Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH AKHLAK

HAK dan KEWAJIBAN SUAMI ISTRI


DAN
HUKUM POLIGAMI

OLEH
SRI RAHMADANI
14120130115
W3
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2014
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena
atas berkat rahmat dan limpahan-Nya maka saya dapat menyelesaikan makalah ini
tepat pada waktunya.
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam pembuatan makalah ini. Makalah ini masih jauh dari sempurna oleh karena
itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi
sempurnanya makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat
bagi pengembagan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Penyusun,
Makassar,

September 2014

A. Hak dan Kewajiban Suami-Istri


1. Pengertian hak dan kewajiban suami-istri
Hak adalah kekuasaan seseorang untuk melakukan sesuatu, sedangkan
Kewajiban adalah sesuatu yang harus dikerjakan. Membicarakan kewajiban
dan hak suami istri,terlebih dahulu kita membicarakan apa yang dimaksud
dengan kewajiaban dan apa yang dimaksud dengan hak. Drs. H. Sidi Nazar
Bakry dalam buku karangannya yaitu Kunci Keutuhan Rumah Tangga Yang

Sakinah mendefinisikan kewajiban dengan sesuatu yang harus dipenuhi dan


dilaksanakan dengan baik.Sedangkan hak adalah sesuatu yang harus
diterima.
Lantas,

pada

obyeknya.Maka

pengertian
disandingkan

diatas

jelas

dengan

membutuhkan
kata

subyek

kewajiban

dan

dan
hak

tersebut,dengan kata suami dan istri,memperjelas bahwa kewajiban suami


adalah

sesuatu

yang

harus

suami

laksanakan

dan

penuhi

untuk

istrinya.Sedangkan kewajiaban istri adalah sesuatu yang harus istri laksanan


dan lakukan untuk suaminya.Begitu juga dengan pengertian hak suami
adalah,sesuatu yang harus diterima suami dari isterinya.Sedangkan hak isteri
adalah sesuatu yang harus diterima isteri dari suaminya.Dengan demikian
kewajiban yang dilakukan oleh suami merupakan upaya untuk memenuhi hak
isteri.demikian juga kewajiban yang dilakukan istri merupakan upaya untuk
memenuhi hak suami,sebagaiman yang Rosulullah SAW jelasakan :


: Ketahuilah sesungguhnya kalian mempunyai hak yang harus (wajib)
ditunaikan oleh istri kalian,dan kalian pun memiliki hak yang harus (wajib)
kalian tunaikan. (Hasan: Shahih ibnu Majah no.1501.Tirmidzi II:315 no:1173
dan ibnu Majah I:594 no:1851)
Begitulah kehidupan berumah tangga, mebutuhkan timbal balik yang
searah dan sejalan.rasa saling membutuhkan,memenuhi dan melengkapi
kekurangan satu dengan yang lainnya. tanpa adanya pemenuhan kewajiban
dan hak kedunya, maka keharmonisan dan keserasian dalam berumah
tangga akan goncang berujung pada percekcokan dan perselisihan.
Dengan dilangsungkan akad nikah antara mempelai laki-laki dan
mempelai perempuan yang dilakukan oleh walinya, terjalinlah hubungn suami
isteri dan timbul hak dan kewajiaban masing-masing timbal-balik.
2. Macam-macam hak antara suami dan istri
Hak-hak dalam perkawinan itu dapat dibagi menjadi tiga, yaitu hak
bersama, hak isteri yang menjadi kewajiban suami, dan hak suami yang
menjadi kewajiban isteri.
a. Hak-hak Bersama

Hak hak bersama antara suami dan isteri adalah sebagai berikut :
Halal bergaul antara suami-isteri dan masing-masing dapat bersenangsenang satu sama lain.
Terjadi hubungan mahram semenda; isteri menjadi mahram ayah suami,
kakeknya, dan seterusnya ke atas, demikian pula suami menjadi mahram
ibu isteri, neneknya, dan seterusnya ke atas.
Terjadi hubungan waris-mewaris antara suami dan isteri sejak akad nikah
dilaksanakan. Isteri berhak menerima waris atas peninggalan suami.
Demikian pula, suami berhak waris atas peninggalan isteri, meskipun
mereka belum pernah melakukan pergaualan suami-isteri.
Anak yang lahir dari isteri bernasab pada suaminya (apabila pembuahan
terjadi sebagai hasil hubungan setelah nikah.
Bergaul dengan baik antara suami dan isteri sehingga tercipta kehidupan
yang harmonis dan damai. Dalam hubungan ini Q.S. An-Nisa:19
memerintahkan,
... ( 19: )...

Dan gaulilah isteri-isteri itu dengan baik


Mengenai hak dan kewajiban bersama suami isteri, Undang-Undang
Perkawinan menyabutkan dalam Pasal 33 sebagai berikut, Suami isteri
wajib cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan
lahir batin yang satu kepada yang lain.
b. Hak-hak Isteri
Hak-hak isteri yang menjadi kewajiban suami dapat dibagi dua: hak-hak
kebendaan, yaitu mahar (maskawin) dan nafkah, dan hak-hak bukan
kebendaan, misalnya berbuat adil di antara para isteri (dalam perkawinan
poligami), tidak berbuat yang merugikan isteri dan sebagainya.
1. Hak-hak Kebendaan
Mahar (Maskawin)
Q.S. An-Nisa ayat 24 memerintahkan, Dan berikanlah maskawin
kepada perempuan-perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
wajib. Apabila mereka dengan senang hati memberikan sebagian
maskawin itu kepadamu, ambillah dia sebagai makanan yang sedap
lagi baik akibatnya.
Dari ayat Al-Quran tersebut dapat diperoleh suatu pengertian
bahwa maskawin itu adlah harta pemberian wajib dari suami kepada
isteri, dan merupakan hak penuh bagi isteri yang tidak boleh diganggu

oleh suami, suami hanya dibenarkan ikut makan maskawin apabila


diberikan oleh isteri dengan sukarela.Q.S. An-Nisa: 24 mengajarkan,
. Isteri-isteri yang telah kamu campuri, berikanlah kepada mereka
mahar sempurna, sebagai suatu kewajiban, dan tidak ada halangan
kamu perlakukan mahar itu sesuai dengan kerelaanmu (suami isteri),
setelah ditentukan ujudnya dan kadarnya.
Dari ayat tersebut diperoleh ketentuan bahwa isteri berhak atas
mahar penuh apabila telah dicampuri. Mahar merupakan suatu
kewajiban atas suami, dan isteri harus tahu berapa besar dan apa ujud
mahar yang menjadi haknya itu. Setelah itu, dibolehkan terjadi
persetujuan lain tentang mahar yang menjadi hak isteri itu, misalnya
isteri merelakan haknya atas mahar, mengurangi jumlah, mengubah
ujud atau bahkan membebaskannya. Hadits Nabi riwayat Ahmad,
Hakim, dan Baihqi dari Aisyah mengjarkan, Perempuan-perempuan
yang paling besar mendatangkan berkah Allah untuk suaminya adalah
yang paling ringan biayanya. Yang diamksud dengan ringan biayanya
ialah yang tidak memberatkan suami, sejak dari mahar sampai kepada
nafkah, pakaian, dan perumahan dalam hidup perkawinan.
Hadits riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, dan Nasai
dari Sahl Bin Saad menyatakan bahwa Nabi pernah mengawinkan
salah seorang sahabatnya dengan maskawin mengajar membaca AlQuran yang dihafalnya (menurut salah satu riwayat, yang dihafalnya
itu adalah Surah Al-Baqarah dan Ali Imran). Hadits riwayat BukhariMuslim, dan lain-lain dari Anas menyatakan bahwa Nabi pernah
memerdekakan Sofiah yang kemudian menjadi isteri beliau, dan yang
menjadi maskawinnya adalah memerdekakannya itu.
Nafkah
Yang dimaksud dengan nafkah adalah mencukupkan segala
keperluan isteri, meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal, pembantu
rumah tangga, dan pengobatan, meskipun isteri tergolong kaya.
Q.S. Ath-Thalaq : 6 mengajarkan, Tempatkanlah isteri-isteri
dimana kamu tinggal menurut kemampuanmu; janganlah kamu
menyusahkan isteri-isteri untuk menyempitkan hati mereka. Apabila
isteri-isteri yang kamu talak itu dalam keadaan hamil, berikanlah

nafkah kepada mereka hingga bersalin Ayat berikutnya (AthThalaq :7) memrintahkan, Orang yang mampu hendaklah memberi
nafkah menurut kemampuannya, dan dan orang yng kurang mampu
pun supaya memberi nafkah dari harta pemberian Allah kepadanya;
Allah tidak akan membebani kewajiban kepada seseorang melebihi
pemberian Allah kepadanya .
Hadits riwayat Muslim menyenutkan isi khotbah Nabi dalam haji
wada. Antara lain sebagai berikut, .. Takuttlah kepada Allah dalam
menunaikan kewajiban terhadap isteri-isteri; itu tidak menerima tamu
orang yang tidak engkau senangi; kalau mereka melakukannya, boleh
kamu beri pelajaran dengan pukulan-pukulan kecil yang tidak melukai;
kamu berkewajiban mencukupkan kebutuhan isteri mengenai makanan
dan pakaian dengan makruf.
2. Hak-hak Bukan Kebendaan
Hak-hak bukan kebendaan yang wajib ditunaikan suami terhadap
isterinya, disimpulkan dalam perintah Q.S. An-Nisa: 19 agar para suami
menggauli isteri-isterinya dengan makruf dan bersabar terhadap hal-hal
yang tidak disenangi, yang terdapat pada isteri. Menggauli isteri dengan
makruf dapat mencakup:
Sikap menghargai, menghormati, dan perlakuan-perlakuan yang baik,
serta meningkatkan taraf hidupnya dalam bidang-bidang agama,
akhlak, dan ilmu pengetahuan yang diperlukan.
Hadits riwayat Tirmidzi dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah r.a.
mengajarkan,

Orang-orang

mukmin

yang

paling

baik

budi

perangainya, dan orang-orang yang paling baik di antara kamu adalah


yang paling baik perlakuannya terhadap isteri-isterinya.
Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a.
mengajarkan, Bersikap baiklah kamu terhadap isteri-isterimu sebab
orang perempuan diciptakan berkodrat seperti tulang rusuk; yang
paling lengkung adalah tulang rusuk bagian atas; apabila kamu biarkan
akan tetap meluruskannya, ia akan patah dan apabila kamu biarkan
akan

tetap

lengkung,

bersikap

baiklah

kamu

terhadap

para

isteri.Termasuk perlakuan baik yang menjadi hak isteri ialah,


hendaknya suami selalu berusaha agar isteri mengalami peningkatan

hidup keagamaannya, budi pekertinya, dan bertambah pula ilmu


pengtahuannya. Banyak jalan yang dapat ditempuh untuk memenuhi
hak isteri, misalnya melaui pengajian-pengajian, kursus-kursus,
kegiatan kemasyarakatan, bacaan buku, majalah, dan sebagainya.
Melindungi dan menjaga nama baik isteri
Suami berkewajiban melindungi isteri serta menjaga nama baiknya.
Hal ini tidak berarti bahwa suami harus menutupi-nutupi kesalahan
yang memang terdapat pada isteri. Namun, adalah menjadi kewajiban
suami untuk tidak membeberkan kesalahan-kesalahan isteri kepada
orang lain. Apabila kepada isteri hal-hal yang tidak benar, suami
setelah melakukan penelitian seperlunya, tidak apriori, berkewajiban
memberikan

keterangan-keterangan

kepada

pihak-pihak

yang

melontarkan tuduhan agar nama baik isteri jangan menjadi cemar.


Memenuhi kebutuhan kodrat (hajat) biologis isteri
Hajat biologis adalah kodrat pembawaan hidup. Oleh karena itu,
suami wajib memperhatikan hak isteri dalam hal ini. Ketentraman dan
keserasian hidup perkawinan anatara lain ditentukan oleh faktor hajat
biologis ini. Kekecewaan yang dialami dalam masalah ini dapat
menimbulkan keretakan dalam hidup perkawinan; bahkan tidak jarang
terjadi penyelewengan isteri disebabkan adanya perasaan kecewa
dalam hal ini.
Salah seorang sahabat Nabi bernama Abdullah bin Amr yang
terlalu banyak menggunakan waktunya untuk menunaikan ibadah;
siang untuk melakukan puasa dan malam harinya untuk melakukan
shalat, diperingatkan oleh Nabi yang antara lain. Isterimu mempunyai
hak yang wajib kau penuhi.
Demikian pentingnya kedudukan kebutuhan biologis itu dalam
hidup manusia sehingga Islam menilai hubungan suami isteri yang
antara lain untuk menjaga kesucian diri dari perbuatan zina itu sebagai
salah satu macam ibadah yang berpahala. Dalam hal ini hadits Nabi
riwayat Muslim mengajarkan, Dan dalam hubungan kelaminmu
bernilai shadaqah. Mendengar kata Nabi itu para sahabat bertanya,
Ya Rasulullah, apakah salah seorang di antara kita memenuhi
syahwatnya itu memperoleh pahala? Nabi menjawab, Bukkankah

apabila ia melakukannya dengan yang haram akan berdosa? Demikian


sebaliknya, apabila ia memenuhinya dengan cara yang halal akan
mendapat pahala.
c. Hak-hak suami
Hak-hak suami yang wajib dipenuhi isteri hanya merupakan hak-hak
bukan kebendaan sebab menurut hukum Islam isteri tidak dibebani kewajiban
kebendaan yang diperlukan untuk mencukupkan kebutuhan hidup keluarga.
Bahkan, lebih diutamakan isteri tidak usah ikut bekerja mencari nafkah jika
suami memang mampu memenuhi kewajiban nafkah keluarga dengan baik.
Hal ini dimaksudkan agar isteri dapat mencurahkan perhatiannya untuk
melaksanakan kewajiban membina keluarga yang sehat dan mempersiapkan
generasi yang saleh. Kewajiban ini cukup berat bagi isteri yang memang
benar-benar akan melaksanakan

dengan baik. Namun, tidak dapat

dipahamkan bahwa Islam dengan demikian menghendaki agar isteri tidak


pernah melihat dunia luar, agar isteri selalu berada di rumah saja. Yang
dimaksud ialah agar isteri jangan sampai ditambah beban kewajibannya yang
telah berat itu dengan ikut mencari nafkah keluarga. Berbeda halnya apabila
keadaan memang mendesak, usaha suami tidak dapat menghasilkan
kecukupan nafkah keluarga. Dalam batas-batas yang tidak memberatkan,
isteri dapat diajak ikut berusaha mencari nafkah yang diperlukan itu.
Hak-hak suami dapat disebutkan pada pokoknya ialah hak ditaati
mengenai hal-hal yang menyangkut hidup perkawinan dan hak memberi
pelajaran kepada isteri dengan cara yang baik dan layak dengan kedudukan
suami isteri.
Hak Ditaati
Q.S. An-Nisa : 34 mengajarkan bahwa kaum laki-laki (suami) berkewajiban
memimpin kaum perempuan (isteri) karena laki-laki mempunyai kelebihan
atas kaum perempuan (dari segi kodrat kejadiannya), dan adanya kewajiban
laki-laki memberi nafkah untuk keperluan keluarganya. Isteri-isteri yang saleh
adalah yang patuh kepada Allah dan kepada suami-suami mereka serta
memelihara harta benda dan hak-hak suami, meskipun suami-suami mereka
serta memelihara harta benda dan hak-hak suami, meskipun suami-suami
mereka dalam keadaan tidak hadir, sebagai hasil pemeliharaan Allah serta
taufik-Nya kepada isteri-isteri itu. Hakim meriwayatkan dari Aisyah r.a. :

. : : :
( ) : :
Dari Aisyah, ia berkata : Saya bertanya kepada Rasulullah SAW : Siapakah
orang yang paling besar haknya terhadap perempuan? Jawabnya :
Suaminya. Lalu saya bertanya lagi: Siapakah orang yang paling besar haknya
terhadap laki-laki? Jawabannya: Ibunya.
Dari bagian pertama ayat 34 Q.S. : An-Nisa tersebut dapat diperoleh
ketentuan

bahwa

kewajiban

suami

memimpin

isteri

itu

tidak

akan

terselenggara dengan baik apabila isteri tidak taat kepada pimpinan suami. Isi
dari pengertian taat adalah :
1) Isteri supaya bertempat tinggal bersama suami di rumah yang telah
disediakan
Isteri berkewajiban memenuhi hak suami bertempat tinggal di rumah yang
telah disediakan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a) Suami telah memenuhi kewajiban membayar mahar untuk isteri.
b) Rumah yang disediakan pantas menjadi tempat tinggal isteri serta
dilengkapi dengan perabot dan alat yang diperlukan untuk hidup
berumah tangga secara wajar, sederhana, tidak melebihi kekuatan
suami.
c) Rumah yang disediakan cukup menjamin keamanan jiwa dan harta
bendanya, tidak terlalu jauh dengan tetangga dan penjaga-penjaga
keamanan.
d) Suami dapat menjamin keselamatan isteri di tempat yang disediakan.
2) Taat kepada perintah-perintah suami, kecuali apabila melanggar larangan
Allah
Rasulullah SAW menguatkan dalam sabdanya :

)
( .
Andaikata aku menyuruh seseorang sujud kepada orang lain niscaya aku
perintahkan perempuan bersujud kepada suaminya, karena begitu besar
haknya kepadanya.
Isteri wajib memenuhi hak suami, taat kepada perintah-perintahnya
apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a) Perintah yang dikeluarkan suami termasuk hal-hal yang ada


hubungannya dengan kehidupan rumah tangga. Dengan demikian,
apabila misalnya suami memerintahkan isteri untuk membelanjakan
harta milik pribadinya sesuai keinginan suami, isteri tidak wajib taat
sebab pembelanjaan harta milik pribadi isteri sepenuhnya menjadi
hak isteri yang tidak dapat dicampuri oleh suami.
b) Perintah yang dikeluarkan harus sejalan dengan ketentuan syariah.
Apabila suami memerintahkan isteri untuk menjalankan hal-hal yang
bertentangan dengan ketentuan syariah, perintah itu tidak boleh
ditaati. Hadits Nabi riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasai
dari Ali mengajarkan, Tidak dibolehkan taat kepada seorang pun
Dalam bermaksiat kepada Allah; taat hanyalah dalam hal-hal yang
c)

makruf.
Suami memenuhi kewajiban-kewajibannya yang member hak isteri,
baik

yang

bersifat

kebendaan

maupun

yang

bersifat

bukan

kebendaan.
3) Berdiam di rumah, tidak keluar kecuali dengan izin suami
Isteri wajib berdiam di rumah dan tidak keluar kecuali dengan izin suami
apabila terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a) Suami telah memenuhi kewajiban membayar mahar untuk isteri.
b) Larangan keluar rumah tidak berakibat memutuskan hubungan
keluarga-keluarganya, isteri tidak wajib taat. Ia boleh keluar untuk
berkunjung, tetapi tidak boleh bermalam tanpa izin suami.
4) Tidak menerima masuknya seseorang tanpa izin suami
Hak suami agar isteri tidak menerima masuknya seseorang tanpa
izinnya, dimaksudkan agar ketentraman hidup rumah tangga tetap
terpelihara. Ketentuan tersebut berlaku apabila orang yang dating itu
bukan mahram isteri. Apabila orang yang dating adalah mahramnya,
seperti ayah, saudara, paman, dan sebagainya, dibenarkan menerima
kedatangan mereka tanpa izin suami. Kewajiban taat yang meliputi empat
hak tersebut disertai dengan syarat-syarat yang tidak memberatkan isteri.
Hak Memberi Pelajaran
Bagian kedua dari ayat 34 Q.S. An-Nisa mengajarkan, apabila terjadi
kekhwatiran suami bahwa isterinya bersikap membangkang (nusyus),
hendaklah nasihat secara baik-baik. Apabila dengan nasihat, pihak isteri

belum juga mau taat, hendaklah suami berpisah tidur dengan isteri.
Apabila masih belum juga kembali taat, suami dibenarkan member
pelajaran dengan jalan memukul (yang tidak melukai dan tidak pada
bagian muka).
Hadits Nabi riwayat Bukhari-Muslim dari Abdullah bin Zamah
mengatakan, Apakah salah seorang di antara kamu suka memukul
isterinya seperti ia memukul budak pada siang hari, kemudian pada
malam hari mengumpulinya.
Dari banyak hadits yang memperingatkan agar suami menjauhi
memukul isteri itu, dapat kita peroleh ketentuan bahwa Al-Quran
membolehkan suami member pelajaran isteri dengan jalan memukul itu
hanya berlaku apabila isteri memang tidak mudah diberi pelajaran dengan
cara yang halus. Itu pun baru dilakukan dalam tingkat terakhir, dan
dengan cara yang tidak mengakibatkan luka pada badan isteri dan tidak
pula pada bagian muka. Kaum wanita pada dasarnya amat halus
perasaannya. Nasihat-nasihat yang biasa biasanya sudah cukup untuk
mengadakan perubahan sikapa terhadap suaminya. Kalau hal ini belum
juga cukup, pisah tidur sudah dipandang sebagai pelajaran yang lebih
berat. Namun, apabila pelajaran tingkat kedua ini belum juga membekas,
pelajaran yang paling pahit dapat dilakukan, tetapi dengan cara yang
tidak akan mengakibatkan cedera dan tidak pada bagian muka seperti
berkali-kali disebutkan di atas.
3. Macam-macam kewajiban suami istri
a. Kewajiban Suami Istri
Dalam Kompilasi Hukum Islam, kewajiban suami isteri dijelaskan secara
rinci sebagai berikut :
Pasal 77
1. Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar
dari susunan masyarakat.
2. Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia
dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
3. Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara
anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun
kecerdasannya dan pendidikan agaamanya.

4. Suami isteri wajib memelihara kehormatannya.


5. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.
Pasal 78
1. Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
2. Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh suami
isteri bersama.
b. Kewajiban Suami terhadap Istri
Dalam kompilasi Hukum Islam, kewajiban suami terhadap isteri
dijelaskan secara rinci sebagai berikut :
Pasal 80
1. Suaminya adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya,
akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang pentingpenting diputuskan oleh suami isteri bersama.
2. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
3. Suami wajib member pendidikan agama kepada isterinya dan member
kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi
agama dan bangsa.
4. Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung :
a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi
isteri dan anak;
c. Biaya pendidikan bagi anak.
5. Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4)
huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna
dan isterinya.
6. Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya
sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
7. Kewajiban suami sebagaimana di maksud ayat (2) gugur apabila isteri
nusyud.
1.

Pasal 81
Tentang Tempat Kediaman
Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-

anaknya, atau bekas isteri yang masih dalam iddah.


2. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untukisteri selama
3.

dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anakanaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman

dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai penyimpan


harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat
4.

rumah tangga.
Suami wajib melengkapi

tempat

kediaman

sesuai

dengan

kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan


tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga
maupun sarana penunjang lainnya.
Pasal 82
Kewajiban Suami yang Beristeri Lebih dari Seorang
1.

Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang berkewajiban

memberi tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing


isteri secara berimbang menurut isteri, kecuali jika ada perjanjian
perkawinan.
2. Dalam hal para isteri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan
isterinya dalam satu tempat kediaman.
B. POLIGAMI
1. Pengertian Poligami
Poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu apoulus yang mempunyai
arti banyak; serta gamos yang mempunyai arti perkawinan. Maka ketika
kata ini digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak dan bisa
jadi dalam jumlah yang tidak terbatas. 1[1] Kata poligami hampir sama
dengan poligini. Dimana poligini berasal dari kata polus yang berarti
banyak; dan gene yang berarti perempuan. Dari pengertian itu dapat di
pahami bahwa yang dimaksud dengan poligami dan poligini ialah suatu
system perkawinan dimana yang salah satu pihak (suami) mengawini
lebih dari satu istri pada waktu bersamaan, artinya istri-istri tersebut masih
dalam tanggungan suami tidak diceraikan tetapi masih sah menjadi
istrinya.2[2] Ada juga istilah poliandri, dimana yang menjadi pelaku
poliandri adalah sang istri. Jika dibandingkan dengan poliandri, lebih
banyak orang yang mempraktekkan poligami.
1
2

Kebalikkan dari poligami yaitu monogami, dimana didalam perkawinan


tersebut suami hanya mempunyai satu istri. Monogami pada kenyataanya
lebih sesuai dengan perilaku manusia. Menurut syariat islam, kata
poligami atau taaddud az-zaujat mempunyai arti seorang laki-laki
diperbolehkan mengawini perempuan sebanyak dua, tiga, atau empat jika
mampu berlaku adil. Jumhur ulama berpendapat bahwa batasannya yaitu
hanya empat.
Dalam poligami ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain:
1.

Jumlah perempuan yang boleh nikahi harus berjumlah 4 dan tidak

boleh lebih dari itu. Prof. T. M. Hasby Ash-Shiddiqi berpendapat


berdasarkan penafsiran QS. An-Nisa ayat 3:
Paling banyak ketika cukup persyaratan, boleh mengawini empat
orang wanita. Kawin lebih dari empat adalah kekhususan Nabi
Muhammad SAW. Sebagian ahli ilmu mengatakan, bahwa ayat ini
digunakan untuk segolongan umat yang memperbolehkan mengawini
beberapa orang yang kita kehendaki. Pendapat ini ditentang oleh para
ijma fuqaha. Ayat ini menegaskan bahwa perkawinan itu mewajibkan
beberapa hak.3[3]
1. Dia harus mempunyai kemampuan dan kekayaan yang cukup
untuk menafkahi istri yang dinikahinya baik bersifat lahir maupun
batin.
2.
Dia harus memperlakukan istrinya secara adil, setiap hari
diberlakukan sama dalam memenuhi hak-hak mereka.4[4]
2. Dasar Hukum Poligami
Yaitu terletak dalam surat An-Nisa` ayat 3 yang Artinya: Dan jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja,
atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya.
3
4

Maksudnya berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni


isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
Dan Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu.
sebelum turun ayat Ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan
oleh para nabi sebelum nabi Muhammad SAW. Ayat Ini membatasi
poligami sampai empat orang saja.
Dan demikian juga disebutkan dalam surat An-Nisa` ayat 129, Allah
SWT berfirman yang Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat
berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin
berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada
yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.
dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Sejak masa Rasulullah SAW , Sahabat, Tabi`in, periode Ijtihad dan
setelahnya sebagian besar kaum Muslimin memahami dua ayat Akhkam
itu sebagai berikut:

Perintah Allah SWT, maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu


senangi, difahami sebagai perintah ibahah (boleh), bukan perintah
wajib. Seorang muslim dapat memilih untuk bermonogami (istri satu)
atau berpoligami (lebih dari satu). Demikianlah kesepakatan pendapat
mayoritas pendapat mujtahid dalam berbagai kurun waktu yang

berbeda.
Larangan mempersunting istri lebih dari empat dalam waktu yang
bersamaan, sebagaimana dalam firman Allah maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat.
Menurut alqurtuki, pendapat yang memperkenankan poligami lebih
dari empat dengan pijakan nash di atas, adalah pendapat yang
muncul karena yang bersangkutan tidak memahami gaya bahasa

dalam al-qur`an dan retorika bahasa arab.


Poligami harus berlandaskan asas keadilan, sebagaimana firman
Allah, kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. (qs.
An-nisa`: 3) seseorang tidak dibolehkan menikahi lebih dari seorang

istri jika mereka merasa tidak yakin akan mampu untuk berpoligami.
Walaupun dia menikah maka akad tetap sah, tetapi dia berdosa

terhadap tindakannya itu.


Juga sebagaimana termaktub dalam ayat yang berbunyi, dan kamu
sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri (mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. adil dalam cinta
diantara istri-istri adalah suatu hal yang mustahil dilakukan karena dia
berada

di

luar

batas

kemampuan

manusia.

Namun,

suami

seyogyanya tidak berlaku dzolim terhadap istri-istri yang lain karena

kecintaannya terhadap istrinya.


Sebagian ulama` penganut madzhab syafi`I mensyaratkan mampu
member nafkah bagi orang ayaang akan berpoligami. Persyaratan ini
berdasarkan pemahaman imam syafi`I terhadap teks al`qur`an, yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Yang
artinya agar tidak memperbanyak anggota keluarga. Di dalam kitab
akhkam al-qur`an, imam baihaqi juga mendasarkan keputusannya
terhadap pendapat ini serta pendapat yang lain. Dalam pemahaman
madzhab syafi`I jaminan yang mensyaratkan kemampuan memmberi
nafkah sebagai syarat poligami ini adalah syarat diyanah (agama)
maksudnya bahwa jika yang bersangkutan tahu bahwa dia tidak

mampu member nafkah bukan syarat putusan hukum.


Dan adalagi yang menyebutkan bahwa poligami

itu

mubah

(dibolehkan) selama seorang mu`min tidak akan khawatir akan


aniaya. Dilarang poligami untuk menyelamatkan dirinya dari dosa.
Dan terang pula bahwa boleh berpoligami itu tidak bergantung
kepada sesuatu selain anaiaya (tidak jujur), jadi tidak bersangkutan
dengan mandul istri atau sakit yang menghalanginya ketika tidur
dengan suaminya dan tidak pula karena banyak jumlah wanita.
3. Syarat-Syarat Poligami
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberikan persyaratan
terhadap seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebagai
berikut:
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini harus
dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan dari istri/ isteri-isteri;

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup


isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri
dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak
diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin
dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian,
atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2
(dua) tahun, karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian
dari hakim Pengadilan Agama.5[8]
4. Alasan Poligami
Pada dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri.
Seorang suami yang beristri lebih dari seorang dapat diperbolehkan bila
dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan Pengadilan Agama
telah memberi izin (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974). Dasar pemberian izin poligami oleh Pengadilan Agama diatur
dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan (UUP) dan juga
dalam Bab IX KHI Pasal 57 seperti dijelaskan sebagai berikut:
Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan;
Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Apabila diperhatikan alasan pemberian izin melakukan poligami di atas,

dapat dipahami bahwa alasannya mengacu kepada tujuan pokok


pelaksanaan perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia
dan kekal (istilah KHI disebut sakinah, mawaddah, dan rahmah )
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila tiga alasan yang
disebutkan di atas menimpa suami-istri maka dapat dianggap rumah
tangga tersebut tidak akan mampu menciptakan keluarga bahagia
(mawaddah dan rahmah).
5. Dampak Poligami
Ada beberapa dampak poligami bagi wanita yaitu :
Timbul perasaan dalam diri menyalahkan diri sendiri, istri merasa
tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan
dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya.
5

Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Ada beberapa suami


memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Tetapi seringkali
pula dalam prakteknya, suami lebih mementingkan istri muda dan
menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang
tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan

sehari-hari.
Hal lain yang terjadi akibat adanya poligami adalah sering terjadinya
kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, ekonomi,

seksual maupun psikologis.


Selain itu, dengan adanya poligami, dalam masyarakat sering terjadi
nikah di bawah tangan, yaitu perkawinan yang tidak dicatatkan pada
kantor pencatatan nikah (Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan
Agama). Perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap tidak sah oleh
negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Bila ini
terjadi, maka yang dirugikan adalah pihak perempuannya karena
perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi oleh negara. Ini
berarti bahwa segala konsekwensinya juga dianggap tidak ada,

seperti hak waris dan sebagainya.


Yang paling mengerikan, kebiasaan

berganti-ganti

pasangan

menyebabkan suami/istri menjadi rentan terhadap penyakit menular


seksual (PMS) dan bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS.
Para suami bebas berselingkuh, berpindah ke lain hati. Jika jatuh
cinta lagi ke pada WIL (Wanita Idaman Lain) bisa dikawini. Jika sudah
bosan dengan istri pertama, cari istri kedua dst. Akhirnya terjadi
penurunan moral suami, keluarga yang berantakan, penurunan
kesejahteraan keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
pecintaquransunnah.wordpress.com/hak-dan-kewajiban-suami-isteridalam-islam/
https://www.facebook.com/media/set/?
set=a.424531587596830.88982.189369451113046&type=3
ensiklopedi-alquran.com/index.php/index/1445-hak-dan-kewajibansuami-istri

http://ensiklopedi-alquran.com/index.php/index/1445-hak-dankewajiban-suami-istri
lampuislam.blogspot.com/2013/08/hukum-dan-syarat-berpoligamidalam-islam.html
asysyariah.com/kajian-utama-rukun-dan-syarat-berpoligami/

Anda mungkin juga menyukai