibinya.
39
D. PENGANGATAN ANAK
40
Pengangkatan anak melalui dua tahapan seperti tersebut diatas. Dalam
pengangkatan anak selalu diadakan upacara keagamaan yang di Bali disebut
“upacara pemerasan”. Yang dimaksud dengan perbuatan magis religius
dalam pengangkatan anak ini adalah upacara tunai dalam hal penyerahan
anak disertai dengan penyerahan benda sebagai pengganti si anak kepada
orang tua si anak yang dilakukan pada saat itu juga sedangkan sifat terang
yang dimaksudkan disini adalah adanya kesaksian dari pengurus desa.
41
3. Sudah pernah atau masih ada dalam ikatan perkawinan bagi suami
istri yang akan mengangkat anak. Tetapi keadaan sekarang sudah
berubah dan lebih diutamakan adalah adanya hubungan batin antara
anak yang diangkat dengan orang tua angkatnya.
1. Belum dewasa;
2. Usianya lebih muda daripada yang mengangkat;
3. Diutamakan laki-laki.
42
Pengangkatan anak di Bali umum dikenal dengan sebutan “meras sentana
atau meras pianak” sehingga anak yang diangkat itu disebut dengan “sentana
peperasan”. Selain itu orang Bali sering pula mengangkat status anak
perempuannya menjadi berstatus laki-laki apabila hanya mempunyai anak
perempuan dengan sebutan “Putrika atau Sentana Rajeg”, dengan syarat harus
melakukan perkawinan “Keceburin”, yaitu perkawinan secara khusus dengan
cara mencari suami yang akan masuk kedalam kelompok keluarga istri
dengan status sebagai perempuan (predana) agar istrinya mempunyai
kedudukan yang sama dengan anak laki. Sentana seperti ini juga dinamakan
“Sentana Tarikan atau Sentana Nyeburin”.
Disamping itu masyarakat hukum adat Bali juga dikenal cara lain yaitu
mengangkat “Sentana Laki” yang kemudian dikawinkan terlebih dahulu dengan
anak perempuannya agar tidak terjadi delik adat, tetapi anak perempuannya tetap
berstatus perempuan, tetapi berbeda dengan “Sentana Rajeg” dan Sentana Laki
tersebut tetap pula berstatus laki-laki yang disebut dengan istilah “Sentana Silih
Dihi dan Sentana Kepala Dara”. Pengangkatan anak ini menjadi penting bagi
masyarakt hukum adat Bali terutama bagi keluarga yang tidak mempunyai anak
baik laki maupun perempuan. Pentingnya itu karena akan ada yang menggantikan
kedudukan terutama yang berkaitan dengan hak dan kewajiban orang tua angkat
baik kewajiban terhadap leluhur maupun masyarakat dimana mereka berada. Dan
bagi masyarakat hukumnya anak angkat tersebut akan menjadi warga desa baru.
Pengangkatan anak di Bali umum dilakukan terhadap orang-orang yang masih
berada dalam lingkungan satu leluhur (satu tempat persembahyangan) dan anak
angkat tersebut berkedudukan sebagai anak kandung sepanjang pengangkatan
anak itu sah menurut hukum adat Bali dan selanjutnya akan putus hubungan
hukum kekeluargaannya (terutama hak warisnya) dengan orang tua kandungnya.
43
anak-anaknya, sehingga bagi perempuan yang tidak memiliki anak tidak perlu
mengangkat anak. Namun kadang-kadang terdapat juga pengangkatan anak
apabila tidak ada sama sekali anak yang lahir disitu dengan maksud untuk
menghindari punahnya kerabat (famili) tersebut, dan anak yang diangkat adalah
anak perempuan.
Oleh karena itu anak angkat di Jawa mempunyai hak mewaris dari orang
tua kandungnya dan mempunyai hak tertentu pula dari orang tua angkatnya, maka
Djojodiguno menyatakan bahwa anak angkat di Jawa dikatakan “menerima air
dari dua sumber mata air” dengan catatan bahwa dalam pernikahan, bapak
angkat tidak dapat menjadi wali nikah dan dalam hal perkawinan terjadinya
44
larangan untuk kawin antara anak angkat dengan anak kandung bapak angkatnya
atau keturunan dari orang tua angkatnya (Soerojo Wignyodipuro, 1979, h.137).
LATIHAN :
Tugas mandiri (PR) : mahasiswa menjelaskan kedudukan anak diluar kawin baik
menurut hukum adat maupun menurut Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 (Undang-Undang Pokok-Pokok
Perkawinan).
45
BAB V
46
untuk membentuk keluarga yang bahagia sebagai suatu nilai yang
diharapkan dalam hidup.
b. Aspek agama, karena pelaksanaan pengesahan perkawinan senantiasa
dimulai dan seterusnya disertai dengan upacara-upacara lengkap dengan
(Bali : upakara berupa sesajen atau banten).
c. Aspek hukum, bahwa sahnya perkawinan ditentukan oleh hukum yang
berlaku di tiap negara atau masyarakat dimana perkawinan itu
dilangsungkan. Karena aspek hukum akan membawa akibat hukum
terhadap kedudukan istri, kedudukan anak-anak dan harta benda
perkawinan.
47
disebut pluralisme dibidang perkawinan. Ketentuan-ketentuan yang
berlaku pada saat itu adalah : KUH Perdata, Ordonansi Perkawinan
Indonesia Kristen (S.1933 -74), Peraturan Perkawinan Campuran (GHR :
S .1898 -158), Hukum Adat, Hukum Islam, Hukum Agama.
b) Setelah keluarnya UU No.1 Tahun 1974, yang diundangkan 2 Januari
1974 dan baru dapat berlaku efektif setelah keluarnya Peraturan
Pemerintah (PP) No.9 Tahun 1975, aturan tentang perkawinan diatur
secara nasional. Ini artinya bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan
perkawinan sepanjang telah diatur dalam undang-undang ini maka yang
berlaku adalah undang-undang ini dan peraturan yang lama tidak berlaku
lagi, karena undang-undang ini merupakan unifikasi dalam hukum
perkawinan (lebih lanjut baca Pasal 66 UU No.1 Tahun 1975). Di
Indonesia undang-undang ini terbentuk setelah melalui perbincangan
diberbagai perdebatan dan kesempatan yang juga bertujuan melindungi
hak-hak wanita dalam keluarga, maupun emansipasi wanita.
c) Kemudian dalam perkembangan selanjutnya untuk lebih efektifnya
undang-undang perkawinan ini berlaku dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara maka keluarlah Peraturan Pemerintah (PP) No.9 Tahun 1975
selanjutnya keluar lagi PP No.10 tahun 1983 dan kemudian PP ini direvisi
lagi dengan PP No.45 Tahun 1990 yang mengatur tentang Izin Perkawinan
dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. Dan untuk lebih
mengefektifkan undang-undang perkawinan ini kemudian keluar lagi
beberapa perauran perundangan lainnya seperti UU No.7 Tahun 1984
tentang Ratifikasi Konvensi Wanita Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita, UU No.23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), UU No.23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan lain-lain.
d) Dilihat dari sifat UU No.1 Tahun 1974, Hazairin menyebutkan dengan
“Unik dan Luas” :
- Unik artinya unifikasi tetapi dalam kenyataannya berlaku lagi
ketentuan-ketentuan lain yang dirujuk oleh undang-undang
perkawinan.
48
- Luas artinya bahwa dalam undang-undang perkawinan selain mengatur
perkawinan juga mengatur hal-hal yang lain seperti : masalah anak,
perceraian, harta benda perkawinan dan lan sebagainya. Demikian pula
dapat ditemukan dalam pasal-pasal seperti : Pasal 2 ayat (1), Pasal 6
ayat (6), Pasal 37 dan Pasal 66.
SISTEM PERKAWINAN
B. BENTUK-BENTUK PERKAWINAN
49
lebih bersifat keharusan atau magis dari pemberian. Karena jujur lebih
berfungsi sebagai pengganti kedudukan si gadis dalam keluarganya (karena
dengan keluarganya seseorang dari kelompok keluarganya dianggap
mengganggu keseimbangan magis, perlu ada benda pengganti untuk
menetralisir keadaan). Jenis-jenis perkawinan jujur :
a. Perkawinan mengabdi/nyalindung kagelung (bila jujur belum dibayar);
b. Perkawinan bertukar/berbesan rangkap (di Bali : mekedeng ngaad);
c. Perkawinan meneruskan (bila istri meninggal, suami kawin lagi dengan
saudara istri);
d. Perkawinan mengganti/perkawinan ganti tikar (bila suami meninggal,
janda dikawini oleh saudara suami);
e. Perkawinan pinjam jago, dll.
Cara ini pada umumnya dilakukan kedua mempelai sudah saling cinta
mencintai dan telah pula mendapatkan persetujuan dari orang tua kedua belah
pihak.
50
Oleh karena telah ada persetujuan dari kedua belah pihak maka
dilanjutkanlah dengan pelamaran diawali dari pihak laki-laki ke rumah pihak
perempuan. Dengan adanya kesepakatan ini lalu diberikanlah kepada pihak suatu
tanda yang disebut “Peningset” sebagai tanda bahwa si wanita sudah ada yang
melamar. Apabila tidak ada aral melintang dengan didasarkan pada hari baik dan
berdasarkan kesepakatan dilakukanlah penjemputan mempelai wanita lengkap
dengan membawa pakaian, sirih pinang dengan perlengkapan lainnya sesuai
dengan adat kebiasaan yang berlaku pada masing-masing suku di Indonesia. Dan
dari sini pulalah akan terlihat berbhinekanya adat istiadat yang ada di Indonesia.
Setelah upacara ini selesai lalu si wanita dibawa kerumah mempelai laki-laki
untuk disahkan perkawinan mereka. Pada umumnya proses pengesahan
perkawinan melalui peminangan ini berjalan sesuai dengan adat istiadat masing-
masing daerah yang ada di Indonesia.
Cara ini lazim dilakukan dengan cara kawin lari bersama-sama yang pada
umumnya antara kedua pasangan itu sudah ada hubungan cinta, dan tidak ada
unsur paksaan didalamnya, tetapi karena diantara mereka ada sesuatu halangan
yang memungkinkan perkawinan itu terancam batal, maka jalan lain yang dapat
ditempuh agar perkawinan itu tidak batal adalah dengan cara kawin lari bersama,
yang pada awalnya mereka membuat perjanjian yang matang tentang, hari, jam,
tempat mempelai wanita dijemput. Berdasarkan kesepakatan itulah mempelai
wanita dilarikan menuju kerumah mempelai laki-laki atau ketempat yang lain
sebagai tempat persembunyian kedua mempelai. Setelah pelarian ini berjalan
mulus barulah pihak laki-laki mengirim utusan kepada keluarga pihak wanita
untuk memberi tahukan bahwa anak gadisnya telah dilarikan untuk dikawini oleh
si A, misalnya : lengkap dengan identitas mempelai laki-laki maupun identitas
orang tua mempelai laki-laki. Utusan ini bertugas sebagai utusan dari mempela
laki-laki dan agar tidak mendapatkan halangan dari keluarga mempelai wanita.
51
3) Dengan Cara “Nyeburin”
Perkawinan dengan cara ini hanya dikenal pada masyarakat hukum adat
Bali yang umumnya dilakukan diantara keluarga karena orang tua calon
mempelai wanita yang tidak mempunyai anak laki-laki. Perkawinan dalam
bentuk ini berbeda dengan dua bentuk perkawinan diatas, karena dalam
perkawinan “nyeburin” segala proses perkawinan dimulai dari pihak wanita.
Uacara pelamaran maupun tempat pengesahan perkawinan mereka dilakukan di
rumah mempelai wanita.
Pada masyarakat hukum adat tidak ada ukuran yang pasti bagi seseorang
yang dianggap pantas untuk melangsungkan perkawinan, karena antara desa yang
satu dengan desa yang lainnya memakai kretiria yang berbeda. Sebelum
berlakunya UU No.1 Tahun 1974 kretiria yang dipakai adalah :
52
suara (perubahan biologis). (Tim Peneliti Fak. Hukum Unud,
1980/1981,h.51)
53
Disamping adanya perkawinan-perkawinan yang dilarang, ada juga
perkawinan yang dianggap idial bagi masyarakatnya seperti pada masyarakat
Minangkabaau, diharapkan laki-laki kawin dengan anak perempuan mamaknya
(anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya), di Batak, perkawinan yang
dianggap idial adalah anak laki kawin dengan anak perempuan saudara laki-laki
ibunya, di Jawa perkawinan yang idial adalah perkawinan antara dua orang yang
tidak terikat hubungan kekeluargaan. Disana diperbolehkan adanya perkawinan
“Karang Wulu” yang artinya perkawinan oleh seorang duda dengan seorang
wanita adik dari almarhum istrinya.
54
menurut undang-undang perkawinan (Pasal 2 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974)
maupun menurut hukum adat.
Baik perkawinan itu dilakukan dengan cara meminang atau, dengan cara
lari bersama ataupun dengan cara “nyeburin pada masyarakat hukum adat Bali”
puncaknya atau pada akhirnya akan melakukan upacara pengesahannya yang pada
pokoknya terdiri dari 3 (tiga) tahap yaitu : Upacara penerimaan di rumah
mempelai wanita, Upacara perjalanan ke rumah mempelai laki-laki dan Upacara
pengesahan pada statusnya yang baru, di rumah mempelai laki-laki.
LARANGAN-LARANGAN PERKAWINAN.
55
hanya dikenal larangan perkawinan karena ikatan kekeluargaan yang terdekat,
seperti keturunan garis lurus keatas atau kebawah, contoh masyarakat Jawa.
56
DISKUSIKAN :
Alasan-alasan perceraian
a. Istri berzinah;
b. Istri mandul;
57
c. Suami impoten;
d. Suami meninggalkan istri sangat lama atau istri bertingkah laku tidak
baik;
e. Kerukunan rumah tangga tidak dapat dipertahankan lagi;
f. Campur tangan pihak mertua atau orang tua daram urusan rumah
tangga anak-anaknya;
g. Istri tidak mau dimadu (poligami);
h. Karena adanya suatu penyakit;
i. Penganiayaan oleh suami, dan lain sebagainya ( T.I.P. Astiti, Cs, 1984,
h.44).
a. Salah satu pihak berbuat zina, pemabok, pemadat, penjudi, dan lain-
lain.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut
tanpa ijin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau hal lain diluar
kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkwinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak yang lain. (KDRT).
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami
atau istri.
f. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak lagi ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.
58
hukum adat. Sehingga apabila ada anggota masyarakat adat yang akan bercerai
maka alasan-alasan yang bisa dijadikan dasar perceraian hanyalah alasan yang
telah disebutkan dalam undang-undang perkawinan ini.
Sahnya Perceraian
Jadi bagi masyarakat yang ingin bercerai, maka haruslah terlebih dahulu
memperoleh Putusan Pengadilan, dan putusan perceraian itu juga harus
dicatatkan di Kantor Catatan Sipil dan selanjutnya barulah atas dasar putusan
pengadilan itulah diumumkan di desa atau di RT/RW atau Kelurahan. Hanya
dengan proses itulah perceraian saat ini dapat dikatakan sah menurut UU No.1
tahun 1974.
Menurut hukum adat, wanita yang sudah bercerai akan kembali lagi
kerumah orang tuanya, dan berkedudukan kembali seperti sebelum dia kawin
yang disebut dengan “Janda” yang hanya mempunyai hak menikmati harta
59
kekayaan orang tuanya. Sedangkan menurut UU No.1 tahun 1974, akibat hukum
yang timbul dari perceraian itu terhadap anak diatur dalam Pasal 41 nya, sebagai
berikut :
Selain UU No.1 Tahun 1974 mengatur tentang siapa yang lebih berhak
mengatur, mengurus dan memelihara anak-anak yang telah lahir dalam
perkawinan mereka setelah perceraian, maka undang-undang juga mengatur
tentang harta bersama mereka setelah perceraian, seperti diatur dalam Pasal 37
mengenai :
LATIHAN :
60
c. Jelaskan bagaimanakah kedudukan hukum dari anak yang lahir dalam
perkawinan biasa dan dari perkawinan lari bersama setelah orang tua
mereka bercerai ?
61
BAB VI
PENGERTIAN PEWARISAN
Dari beberapa pengertian hukum adat waris seperti tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa hukum adat waris itu meliputi :
62
3. Harta warisan yang dioperkan atau diteruskan tersebut dapat berupa
harta yang berwujud (matriil) dan harta tidak berwujud (immatriil).
4. Penerusan atau pengoperan itu berlangsung dari satu generasi kepada
generasi berikutnya.
Ketentuan hukum adat waris seperti ini menunjukkan corak khas bagi
aliran pikiran tradisional Indonesia yang bersendi pada prinsip-prinsip komunal
dan konkrit (Soepomo, 1967, h.72).
Dengan demikian dalam hukum adat waris, tidak terlepas pula dari
prinsip-prinsip komunal dan konkrit seperti tersebut diatas, ditambah dengan
prinsip religio magis (keagamaan) yang sangat besar pengaruhnya kepada proses
penerusan dan pengoperan dalam pewarisan tersebut.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Hazairin bahwa
menyatukan adat dan agama (Hindu) di Bali secara umum merupakan perpaduan
yang rampung pada masyarakat Hindu di Bali (Hazairin, 1968, h.24).
Corak maupun ciri yang khas pada sistem kekeluargaan patrilinial Bali
(purusa) memberikan tempat pada anak laki-laki sebagai “Puthra” yang akan
dapat membebaskan arwah leluhur dari penderitaan di dunia akhirat. Jadi sistem
kekeluargaan patrilinial di Bali yang memperhitungkan keanggotaan kerabat
berdasarkan garis laki-laki mendapat daya dukung yang kuat dari pandangan
agama Hindu yang menegaskan pentingnya anak (keturunan) laki-laki bagi
kebahagiaan suatu keluarga di dunia dan di akhirat. Artinya : Arti pentingnya
anak (keturunan) laki-laki tidak hanya dilihat dari segi kepercayaan agama tetapi
juga dapat meneruskan pemenuhan dan pelaksanaan hak dan kewajiban
kemasyarakatan dalam desa pakraman.
63
UNSUR-UNSUR PEWARISAN
Agar pewarisan atau proses penerusan dan pengoperan harta warisan dapat
berlangsung maka harus memenuhi unsur-unsur pewarisan yang meliputi 3 (tiga)
unsur yaitu :
Seperti halnya dalam hukum adat waris pada umumnya, bahwa untuk
menentukan siapa yang dapat berkedudukan sebagai pewaris, maupun ahli waris
pertama-tama haruslah dilihat dari sistem kekeluargaan yang dianut oleh yang
bersangkutan, sebelum mengetahui ketentuan yang lain-lainnya. Oleh karena
sesuatu masyarakat hukum adat menganut sistem kekeluargaan patrilinial, maka
yang berkedudukan sebagai ahli waris utama adalah anak laki-laki, sehingga
dengan sendirinya anak laki-laki itulah juga yang akan berkedudukan sebagai
pewaris.
Ahli waris digaris menurun pada prinsipnya anak. Anak dapat mempunyai
pengertian yang bermacam-macam yang masing-masing mempunyai kedudukan
yang berbeda-beda terhadap harta peninggalan seorang. Selain anak sebagai ahli
waris, maka perlu juga dibicarakan kedudukan janda dan duda terhadap harta
64
warisan, karena janda dan duda disini sebenarnya tidak dalam ikatan pertalian
darah dengan pewaris.
Walaupun anak wanita ditegaskan tidak sebagai ahli waris, tetapi dalam
kenyataannya anak wanita tetap dapat menikmati harta kekayaan orang tua
65
mereka selama ia belum kawin. Apabila anak wanita telah kawin dan keluar dari
lingkungan orang tuanya secara mewaris ia tidak dapat tetapi orang tuanya akan
memberikan bekal hidupna seperti di Bali : ada (pengupa jiwa) yang disebut
dengan bekal yaitu berupa : “jiwadana” ataupun “ketipatan dan atau tetadtadan”.
Untuk mengetahui bagaimana sebenarnya kedudukan wanita dalam hukum adat
waris Bali, lebih lanjut perlu diketahui terlebih dahulu kedudukan wanita
terseebut dalam keluarganya apakah ia berkedudukan sebagai anak saja, sebagai
istri atau janda (dalam perkawinan biasa atau dalam perkawinan nyeburin) sebagai
“sentana rajeg”, atau sebagai wanita yang “mulih dehe”, karena perbedaan
kedudukan maupun status akan mempengaruhi terhadap kedudukannya sebagai
ahli waris (Sagung Ngurah, 1992).
Selain dikenal anak kandung dan anak angkat, dalam hukum adat juga
dikenal anak yang lain yaitu :
Anak tiri yaitu anak yang dibawa oleh salah satu pihak kedalam perkawinan
mereka yang baru. Anak ini bukanlah ahli waris dari orang tua tirinya tetapi
tetap dari orang tua kandungnya saja.
66
Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak
pernah disahkan, yang dalam hukum adat Bali ada dua jenis.
2.1. Anak bebinjat, adalah anak yang tidak dikethui siapa bapak dari
anak tersebut. Dalam asal 43 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974
ditentukan bahwa anak yang demikian hanya mempunyai
hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibu. Tetapi dalam
hubungan waris ia hanya mewarisi ibunya saja.
2.2. Anak astra, adalah anak yang lahir dari perkawinan orang tuanya
yang tidak pernah disahkan tetapi dapat diketahui siapa bapak dari
anak tersebut. Dalam hukum waris maupun hukum keluarga ia
adalah tetap keluarga ahli waris ibunya. Hanya saja kadang-kadang
ayah biologisnya memberikan pula biaya-biaya hidup anak tersebut
tetapi tidak sebagai ahli waris ayah biologisnya. Demikian pula
sebaliknya si anak hanya mempunyai kewajiban moral terhadap
ayah biologisnya tetapi tidak tehadap kewajiban hukum.
67
perkawinan yang disebut “harta bawaan”. Pada umumnya harta ini
nantinya akan menjadi harta warisan bagi keturunannya. Tetapi kalau
pasangan ini tidak memiliki keturunan, atau terjadi perceraian maka harta
tersebut akan kembali kepada pemiliknya.
Harta perkawinan atau harta bersama adalah harta yang diperoleh selama
atau dalam perkawinan, baik harta tersebut diperoleh istri sendiri, suami sendiri
atau suami istri bersama-sama. Di Bali harta semacam ini disebut dengan istilah
“harta guna kaya atau druwe gabro”, di Jawa disebut dengan “harta gono gini”.
Dan terhadap harta ini, apabila terjadi perceraian sesuai dengan ketentuan undang-
undang perkawinan diatur menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya.
68
2. Unsur kedua menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai dimana
harus ada tali kekeluargaan antara peninggal warisan dengan ahli waris.
3. Unsur ketiga menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai dimana
wujud kekayaan yang beralih itu, dipengaruhi oleh sifat lingkungan
kekeluargaan dimana si peninggal warisan dan ahli waris bersama-sama
berada (Wirjono Prodjodikoro, 1978, h.9).
Apabila diteliti lebih seksama, maka secara prinsip dapat diketahui bahwa
hukum adat waris adalah mengikuti pula prinsip-prinsip pewarisan yang berlaku
pada masyarakat kekhususan-kekhususan yang harus diperhatikan, seperti sistem
kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan karena hukum adat
waris seperti halnya Bali yang dalam hukum kekeluargaannya dilandasi oleh
hukum agama Hindu, maka dalam hukum warispun dilandasi oleh hukum agama
Hindu.
69
C. SISTEM PEWARISAN DALAM HUKUM ADAT WARIS
70
D. SYARAT-SYARAT DAN PROSES PEWARISAN
Menurut hukum adat pada prisnsipnya harta warisan beralih dari pewaris
kepada ahli warisnya. Ahli waris yang dimaksudkan itu adalah sesuai menurut
asas yang berlaku dalam sistem kekeluargaan yang dianut. Apabila telah
memenuhi syarat-syarat antara lain :
a. Ahli waris harus mempunyai hubungan darah dengan pewaris, baik itu karena
ahli waris merupakan keturunannya atau karena berdasarkan undang-undang
atau ketentuan lain.
b. Anak itu harus laki-laki (bila dalam sistem kekeluargaan patrilinial).
c. Bila tidak ada anak barulah jatuh kepada anak yang bukan sedarah, yang
karena hukum ia berhak menjadi ahli waris, misalnya anak angkat.
d. Bila tidak ada anak dan juga tidak ada anak angkat, dimungkinkan adanya
penggantian melalui penggantinya atau kelompok ahli waaris dengan hak
keutamaan kepada kelompok dengan hak pengganti lainnya yang memenuhi
syarat (Gde Puja, 1977, h.91).
Oleh karena secara nasional belum ada unifikasi dibudang hukum waris,
maka ketentuan-ketentuan mengenai pewarisan samapi saat ini masih berlaku
ketentuan yang lama, sama seperti halnya untuk menentukan syarat-syarat
sebagai ahli waris seperti tersebut diatas.
Proses Pewarisan
71
Sedangkan menurut ketentuan yang umum berlaku pada masyarakat
hukum adat terdapat juga penetapan harta kekayaan semasa pewaris masih hidup
yang dapat berupa :
Pemberian harta kekayaan pada waktu pewaris masih hidup, tidak dengan
sendirinya merupakan pengalihan harta warisan. Penerusan dan pengoperan ini
tergantung pada kesepakatan ahli waris, dan kadang-kadang harta warisan tersebut
akan dibiarkan tidak terbagi.
LATIHAN :
a. Jelaskan apakah orang yang tidak ada hubungan darah dapat berkedudukan
sebagai ahli waris ? dan bagaimana dengan kedudukan janda dan duda ?
b. Jelaskan perbedaan pengertian antara hibah, hibah wasiat, bekel dan warisan
?
c. Jelaskan mengapa pewarisan terhadap anak wanita di Bali dikatakan terbatas
dan bersyarat ?
72
BAB VII
1. Hak atas benda, yang dibahas disini adalah hak atas tanah (hak perorangan
dan hak ulayat) dan hak yang bersangkut paut dengan tanah 9meliputi : hak
atas rumah, tumbuh-tumbuhan, ternah, dll).
2. Hak-hak immatriil yang meliputi pengertian dan macam-macam hal
immatriil.
3. Transaksi-transaksi, meliputi transaksi tanah dan transaksi yang bersangkut
paut dengan tanah.
4. Hukum perhutangan meliputi pengertian dan macam-macam hukum
perhutangan, hukum perjanjian lainnya.
Hak atas tanah yang meliputi hak perseorangan dan hak ulayat (hak
persekutuan atau masyarakat hukum) telah berubah dengan dikeluarkannya UU
73
No.5 Tahun 1960 Undang-Undang Pokok Agraria yang merupakan unifikasi
hukum pertanahan yang ada di Indonesia.
1. Karena sifatnya :
2. Karena fakta :
74
tempat mereka tinggal, dan tanah merupakan tempat yang memberikan
penghidupan kepada mereka.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Iman Sudiyat, bahwa sebagai salah
satu unsur essensiil pembentuk negara, tanah memegang peran vital dalam
kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara tersebut, lebih-lebih corak
agrarisnya menominasi. Di negara yang rakyatnya berhasrat melaksanakan
demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat merupakan suatu “conditio sine qua non” (Iman sudiyat,
1978, h.1).
Hak persekutuan atas tanah seperti yang dijelaskan diatas disebut dengan
“Hak Ulayat” antara hak ulayat dengan hak perseorangan atas tanah terdapat asas
yang disebut dengan “asas mulur mungkret atau mengembang mengempis”,
artinya dimana hak perseorangan kuat maka berarti hak ulayat atas tanah di daerah
tersebut menjadi melamah atau berkurang. Demikian sebaliknya dimana hak
perseorangan melemah maka berarti hak ulayat di daerah tersebut menjadi kuat.
75
HAK ULAYAT
Jadi hak ulayat adalah hubungan antara masyarakat hukum dengan tanah,
melahirkan suatu hak dari masyarakat hukum terhadap tanah-tanah yang ada di
dalam batas-batas lingkungannya.
Sedangkan yang menjadi obyek dari hak ulayat antara lain adalah
meliputi: tanah (daratan), air (perairan seperti kali, danau, pantai beserta
perairannya), tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar (pohon buah-buahan,
pohon untuk kayu pertukangan, kayu bakar) dan binatang yang hidup liar.
Hak ulayat yang dimiliki oleh masyarakat hukum dengan obyek seperti
tersebut diatas, maka masyarakat hukum di dalam menerapkan hak ulayat
76
dilakukan dengan cara menikmati atau memungut hasil tanah, hewan maupun
tumbuh-tumbuhan. Disamping itu, masyarakat hukum berdasarkan wewenangnya
membatasi kebebasan warga masyarakatnya untuk memungut hasil tersebut.
77
dikuasai oleh masyarakat hukum adat Bali seperti desa pakraman
menguasai tanah ayahan desa (AYDS) atau tanah pekarangan desa
(PKD).
Bahan Diskusi :
Seperti telah diuraikan diatas bahwa tanah bagi masyarakat hukum adat
pada umumnya merupakan hal yang sangat penting, oleh karena tanah merupakan
tempat tinggal, tempat hidup dan kehidupannya, tempat “roh” para leluhurnya
yang dikebumikan dan disemayamkan oleh anggota masyarakat hukum adat yang
bersangkutan, dengan demikian dapat dikatakan bahwa antara tanah dengan
masyarakat hukum mempunyai hubungan yang sangat erat sekali.
Hubungan yang demikian itu pula akan melahirkan suatu hak dari
masyarakat hukum adat terhadap tanah-tanah yang ada di dalam batas lingkungan
wilayahnya, yang oleh Van Dijk dikatakan bahwa hak ulayat ataupun disebut
dengan “hak prabumian” di Bali adalah berakibat kedalam dan keluar (selanjutnya
baca : I Wayan Beni, Cs, 1983, h.4 dan Wayan P Windia dan I Ketut Sudantra,
2006, h.127-128).
Yang dimaksud dengan hak ulayat yang berlaku kedalam adalah anggota
masyarakat hukum adat diperbolehkan untuk menikmati tanah dengan segala
isinya yang menimbulkan adanya hubungan antara hak ulayat dengan hak
perseorangan atas tanah yang lama kelamaan menjadi kuat, dan akhirnya
melahirkan hak milik atas tanah dari anggota masyarakat hukum adat.
78
perseorangan atas tanah menjadi lemah atau sebaliknya. Contohnya di Desa
Tenganan Pengingsingan.
Sedangkan yang dimaksud dengan hak ulayat yang berlaku keluar adalah
larangan-larangan terhadap orang luar yang tidak menjadi anggota masyarakat
hukum adat kecuali atas seijin desa setelah membayar uang pengakuan atau mesi
atau recognitie ( di Bali disebut dengan batu-batu atau penanjung batu).
79
tanah-tanah yang tunduk pada hukum (agraria) adat adalah termasuk tanah adat
yang ada di Bali (Selanjutnya baca : I Made Suasthawa D, 1987, h.21-22).
80
Pakraman terutama Pasal 9, yang pada pokoknya mengatur tentang pengakuan
terhadap eksistensi tanah desa pakraman.
Hak-hak atas tanah selain tanah meliputi : hak atas rumah, hak atas
tanaman atau tumbuh-tumbuhan, hak atas ternak dan hak atas barang atau benda-
benda lain. Hak-hak ini menurut Van Dijk adalah merupakan “HAK MILIK
BEBAS”, artinya bahwa hak perseorangan atas barang-barang selain tanah tidak
dikuasai dan dibatasi oleh hak pertuanan atau hak masyarakat hukum (Van Dijk,
1971, h.55).
Hal inilah yang merupakan yang prinsip dengan hak-hak atas tanah,
dimana hak-hak atas tanah terikat kepada hak pertuanan (hak ulayat), sedangkan
hak atas benda selain tanah dikuasai oleh hak ulayat. Meskipun dikatakan bahwa
hak-hak atas benda selain tanah bersifat hak milik bebas, dalam arti tidak dikuasai
dan dibatasi oleh hak ulayat, namun di beberapa daerah atau masyarakat hukum
terdapat beberapa kecualian seperti di Tenganan Pegringsingan Bali, terhadap
tanah milik warga persekutuan seperti (ternak/babi hutan, tumbuh-tumbuhan)
berlaku sepenuhnya hak persekutuan. Hak atas rumah, tumbuh-tumbuhan atau
tanaman dalam hukum adat terdapat sistem : bahwa tanah disatu pihak dan
barang-barang lainnya dilain pihak. Dan sistem ini oleh Ter Haar dinyatakan :
bahwa hak milik atas rumah dan atas tumbuh-tumbuhan tertanam adalah pada
azasnya terpisah dari hak atas tanah dimana benda-benda itu berada (Ter Haar,
1960, h.117). dan pemisahan ini dikenal dengan istilah : “HORIZONTALE
SCHEIDING atau azas pemisahan secara horizontal (Teng Tjiang Leng, 1974,
h.20). ini berarti bahwa tanah secara yuridis harus dipandang terlepas dari
bangunan-bangunan atau tanaman diatasnya. Dengan dikenalnya prinsip ini, maka
dimungkinkan : bahwa pemilik tanah dengan benda-benda diatasnya adalah sama
orangnya. Atau pemilik tanah dan benda-benda diatasnya adalah berbeda
orangnya.
81
Sebagai konsekwensi dari asas tersebut diatas maka tanaman diatas tanah
dapat dijual secara terpisah bahkan juga dalam hal pemilik tanah dan pemilik
bangunan diatasnya adalah sama.
HAK-AK IMMATRIIL
Yang dimaksudkan hak-hak immatriil dalam hukum adat, adalah hak atas
hal-hal yang tidak dapat dilihat atau diraba. Di zaman sekarang hak-hak semacam
ini sudah dimasukkan kedalam mata kuliah HAKI.
Yang termasuk kedalam hukum hak-hak immatriil yaitu “hak atas merek, hak
cipta. Dan kedua jenis hak ini kemudian dapat dipatenkan.
Dalam hukum adat, yang juga dapat dimasukkan kedalam kelompok hak-hak
immatriil adalah : Gelar, yang merupakan kedudukan tertentu dalam masyarakat,
sedangkan merek, logo adalah merupakan hasil ciptaan seperti :
82
1. Hiasan pada kain terdapat pada kain songket, endek dan masing-masing
daerah mempunyai ciri khasnya sendiri-sendiri seperti : songket
Minangkabau, Bali (Tenganan), Timor, dll.
2. Hiasan pada perahu misalnya perahu pinisi dari daerah Bugis, Sulawesi
Selatan.
3. Gelar : masing-masing daerah juga mempunyai ciri khas dalam pemakaian
gelar, yang merupakan kedudukan tertentu yang dimiliki oleh seseorang
dalam masyarakat, sebagai ciri atau tanda bahwa dalam masyarakat
tersebut ada stratifikasi social. Contoh : Bali (ada kasta), Jawa (ada
sebutan Raden, Hamengku, Paku, Sultan), di tempat-tempat lain ada
sebutan, Datuk Tengku, Teuku. Gelar erat kaitannya dengan kedudukan
seseorang dalam masyarakat, sehingga tidak sembarang bisa diwariskan,
hanya orang-orang tertentu yang bisa menerimanya.
TRANSAKSI-TRANSAKSI TANAH
Transaksi-transaksi tanah.
Ad.1. Transaksi atau perbuatan hukum atas tanah ini adalah perbuatan
hukum dimana tanah sebagai obyek transaksi. Pemindahan hak atas tanah ini
merupakan suatu perbuatan hukum yang menimbulkan pemindahan hak dan
kewajiban yang sifatnya tetap atau sementara.ntuk dari perbuatan hukum atas
tanah ini menurut hukum adat terdiri dari :
- Jual lepas, menurut UUPA, adalah merupakan jual beli yang sudah bersifat
tetap dan saat ini lebih banyak mengikuti ketentuan-ketentuan dalam UUPA.
83
- Jual gadai, menurut UUPA, adalah merupakan hak yang bersifat sementara,
karena perpindahan hak atas tanah dengan pembayaran sejumlah uang yang
dibayar dengan tunai dan orang yang memindahkan hak atas tanah tersebut
(yang menggadaikan) dapat memperoleh kembali tanah itu, jika ia membayar
kembali kepada yang mendapatkan tanah itu, uang sebanyak yang telah
diterimanya dahulu (Van Dijk, 1971, h.51).
Dari pengertian diatas maka dapat ditarik unsur-unsur yang terdapat dalam
jual gadai yaitu, perpindahan (hak menguasai yang sifatnya sementara dan
penyerahan atau penerimaan hak atas tanah tidak dengan cara dicicil, tetapi
dengan cara tunai dan ada hak untuk menebus kembali tanahnya.
- Jual tahunan, menurut UUPA adalah juga merupakan hak yang bersifat
sementara. Karena perpindahan hak atas tanah dari si pemilik tanah dalam
jangka waktu tertentu kepada pemilik uang dan tanah tersebut akan kembali
sesudah jangka waktu tertentu tersebut tiba.
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam jual tahunan adalah : perpindahan
tanah, jangka waktu tertentu (tidak diatur dengan tegas tetapi tergantung
kesepakatan para pihak), dengan pembayaran sejumlah uang tunai dan tanah
akan kembali dengan sendirinya jika jangka waktu telah berakhir (tanpa perlu
dengan tindakan penebusan).
Ad.2. Transaksi atau perbuatan hukum yang bersangkut paut dengan tanah
Didalam perbuatan hukum yang bersangkut paut dengan tanah, obyek dari
perbuatan hukum ini bukanlah tanah. Namun tanah tersangkut didalam hukum ini.
Pokok dari perbuatan ini adalah “Perjanjian”.
84
sesuai dengan kesepakatan. Pembagian hasil tergantung jenis tanaman.
Contoh untuk padi 1:1 (dibagi dua), untuk palawija 1:2. Dengan keluarnya
UUPA model perjanjian belah pinang ini ditingkatkan kedalam UU No.2
Tahun 1960 dengan sebutan UU Bagi Hasil, dengan bentuk dan sistem
yang berbeda dengan menurut hukum adat (Lihat UU No.2 Tahun 1960).
2. Menyewa tanah, artinya adalah suatu perjanjian dalam mana pemilik tanah
mengizinkan orang lain untuk mengolah, menanami atau memungut hasil
dari tanah itu dengan pembayaran sejumlah uang. Dengan beberapa
persyaratan seperti : tanahnya tanah pertanian, perjanjian secara lisan,
jangka waktu minimal satu kali panen, tidak dapat dipindahkan kepada
pihak ketiga, kecuali tidak mampu tetapi seizin pemilik tanah. Pemilik
tidak diperkenankan membatalkan sewa sebelum jatuh tempo. Bila ia
menginginkan tanahnya kembali sebelum jatuh tempo ia harus membayar
uang sewa.
3. Memakai tanah sebagai jaminan, yaitu perjanjian yang terjadi bilamana
seseorang meminjam uang dengan tanah sebagai jaminan. Jadi perjanjian
pokoknya adalah hutang piutang dan tanah hanya sebagai jaminan, dengan
dasar kepercayaan, karena tanah sebagai jaminan tidak beralih ketangan
pemberi uang. Batas waktu perjanjian tergantung pada pihak-pihak yang
bersangkutan. Dan berakhirnya perjanjian ini bilamana utang telah
dibayar. Oleh karena inti pokok dari perjanjian adalah uang, maka tanah
sebagai jaminan tidak banyak mempunyai pengaruh didalamnya, misalnya
musnah maka perjanjian tetap berlangsung.
D. HUKUM PERHUTANGAN
85
Ad.1. Bentuk-Bentuk dari Perjanjian
86
- Perjanjian pemeliharaan hewan/ternak/gaduh ternak/deelwining. Perjanjian
ini berupa pemberian hewan atau ternak kepada pihak lain untuk dipelihara
atau ditingkatkan nilai dari hewan/ternak tersebut, untuk selanjutnya dibagi
hasilnya. Istilahnya yang umum dikenal di Bali adalah “mekadasang”. Dan
aturan-aturan yang diterapkan dalam perjanjian ini dalam kenyataannya
berbeda-beda, tergantung jenis hewan atau ternaknya dan juga sesuai dengan
kesepakatan bersama para pihak yang membuat perjanjian, apakah dibagi
anaknya kalau beranak atau kalau di jual uangnya di bagi setelah dikurangi
biaya untuk pembelian bibit ternak atau mungkin biaya-biaya yang lain. (Beni
I Wayan Cs : 1983 : 45 – 49). Perjanjian gaduh ternak atau di Bali disebut
dengan “mekadasang” itu dalam PERDA No. 4 Tahun 1974 telah
dimodifikasi dengan istilah “PIR yaitu Pola Inti Rakyat”, yang sifatnya
memberikan pembinaan pada petani peternak yang terbentuk dalam “TRI
TEMU, yaitu : Inti “perusahaan atau pemilik modal, Plasma = peternak dan
Dinas Peternakan = pembina). Jadi PERDA No. 4 Tahun 1974 mengatur
tentang Kadas Mengadas Ternak.
87
Kegiatan tolong-menolong ini dapat terjadi dalam hal yang menyangkut
kegiatan orang perorangan yang bersifat fisik (membuat rumah, menanam padi)
atau yang bersifat non fisik atau bersifat keagamaan dan yang berkaitan dengan
suka dan duka.
Perbuatan tolong-menolong ini nampaknya masih dikenal dan
dilaksanakan sampai saai ini, walaupun tidak semua kegiatan dilakukan dengan
sistem ini, mengingat terbatasnya waktu dan dana yang harus dikeluarkan oleh
masing-masing pihak.
Disamping itu juga tergantung dari besar kecilnya atau tinggi rendahnya
tingkatan suatu upacara yang akan diambil. Jadi dalam tolong-menolong
tergantung keterikatan secara tidak langsung antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
Sedangkan dalam pengertian gotong royong lebih mengarah kepada
pembangunan fisik misalnya : membangun rumah, membuat jalan desa,
membangun balai desa dan lain sebagainya. Konsep gotong royong erat
kaitannya dengan kehidupan rakyat kecil, maupun kehidupan dalam masyarakat
pedesaan. Jadi gotong royong adalah merupakan sistem pengerahan tenaga yang
tidak hanya terjadi dilingkungan keluarga tetapi dapat pula terjadi dengan orang
lain diluar lingkungan keluarga.
Kompensasi lain dari sistem gotong royong ini tidak ada, yang ada hanya
unsur pengembalian bantuan. Dalam perkembangan selanjutnya sistem gotong
royong dianggap kurang praktis, karena kalau ada uang semuanya dapat dianggap
beres alias selesai (Koentjaraningrat, 1982, h.62-67).
Adapun tanda pengikat itu biasanya dapat berupa uang, yang disebut
dengan “panjer”. Dengan telah diterimanya tanda ikatan tersebut baik bagi
penerima maupun pemberi sama-sama terikat dengan persetujuan yang telah
88
mereka buat atau sepakati. Jadi bentuk perbuatan perikatan lainnya adalah berupa
“panjer”.
a. Sebagai bukti atau tanda yang kelihatan bahwa antara pihak-pihak yang
bersangkutan telah terjadi suatu perjanjian jual beli.
b. Sebagai pengikat bagi kedua belah pihak yang diharapkan dalam waktu
dekat setelah itu akan segera melaksanakan transaksi jual beli yang
dimaksud.
89
mengembalikan panjer itu ditambah dengan membayar lagi (sebagai denda)
sebesar panjer yang telah diterimanya (Beni I Wayan, 1983, h.52).
LATIHAN :
BAB VIII
90
HUKUM ADAT LANJUTAN TENTANG PELANGGARAN
Dilihat dari sifat masyarakat hukum adat berbeda dengan masyarakat biasa
yang ada di kota-kota, bahwa masyarakat hukum adat sifat atau alam pikiran
komunal dan kosmis (religio magisnya) masih kuat. Hal ini menjadi sesuatu
yang sangat penting karena akan menjadi latar belakang kemasyarakatan, tempat
hukum adat pelanggaran itu berperan. Alam pikran masyarakat hukum adat yang
komunal dan kosmis tersebut memandang segala-galanya sebagai satu kesatuan
yang homogin dalam kehidupan mereka, dimana kedudukan manusia adalah
pusatnya. Manusia merupakan bagian dari alam besar (kosmos), tidak terpisah
dari dunia lahir maupun gaib dan malahan berpadu dengan alam hewan dan
tumbuh-tumbuhan, lebih-lebih dengan masyarakatnya sendiri sebagai satu
kesatuan. Jadi semuanya bersangkut paut, saling pengaruh mempengaruhi dan
semuanya berada dalam keseimbangan, yang senantiasa harus dijaga dan jika
suatu saat ada gangguan terhadap keseimbangan tersebut haruslah dipulihkan
kembali (Bushar Muhammad, 1983, h.67).
Jadi alam pikiran yang komunal dan kosmis dalam kehidupan masyarakat
hukum adat, merupakan latar belakang timbulnya delik adat atau pelanggaran
adat. Di dalam alam pikiran yang tradisional yang bersifat komunal dan kosmis
91
itu, masyarakat hukumnya serta orang-orang tertentu yang dipentingkan dari pada
orang-perorangan secara individual.
Sedangkan menurut Ter Haar, yang disebut dengan delik adalah perbuatan
mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangan masyarakat. Dan
kegoncangan ini tidak hanya terdapat, apabila peraturan-peraturan hukum dalam
suatu masyarakat dilanggar, melainkan juga apabila norma-norma keagamaan,
kesusilaan dan sopan santun dalam masyarakat dilanggar (Ter Haar, dikutip dari
Surojo Wignyodipuro, 1068, h.286).
92
kesusilaan, sopan santun demikian pula hukum adat membedakan antara benda-
benda matriil dan benda-benda immatriil, jadi sifat obyeknya adalah homogin.
Dan selanjutnya dalam pembahasan lebih lanjut akan dipergunakan istilah
“Hukum Pelanggaran Adat”.
Sebagai akibat dari pengaruh alam pikiran yang komunal dan kosmis
tersebut membawa pengaruh pula terhadap sifat-sifat dari hukum pelanggaran adat
yaitu :
93
pula hukum pelanggaran adat tidak membedakan antara pelanggaran yang
bersifat pidana yang harus diperiksa oleh hakim pidana dengan pelanggaran
yang bersifat perdata yang harus diperiksa oleh hakim perdata. Begitu pula
hukum pelanggaran adat tidak membedakan apakah itu pelanggaran adat,
agama, kesusilaan atau kesopanan. Kesemua bentuk pelanggaran tersebut
akan diperiksa dan diadili oleh hakim adat dengan pertimbangan
keputusannya yang bersifat menyeluruh berdasarkan segala faktor yang
mempengaruhinya. Walaupun dalam hukum adat pelanggaran dapat
dibedakan antara perbuatan yang bersifat kejahatan dengan perbuatan yang
bersifat pelanggaran, tetapi hukum adat pelanggaran tidak membedakannya
karena hukum adat pelanggaran tidak mementingkan pembagian kekuasaan.
b. Ketentuan yang terbuka, artinya
Oleh karena manusia itu tidak akan mampu meramalkan masa datang, maka
ketentuan dalam hukum adat tidak bersifat pasti, sifat ketentuannya selalu
terbuka untuk segala peristiwa atau perbuatan yang mungkin terjadi. Yang
penting yang dijadikan ukuran menurut hukum adat adalah rasa keadilan
menurut kesadaran hukum masyarakat sesuai dengan perkembangan keadaan,
waktu dan tempat (Hilman Hadikusuma, 1979, h.22). Hal ini disebabkan oleh
sifat maupun corak dari hukum adat itu sendiri yaitu bersifat elastis, plastis
dan tidak kaku bahkan akan mengikuti perubahan pola pikir dari masyarakat.
Jadi tidak menolak perubahan dan juga tidak menghambat perubahan. Di Bali
pun keadaan seperti ini diakui yaitu desa, kala, patra dan mengakui pula
waktu (atita, nagata, wartamana). Ketentuan yang sifatnya terbuka dalam
hukum adat pelanggaran menyebabkan hukum adat pelanggaran tidak
menganut sistem peraturan yang statis, artinya suatu pelanggaran adat tidak
selamanya merupakan pelanggaran adat. Demikian pula dapat dikatakan
bahwa dalam hukum adat pelanggaran tidak ada ketentuan dibuat terlebih
dahulu sebelum perbuatan dilakukan. Berbeda halnya dalam hukum pidana
Barat, peraturannya harus ada terlebih dahulu sebelum menyatakan suatu
perbuatan itu melanggar hukum atau tidak (azas legalitas dalam pasal
KUHP).
94
c. Membeda-bedakan permasalahan
Dalam hukum pelanggaran adat, apabila terjadi peristiwa pelanggaran maka
yang dilihat tidak hanya perbuatan dan akibatnya saja, tetapi diperhatikan
pula apa yang menjadi latar belakang perbuatannya dan siapa pelakunya.
Dengan alam pikiran yang demikian, maka dalam cara mencari penyelesaian
dan melakukan tindakan hukumnya terhadap sesuatu peristiwa menjadi
berbeda-beda (Hilman Hadikusuma, 1979, h.23).
Menurut hukum adat antara orang-orang yang mempunyai kedudukan penting
dalam suatu masyarakat akan berbeda dengan orang biasa yang tidak
mempunyai kedudukan penting. Keadaan seperti ini akan berpengaruh pula
terhadap subyek dalam hukum pelanggaran adat, sehingga dikatakan pula
hukum adat membeda-bedakan kedudukan orang dalam masyarakat adat.
Karena perbedaan ini akan membawa konsekwensi pada akibat hukum
terhadap pelanggaran yang dilakukannya. Orang yang mempunyai kedudukan
hukum lebih tinggi di masyarakat apabila melakukan pelanggaran adat, maka
hukumannya akan lebih berat daripada orang yang melakukan perbuatan yang
termasuk kedalam “kejahatan” dengan termasuk “pelanggaran” diatur dalam
ketentuan yang berbeda.
d. Lahir dan lenyapnya hukum pelanggaran adat
Hukum adat tidak menganut sistem yang statis melainkan dinamis, slastis dan
plastis. Dengan demikian setiap ketentuan dalam hukum adat dapat timbul,
tumbuh, berkembang dan berganti dengan ketentuan yang baru, yang lebih
sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat pada
saat itu. Demikian pulalah yang berlaku dalam hukum pelanggaran adat,
bahwa pelanggaran terhadap hukum adat akan lahir, berkembang dan
kemudian lenyap dikarenakan rasa keadilan dan kepatutan serta kesadaran
hukum rakyat sudah berubah. Jadi lahirnya hukum adat pelanggaran adalah
serupa dengan lahirnya tiap-tiap peraturan hukum yang tidak tertulis. Tiap-
tiap peraturan hukum adat timbul berkembang dan selanjutnya lenyap dengan
lahirnya peraturan baru, sedang peraturan baru itu akan berkembang juga dan
kemudian akan lenyap pula dengan adanya perubahan perasaan keadilan yang
akan menimbulkan perubahan peraturan. Begitu seterusnya, keadaannya
95
seperti jalannya ombak di pesisir samudra (Soepomo, 1970, h.111). Demikian
pula halnya dengan lahir dan lenyapnya pelanggaran adat yang berarti
perbuatan-perbuatan uang semula dianggap merupakan pelanggaran adat
tetapi karena adanya perubahan rasa keadilan dan kepatutan yang hidup
dalam masyarakat menyebabkan hukum menjadi berubah akibatnya
perbuatan yang tadinya pelanggaran adat menjadi tidak lagi dianggap
pelanggaran adat. Hal inilah pula yang menunjukkan adanya perbedaan
dengan sistem hukum pidana Barat. Menurut hukum pidana Barat, delik itu
lahir dengan diundangkannya suatu peraturan tentang delik tersebut dalam
Lembaran Negara. Sedangkan untuk menyatakan delik tersebut tidak berlaku
lagi secara formal, haruslah dibuat peraturan baru lagi apapun bentuknya
yang nantinya menyatakan bahwa peraturan yang lama tidak berlaku lagi,
walaupun secara matrial peraturan itu tetap tercantum dalam Lembaran
Negara.
e. Peradilan dengan permintaan
Untuk memeriksa dan menyelesaikan perkara pelanggaran, sebagian besar
didasarkan pada adanya permintaan atau pengaduan. Artinya petugas hukum
tidak selalu mengambil inisiatif sendiri untuk menindak si pelanggar hukum.
Terhadap beberapa pelanggaran hukum petugas hukum hanya akan bertindak
apabila ada permintaan dari orang yang terkena pelanggaran tersebut. Ukuran
yang dipakai untuk menentukan kapan saatnya petugas hukum bertindak atas
inisiatif sendiri, hukum adat menentukannya yaitu apabila “kepentingan
umum terganggu” yang dalam hal ini adalah kepentingan dari masyarakat
hukumnya langsung terkena pelanggaran tersebut. Kepentingan umum inipun
maksudnya adalah tertuju pada terganggunya keseimbangan magis dalam
masyarakat yang didasarkan pada aliran tradisional yang bersifat kosmis
komunalistis.
Terlebih dahulu haruslah diketahui bahwa perkara delik adat itu dapat
bersifat :
96
a. Melulu delik adat : misalnya pelanggaran adat terhadap peraturan-
peraturan exogami, pelanggaran peraturan panjer, atau peraturan-
peraturan khusus adat lainnya.
b. Disamping delik adat, juga bersifat delik-delik terhadap harta
kekayaan seseorang, menghina seseorang, apalagi seseorang tersebut
mempunyai kedudukan tinggi dalam masyarakat tersebut seperti
menghina kepala adat, dll.
Dalam hukum adat seluruh lapangan hidup menjadi batu ujian perihal apa
yang boleh dilakukan dan apa yang dilarang. Tiap perbuatan atau tiap situasi yang
tidak selaras dengan atau yang memperkosa keselamatan masyarakat, keselamatan
teman semasyarakat, keselamatan golongan famili dapat merupakan pelanggaran
adat.
97
C. REAKSI DAN KOREKSI ADAT
98
LATIHAN :
99
Dalam hubungan ini dapat pula diketahui bahwa yang dapat menjadi
subyek hukum dalam hukum adat pelanggaran tidak hanya orang sepertidalam
hukum pidana Barat, tetapi juga keluarga, kerabat atau masyarakatnya ikut
bertanggung jawab atas perbuatan pelaku.
1. Reaksi atau koreksi adat beupa kewajiban untuk melakukan sesuatu seperti
membuat upacara/upakara Agama.
2. Reaksi atau koreksi adat berupa pembayaran sejumlah uang yang dapat
dibedakan antara “danda dan dedosan atau dosa”. Danda adalah dikenakan
terhadap orang yang melanggar larangan. Sedangkan dedosan atau dosa
dikenakan bagi mereka yang melalaikan kewajibannya.
3. Dibuat malu yaitu pada umumnya sanksi yang diberikan kepada mereka
yang suka mencuri atau diarak keliling desa.
4. Pencabutan hak yaitu saksi yang dikenakan kepada mereka yang
melalaikan kewajibannya pada desa/banjar (tidak melaksanakan ayah-
ayahan desa/banjar).
100
5. Perampasan hak yaitu yang disebut dengan “Kerampag”, berupa
pengambilan barang-barang milik seseorang karena tidak membayar
hutangnya (Tim peneliti Fak.Hukum Unud, 1980/1981, h.79-80).
a. Sistem pemidanaan.
101
Sedangkan menurut hukum Barat (KUHP) untuk menentukan bahwa
seseorang itu melakukan suatu pelanggaran adat atau delik haruslah ada
aturannya terlebih dahulu yang akan menyatakan perbuatannya tersebut
melanggar atau bertentangan dengan peraturan tersebut. Apabila peraturannya
belum ada maka akan sulit menyatakan bahwa seseorang itu melakukan
pelanggaran atau tidak. Jadi KUHP dikatakan menganut azas “legalitas” seperti
yang diatur dalam Pasal 1 KUHP, yang bunyinya : tiada suatu perbuatan yang
dapat dihukum melaikan atas kekuatan aturan pidana di dalam undang-undang
yang telah ada terlebih dahulu dari perbuatan tersebut.
b. Perbuatan Salah
102
Penghilangan atau pengurangan hukuman ataupun penambahan hukuman
dalam KUHP ditentukan atas dasar Pasal 44 – 52 KUHP dan Hakim tidak boleh
mempergunakan dasar yuridis yang lain dalam pertimbangan hukumnya.
Sedangkan dalam hukum pelanggaran adat justru permintaan maaf dan
pengakuan kesalahan yang dilakukan oleh pelaku menjadi pertimbangan dalam
pengenaan hukumannya. Hal ini didasarkan atas azas kekeluargaan, kedamaian,
kerukunan dan rasa keadilan masyarakat.
Hukum Pelanggaran Adat dan Reaksi atau Koreksi Adat Dalam Praktek
Peradilan
103
(KUHP)”. Ketentuan ini dinyatakan berlaku untuk wilayah Republik Proklamasi.
Dan selanjutnya berdasarkan UU No.73 Tahun 1958 barulah dinyatakan berlaku
untuk wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seperti diketahui bersama
KUHP ini berasal dari Code Penal Prancis yang berlaku di Negeri Belanda sejak
Tahun 1810, dan atas perintah Gubernur Jendral Hindia Belanda dibuatlah
kodifikasi Tahun 1915 dan kemudian dinyatakan berlaku di Indonesia Tahun
1918.
104
Jadi seolah-olah hukum adat maupun hukum pelanggaran akan mendapat
tempat dalam Hukum Pidana nasional yang baru nanti.
LATIHAN :
Tugas mandiri (PR) : Mahasiswa membahas satu kasus baru pelanggaran adat
yang termasuk ke Pengadilan dan memberikan komentar terhadap keputusan
hakim atas kasus tersebut ditinjau dari KUHP dan Hukum Adat Pelanggaran
105
DAFTAR PUSTAKA
AB Wiranata I Gede,2005 , Hukum Adat Indonesia, Perkembangannya dari Nusa
ke Nusa, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Hazairin, 1987 , Hukum Kekeluargaan Nasional, Pradnya Paramita, Jakarta.
Koesnoe Moch.1979 , Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa ini,
Airlangga Universitas Press, Surabaya.
Soepomo R., 1976 , Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.
Ridwan Syahrani, 1987, Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil,
PT. Media Sarana Press, Jakarta.
Abdurrahman, 1985 , Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang
Perkawinan, Akademika Pressindo, Jakarta.
Soerjono Soekanto, dan Soleman B Taneko, 1981 : Hukum Adat Indonesia, CV
Rajawali, Jakarta.
Soerojo Wignyodipuro, 1973, Pengantar dan asas-asas Hukum Adat, Alumni,
Bandung.
Wantjik Saleh,K, 1976 , Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Wiryono Prodjodikoro, 1981 , Hukum Waris di Indonesia, Sumur, Bandung.
Wiryono Prodjodikoro, 1981 , Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung.
Chidir Ali, 1979 , Hukum Adat Minangkabau Dalam Yurisprudensi Indonesia,
Pradnya Paramita, Jakarta.
Hilman Hadikusuma, 1979, Hukum Perkawinan Adat , Alumni, Bandung.
Bushar Muhammad, 1983 , Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita,
Jakarta.
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987 , Azas-Azas Hukum Perkawinan di
Indonesia, Bina Aksara, Jakarta.
Sagung Ngurah, dkk, 2008, Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan, Bagian Hukum dan
Masyarakat, Fak.Hukum, Universitas Udayana.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang KDRT.
Undang-Undang RI No.7 Tahun 1984 tentang Penghapusan segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan.
106
UU RI No.23 Tahun 2002 Undang-Undang Tentang Perlindungan anak.
PP No.9 tahun 1975, PP No.10 tahun 1983, PP No. 45 tahun 1990.
UU No.5 tahun 1960 tentang UUPA.
Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP).
UU Kekuasaan kehakiman.
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
UU No. 10 Tahun 1998 tentang Peruahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan.
Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.
Peraturan Daerah No. 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa.
107