Anda di halaman 1dari 11

PERTEMUAN KE-6

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI-ISTRI,


PEMBINAAN KELUARGA, DAN PERCERAIAN

A. Tujuan Pembelajaran
1. Menjelaskan hak-hak suami dan istri dalam keluarga
2. Menjelaskan kewajiban suami dan istri dalam keluarga
3. Menjelaskan upaya pembinaan keluarga dan pendidikan anak-anak
4. Menjelaskan perceraian sebagai solusi penyelesaian masalah keluarga

B. URAIAN MATERI
1. Pernikahan dan Tanggung Jawab Keluarga
Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran, tujuan pernikahan adalah untuk
menciptakan keluarga yang sakinah, yaitu tenteram, damai, sejahtera lahir batin, serta
dilandasi dengan sikap mawaddah wa-rahmah (penuh cinta dan kasih sayang). Allah Swt.
berfirman:

                  

  


“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri- istri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS Ar-Rum [30]: 21)
Dalam hadis Nabi Saw., dijelaskan pula bahwa pernikahan adalah sunnah Nabi
Muhammad Saw., dan yang tidak mau menikah berarti tidak mengikuti sunnah Nabi Saw.
dan dianggap bukan termasuk umat Nabi Muhammad. Sabda Nabi Saw.: “Pernikahan
adalah sunnahku; barang siapa membenci pernikahan, maka ia tidak termasuk dalam
umatku.” Dalam hadis yang lain, Nabi Muhammad Saw. juga bersabda: “Pernikahkan
adalah setengah iman”.
Berdasarkan ayat dan hadis-hadis di atas, maka pasangan suami-istri yang telah
mengikat janji suci pernikahan, yaitu akad nikah, keduanya sedang menuju pembinaan
keluarga sakinah yang dilandasi cinta dan kasih sayang, serta memiliki hak dan kewajiban
atau tanggung jawab sebagai pasangan suami-istri. Artinya, pernikahan hakikatnya adalah
pintu gerbang menuju pertanggungjawaban keluarga. Suami bertanggung jawab terhadap
istrinya dan keluarganya; sebaliknya sang istri bertanggung jawab terhadap suaminya dan
anak-anaknya. Indahnya pernikahan adalah karena dalam melaksanakan tanggung jawab
tersebut, ada rasa cinta dan kasih sayang yang Allah Swt. berikan kepada keduanya
sehingga mereka dapat memikulnya dengan ringan, saling memberi dan mengasihi, saling
asah, asih, dan asuh, dalam berbagai ihwal kehidupan. Suka dan duka, pahit dan manis,
pasti akan mereka rasakan dalam menjalani hak-hak dan kewajibannya sebagai pasangan
hidup yang diikat dalam ridha Allah Swt.

2. Hak-Hak dan Kewajiban Suami dan Istri


Perkawinan adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk menempuh
kehidupan rumah tangga. Sejak mengadakan perjanjian melalui akad, kedua belah pihak
telah terikat dan sejak itulah mereka mempunyai kewajiban dan hak, yang tidak mereka
miliki sebelumnya.
Yang dimaksud dengan hak adalah apa-apa yang diterima oleh seseorang dari orang
lain, sedangkan kewajiban adalah apa yang mesti dilakukan seseorang terhadap orang lain.
Kewajiban timbul karena hak yang melekat pada subyek hukum. Sesudah pernikahan
dilangsungkan, kedua belah pihak suami isteri harus memahami hak dan kewajiban
masing-masing. Hak bagi isteri menjadi kewajiban bagi suami. Begitu pula, kewajiban
suami menjadi hak bagi isteri. Suatu hak belum pantas diterima sebelum kewajiban
dilaksanakan.
Masing-masing suami dan istri memiliki hak dan kewajiban, antara lain: suami
berkewajiban memberikan nafkah lahir batin, memberikan sandang, pangan, dan papan,
memberikan keamanan dan ketentraman dalam keluarga. Sementara itu, ia pun memiliki
hak mendapatkan pelayanan dan ketaatan dari istrinya. Istri memiliki kewajiban untuk
menaati suaminya dengan baik, mengelola nafkah yang diberikan, dan mengatur tata
laksana rumah tanggga dengan baik.
Hak dan kewajiban suami istri pada dasarnya seimbang. Adapun detail poin-poin
hak dan kewajiban suami-istri ini dapat dibicarakan dan disepakati bersama. Dalam hal
kesepakatan itu, suami bertindak sebagai pemimpin dalam keluarga yang membimbing dan
memberi arah yang jelas dalam mencapai tujuan keluarga. Sebagai pemimpin, suami
dituntut untuk berlaku adil dan mengembangkan musyawarah dalam memutuskan masalah
keluarga. Karena itu, dalam keluarga harus terjadi komunikasi, saling memperhatikan, dan
saling memberikan kasih sayang.
Dalam hukum, perkawinan diartikan sebagai perbuatan hukum yang bersifat privat
yang apabila dilakukan akan menimbulkan suatu akibat hukum baru, seperti timbulnya hak
terhadap harta gono gini, timbulnya hak asuh anak, timbulnya hak untuk menafkai isteri
dan timbulnya hak-hak lain yang diatur dalam hukum perdata.
UU No. 1 Tahun 1974 sebagai dasar hukum pelaksanaan perkawinan di Indonesia
telah mengatur mengenai hak dan kewajiban yang timbul dari adanya suatu perkawinan
antara seorang laki-laki dan perempuan yang akan diuraikan dalam beberapa pasal sebagai
berikut:
Pasal 30: Suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.
Pasal 31: (1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat; (2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum; (3)
Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Pasal 32: (1) Suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap; (2)
Rumah tempat kediaman yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh
suami-isteri bersama.
Pasal 33: Suami isteri wajib saling saling cinta mencintai, hormat menghormati,
setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34: (a) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya; (b) Isteri wajib mengatur
urusan rumah-tangga sebaik-baiknya; (c) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya
masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.

Menurut Sayyid Sabiq, hak dan kewajiban isteri ada tiga bentuk. Pertama, hak
finansial, yaitu mahar dan nafkah. Kedua, hak nonfinansial, seperti hak untuk diperlakukan
secara adil (apabila sang suami menikahi perempuan lebih dari satu orang). Ketiga, hak
untuk tidak disengsarakan atau disakiti.

Hak yang bersifat materi ada dua, yaitu: (1) Mahar atau Maskawin, (2) Nafkah
Lahir berupa uang atau harta benda

Adapun Hak yang bersifat non-materi adalah Nafkah Batin.

Bentuk-bentuk nafkah batin ialah:

(a) Mempergauli isteri dengan baik


(b) Menjaga isteri dengan sebaik-baiknya

(c) Mencampuri atau mempergauli isteri dengan cara yang makruf.

Hak Suami atas Isteri


Suami mempunyai beberapa hak yang menjadi kewajiban isteri terhadap suaminya,
di antaranya adalah:
(1) Istri taat kepada suami
(2) Istri tidak durhaka kepada suami
(3) Istri memelihara kehormatan dan harta suami
(4) Istri berhias untuk suami

Hak Bersama Suami dan Isteri


Suami dan istri sama-sama memiliki hak dalam menciptakan hubungan yang baik
antara suami dan istri. Allah Swt. memerintahkan untuk menjaga hubungan baik antara
suami isteri termasuk kepada keluarganya, yaitu anak-anaknya serta keluarga dari pihak
suami dan pihak istri. Islam mendorong masing-masing dari keduanya untuk menyucikan
jiwa, membersihkannya, membersihkan iklim keluarga, dan membersihkan dari sesuatu
yang berhubungan dengan berbagai penghalang yang mengeruhkan kesucian.
Adanya kehalalan untuk melakukan hubungan intim suami-isteri dan menikmati
pasangan termasuk dalam hak bersama. Kehalalan ini dimiliki bersama oleh keduanya.
Halal bagi suami untuk menikmati dari isterinya apa yang halal dinikmati oleh sang isteri
dari suaminya. Kenikmatan ini merupakan hak bersama suami isteri dan tidak didapatkan,
kecuali dengan peran serta dari keduanya.
Ikatan pernikahan suami-istri kemudian menimbulkan keharaman ikatan
perbesanan. Maksudnya, sang isteri haram bagi ayah dari sang suami, kakek-kakeknya,
anak-anak laki-lakinya, serta anak-anak laki-laki dari anak-anak laki-laki dan anak
perempuannya, sebagaimana sang suami haram bagi ibu dari sang isteri, nenek-neneknya,
serta anak-anak perempuan dari anak-anak laki-laki dan anak-anak perempuannya.
Ikatan pernikahan juga menimbulkan penetapan pewarisan antara keduanya setelah
akad nikah terlaksana. Apabila salah seorang dari keduanya meninggal setelah akad nikah
terlaksana, maka pasangannya menjadi pewais baginya, meski mereka belum melakukan
percampuran. Ikatan ini juga menetapkan nasab dari anak suaminya yang sah. Demikian
konsekuensi ikatan pernikahan dan hukum-hukum yang ditimbulkannya.
3. Pembinaan Keluarga
a. Membina Kasih Sayang
Suami maupun istri berkewajiban membina dan mengembangkan kasih sayang di
antara mereka. Kasih sayang merupakan prasyarat bagi terciptanya keluarga sakinah.
Membina kasih sayang di mulai dengan saling mengenal dan saling memahami di antara
keduanya sehinggga keduanya dapat mengembangkan komunikasi yang baik. Kasih
sayang masing-masing pihak harus dapat terasakan oleh keduanya. Keinginan-keinginan
dan harapan-harapan masing-masing pihak dapat dipahami. Dengan demikian, di antara
mereka dapat saling memberi dan menerima.
Kasih sayang harus dipelihara, ia tidak akan datang tanpa diupayakan. Ia dapat
berbentuk perhatian, is tidak dapat berbentuk perhatian, kepedulian, dan kearifan yang
diwujudkan dalam kata-kata, perilaku, maupun isyarat-isyarat badaniah yang dipahami
oleh masing-masing.
Peran komunikasi dalam pembinaan kasih sayang sangat menentukan suasana
keluarga. Kasih sayang pada dasarnya harus dirasakan, bukan hanya dikatakan. Untuk
semua itu, kasih sayang harus dikomunikasikan dengan berbagai ungkapan, baik dalam
bentuk kata-kata, perangai atau isyarat-isyarat, maupun tindakan sehingga kasih sayang
yang diberikan dapat sampai dan benar-benar dirasakan oleh masing-masing.
Komunikasi yang baik dalam keluarga dimulai dengan pengenalan dan pemahaman
masing-masing anggota keluarga. Suami memahami segala sesuatu tentang istrinya, baik
fisik, tabiat, kebisaaan dan lain sebagainya. Demikian pula istri memahami suaminya
dalam berbagai hal yang ada pada suaminya. Baik kelebihan maupun kekurangannya
masing-masing. Pemahaman ini melahirkan pengertian dan penerimaan secara utuh serta
menjadi dasar bagi terjadinya komunikasi kedua belah pihak. Komunikasi tidak hanya
dalam bentuk kata-kata, tetepi juga isyarat-isyarat yang ditampilkan dalam perubahan-
perubahan fisik. Misalnya persetujuan istri terhadap tindakan suami dapat dilihat dari
wajah yang dipancarkan istri sebagai respons dari tindakan itu.
Apabila rasa kasih sayang terkomunikasikan, maka orang yang dikasihi akan
merasakan kasih sayang itu, kendati pun tidak dikatakan. Dengan demikian pemahaman
yang mendalam terhadap pasangannya akan melahirkan pengertian di antara suami-istri,
sehingga keduanya akan terikat dalam ikatan kasih sayang yang kuat.
b. Merawat dan Mendidik Anak
Keluarga akan melahirkan keturunan, yaitu anak-anak yang akan menghuni masa
depan kehidupan. Anak adalah amanat Allah yang diberikan kepada suami istri atau ayah
ibunya. Merawat dan mendidik anak merupakan kewajiban ibu bapaknya di mulai sejak
dalam kandungan ibunya. Pada saat dalam kandungan, ibu dan bapaknya berkewajiban
untuk merawat dan mendidiknya dengan cara memberikan makanan yang halal dan baik
kepada ibunya. Halal adalah konsumsi ruhaniyah yang dapat membentuk karakter dan
tabiat anak yang akan dilahirkan. Makanan yang baik atau bergizi akan membentuk fisik
anak menjadi sehat dan kuat.
Selama dalam kandungan, pendidikan dapat dilakukan dengan cara menciptakan
suasana yang tenang, tenteram, damai dan religious. Suasana damai yang disertai dengan
do‟a akan melahirkan suasana yang baik bagi perkembangan bayi dalam kandungan ibu.
Ketika anak itu lahir, disunatkan untuk diazani dengan ucapan-ucapan kalimah thayibah.
Kalimat ini menjadi suara pertama yang masuk ke dalam telinga anak sehingga diharapkan
suatu hari anak akan merindukannya.
Nabi mengajarkan agar pada hari ke tujuh, anak diberi nama yang baik dan
disembelih aqiqahnya, yaitu menyembelih du ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu
ekor untuk anak perempuan. Memberikan nama yang baik kepada anak yang baru lahir
merupakan tanggung jawab sekaligus pendidikan orang tuanya. Nama bagi anak menjadi
kebanggaan dan berpengaruh pada proses pendidikan anak pada masa selanjutnya. Nama
yang jelek akan menjadi bahan ejekan teman-temannya sehingga anak tidak mau bergaul
atau rendah diri yang dapat menanggung proses perkembangan.
Menyembelih aqiqah di samping bermakna ritual, berarti pula pengorbanan
orangtua untuk anak yang menjadi tanggung jawabnya. Anak adalah amanat yang harus
dibina dididik dan diarahkan. Itu semua menurut tanggung jawab lahir dan batin, sejak
awal kelahirannya dibuktikan dalam bentuk aqiqah. Islam menganjurkan agar bayi disusui
ibunya sampai maksimal usia dua tahun.
Proses pemberian ASI pada dasarnya bentuk komunikasi seorang ibu terhadap
anaknya yang didasarkan atas dasar kasih sayang. Pada usia balita sebaiknya anak dikhitan
agar dia dapat membersihkan tubuhnya secara benar menurut ajaran Islam. Ketika Usia
tujuh tahun anak dapat melakukan shalat dan orang tuanya dapat menyuruhnya. Mendidik
shalat pada anak silakukan dengan mengajak mereka shalat bersama orang tuanya,
membawanya ke tempat tempat shalat seperti mesjid atau mushala dan memperlihatkan
kepada mereka bagaimana orang melaksanakan shalat. Mereka dapat belajar shalat melalui
memadukan antara pengetahuan yang mereka miliki dengan pengalaman yang dilihatnya.
Anak yang sudah berusia sepuluh tahun harus bisa melaksanakan shalat dan apabila tidak
melaksanakannya, orangtua dapat memberi sanksi.
Bagi anak-anak, keluarga merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama.
Karena itu, masa-masa balita merupakan masa yang baik untuk mendidik mereka
menanamkan nilai-nilai mendasar, yaitu menanamkan aqiqah, mengajarkan shalat,
mengajarkan wudhu, membersihkan dirinya dari najis. Masa balita merupakan masa
menanamkan nilai-nilai yang akan menjadi dasar pegangan mereka pada masa-masa
selanjutnya. Pasa saat bersosialisasi dengan lingkungan di luar rumah, mereka telah
memiliki sesuatu yang dijadikan sebagai acuan nilai. Nilai-nilai yang dibawa dari
rumahnya diharapkan dapat menjadi filter atas pengaruh dari luar rumahnya.

4. Perceraian (Talak) dan Masa ‘Iddah


a. Pengertian dan Hukum Talak
Talak adalah melepaskan ikatan nikah dari suami kepada istrinya dengan lafazh
tertentu, misalnya suami mengatakan: “Saya talak engkau”. Dengan ucapan tersebut,
lepaskanlah ikatan pernikahan dan terjadilah perceraian. Talak adalah jalan terakhir yang
ditempuh suami istri jika cara lain untuk mencapai kebaikan bersama tidak ditemukan.
Oleh karena itu, talak hendaknya atas dasar kebaikan masing-masing, jika kebaikan
bersama melalui pernikahan tidak dapat dicapai. Talak halal hukumnya, tetapi
konsekuensinya sangat berat, terutama jika pasangan itu telah memiliki keturunan. Karena
itu, kendatipun halal, Allah membecinya, sebagaimana disabdakan Nabi:
ِ ‫ اَب غَض احل ََل ِل ِع ْن َد‬:‫هللا صلَّى هللا علَي ِو وسلَّم‬
ِ ‫ال رسو ُل‬ ِ
،‫ رواه ابو داود وابن ماجو‬-‫هللا الطَ ََل ُق‬ َ ُ ْ َ ََ َْ ُ َ ْ ُ َ َ َ‫ ق‬.ُ‫َع ْن ابْ ِن ُع َم َر َرض َي هللاُ َع ْنو‬

)‫ وأرسلو أبو حامت‬،‫وصححو احلاكم‬

Dari Ibnu Umar r.a. yang berkata: Rasulullah Saw. bersabda: Barang yang halal dibenci
Allah adalah talak”. (HR Abu Dawud dan Ibn Majah. Al-Hakim menilainya hadis sahih,
dan Abu Hatim menilainya hadis mursal).

b. Macam-macam Talak
1. Talak Sunni dan Talak Bidh‘i
Ditinjau dari segi keadaan istri, talak terdiri atas talak sunni dan talak bidh‟i. Talak
sunni adalah talak yang dijatuhkan suami ketika istrinya sedang suci, tidak sedang haid
atau tidak sedang dicampuri. Sedangkan talak bidh‟i adalah talak yang dijatuhkan suami
ketika istrinya sedang haid atau telah dicampuri. Talak bidh‟i hukumnya haram.

2. Talak sarih dan Talak kinayah


Ditinjau dari cara menjatuhkannnya talak terdiri dari atas talâq sharîh dan talâq
kinâyah. Talâq sharîh adalah talak yang diucapkan suami dengan menggunakan kata
thalâq (cerai), firâq (pisah), atau sarah (lepas).
Talak dengan menggunakan kata-kata tersebut dinyatakan sah. Thalâq kinâyah
adalah ucapan yang tidak jelas namun mengarah kepada talâq. Misalnya, ucapan yang
bernada mengusir, menyuruh pulang, dan sejenisnya.
Jika suami mengucapkannya dibarengi niat, maka talaknya jatuh. Karena itu untuk
menghindari terjadinya talak kinayah, sebaiknya suami berhati-hati menggunakan kata-
kata kepada istrinya. Nabi bersabda :

‫اُ َوالطَََّل ُق‬ ِ ِ ِ ُ ‫ث ِجد‬ ٌ ‫صلَّى هللاُ عَلَْي ِو َو َسلَّ َم ثَََل‬ ِ ِ ‫َعن اَِِب ُىري رةَ ر‬
ُ ََ ‫ُّى َّن جد َو َى ُُْْ َّن جد الن‬ َ ‫ال َر ُس ْو ُل هللا‬
َ َ‫ ق‬،‫ال‬
َ َ‫ض َي هللاُ َع ْنوُ ق‬ َ ََْ ْ

‫ رواه االربعة اال النسائى وصححو احلاكم‬.ُ‫الر ْج َعة‬


َّ ‫َو‬

Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah bersabda: ada tiga perkara yang apabila
disungguhkan jadi dan bila main-main pun tetap jadi yaitu nikah, talak, dan rujuk. (HR
Al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud. Al-Hakim menilainya hadis sahih)

3. Talak Raji dan Talak Bain


Ditinjau dari segi rujuk, talak terbagi atas talak raj„i dan talak ba‟in. Talak raj„i
adalah talak yang bisa dirujuk kembali oleh mantan suami tanpa memerlukan nikah
kembali. Hal ini berupa talak satu dan talak dua yang dijatuhkan oleh suami kepada
istrinya. Talak ba‟in adalah talak yang suami tidak boleh merujuk kembali mantan istrinya
kecuali dengan persyaratan tertentu. Talak bain terdiri atas talak bain shugra (kecil) dan
talak bain kubra (besar).
Talak bain shugra adalah talak yang dijatuhkan kepada istri yang belum dicampuri,
disebut juga “talak tebus”. Pada talak ini, suami tidak boleh merujuk kembali mantan
istrinya kecuali dengan pernikahan baru, baik pada masa iddah maupun sesudahnya.
Talak bain kubra adalah talak tiga di mana mantan suami tidak boleh merujuk atau
mengawini kembali mantan istrinya, kecuali mantan istrinya itu dinikahi oleh laki-laki lain
dan telah dicampuri. Apabila suaminya menceraikannya, maka mantan suami yang
pertama boleh menikahinya kembali. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah Swt.:

                       

        

Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak
halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang
lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (mantan suami pertama dan
istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-
hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kamu yang mengetahui.
(Al-Baqarah 2:230)

c. ‘Iddah
Iddah adalah masa penunggu bagi wanita yang ditalak oleh suaminya sampai ia
dapat menikahi kembali dengan laki-laki lain. Lamanya masa iddah bagi seorang
perempuan sebagai berikut:
1. Perempuan yang masih mengalami haid secara normal, iddahnya tiga kali suci,
sebagaimana firman Allah Swt:

     

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru (suci)… .
(QS Al-Baqarah [2]: 228)

2. Perempuan yang tidak lagi mengalami haid (menopouse) atau belum mengalaminya
sama sekali, iddahnya tiga bulan, sebagaimana firman Allah:

               

Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haid di antara perempuan-perempuan


jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka iddah mereka adalah tiga bulan, dan
begitu pula perempuan yang tidak haid.… (QS Ath-Thalaq [65]: 4)

3. Perempuan yang ditinggal mati suaminya, „iddahnya empat bulan sepuluh hari,
sebagaimana firman Allah Swt:
          

Dan orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri


(hendaklah para istri-istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh
hari. (QS Al-Baqarah [2]: 234)

4. Perempuan yang sedang hamil, iddahnya sampai melahirkan, sebagaimana firman Allah.

      

...Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya. (QS Ath-Thalaq [65]: 4)
Perempuan yang berada pada masa iddah diharamkan menerima lamaran laki-laki
lain, selain mantan suaminya (bagi perempuan yang ditalak raj‟i). Mantan suaminya itu
wajib memberikan nafkah sampai habis masa iddahnya.

C. LATIHAN SOAL/TUGAS
1. Jelaskan maksud pernikahan sebagai tanggung jawab terhadap keluarga!
2. Jelaskan 3 hak dan kewajiban suami terhadap istrinya!
3. Jelaskan 3 hak dan kewajiban istri terhadap istrinya
4. Jelaskan cara yang Anda lakukan dalam membinaan keluarga dan mendidik anak-
anak!
5. Apabila hubungan suami-istri tidak dapat dipertahankan, Islam membolehkan
perceraian. Kemukakan 2 (dua) alasan yang tepat dalam menempuh jalan
perceraian!

Untuk Non-Muslim
1. Bagaimana pandangan agama Anda tentang pernikahan sebagai tanggung jawab
terhadap keluarga? Jelaskan
2. Apakah agama Anda mengajarkan hak-hak dan kewajiban antara suami-istri?
Jelaskan hak-hak dan kewajiban suami terhadap istrinya dalam agama Anda!
3. Jelaskan pula hak-hak dan kewajiban istri terhadap suaminya dalam agama Anda!
4. Jelaskan bagaimana cara Anda membina keluarga dan mendidik anak-anak!
5. Apabila hubungan suami-istri tidak dapat dipertahankan, apakah agama Anda
membolehkan perceraian? Jika dibolehkan, kemukakan 2 (dua) alasan yang tepat
dalam menempuh jalan perceraian!

Selamat mengerjakan. Terima kasih

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 2004

Daud Ali, Mohammad, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004

Faridl, Miftah, Pokok-pokok Ajaran Islam, Bandung: Pustaka, 1991

Gazalba, Sidi, Masyarakat Islam, Pengantar Sosiologi dan Sosiolografi, Jakarta: Bulan
Bintang, 1979

Al-Ghazâli, Abû Hâmid, Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn, Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.

Habsyi, Muhammad Bagir, Fiqih Praktis Menurut Al-Quran, As-Sunnah, dan Pendapat
para Ulama, Bandung: Karisma, 2002

Nasution, Ahmad Taufik, Metode Menjernihkan Hati, Melejitkan Kecerdasan Emosi dan
Sprititual Melalui Rukun Iman, Bandung: Al-Bayan, 2004

Razak, Nasruddin, Dienul Islam, Semarang: PT Al-Ma‟arif, 1971.

Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung: Penerbit Mizan, 1992

Suryana Af, A. Toto, dkk., Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi, Bandung:
Tiga Mutiara, 1997

Yakub, Hamzah, Etika Islam, Jakarta: Publicita, 1978

Anda mungkin juga menyukai