Disusun :
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Akhlaq. Selain itu, makalah
ini bertujuan menambah wawasan tentang hak dan kewajiban suami istri bagi para
pembaca dan juga bagi kami.
Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Imawanto, SH. M.Sy selaku dosen
mata kuliah akhlaq. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang
telah membantu diselesaikan-nya makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran
dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Kelompok 5.
DAFTAR ISI
Halaman Judul.......................................................................i
Kata Pengantar......................................................................ii
Daftar Isi.................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................4
B. Rumusan Masalah.................................................................4
C. Tujuan....................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan.........................................................................................19
B. Saran....................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA............................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN
A LATAR BELAKANG
Islam memandang hubungan antara suami dan istri bukan hanya sekedar kebutuhan
semata, tetapi lebih dari itu Islam telah telah mengatur dengan jelas bagaimana sebuah
hubungan agar harmonis dan tetap berlandaskan pada tujuan hubungan tersebut, yakni
hubungan yang dibangun atas dasar cinta kepada Allah Swt.
Oleh karena itu untuk mewujudkan keluarga yang diliputi oleh ketenangan, diselimuti
cinta kasih dan jalinan yang diberkahi, Islam telah mengajarkan kepada Sang Nabi
bagaimana jalinan antara suami dan istri ini bias sejalan, dapat seia dan sekata.
Maka, melalui makalah ini insyaAllah penulis akan mengupas beberapa yang
berkaitan tentang hak dan kewajiban antara seorang suami dengan istri. Hak yang
didasarkan pada kesadaran bukan sekedar kebutuhan, dan kewajiban yang didasari pada
kasih saying dan bukan hanya menjalankan tugas belaka. Dan Islam telah menjadikan
hubungan antara suami istri ini begitu indah jika kita mampu mengejawantahkannya
dalam biduk rumah tangga.
B RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian hak dan kewajiban serta apa yang menimbulkan terjadinya hak dan
kewajiban?
2. Apa sajakah hak dan kewajiban suami terhadap istri?
3. Apa sajakah hak dan kewajiban istri kepada suami?
4. Apa sajakah hak dan kewajiban bersama antara suami dan istri?
5. Apa pengertian hadanah serta hal- hal yang berkaitan dengan hadanah?
C TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian dan penyebab timbulnya hak dan kewajiban.
2. Untuk mengetahui hak dan kewajiban suami kepada istri, istri kepada suami serta
kewajiban bersama antara suami dan istri.
3. Untuk mengetahui pengertian hadanah serta hal- hal yang berkaitan dengan hadanah
BAB II
PEMBAHASAN
a. Hak-hak Bersama
Hak –hak bersama antara suami dan isteri adalah sebagai berikut :
1) Halal bergaul antara suami-isteri dan masing-masing dapat bersenang-senang
satu sama lain.
2) Terjadi hubungan mahram semenda; isteri menjadi mahram ayah suami,
kakeknya, dan seterusnya ke atas, demikian pula suami menjadi mahram ibu
isteri, neneknya, dan seterusnya ke atas.
3) Terjadi hubungan waris-mewaris antara suami dan isteri sejak akad nikah
dilaksanakan. Isteri berhak menerima waris atas peninggalan suami. Demikian
pula, suami berhak waris atas peninggalan isteri, meskipun mereka belum
pernah melakukan pergaualan suami-isteri.
4) Anak yang lahir dari isteri bernasab pada suaminya (apabila pembuahan terjadi
sebagai hasil hubungan setelah nikah).
5) Bergaul dengan baik antara suami dan isteri sehingga tercipta kehidupan yang
harmonis dan damai. Dalam hubungan ini Q.S. An-Nisa:19 memerintahkan,
“Dan gaulilah isteri-isteri itu dengan baik……”
b. Hak-hak Isteri
Hak-hak isteri yang menjadi kewajiban suami dapat dibagi dua[3]: hak-hak
kebendaan, yaitu mahar (maskawin) dan nafkah, dan hak-hak bukan kebendaan,
misalnya berbuat adil di antara para isteri (dalam perkawinan poligami), tidak
berbuat yang merugikan isteri dan sebagainya.
1) Hak-hak Kebendaan
a) Mahar (Maskawin)
Q.S. An-Nisa ayat 24 memerintahkan, “Dan berikanlah maskawin
kepada perempuan-perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
wajib. Apabila mereka dengan senang hati memberikan sebagian maskawin
itu kepadamu, ambillah dia sebagai makanan yang sedap lagi baik
akibatnya.”
Dari ayat Al-Qur’an tersebut dapat diperoleh suatu pengertian bahwa
maskawin itu adalah harta pemberian wajib dari suami kepada isteri, dan
merupakan hak penuh bagi isteri yang tidak boleh diganggu oleh suami,
suami hanya dibenarkan ikut makan maskawin apabila diberikan oleh isteri
dengan sukarela.
Q.S. An-Nisa: 24 mengajarkan, “…. Isteri-isteri yang telah kamu
campuri, berikanlah kepada mereka mahar sempurna, sebagai suatu
kewajiban, dan tidak ada halangan kamu perlakukan mahar itu sesuai
dengan kerelaanmu (suami isteri), setelah ditentukan ujudnya dan
kadarnya….”
Dari ayat tersebut diperoleh ketentuan bahwa isteri berhak atas mahar
penuh apabila telah dicampuri. Mahar merupakan suatu kewajiban atas
suami, dan isteri harus tahu berapa besar dan apa ujud mahar yang menjadi
haknya itu. Setelah itu, dibolehkan terjadi persetujuan lain tentang mahar
yang menjadi hak isteri itu, misalnya isteri merelakan haknya atas mahar,
mengurangi jumlah, mengubah ujud atau bahkan membebaskannya.
Hadits Nabi riwayat Ahmad, Hakim, dan Baihqi dari Aisyah
mengajarkan, “Perempuan-perempuan yang paling besar mendatangkan
berkah Allah untuk suaminya adalah yang paling ringan biayanya.” Yang
diamksud dengan ringan biayanya ialah yang tidak memberatkan suami,
sejak dari mahar sampai kepada nafkah, pakaian, dan perumahan dalam
hidup perkawinan.
b) Nafkah
Yang dimaksud dengan nafkah adalah mencukupkan segala keperluan
isteri, meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal, pembantu rumah tangga,
dan pengobatan, meskipun isteri tergolong kaya.
Q.S. Ath-Thalaq : 6 mengajarkan, “Tempatkanlah isteri-isteri dimana
kamu tinggal menurut kemampuanmu; janganlah kamu menyusahkan isteri-
isteri untuk menyempitkan hati mereka. Apabila isteri-isteri yang kamu talak
itu dalam keadaan hamil, berikanlah nafkah kepada mereka hingga
bersalin … “ Ayat berikutnya (Ath-Thalaq :7) memrintahkan, “ Orang yang
mampu hendaklah memberi nafkah menurut kemampuannya, dan dan orang
yng kurang mampu pun supaya memberi nafkah dari harta pemberian Allah
kepadanya; Allah tidak akan membebani kewajiban kepada seseorang
melebihi pemberian Allah kepadanya ….”
Hadits riwayat Muslim menyenutkan isi khotbah Nabi dalam haji
wada’. Antara lain sebagai berikut, “….. Takuttlah kepada Allah dalam
menunaikan kewajiban terhadap isteri-isteri; itu tidak menerima tamu orang
yang tidak engkau senangi; kalau mereka melakukannya, boleh kamu beri
pelajaran dengan pukulan-pukulan kecil yang tidak melukai; kamu
berkewajiban mencukupkan kebutuhan isteri mengenai makanan dan
pakaian dengan makruf.”
1) Hak Ditaati
Q.S. An-Nisa : 34 mengajarkan bahwa kaum laki-laki (suami)
berkewajiban memimpin kaum perempuan (isteri) karena laki-laki
mempunyai kelebihan atas kaum perempuan (dari segi kodrat kejadiannya),
dan adanya kewajiban laki-laki memberi nafkah untuk keperluan keluarganya.
Isteri-isteri yang saleh adalah yang patuh kepada Allah dan kepada suami-
suami mereka serta memelihara harta benda dan hak-hak suami, meskipun
suami-suami mereka serta memelihara harta benda dan hak-hak suami,
meskipun suami-suami mereka dalam keadaan tidak hadir, sebagai hasil
pemeliharaan Allah serta taufik-Nya kepada isteri-isteri itu. Hakim
meriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. :
“Dari Aisyah, ia berkata : Saya bertanya kepada Rasulullah SAW :
Siapakah orang yang paling besar haknya terhadap perempuan? Jawabnya :
Suaminya. Lalu saya bertanya lagi: Siapakah orang yang paling besar haknya
terhadap laki-laki? Jawabannya: Ibunya.”
Dari bagian pertama ayat 34 Q.S : An-Nisa tersebut dapat diperoleh
ketentuan bahwa kewajiban suami memimpin isteri itu tidak akan
terselenggara dengan baik apabila isteri tidak taat kepada pimpinan suami. Isi
dari pengertian taat adalah :
a) Isteri supaya bertempat tinggal bersama suami di rumah yang telah
disediakan. Isteri berkewajiban memenuhi hak suami bertempat tinggal di
rumah yang telah disediakan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut
Suami telah memenuhi kewajiban membayar mahar untuk isteri.
Rumah yang disediakan pantas menjadi tempat tinggal isteri serta
dilengkapi dengan perabot dan alat yang diperlukan untuk hidup berumah
tangga secara wajar, sederhana, tidak melebihi kekuatan suami.
Rumah yang disediakan cukup menjamin keamanan jiwa dan harta
bendanya, tidak terlalu jauh dengan tetangga dan penjaga-penjaga
keamanan.
Suami dapat menjamin keselamatan isteri di tempat yang disediakan.
b) Taat kepada perintah-perintah suami, kecuali apabila melanggar larangan
Allah
Rasulullah SAW menguatkan dalam sabdanya yang artinya
“Andaikata aku menyuruh seseorang sujud kepada orang lain niscaya
aku perintahkan perempuan bersujud kepada suaminya, karena begitu besar
haknya kepadanya.”
Isteri wajib memenuhi hak suami, taat kepada perintah-perintahnya
apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut
a.) Perintah yang dikeluarkan suami termasuk hal-hal yang ada hubungannya
dengan kehidupan rumah tangga. Dengan demikian, apabila misalnya suami
memerintahkan isteri untuk membelanjakan harta milik pribadinya sesuai
keinginan suami, isteri tidak wajib taat sebab pembelanjaan harta milik
pribadi isteri sepenuhnya menjadi hak isteri yang tidak dapat dicampuri oleh
suami.
b.) Perintah yang dikeluarkan harus sejalan dengan ketentuan syari’ah.
Apabila suami memerintahkan isteri untuk menjalankan hal-hal yang
bertentangan dengan ketentuan syari’ah, perintah itu tidak boleh ditaati.
Hadits Nabi riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasai dari Ali
mengajarkan, “Tidak dibolehkan taat kepada seorang pun Dalam bermaksiat
kepada Allah; taat hanyalah dalam hal-hal yang makruf.”
c.) Suami memenuhi kewajiban-kewajibannya yang member hak isteri, baik
yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat bukan kebendaan.
c) Berdiam di rumah, tidak keluar kecuali dengan izin suami. Isteri wajib
berdiam di rumah dan tidak keluar kecuali dengan izin suami apabila
terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut :\
a.) Suami telah memenuhi kewajiban membayar mahar untuk isteri.
b.) Larangan keluar rumah tidak berakibat memutuskan hubungan keluarga-
keluarganya, isteri tidak wajib taat. Ia boleh keluar untuk berkunjung, tetapi
tidak boleh bermalam tanpa izin suami.
d) Tidak menerima masuknya seseorang tanpa izin suami
Hak suami agar isteri tidak menerima masuknya seseorang tanpa
izinnya, dimaksudkan agar ketentraman hidup rumah tangga tetap
terpelihara. Ketentuan tersebut berlaku apabila orang yang dating itu bukan
mahram isteri. Apabila orang yang dating adalah mahramnya, seperti ayah,
saudara, paman, dan sebagainya, dibenarkan menerima kedatangan mereka
tanpa izin suami.
Kewajiban taat yang meliputi empat hak tersebut disertai dengan
syarat-syarat yang tidak memberatkan isteri.
Pasal 78
a Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
b Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh suami isteri
bersama.
2. Pengertian Khulu’
Al-khul` berarti menanggalkan dan melepaskan. Salah satu cara melepaskan
ikatan perkawinan yang datangnya dari pihak istri dengan kesediaannya membayar
ganti rugi. Terdapat beberapa definisi khuluk yang dikemukakan oleh ulama mazhab.
Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan "melepaskan ikatan
perkawinan yang tergantung kepada penerimaan istri dengan menggunakan lafal
khuluk atau yang semakna dengannya". Akibat akad ini baru berlaku apabila
mendapat persetujuan istri dan mengisyaratkan adanya ganti rugi bagi pihak suami.
Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan khuluk dengan "talak dengan ganti
rugi, baik datangnya dari istri maupun dari wali dan orang lain". Artinya, aspek ganti
rugi sangat menentukan akad ini di samping lafal khuluk itu sendiri menghendaki
terjadinya perpisahan suami istri tersebut dengan ganti rugi. Menurut mereka, apabila
lafal yang digunakan adalah lafal talak, maka harus disebutkan ganti rugi. apabila
yang digunakan adalah lafal khuluk maka tidak perlu disebutkan ganti rugi, karena
lafal khuluk sudah mengandung pengertian ganti rugi.
Ulama Mazhab Syafil mendefinisikan khuluk dengan "perceraian antara suami
istri dengan ganti rugi, baik dengan lafal talak maupun dengan lafal khuluk".
Contohnya, suami mengatakan pada istrinya, "Saya talak engkau atau saya khuluk
engkau dengan membayar ganti rugi kepada saya sebesar ," lalu istri menerimanya.
Ulama Mazhab Hanbali mendefinisikannya dengan "tindakan suami
menceraikan istrinya dengan ganti rugi yang diambil dari istri atau orang lain dengan
menggunakan lafal khusus". Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa ulama Mazhab
Hanbali membolehkan terjadinya khuluk tanpa ganti rugi. Tetapi pendapat ini
tergolong lemah di kalangan ulama Hanbali. Adapun pendapat terkuat di kalangan
Mazhab Hanbali ialah bahwa dalam khuluk aspek ganti rugi merupakan rukun khuluk.
Oleh sebab itu, khuluk harus dengan ganti rugi dari pihak istri atau orang lain.
Dari empat definisi di atas, menurut Wahbah az-Zuhaili, ahli fikih di
Universitas Damascus (Suriah), yang berlaku luas adalah yang dikemukakan ulama
Mazhab karena sangat sesuai dengan pengertian bahasa dari kata khuluk itu sendiri.
Singkatnya, sesungguhnya definisi khusus khulu' membuat hilang berbagai hak istri.
Definisi khulu' menurut pendapat mazhab Maliki adalah, talak dengan 'iwadh, baik
talak ini berasal dari istri maupun dari orang lain yang selain istri yang terdiri dari
wali ataupun orang lain, atau talak yang diucapkan dengan lafal khulu'.
Definisi ini menunjukkan bahwa ada dua macam khulu': Pertama, yaitu yang
mayoritas terjadi adalah yang berdasarkan 'iwadh harta. Kedua, talak yang terjadi
dengan lafal khulu' meskipun tidak berdasarkan 'iwadh apaapa. Misalnya si suami
berkata kepada si istri, "Aku khulu' kamu" atau "Kamu terkhulu'." Dengan kata lain, si
istri ataupun orang lain memberikan harta kepada si suami agar menalak si istri. Atau
membuat jatuh hak si istri yang harus dipenuhi oleh si suami, maka dengan khulu' ini
jatuh talak ba'in
Sedangkan yang dimaksud dengan fasakh adalah jatuhnya talak oleh
keputusan hakim atas dasar pengaduan istri, sementara hakim mempertimbangkan
kelayakannya, sementara suami tidak mau menjatuhkan talak. perceraian dalam
bentuk fasakh dapat berlaku apabila.
Sebagaimana hukum talak, khuluk pun ada yang wajib, haram, mubah,
makruh dan sunah. berikut ini adalah penjelasannya.
Wajib, khuluk wajib hukumnya apabila suami tidak mampu memberikan nafkah
lahir dan batin, sedangkan istri merasa tersiksa dengan keadaan suaminya.
Haram, khuluk haram hukumnya bila terdapat maksud untuk menyengsarakan istri
dan anaknya.
Mubah, khuluk mubah hukumnya apabila ada keperluan yang membolehkan istri
menempuh jalan ini.
Makruh, hukum khuluk menjadi makruh apabila tidak ada keperluan untuk itu.
Sunah, hukum khuluk menjadi sunah apabila dengan khuluk, dapat mencapai
kemaslahatan bagi keduannya.
Status talak karena khuluk sama dengan talak ba’in shughra, yang berarti mantan
suami tidak berhak untuk merujuk kembali mantan istrinya, terkecuali dengan
menikah kembali dan harus memenuhi syarat rukun nikah sebagaimana mestinya.
3. Pengertian Nusyuz
Secara bahasa, Nusyûz berarti penentangan atau lebih umumnya adalah
pelanggaran istri terhadap perintah dan larangan suami secara mutlak, akan tetapi
Nusyûz dapat juga terjadi pada suami apabila seorang suami tidak menjalankan
kewajiban yang menjadi hak-hak istri, seperti tidak memberikan nafkah dan lain
sebagainya.
Langkah-langkah Menghadapi Suami dan Istri Nusyûz dalam al-Qur’an
Terdapat empat ayat yang menggunakan kata Nusyûz dalam Al-Qur’an. yaitu
dalam surat Mujadalah ayat 11, al-Baqarah ayat 259, al-Imron ayat 128 dan ayat 34.
Namun hanya pada dua ayat yang berhubungan dengan pembahasan sekarang
ini. Berkenaan langkah menghadapi istri Nusyûz Al-Qur’an menjelaskan: “…wanita-
wanita yang kamu khawatirkan Nusyûz-nya, maka nasehatilah mereka, lalu
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan lalu pukullah mereka. kemudian jika
mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya…”.
Jadi menurut Al-Qur’an langkah-langkah menghadapi istri yang Nusyûz
adalah sebagai berikut:
pertama, dinasehati.
kedua, jika nasehat tidak memberikan pengaruh, maka masuk langkah kedua yaitu
pisah tempat tidur.
ketiga, jika langkah kedua tidak mempan juga, maka memasuki langkah
selanjutnya yaitu memukul istri.
Dalam perkara Nusyûz suami, Al-Qur’an menjelaskan: “dan jika seorang wanita
khawatir akan Nusyûz, atau sikap tidak acuh suaminya, maka tidak mengapa bagi
keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu
lebih baik…”.
Sekilas, dalam kedua ayat tersebut terdapat diskriminatif dan bias gender.
untuk istri Nusyûz, jalan terakhirnya adalah berupa pukulan. sementara, untuk suami
Nusyûz dituntut untuk berdamai. sudah dijelaskan bahwa hukum-hukum dan ajaran-
ajaran Islam disusun sesuai fitrah manusia. adanya perbedaan dalam hukum bukan
berarti sebuah diskriminasi tetapi kembali pada perbedaan yang terdapat pada lelaki
dan perempuan, misalnya perbedaan dari sisi psikologis. sebagaimana sebagian ulama
mengatakan, salah satu hikmah dari perbedaan dalam menghadapi suami atau istri
yang Nusyûz adalah kembali pada perbedaan psikologis keduanya.
4. Pengertian Thalaq
Arti thalaq adalah melepaskan ikatan, dalam ketentuan hukum pernikahan
islam, talak artinya melepas ikatan pernikahan dengan ucapan talak atau perkataan
lain yang maksudnya sama dengan talak. Dalam sebuah buku yang dikarang ole
Sayyid Sabid yang berjudul “Fiqh As Sunah” beliau memberikan definisi sebagai
berikut : “talak adalah melepaskan tali pernikahan dan mengakhiri hubungan suami
istri”. Abu Zakaria Al Ansari dalam kitabnya “Fath al- Wahhab” menyatakan
bahwa : “talak adalah melepas tali akad nikah dengan kalimat talak dan semacamnya”
Yang dimaksud dengan melepas tali pernikahan ialah memutuskan ikatan
pernikahan yang dulu diikat oleh akad (ijab qabul) sehingga status suami istri
diantara keduanya menjadi hilang, termasuk hilangnya hak dan kewajiban antara
keduanya.
Talak merupakan hak suami istri dalam arti istri tidak bisa melepaskan diri
dari ikatan pernikahan kalau tidak dijatuhkan talak oleh suami. Walaupun suami
diberikan hak untuk menjatuhkan talak, dalam ajaran islam tidak membenarkan suami
menggunakan haknya dengan semena mena dan gegabah dalam memutuskan talak
apalagi kalau hanya mengikuti hawa nafsunya. Menurut para ulama Syafi’iah dan
Hambaliyah hukum asal dari talak ialah makruh. Hal ini berdasrkan hadist Rasulullah
berikut ini yang artinya :
“Dari Umar ra, Rasulullah Saw bersabda :’ perbuatan halal yang paling
dibenci Allah adalah perceraian’.” (HR. Abu Dawud dan Hakim)
Sedangkan para ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pada dasarya talak itu
merupakan perbuatan yang haram, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw berikut
yang artinya : “Allah mengutuk orang yang kawin (menikah) hanya maksud
mencicipi dan sering mencerai istr”
Kisah Ketegaran dan Kelembutan Sang Istri Berujung Kebahagiaan Rumah Tangga
Rumah tangga adalah perhiasan dunia yang paling berharga. Tak ada kebahagiaan
sempurna selain kehadiran keluarga di sisi kita. Suami, istri, dan anak adalah anggota inti
keluarga. Adapun keluarga kecil yang masih menunggu kehadiran anak alias hanya
beranggotakan suami dan istri.
Kehidupan di dunia tidak selamanya mulus dan tanpa masalah. Tak jarang jika
manusia dihadapkan pada sebuah masalah yang membuat mereka harus cek cok. Begitu pun
dengan kehidupan rumah tangga yang seringkali datang ujian dan cobaan. Ada saja fitnah
yang terkadang datang sehingga pertengkaran tidak bisa dihindari. Hal tersebut jugalah yang
terjadi kepada pasangan berikut.
Ketika cek cok muncul di antara sang suami dan sang istri, tak jarang jika tubuh kita
diselimuti oleh emosi yang berlebihan sehingga menimbulkan kejadian yang di luar dugaan.
Itulah yang terjadi pada pasangan yang tinggal di Jeddah, Mekkah ini. Suami menampar
istrinya sehingga sang istri pun menangis. Tak lama kemudian, datanglah ibu si istri dan
keluarganya. Istri pun sontak membersihkan mukanya dari isak tangisnya.
Sedangkan sang suami dengan rasa bingung dan takut ia membukakan pintu untuk ibu
mertuanya. Setelah ibu mertuanya masuk ke dalam rumah dan mendapati muka anaknya yang
sembab usai menangis, ibunya pun bertanya tentang kejadian apa yang telah menimpanya
hingga ia mengeluarkan air mata.
Dengan tanpa ragu ia mengatakan bahwa ia menangis lantaran rindu berat akan
bertemu sang ibu. Ibunya lantas memeluk anak perempuannya tersebut, sehingga air mata si
istri ini langsung tumpah ruah menyelimuti wajahnya. Melihat kejadian tersebut, sang suami
kaget, ia mengira bahwa rumah tangganya akan hancur lantaran apa yang baru saja terjadi
antara dirinya dengan sang istri, namun malah sebaliknya.
Kemudian sang suami berangkat menuju ke pasar untuk membeli hidangan bagi tamu
yang datang. Ia tak hanya membeli makanan untuk disajikan kepada tamunya, namun ia juga
membeli perhiasan emas yang sangat mahal bernilai 1.000 real atau sekitar 33 juta rupiah.
Untuk siapa perhiasan tersebut? Tak lain dan tak bukan, perhiasan tersebut dihadiahkan
kepada istrinya tercinta.
Dari kisah di atas, ada beberapa hal yang harus kita ingat bahwa wanita adalah
makhluk Tuhan yang sangat mulia. Sehingga sepatutnya kita menghargai manusia yang
memiliki kelembutan hati tersebut. Tak pantas bagi kita untuk menyakitinya.
Jika wanita telah mempunyai status sebagai istri, ia layak untuk menghormati dan
menghargai apa yang telah suaminya lakukan, begitu pula sebaliknya. Istri yang solihah
adalah istri yang bisa mempertahankan rumah tangganya dengan menjaga lisan dari
perkataan buruk atau pun aib rumah tangga kepada siapapun selain pasangan kita terlebih
kepada orang tua. Jika orang tua mendengar peristiwa buruk yang terjadi pada rumah tangga
anaknya pastinya akan menjadi beban bagi mereka. Nah, jika Anda menginginkan rumah
tangga yang sakinah mawaddah warahmah, selayaknya Anda mempraktikkan apa-apa yang
sudah tertera di dalam syariat agama dalam menjaga mahligai rumah tangga. Dengan begitu,
bahtera rumah tangga Anda akan membawa Anda kedalam kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kisah nyata. Suamiku orang baik. Namun, dia begitu sibuk bekerja hingga membuat
kami tidak memiliki banyak waktu untuk berkomunikasi. Yah, itu memang kewajibannya
sebagai suami, tapi aku juga butuh perhatian darinya. Bagaimanapun aku ini wanita normal
yang memerlukan kasih sayang dan cinta. Aku bukanlah pajangan seperti manekin di etalase
toko; jika dibiarkan, lalu untuk apa menikah?
Telah berlalu satu tahun semenjak pernikahan. Tak ada yang berubah dari suamiku.
Dia masih sibuk bekerja dan bekerja. Kuakui, dalam perihal materi dia benar-benar
mencukupi; aku tak pernah merasa kekurangan sedikit pun. Namun, apalah arti bergelimang
harta, jika kebutuhan batinku tak terpenuhi? Aku tidak bekerja. Keseharianku hanya di rumah
saja. Hal tersebut menjadikanku cukup aktif di sosial media. Dan ketahuilah, aku bukan
wanita yang suka menanggapi keisengan laki-laki lewat inbox medsosku. Akan tetapi,
sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga.
Kisah ini bermula saat aku berkenalan dengan seorang lelaki melalui media sosial.
Awalnya, aku tak terlalu menanggapi, tapi secara kebetulan aku dan dia satu daerah serta
orang tua kami pernah saling kenal. Jadilah hari itu aku bertukar pin BBM dengannya. Sebut
saja nama lelaki itu Bram. Komunikasi akhirnya terjalin. Perkenalan dengan Bram seolah
menjadi kesibukan baru bagiku. Obrolan semakin intens. Suamiku tak pernah memberi
perhatian lebih apalagi berniat memeriksa isi chat handphone-ku. Sungguh sudah kukatakan
dia begitu sibuk bekerja. Mungkin, dia sudah lupa padaku--anggap saja begitu.
Bram begitu perhatian dan selalu ada saat aku membutuhkannya. Dia senantiasa
menanyakan kabar dan keadaanku; sesuatu yang tak aku dapatkan dari suamiku. Karena terus
menerus diabaikan dan merasakan ketidakpuasan batin, hatiku mulai hinggap kepada Bram.
Bram akhirnya menyatakan cinta dan aku menyambutnya. Saat itu dia mengaku sebagai
seorang duda dan juga belum memiliki pekerjaan yang cukup baik. Bagiku tak masalah, yang
penting dia mau memenuhi hatiku yang hampa dan mau menambatkan hati walau aku sudah
bersuami.
Karena berada di daerah yang sama kami akhirnya bertemu. Berjalan berdua layaknya
sepasang kekasih. Indah sungguh indah; apa yang nampak di depan mataku; semuanya
terlihat membahagiakan. Tak peduli berapa banyak biaya yang kugelontorkan setiap kali
pergi bersamanya. Yang penting aku senang, itu saja. Lagi pula, suamiku tak pernah bertanya
uangku habis ke mana dan dipakai untuk apa. Aku berada di rumah saat dia pulang,
menyiapkan kebutuhan dan keperluannya, serta memberikan pelayanan bila dia
menginginkan; demikian sudah cukup baginya.
Memasuki tahun kedua pernikahan, hubunganku dengan suami tak ada yang berubah.
Dia masih sibuk bekerja dan tetap dingin seperti biasa. Sedang hubunganku dengan Bram
masih tetap berlanjut. Menginjak tahun ketiga, semua masih sama. Suamiku dengan
kesibukannya dan bersikap baik terhadapku. Dia memenuhi segala materi, tapi tidak dengan
kebutuhan batinku. Jalinan cintaku dengan Bram juga masih berlanjut; bahkan bisa dikatakan
kami layaknya suami istri.
Jangan tanya ke mana tentu setiap tempat yang menarik telah kami sambangi.
Sungguh, karena mabuk asmara, aku dan Bram pun melakukan hubungan terlarang itu. Yah,
kami berzina. Saat itu aku tak ambil pusing. Karena suami tak pernah mencukupinya, maka
Bram lah yang menunaikan tugas suamiku yang satu ini.
Waktu terus berlalu. Hingga suatu ketika sebuah rahasia tentang Bram terungkap.
Tenyata dia masih beristri dan memiliki anak. Rasanya aku tak percaya. Namun, sekuat apa
pun aku menolak, itu memang sebuah kenyataan. Tentu aku sakit hati dan kecewa dengan
Bram. Anehnya, aku tetap ingin bersamanya dan masih bersedia menjalin hubungan
dengannya. Dia bahkan meyakinkanku, bahwa istrinya tak mempermasalahkan
perselingkuhannya denganku. Seolah ini adalah angin segar, tapi juga keanehan bagiku.
Karena penasaran, kukatakan pada Bram bahwa aku ingin bertemu dengan istrinya. Dia pun
menyanggupi.
Maka kami membuat rencana. Kebetulan, saat itu musim batu akik. Aku meminta
pada suami untuk mengantar ke rumah Bram dengan dalih mencari batu akik. Dia rela
meninggalkan kesibukan bekerja karena aku sedikit memaksa. Dan dia tak pernah tahu
bahwa itu rumah selingkuhanku. Ternyata memang benar apa yang Bram katakan, bahwa
istrinya tak terlalu peduli dengan perselingkuhannya. Aku terus menjalin hubungan dengan
Bram. Berbuat maksiat dan dosa tanpa henti. Aku benar-benar lupa daratan. Tak terasa, sudah
4 tahun berlalu. Aku terus berasyik masyuk tanpa ketahuan. Tapi, menginjak tahun ke lima
pernikahan, entah apa yang terjadi pada suamiku. Dia mulai berubah.
Pelan namun pasti, sikap dinginnya mencair. Dia mulai perhatian dan berkasih sayang
padaku. Memenuhi kebutuhan materi dan batinku. Saat itulah aku tersadar, bahwa aku telah
mengkhianatinya. Empat tahun! Yah, empat tahun aku mengkhianatinya. Karena semua
kebutuhanku tercukupi, aku mulai menjauhi Bram. Bahkan tak bertemu lagi dengannya.
Beberapa kali dia mencoba menghubungiku, tapi kubalas dengan kata kata kasar.
B SARAN
Demikian makalah ini yang dapat kami sajikan, semoga makalah ini bermanfaat bagi
pembaca dan ketahuilah bahwa suatu hubungan suami istri itu akan lebih baik jika
hubungan itu dilandasi dengan agama yang kuat maka kami menyarankan bahwa
hubungan suami istri/pernnikahan itu bukan main main melainkan itu adalah salah satu
hubungan yang indah dan juga harus dipertahankan agar menjadi hubungan yang
SAMARA. Jadi jangan pernah mencoba coba untuk menikah/memiliki hubungan suami
istri jika anda belum siap karena itu bisa brakhir dengan kehancuran rumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA
‘Audah, Abdul Qadir. Tanpa tahun. At-Tasyri’ Al-Jina’iy Al-Islamy. Beirut: Dar Al-
Kitab Al-‘Araby.
Basyir, Ahmad Azhar, H., 2007. Hukum Perkawinan Islam. Cet. 11 Yogyakarta:
UII Press.
Furqan, H. Arif, dkk. 2002. Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum. Jakarta:
Departemen Agama RI, Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam.
Ghozali, Abdul Rahman, Prof., DR., M.A., 2008. Fiqih Munakahat. Cet. 3 Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup.
Hanafi, Ahmad. 1990. Asas-Asas Hukum Pidana Islam Cet. 4. Jakarta: Bulan
Bintang.
Kumpulan Hadits Riwayat Bukhary dan Muslim. 2002.
Rahman Ghozali Abdul,MA, Fiqih Munhakhat, Jakarta, Kencana, 2008.
Rasyd Sulaiman, H, Fiqih Islam, Bandung, Sinar baru Algensindo.1994.
Muhammad Ibrahim Al-Jamal, Jakarta, Pustaka Amani, 1999.
http://robiepalkoris.blogspot.com
http://fdj-indrakurniawan.blogspot.com
http://yunisundari.blogspot.com