Anda di halaman 1dari 8

TUGAS V

MEMBUAT

PERBANDINGAN NOVASI,SUBROGASI DAN CESSIE DALAM SISTEM


PERDATA NASIONAL, HUKUM ADAT, DAN HUKUM ISLAM

Dosen Pengampu :

Prof. Dr. Hj. Yulia Mirwati, SH., CN., MH

OLEH

NAMA : SATYA ADHI WICAKSANA


NIM : 1810112062
KELAS : Perbandingan Hukum perdata 4.1

UNIVERSITAS ANDALAS
FAKULTAS HUKUM
2021
1. NOVASI, SUBROGASI DAN CESSIE DALAM SISTEM PERDATA NASIONAL
A. Cessie dalam Sistem Perdata Nasional ( Buku II Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Pasal 613 BW sampai dengan Pasal 624 BW )

A.1 Definisi Cessie

Cara pengalihan piutang-piutang atas nama dan barang-barang lain yang tidak bertubuh
dilakukan dengan cara membuat akta otentik atau di bawah tangan yang melimpahkan hak-
hak atas barang-barang itu kepada orang lain. Penyerahan ini tidak ada akibatnya bagi yang
berutang sebelum penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau disetujuinya secara tertulis
atau diakuinya

A.2 Unsur – Unsur Cessie

1)      Harus menggunakan Akta Otentik maupun akta dibawah tangan;

2)      Terjadi pelimpahan hak-hak atas barang-barang tersebut kepada orang lain

A.3 Sifat – Sifat Cessie

1)  Dalam Cessie,perjanjian Accesoirnya tidak dihapus hanya beralih kepada pihak ketiga
sebagai Kreditur Baru;

2)  Utang Piutang lama   tidak dihapus hanya beralih kepada kepada pihak ketiga sebagai
Kreditur baru;

3)  Dalam Cessie,Debitur bersifat pasif,dia hanya diberitahukan siapa Kreditur Baru agar dia
dapat melakukan pembayaran kepada Kreditur Baru;

4)   Bagi Cessie selalu diperlukan suatu akta.;

5)  Cessie hanya berlaku kepada Debitur setelah adanya pemberitahuan.


B. Novasi dalam Sistem Perdata Nasional ( Buku III Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Pasal 1413 BW sampai dengan Pasal 1424 BW )

B.1 Definisi Novasi

Pembaharuan Utang yang dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dimana Pihak
Kreditur dan Debitur bersepakat untuk menghapuskan perikatan lama dan menggantinya dengan
perikatan baru.

B.2 Unsur – Unsur Novasi

1)   Harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak;

2)   Perikatan lama dihapus diganti dengan perikatan baru

B.3 Sifat – Sifat Novasi

1)  Dalam novasi,perjanjian accesoirnya turut dihapus jika perjanjiannya pokoknya


hapus,kecuali para pihak secara tegas menyatakan sebaliknya;

2)   Dalam Novasi,utang piutang yang lama dihapus   dan   digantikan dengan utang piutang
yang baru;

3)   Novasi pada hakikatnya merupakan hasil perundingan segitiga yaitu antara Pihak Kreditur,
Debitur

dan Pihak Ketiga,dimana Para Pihak tersebut bersifat aktif;

4)   Novasi tidak mutlak harus menggunakan akta;

5)    Dalam Novasi,Pemberitahuan tidak diperlukan karena Novasi dilakukan berdasarkan kese
pakatan para pihak;
C. Subrogasi dalam Sistem Perdata Internasional ( Buku III Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (BW) Pasal 1400 BW sampai dengan Pasal 1403 BW )

C.1 Definisi Subrogasi

Penggantian hak – hak oleh seorang pihak ketiga yang membayar kepada Kreditur.

C.2 Unsur – Unsur Subrogasi

1)     Harus ada lebih dari 1 (satu) Kreditur dan 1 (satu) orang Debitur yang sama;

2)     Adanya pembayaran oleh Kreditur Baru kepada Kreditur Lama.

C.3 Sifat – Sifat Subrogasi

1)     Subrogasi merupakan Perjanjian yang bersifat Accesoir,dimana perjanjian tersebut ikut
beralih kepada Kreditur Baru mengikuti perjanjian pokoknya;

2)     Dalam Subrogasi,utang piutang yang lama dihapus,untuk kemu- dian dihidupkan lagi bagi
kepentingan Kreditur Baru;

3)     Dalam Subrogasi,Pihak Ketiga membayar kepada Kreditur,De- bitur adalah pihak yang
pasif;

4)     Subrogasi tidak mutlak harus menggunakan akta,kecuali bagi Subrogasi yang lahir dari
perjanjian dimana Debitur menerima uang dari pihak ketiga untuk membayar utang-utangnya
kepada Kreditur;

5)     Dalam Subrogasi,Pemberitahu an diperlukan tetapi bukan me – pakan syarat bagi


berlakunya Subrogasi;

6)     Subrogasi harus dinyatakan dengan tegas karena tujuan pihak ketiga membayar kepada
Kreditur adalah untuk menggantikan kedudukan Kreditur Lama sehingga Pihak Ketiga dapat
mem – peroleh hak penuh atas Debitur;

7)     Subrogasi harus dilakukan tepat pada waktu pembayaran.


2. NOVASI, SUBROGASI DAN CESSIE DALAM SISTEM HUKUM ISLAM

2.1 Cessie dalam Sistem Hukum Islam

Black Laws Dictionary menerangkan Cessie yang dalam bahasa Inggris disebut
dengan cession, mempunyai tiga makna yaitu :
1) The act of relinquishing property rights;
2) The relinquishing or transfer of land from one state to another, esp. When a state
defeated in war gives up the land, as part of the price of peace;
3) The land so relinquished or transferred.
Cessie dalam definisi ini memiliki hubungan antara penyerahan hak-hak properti
yang disempitkan dalam bidang pertanahan.
Prof Subekti memberikan pengertian cessie dengan pemindahan hak piutang, yang
sebetulnya merupakan penggantian orang berpiutang lama, yang dalam hal ini dinamakan
cedent, dengan seseorang berpiutang baru, yang dalam hubungan ini dinamakan
cessionaris. Pemindahan itu harus dilakukan dengan suatu akta otentik atau di bawah
tangan, jadi tak boleh dengan lisan atau dengan penyerahan piutangnya saja. Agar
pemindahan berlaku terhadap si berutang, akta cessie tersebut harus diberitahukan
padanya secara resmi (betekend). Hak piutang dianggap telah berpindah pada waktu
akta cessie itu dibuat, jadi tidak pada waktu akta itu diberitahukan pada si berutang.
KUHPerdata tidak mengenal istilah cessie, tetapi dalam Pasal 613 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa “penyerahan akan piutang-piutang
atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah
akta autentik atau akta di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu
dilimpahkan kepada orang lain. Dari hal tersebut dapat dipelajari bahwa yang diatur
dalam Pasal 613 ayat (1) adalah penyerahan tagihan atas nama dan benda-benda tak
bertubuh (intangible goods) lainnya.
Dalam praktik perbankan syariah cessie diaplikasikan pada jaminan tidak
berwujud seperti piutang atau hak tagih atas suatu hutang, contoh implementasinya adalah
akad mudharabah antara bank syariah dengan BPRS dimana BPRS menjadikan piutang
kepada nasabah (hak tagih) sebagai jaminan pembiayaan mudharabah kepada bank
syariah yang memberikan pembiayaan.

Fatwa DSN Nomor 103/DSN-MUI/X/2016 menyinggung sekilas tentang cessie


dalam transaksi novasi subyektif dengan menyatakan : “Bentuk novasi subjektif aktif
(penggantian da'in) dengan kompensasi ('Iwadh) dalam hukum perdata Indonesia dikenal
dengan Cessie” (Bagian Ke-enam angka 5);
Fatwa DSN Nomor 104/DSN-MUI/X/2016 menyinggung sekilas tentang cessie
dalam tarnsaksi novasi subyektif dengan menyatakan : “Bentuk subrogasi yang disertai
dengan kompensasi dalam hukum perdata Indonesia dikenal dengan Cessie” (Bagian Ke-
empat angka.
2.2 Subrogasi Dalam Sistem Hukum Islam
Pada praktek bisnis syariah perusahaan asuransi syariah juga melakukan kegiatan
subrogasi ini. Sebagaiman lazim terjadi pada asuransi jaminan pembiayaan. bank
mengasuransikan jaminan pembiayaan atau objek pembiayaan yang berupa kendaraan,
ketika kendaraan tersebut hilang maka pihak asuransi membayar klaim kepada nasabah
dan bank menyerahkan bukti BPKB atas kendaraan yang hilang kepada perusahaan
asuransi.
Dewan Syariah Nasional MUI melalui fatwa Nomor 104/DSN-MUI/X/2016 telah
memberikan petunjuk mengenai Subrogasi syariah. Fatwa tersebut menyinggung hawalah
sebagai akad pengalihan hutang, namun tidak secara tegas menyebut bahwa subrogasi
syariah   dijalankan berdasarkan akad hawalah, hal ini dapat difahami karena subrogasi
tidak semata mata sama persis dengan akad hawalah, ada praktek praktek yang berbeda
dengan hawalah secara ansich, diantaranya adalah adanya kombinasi dengan akad
wakalah antara da’in (kreditur) baru dengan da’in (kreditur) lama dalam pembelian objek
jual beli (sil’ah).
Fatwa DSN MUI Nomor 104 Tahun 2016 mengenal praktek subrogasi secara
syariah dapat dilakukan melalui tiga mekanisme, yaitu :
Pertama Subrogasi Tanpa Kompensasi (‘iwadl), yaitu subrogasi atau pengalihan
piutang antara kreditur lama dengan kreditur baru tanpa adanya kompensasi.
Kedua, Subrogasi dengan kompensasi (‘iwadl) tanpa disertai akad wakalah
pembelian barang, keditur baru menyerahkan barang kepada kreditur lama untuk
membayar piutang kreditur lama.

Ketiga, Subrogasi dengan kompensasi (‘iwadl) disertai dengan wakalah pembelian


barang, model ini dilakukan dengan cara kreditur baru memberikan kuasa (wakalah)
kepada kreditur lama untuk membeli barang yang akan dijadikan harga/pembayaran.
Untuk memberikan panduan yang lengkap terhadap implementasi subrogasi secara
syariah, Fatwa DSN MUI Nomor 104 memberikan beberapa ketentuan khusus sebagai
berikut :
 a. Piutang uang (al-dain al-naqdi) hanya boleh dialihkan dengan barang (sil'ah) sebagai
alat bayar (tsaman);

 b.  Piutang yang akan dialihkan harus jelas jumlah dan spesifikasinya;

c. Piutang yang dialihkan tidak sedang dijadikan jaminan (al-rahn). Piutang yang
sedang dijadikan jaminan boleh dijual setelah mendapat izin dari penerima jaminan;
d.  Barang (sil'ah) yang dijadikan sebagai alat pembayaran (tsaman) harus barang yang
halal, jelas jenis serla nilainya sesuai kesepakatan;
e. Ketika transaksi pengalihan piutang dilakukan, da'in baru harus sudah rnemiliki
sil'ah yang akan dijadikan tsaman, baik dibeli di Bursa maupun di luar Bursa, baik
dibeli sendiri maupurl melalui wakil;
f.   Pembayaran harga atas pengalihan piutang harus dilakukan secara tunai; dan
g.   Subrogasi hanya boleh dilakukan atas piutang yang sah berdasarkan syariah dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.3 Novasi Dalam Sistem Hukum Islam
Novasi adalah Pembaharuan Utang yang dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua
belah pihak dimana Pihak Kreditur dan Debitur bersepakat untuk menghapuskan perikatan lama
dan menggantinya dengan perikatan baru.
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia telah mengakomodir praktik Novasi
dalam bisnis syariah dengan mengafirmasi Fatwa Nomor 103/DSN-MUI/X/2016 tentang
Novasi subjektif berdasarkan prinsip syariah. Bagian ketiga fatwa DSN tersebut mengenai
ketentuan akad menegaskan impelementasi hawalah dalam novasi sebagai berikut :
1. Novasi subjektif aktif yang berupa penggantian da'in berlaku ketentuan hawalat al-
haqq; dan
2. Novasi subjektif pasif yang berupa penggantian madin berlaku ketentuan hawalat al-
dain.
Untuk mengimplementasikan Novasi dalam bingkai ekonomi syariah, DSN MUI
dalam fatwa Nomor 103 telah memberikan beberapa ketentuan khusus diantaranya
sebagai berikut :
1. Kehendak untuk rnengadakan novasi subjektif harus dinyatakan secara tegas dan
jelas oleh para pihak dalam akta perjaniian;
2. Dalam akta perjanjian novasi subyektif pasif harus dinyatakan secara tegas mengenai
pernbebasan madin lama dari utangnya;
3. Dalam akta perjanjian novasi subjektif aktif harus dinyatakan secara tegas mengenai
pembebasan da'in lama dari piutangnya;
4. Dalam novasi subjektif pasif (penggantian madin) dengan obyek pembiayaan
murabahah, pengalihan utang oleh madin lama kepada madin baru dilakukan atas
dasar itikad baik para pihak;
5. Mekanisme novasi subjektif pasif (penggantian madin) dapat dilakukan dengan
menggunakan akad hawalah bil uirah dengan berpedoman pada fatwa DSN-MUI
Nomor 58/DSN-MUL1V12007 tentang Hawalah bil Ujrah;
6. Novasi subjektif hanya boleh dilakukan atas utang-piutang yang sah berdasarkan
syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan

7. Ketentuan mengenai jaminan dan pengikatannya diatur sesuai dengan kesepakatan

Anda mungkin juga menyukai