Anda di halaman 1dari 19

HADITS AHKAM MUNAKAHAT

Hak dan Kewajiban Suami Istri


Dosen Pengampu: Ustadzah Murniati Lc., M.H

Disusun oleh:
Muhamad Zidan Alif
Muhammad Syauqi Rabbani

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI ILMU SYARI’AH HUSNUL KHOTIMAH
Desa Maniskidul Kecamatan Jalaksana Kabupaten Kuningan 45554 Jawa Barat
Telp. 0232-8617988 Fax. 0232-613809 HP: 0852 9592 5199 Website:
www.stishusnulkhotimah.ac.id
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan banyak
kenikmatan diantaranya nikmat iman, nikmat islam, dan nikmat kesehatan. Dan atas nikmat dan
kuasa-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Shalawat serta salam tak lupa
kami sampaikan juga kepada Baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa cahaya
Islam ke tengah-tengah kita semua, sehingga kita dapat berkumpul dalam satu naungan yakni
naungan Islam.

Kami sampaikan rasa terima kasih atas pihak-pihak yang telah membantu dan mendukung
kami dalam menyusun makalah ini. Dan kami memohon maaf atas segala kesalahan dan
kekhilafan yang telah kami lakukan baik disengaja maupun tidak disengaja.

Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Hadits Ahkam
Munakahat yang diampu oleh Ustadzah Murniati, Lc., M.H

Segala kritik dan saran kami terima secara terbuka, karena tentu masih banyak kekurangan
dari makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam memperluas ilmu pengetahuan
bagi semua pihak dan mampu menjadi pendorong dalam melaksanakan ibadah kepada Allah
SWT.

Kuningan, 22 Oktober 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER
KATA PENGANTAR...............................................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................3
BAB I..........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG...................................................................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH................................................................................................................5
C. TUJUAN PEMBAHASAN............................................................................................................5
BAB II........................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................6
A. PENDAHULUAN..........................................................................................................................6
B. HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI BESERTA HADITSNYA.......................................6
1) HAK ISTRI ATAS SUAMI………………………………………………………………………………………………………..9
2) HAK SUAMI ATAS ISTRI………………………………………………………………………………………………………10
3) HAK BERSAMA……………………………………………………………………………………………………………………16

BAB III.....................................................................................................................................................18
PENUTUP................................................................................................................................................18
KESIMPULAN....................................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................19

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pasangan suami istri memiliki peran yang signifikan dalam menjalankan semua kewajiban
rumah tangganya. Selain kewajiban yang dijalani, pasangan suami istri juga memiliki hak yang
terpasang di keduanya. Oleh karena itu suami istri untuk menjalankan hak dan kewajiban secara
adil dan berimbang. Penafsiran al-Quran tentang ayat yang menjelaskan tentang relevansi hak
dan kewajiban suami istri tentu perlu dijelaskan dengan Hadits. relasi suami istri dalam
pernikahan mitra yang sejajar dan bukan relasi subordinasi dari suami dan hak-hak istri. Karena
itu istri memiliki hak-hak dalam rumah tangga, baik itu berkaitan dengan tempat tinggal, nafkah,
maupun rasa aman. Sehingga dari konteks tersebut, perlu kita ketahui bagaimana relevansi antara
tafsir ayat Al-Qur'an dan Hadits.

Artikel ini memberikan kesimpulan bahwa pertama Relasi antara Hak dan Kewajiban Suami
dalam Rumah tangga menimbulkan beberapa hak dan kewajiban yang setara di atas keduanya, di
antaranya adalah hak Istri atas suami, Hak Suami atas Istri, dan Hak bersama. Kedua,ayat ahkam
dengan relevansinya terhadap hadits ahkam tentang hak dan kewajiban suami dan Istri dalam
hubungan rumah tangga dapat dibagi menjadi kewajiban suami yang menjadi hak istri dalam al-
Qur'an bahwa suami harus memberi nafkah istri, memperlakukan istri dengan ma'ruf baik dalam
sehari-hari maupun dalam menggaulinya sejalan dengan tafsir Hadits Asy 'ari bahwa suami
bertanggung jawab penuh atas istri baik mengenai nafkah dan melakukan kepadanya. Sedangkan
kewajiban istri yang menjadi hak suami dalam al-Qur'an disebutkan bahwa ayat istri harus
menjaga segala sesuatu yang berkenaan dengan milik suami, sejalan dengan tafsir Hadits tentang
segala hal termasuk keluar rumah, berdandan, menggunakan harta,

4
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa hak dan kewajiban seorang suami?
2. Apa hak dan kewajiban seorang istri?
3. Apa Hadits tentang hak dan kewajiban suami istri?

C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Mengetahui hak dan kewajiban seorang suami.
2. Mengetahui hak dan kewajiban seorang istri.
3. Mengetahui hadits-hadits yang berkaitan dengan hak dan kewajiban seorang suami istri .

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENDAHULUAN
Perkawinan merupakan bagian dari ajaran syariat Islam yang bertujuan menjaga, memelihara
dan melestarikan keturunan. Dengan perkawinan seorang laki-laki dan perempuan bisa hidup
berdampingan, menjalin hubungan suami istri dan bersatu dalam sebuah ikatan keluarga secara
aman. Perkawinan adalah sarana agama yang mengatur pola hubungan antara laki-laki dan
perempuan untuk saling mencurahkan kasih sayang di antara mereka dan bersama-sama meraih
keberkahan. Untuk itu, sebagai ibadah luhur yang (dianggap) sakral, perkawinan harus dilakukan
atas dasar keikhlasan, penuh tanggung jawab dan sesuai dengan ketentuan hukum yang ada.

Agama Islam mengajarkan bahwa setiap perbuatan harus dilakukan semata-mata karena
mengharap ridho dari Allah SWT. Artinya, seseorang yang telah menikah berarti juga memasuki
dunia dan kehidupan yang baru pula. Sehingga harus bisa memadukan antara urusan duniawi
dengan urusan ukhrawi yang berdimensi insani dengan yang profan secara arif dan bijaksana.
Kehidupan dalam bingkai perkawinan harus dijalani dengan penuh kesadaran, rasa kasih sayang,
saling hormat-menghormati, mampu menjaga rahasia dan aib masing-masing dan bisa saling
melengkapi antara satu dengan yang lain. Antara suami istri harus bisa saling memahami dan
menjaga hak dan kewajibannya masing-masing secara adil dan seimbang.

B. HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI BESERTA HADITS NYA


Disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa hak memiliki arti sebagai
milik dan kepunyaan.Sedangkan kewajiban memiliki arti sebagai sesuatu yang harus
dilaksanakan. Dari pengertian tersebut bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan hak
adalah segala sesuatu yang (telah) diterima dari orang lain. Adapun yang dimaksud dengan
kewajiban adalah segala sesuatu yang harus dilakukan seseorang terhadap yang lain. Sehingga
dalam konteks hubungan suami istri, hak dan kewajiban bisa dimaknai sebagai segala sesuatu
yang harus diterima dan (sekaligus) dilakukan sebagai konsekuensi dari adanya hubungan
perkawinan.

6
Selanjutnya, hak dan kewajiban yang melekat pada masing-masing pihak baik suami
maupun istri merupakan konstruksi peran dan fungsi dari kedua belah pihak yang melekat dan
mesti diterima dan dimiliki. Artinya, hak adalah sesuatu yang melekat dan mesti didapatkan
sedangkan kewajiban merupakan sesuatu yang harus diberikan dan dilakukan. Rumusan tentang
hak dan kewajiban inilah yang kemudian menjadi barometer (standart) untuk menilai apakah
suami atau istri telah menjalankan peran dan fungsinya secara benar atau tidak.

Lebih jelasnya, dalam suatu hubungan rumah tangga baik suami maupun istri memiliki hak
dan kewajibannya masing-masing. Di satu sisi istri memiliki hak atas nafkah dan pada sisi yang
lain mempunyai kewajiban untuk taat. Pada titik inilah konsekuensi hukum sebab akibat
hubungan perkawinan menjadi muncul dan mengemuka. Hal ini seperti misalnya jika suami
tidak mampu memenuhi kewajibannya dalam memberi nafkah istri, maka gugurlah haknya untuk
mendapat ketaatan dari istri.

Tentang keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri dalam kehidupan berumah
tangga dijelaskan al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 228 sebagaimana berikut:
‫هّٰللا‬
ِ ۖ ْ‫َولَه َُّن ِم ْث ُل الَّ ِذيْ َعلَ ْي ِه َّن بِ ْال َم ْعرُو‬
ِ ‫ف َولِل ِّر َجا ِل َعلَ ْي ِه َّن َد َر َجةٌ ۗ َو ُ ع‬
‫َز ْي ٌز َح ِك ْي ٌم‬

Artinya: Dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara
yang ma'ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkat kelebihan dari pada istrinya. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Berdasar pada keterangan ayat tersebut di atas, istri dan juga suami mempunyai hak yang
setara dan seimbang dengan kewajibannya sesuai peran dan posisinya masing-masing.Seorang
istri wajib menunaikan segala kewajibannya kepada suami dan begitu pula suami harus juga bisa
melaksanakan kewajibannya kepada istrinya. Dengan keseimbangan yang terjadi dan dilakukan
sebagai kewajiban masing-masing secara bertanggung jawab maka hak dari masing-masing akan
bisa diwujudkan secara adil pula. Dan jika yang terjadi sebaliknya atau salah satu di antara
keduanya lalai dan tidak bertanggung jawab bisa dipastikan kehidupan keluarga akan mengalami
kerenggangan dan keretakan.

Adapun terhadap keterangan dalam Q.S al-Baqarah ayat 228 yang menyatakan bahwa laki-
laki mempunyai satu tingkat kelebihan dari istri harus dipahami secara bijaksana. Berdasar pada
pegertian-pengertian yang (telah) dilakukan oleh para mufassir, ayat ini berhubungan erat dalam

7
permasalahan talak (perceraian). Sehingga argumentasi tentang derajat (tingkat) laki-laki lebih
tinggi dari perempuan tidak bisa begitu saja bisa diterapkan dalam konteks hubungan keluarga
antara suami dan istri, utamanya yang berketerkaitan tentang hak dan kewajiban dalam bingkai
kehidupan rumah tangga.

Artinya, hak dan kewajiban antara suami dan istri harus bisa diterapkan secara bijaksana
dengn mempertimbangkan berbagai aspek baik secara fisik maupun mental sehingga peran dan
fungsi masing-masing bisa dilaksanakan secara maksimal dan berkesesuain. Di antara
pertimbangan dalam peran tersebut adalah adanya pembagian bahwa istri (karena tidak bekerja
yang mendatangkan penghasilan) mempunyai kewajiban mengurus urusan dalam keluarga
seperti memelihara dan mendidik anak, mengurus rumah tangga dan lain sebagainya. Sementara
suami memiliki tugas dan kewajiban untuk mencari penghasilan (nafkah) yang cukup untuk
memenuhi kebutuan keluarga.

Namun demikian hal-hal sebagaimana tersebut hanyalah contoh pembagian peran dan
tanggung jawab yang tidak baku. Dalam kondisi tertentu seorang istri juga bisa mengambil peran
sebaliknya dengan tujuan membantu (tabarru’), bukan sebagai kewajiban mutlak. Hal ini terjadi
misalnya jika suami benar-benar dalam kondisi yang tidak (belum) memungkinkan untuk
melaksanakan kewajibannya secara penuh karena adanya halangan yang bersifat syar’i, seperti
sakit atau masalah lainnya. Tetapi jika kondisi telah normal kembali, maka kewajiban memberi
nafkah tetap kembali melekat sebagai tanggung jawab (kewajiban) suami dan menjadi hak yang
dimiliki oleh istri. Dengan ini, apapun alasannya mencari dan memberi nafkah merupakan
kewajiban seorang suami.

Secara lebih detail, hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan yang timbul akibat
perkawinan harus disesuaikan dengan penilaian dan pandangan (social budaya) masyarakat serta
berlakunya azas kebermanfaatan menurut ajaran syariat. Hak dan kewajiban suami istri
sebagaimana tersebut bisa dirangkum dalam 3 macam hak yang menjadi kewajiban masing-
masing pihak (suami istri) untuk mewujudkan kebahagiaan keluarga, yaitu: pertama, hak istri
atas suami; kedua, hak suami atas istri dan yang ketiga, hak bersama antara suami dan istri.

8
1. Hak Istri atas Suami
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa perkawinan merupakan sarana agama untuk
menghalalkan hubungan badan antara laki-laki dan perempuan sehingga, sehingga tidak
terjerumus dalam perzinaan. Dalam proses pelegalan hubungan badaniyah (perkawinan
yang sah) inilah kemudian muncul hak dan kewajiban bagi seorang perempuan (istri)
yang dirumuskan dalam bagan sederhana sebagaimana berikut, yaitu:

Hak. Kewajiban
Hak mendapatkan mahar Taat dan patuh kepada suami
Hak mendapatkan perlakuan yang ma’ruf
Mengatur rumah dengan sebaik-baiknya.
dari suami
Dijaga nama baik oleh si suami, dan lain-lain Menghormati keluarga suami dan lain-lain
Hak mendapatkan nafkah Menghormati keluarga suami dan lain-lain

Seorang perempuan yang disahkan sebagai istri berhak untuk mendapatkan mahar
dari suami dan suami wajib memberikannya untuk istrinya. Hal ini sesuai dengan Q.S.
al-Nisa’ ayat 4 yang berbunyi:
‫صد ُٰقتِ ِه َّن نِحْ لَةً ۗ فَاِ ْن ِط ْبنَ لَ ُك ْم ع َْن َش ْي ٍء ِّم ْنهُ نَ ْفسًا فَ ُكلُوْ هُ هَنِ ۤ ْيـًٔا َّم ِر ۤ ْيـًٔا‬
َ ‫َو ٰاتُوا النِّ َس ۤا َء‬
Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan, jika kemudian mereka (wanita) menyerahkan kepada
kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
sebagai pemberian yang sedap dan baik akibatnya.
Dari keterangan ayat tersebut jelas bahwa suami wajib memberi mahar kepada
istrinya sesuai dengan apa yang disampaikan (dijanjikan) pada saat terjadinya akad
nikah (mahar musamma) ataupun sejumlah mahar untuk keluarga istri yang tidak
ditentukan jumlahnya (mahar mitsil). Terkait kewajiban bagaimana dan kapan mahar
tersebut diberikan, Al-Jashash sebagaimana dalam kutipan Ali al-Sayish menyatakan
bahwa mahar hanya wajib diberikan jika telah terjadi hubungan badan. Sementara itu
dalam pandangan jumhur, mahar wajib diberikan baik itu setelah adanya hubungan
badan ataupun belum. Artinya, jika terjadi proses perceraian tetap saja mahar wajib

9
diberikan, karena itu merupakan hak istri baik sebelum atau sesudah adanya hubungan
badaniyah.
Selain berhak atas mahar sebagaimana ketentuan, istri juga berhak atas nafkah suami
sebagai kebutuhan dan jaminan hidup. Nafkah secara lebih luas bisa dimaknai sebagai
segala sesuatu yang harus diberikan suami kepada istri baik itu berupa kebutuhan
material maupun non material serta kebutuhan lainnya termasuk penghargaan atas
penyusuan dan pemeliharaan anak. Di antara kebutuhan material yang harus dicukupi
oleh suami misalnya kebutuhan makan, pakaian, tempat tinggal, pelayanan kesehatan
dan sebagainya. Sedangkan kebutuhan non material yang merupakan tanggung jawab
suami terhadap istri antara lain yaitu:
1) Digauli dengan cara yang baik (ma’ruf),yaitu bahwa suami dalam melakukan
hubungan badaniyah harus mempertimbangkan aspek keadaan dan kondisi
istri. Suami tidak boleh memperlakukan istrinya secara kasar dan sewenang-
wenang berdasarkan kemauannya sendiri tanpa memperhatikan kebutuhan
istri.
2) Menjaga keselamatan, keamanan dan menghindarkan istri dari segala sesuatu
yang membahayakan jiwanya, termasuk dari kemungkinan terjerumus ke
dalam perbuatan dosa dan maksiat.
3) Mengajarkan dan memahamkan masalah-masalah agama, sehingga istri
menjadi pribadi yang taat kepada Allah SWT, baik dalam pergaulan keluarga
maupun dalam pergaulan social masyarakat yang lebih luas.
4) Tidak menyakiti jasmani dan rohani istri baik dengan memukul secara
langsung atau dengan penghinaan yang menyakiti hatinya.

2. Hak Suami atas Istri


Kewajiban istri terhadap suami merupakan hak suami yang harus dipenuhi oleh istri,
yaitu:
1) Kepatuhan
Seorang suami berhak atas kepatuhan istri, yaitu di mana seorang istri wajib
mentaati suaminya, baik terhadap perkara yang rahasia maupun yang terang atau
jelas. Seorang istri harus mentaati suaminya karena akan mendatangkan

10
keharmonisan dalam keluarga. Sebaliknya, ketidakpatuhan dan ketidaktaatan istri
akan mendatangkan kekecewaan dan keretakan dalam hubungan keluarga. Hal ini
tidak terlepas bahwa dalam kondisi apapun, suami adalah pemimpin dalam
keluarga berdasar pada QS. Al-Nisa’: 34 sebagaimana berikut:
ۗ ‫ْض َّوبِ َمٓا اَ ْنفَقُوْ ا ِم ْن اَ ْم َوالِ ِه ْم‬ ٰ ‫اَل ِّرجا ُل قَ َّواموْ نَ َعلَى النِّس ۤاء بما فَ َّ هّٰللا‬
ٍ ‫ْضهُ ْم عَلى بَع‬ َ ‫ض َل ُ بَع‬ َِ ِ َ ُ َ
‫ب بِ َما َحفِظَ هّٰللا ُ ۗ َو ٰالّتِ ْي تَخَافُوْ نَ نُ ُشوْ َزه َُّن فَ ِعظُوْ ه َُّن َوا ْه ُجرُوْ ه َُّن فِى‬ ٌ ‫ت ٰحفِ ٰظ‬
ِ ‫ت لِّ ْل َغ ْي‬ ٌ ‫ت ٰقنِ ٰت‬
ُ ‫صلِ ٰح‬ّ ٰ ‫فَال‬
‫ضا ِج ِع َواضْ ِربُوْ ه َُّن ۚ فَاِ ْن اَطَ ْعنَ ُك ْم فَاَل تَ ْب ُغوْ ا َعلَ ْي ِه َّن َسبِ ْياًل ۗاِ َّن هّٰللا َ َكانَ َعلِيًّا َكبِ ْيرًا‬ َ ‫ْال َم‬
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara
(mereka).
Berdasar ayat tersebut di atas, keharmonisan dalam rumah tangga sangat
bergantung pada bagaimana peran dan fungsi suami sebagai pemimpin keluarga
melakukan metode kepemimpinannya untuk mengatur keluarganya. Jika
kepemimpinan itu buruk maka keharmonisan keluarga akan terancam karena pada
saat bersamaan istri yang mestinya patuh dan taat juga akan melakukan
perlawanan. Tegasnya, suami wajib menjadi qawwamun yang benarbenar mampu
menguasai istri dan keluarganya secara arif dan bijaksana sehingga mendapat
kewibaayan, dipatuhi dan ditaati oleh istri beserta segenap anggota keluarga yang
lain dalam kondisi apapun juga, baik saat ada di lingkungan keluarga ataupun saat
tidak ada (bepergian atau berada di luar rumah).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ قِ ْي َل لَهَا ا ْد ُخلِي ْال َجنَّةَ ِم ْن‬،‫َت َزوْ َجهَا‬
ْ ‫ َوَأطَاع‬،‫ت فَرْ َجهَا‬
ْ َ‫ َو َحفِظ‬،‫ت َش ْه َرهَا‬ َ ‫ َو‬،‫ت ْال َمرْ َأةُ َخ ْم َسهَا‬
ْ ‫صا َم‬ ِ َّ‫صل‬
َ ‫ِإ َذا‬
ِ ‫ي َأ ْب َوابِهَا ِشْئ‬
‫ت‬ ِّ ‫َأ‬.
“Apabila seorang wanita mau menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di
bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan taat terhadap suaminya, maka akan
dikatakan kepadanya (di akhirat), ‘Masuklah ke Surga dari pintu mana saja yang
engkau kehendaki.’”(HR.Ahmad).

11
2) Menjaga diri
Seorang istri berkewajiban menjaga diri, harta dan keluarganya saat suami
tidak sedang berada di rumah. Hal-hal teknis seperti misalnya menerima tamu
laki-laki dalam kondisi sendirian mesti dihindari oleh istri karena akan
menimbulkan fitnah dan prasangka yang tidak baik. Demikian juga istri tidak
boleh sekehendak hatinya memanfaatkan atau membelanjakan harta saat suami
sedang tidak ada di rumah, kecuali untuk hal-hal yang mendesak dan setelah
mendapat persetujuan suami.Hal-hal ini merupakan hak bagi suami yang tidak
bisa dilanggar oleh istri karena menyangkut kewibawaan dan kepribadian seorang
laki-laki.
seorang isteri harus menjaga kehormatan dan memelihara kemuliaannya serta
mengurusi harta, anak-anak dan segala hal yang berhubungan dengan pekerjaan
rumah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ِ ‫ات لِّ ْل َغ ْي‬
ُ ‫ب بِ َما َحفِظَ هَّللا‬ ‫َات َحافِظَ ٌـ‬
ٌ ‫ات قَانِت‬
ُ ‫فَالصَّالِ َح‬
“Sebab itu, maka wanita yang shalih, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara
(mereka).”[An-Nisaa’/4: 34]

Dan sabda Rasulullah :


‫ت زَ وْ ِجهَا َو َم ْسُئوْ لَةٌ ع َْن َر ِعيَّتِهَا‬ ِ ‫َو ْال َمرْ َأةُ َر‬
ِ ‫اعيَةٌ فِ ْي بَ ْي‬
“Dan seorang isteri adalah pemimpin di dalam rumah suaminya dan ia akan
dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.”

3) Berhias dan memperindah diri untuk suami.


Seorang istreri harus selalu senyum dan jangan bermuka masam di depannya.
Jangan sampai menampakkan keadaan yang tidak ia sukai. Ath-Thabrani telah
mengeluarkan sebuah hadits dari ‘Abdullah bin Salam Radhiyallahu anhu,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ‫ َوتَحْ فَظُ َغ ْيبَتَكَ فِ ْي نَ ْف ِسهَا َو َمالِك‬، َ‫ َوتُ ِط ْيعُكَ ِإ َذا َأ َمرْ ت‬، َ‫ْصرْ ت‬
َ ‫ك ِإ َذا َأب‬
َ ُّ‫ َخ ْي ُر النِّ َسا ِء َم ْن تَسُر‬.

12
“Sebaik-baik isteri ialah yang engkau senang jika melihatnya, taat jika engkau
perintah dan menjaga dirinya dan hartamu di saat engkau pergi.”
Dan sungguh mengherankan sekali jika ada wanita yang tidak memperhatikan
penampilan dirinya pada saat di rumahnya di mana ia sedang bersama suami,
namun pada saat keluar rumah ia mempercantik diri dan menampakkan
perhiasannya, sampai-sampai benarlah apa yang dikatakan oleh orang tentang
perempuan seperti ini, yaitu, “Seperti kera dalam rumah akan tetapi seperti kijang
bila di jalan.” Oleh karena itu, takutlah engkau wahai wanita hamba Allah,
takutlah kepada Allah pada dirimu dan suamimu, karena sesungguhnya suami
adalah orang yang paling berhak untuk melihat dan menikmati penampilan
indahmu. Janganlah engkau sekali-kali menampakkan perhiasan pada orang yang
tidak boleh melihatnya, karena hal itu adalah merupakan perkara yang
diharamkan.

4) Isteri harus selalu berada di dalam rumahnya dan tidak keluar meskipun untuk
pergi ke masjid kecuali atas izin suami.

5) Janganlah seorang isteri memasukkan orang lain ke dalam rumah kecuali atas
izinnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َ‫ َوالَ يَْأ َذ َّن فِ ْي بُيُوْ تِ ُك ْم لِ َم ْن تَ ْك َرهُوْ ن‬، َ‫فَ َحقُّ ُك ْم َعلَ ْي ِه َّن َأ ْن الَ يُوْ ِطْئنَ فُ َر َش ُك ْم َم ْن تَ ْك َرهُوْ ن‬.
“Hak kalian atas para isteri adalah agar mereka tidak memasukkan ke dalam
kamar tidur kalian orang yang tidak kalian sukai dan agar mereka tidak
mengizinkan masuk ke dalam rumah kalian bagi orang yang tidak kalian
sukai.”

6) Isteri harus menjaga harta suami dan tidak menginfaqkannya kecuali dengan
izinnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َ ‫ َذلِكَ َأ ْف‬:‫ال‬
‫ض ُل‬ َ َ‫ َوالَ الطَّ َعا َم؟ ق‬:‫ت زَ وْ ِجهَا ِإالَّ بِِإ ْذ ِن َزوْ ِجهَا قِي َْل‬
ِ ‫ق ا ْم َرَأةٌ َش ْيًئا ِم ْن بَ ْي‬
ِ ِ‫َوالَ تُ ْنف‬
‫َأ ْم َوالِنَا‬.

13
“Janganlah seorang isteri menginfaqkan sesuatu pun dari harta suaminya
kecuali atas izinnya.” Kemudian ada yang bertanya, “Tidak juga makanan?”
Beliau menjawab, “Bahkan makanan adalah harta yang paling berharga.”
Bahkan di antara hak suami atas isteri adalah agar ia tidak menginfaqkan
harta miliknya jika ia mempunyai harta kecuali jika sang suami
mengizinkannya, karena dalam sebuah hadits yang lain Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ك َش ْيًئا ِم ْن َمالِهَا ِإالَّ بِِإ ْذ ِن َزوْ ِجهَا‬
َ ‫ْس لِ ْل َمرْ َأ ِة َأ ْن تَ ْنتَ ِه‬
َ ‫لَي‬.
“Janganlah seorang isteri menggunakan sesuatu pun dari hartanya kecuali
dengan izin suaminya.”

7) Janganlah seorang isteri melakukan puasa sunnah sedangkan suami berada di


rumah kecuali atas izinnya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang berbunyi:
‫الَ يَ ِحلُّ لِ ْل َمرْ َأ ِة َأ ْن تَصُوْ َم َوزَ وْ ُجهَا َشا ِه ٌد ِإالَّ بِِإ ْذنِ ِه‬.
“Tidak boleh bagi isteri melakukan puasa (sunnah) sedangkan suaminya ada
kecuali dengan izinnya.”

8) Janganlah seorang isteri mengungkit-ungkit apa yang pernah ia berikan dari


hartanya untuk suami maupun keluarga, karena menyebut-nyebut pemberian
akan dapat membatalkan pahala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
‫ص َدقَاتِ ُكمـ بِ ْال َمنِّ َواَأْل َذ ٰى‬
َ ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تُ ْب ِطلُوا‬
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)
sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan (si
penerima).” [Al-Baqarah/2: 264]

9) Isteri harus ridha dan menerima apa adanya, janganlah ia membebani suami
dengan sesuatu yang ia tidak mampu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
‫لِيُنفِ ْق ُذو َس َع ٍة ِّمن َس َعتِ ِه ۖ َو َمن قُ ِد َر َعلَ ْي ِه ِر ْزقُهُ فَ ْليُنفِ ْق ِم َّما آتَاهُ هَّللا ُ ۚ اَل يُ َكلِّفُ هَّللا ُ نَ ْفسًا ِإاَّل َما‬
ٍ ‫آتَاهَا ۚ َسيَجْ َع ُل هَّللا ُ بَ ْع َد ُعس‬
‫ْر يُ ْسرًا‬

14
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.
Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta
yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah
kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” [Ath-Thalaq/65: 7]

10) Isteri harus bersungguh-sungguh dalam mendidik anak-anaknya dengan


kesabaran. Janganlah ia marah kepada mereka di depan suami dan jangan
memanggil mereka dengan kejelekan maupun mencaci-maki mereka, karena
yang demikian itu akan dapat menyakiti hati suami. Dan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ِ َ‫ الَ تُْؤ ِذ ْي ِه قَاتَل‬:‫ت زَ وْ َجتُهُ ِمنَ ْالحُوْ ِـر ْال ِع ْي ِن‬
،ُ‫ك هللا‬ ْ َ‫الَ تُْؤ ِذى ا ْم َرَأةٌ زَ وْ َجهَاـ فِي ال ُّد ْنيَا ِإالَّ قَال‬
‫ك ِإلَ ْينَا‬ ِ َ‫ك َأ ْن يُف‬
َ َ‫ارق‬ َ ‫فَِإنَّ َما ه َُو َد ِخ ْي ٌل ِع ْن َد‬.
ُ ‫ك يُوْ ِش‬
“Tidaklah seorang isteri menyakiti suaminya di dunia kecuali isterinya dari
para bidadari akan mengatakan kepadanya, ‘Janganlah engkau menyakitinya
(suami) atau Allah akan mencelakakanmu. Ia adalah simpanan bagimu yang
sebentar lagi meninggalkanmu untuk kembali kepada kami.’”

11) Isteri harus dapat berbuat baik kepada kedua orang tua dan kerabat suami,
karena sesungguhnya isteri tidak dianggap berbuat baik kepada suami jika ia
memperlakukan orang tua dan kerabatnya dengan kejelekan.

12) Janganlah isteri menolak jika suami mengajaknya melakukan hubungan intim,
karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ٌ َ‫إ َذا َدعَا ال َّر ُج ُل ا ْم َرَأتَهُ ِإلَى فِ َرا ِش ِه فَلَ ْم تَْأتِ ِه فَبَاتَ غَضْ ب‬.
‫ان َعلَ ْيهَا لَ َعنَ ْتهَا ْال َمالَِئ َكةُ َحتَّى تُصْ بِ َح‬
“Apabila seorang suami mengajak isterinya ke tempat tidur, tapi ia menolak
untuk datang, lalu sang suami marah sepanjang malam, maka para Malaikat
melaknatnya (sang isteri) hingga datang waktu pagi.”
Dan di dalam hadits yang lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ْ ‫ِإ َذا َدعَا ال َّر ُج ُل َزوْ َجتَهُ لِ َحا َجتِ ِه فَ ْلتَْأتِ ِه َوِإ ْن َكان‬.
‫َت َعلَى التَّنُّوْ ِـر‬

15
“Apabila seorang suami mengajak isterinya untuk berhubungan intim, maka
hendaknya sang isteri melayaninya meskipun ia sedang berada di atas unta.”

13) Isteri harus dapat menjaga rahasia suami dan rahasia rumah tangga, janganlah
sekali-kali ia menyebarluaskannya. Dan di antara rahasia yang paling penting
yang sering diremehkan oleh para isteri sehingga ia menyebarluaskannya
kepada orang lain, yaitu rahasia yang terjadi di ranjang suami isteri. Sungguh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang hal demikian.

14) Isteri harus selalu bersungguh-sungguh dalam menjaga keberlangsungan


kehidupan rumah tangga bersama suaminya, janganlah ia meminta cerai tanpa
ada alasan yang disyari’atkan.
Dari Tsauban Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alihi wa sallam
bersabda:

ٍ ‫ق ِم ْن َغي ِْر َما بَْأ‬


‫س فَ َح َرا ٌم َعلَ ْيهَا َراِئ َحةُ ْال َجنَّ ِة‬ َ َ‫ت َزوْ َجهَا الطَّال‬
ْ َ‫َأيُّ َما ا ْم َرَأ ٍة َسَأل‬.
“Isteri mana saja yang minta cerai dari suaminya tanpa adanya alasan, maka ia
tidak akan mencium bau wanginya Surga.”
Dan dalam hadits yang lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ُ َ‫ات ه َُّن ْال ُمنَافِق‬
‫ات‬ ُ ‫اَ ْل ُم ْختَلِ َع‬.
“Para isteri yang minta cerai adalah orang-orang munafik.”

3. Hak Bersama
Hak bersama suami istri adalah hak yang melekat pada kedua belah pihak yang harus
dilakukan dengan penuh kesadaran, tanpa adanya paksaan dan intervensi dari pihak
manapun. Menurut Sayyid Sabiq, hak bersama antara suami dan istri meliputi hal-hal
sebagaimana berikut, yaitu:
1) Menikmati hubungan seksual. Hubungan seksual yang terjadi antara suami
istri adalah merupakan hubungan timbal balik yang harus dilakukan bersama-
sama dengan penuh perasaan dan kerelaan atas dasar kasih sayang yang tulus.
Salah satu pihak tidak bisa memaksanakan kehendaknya atas yang lain karena

16
hubungan seksual tidak bisa dilakukan secara mandiri oleh salah satu pihak
saja.
2) Antara suami dan istri sama-sama dilarang melakukan pernikahan dalam jalur
keturunan. Artinya, seorang istri haram dinikahi oleh ayah dari suaminya,
kakeknya, anak-anaknya dan cucu-cunya. Demikian juga suami tidak bisa
menikasi ibu dari istrinya, anak perempuannya dan cucu-cucunya.
3) Menasabkan anak (keturunan) pada suami yang sah. Baik dalam kondisi
masih dalam hubungan suami istri atau setelah perceraian, nasab anak akibat
hubungan perkawinan yang sah tetap melekat pada suami (sebagai ayah yang
sah).
4) Baik suami ataupun istri wajib memperlakukan pasangannya dengan baik
sehingga memunculkan kemesraan antara keduanya.
5) Hak mendapatkan warisan, yaitu bahwa suami ataupun istri berhak
mendapatkan warisan jika salah satu dari keduanya meninggal dunia. Baik
suami atau istri akan mendapatan hak warisan tanpa penghalang.

17
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan, dapat diambil kesimpulan: Pertama,relasi antara hak dan
kewajiban suami istri dalam rumah tangga menimbulkan hak dan kewajiban yang setara antara
keduanya yaitu: hak Istri atas suami, hak suami atas istri, dan hak bersama antara keduanya.
Kedua, penafsiran ayat ahkam dengan relevansinya terhadap hadits ahkam tentang hak dan
kewajiban suami istri dalam kehidupanrumah tangga dapat dibagi menjadi kewajiban suami yang
menjadi hak istri yang dinyatakan dalam Al-Qur’an bahwa suami harus memberi nafkah istri,
memperlakukan istri dengan ma’ruf (baik). Hal tersebut selaras dengan tafsir hadits Asy ’ari
yang menyatakan bahwa suami mempunyai tanggung jawab penuh atas istri baik dalam nafkah
maupun dalam perlakukan sehari-hari. Sedangkan kewajiban istri yang menjadi hak suami
adalah bahwa istri wajib menjaga segala sesuatu yang berkenaan dengan milik suami. Hal ini
berkesesuaian dengan hadits-haditsyang menyatakan tentang kewajiban istri sebagai hak suami
yaitu kewajiban istri meminta izin suami saat berada di dalam rumah, di luar rumah dandalam
hal memanfaatkan dan menggunakan harta..

18
DAFTAR PUSTAKA

Amin Summa, Muhammad. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2005

Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2.
Jakarta: Gema Insani.

Bisri, Mustofa. Bingkisan Pengantin. Sumber Solo: Qaula Smart Media, 2008.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2001.

Hairul Hudaya. “Hadits-Hadits Tentang Penafsiran Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Tafsir
At-Tabhari (Studi Kualitas dan Relevansi Kandungannya) Disertasi: UIN Sultan Alaudin
Makasar. 2013.

Jamaa, La. “Advokasi Hak-Hak Istri Dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum Islam” (Jurnal,
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Ambon, 2016).

Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya: Edisi yang Disempurnakan, Juz 1-3. Jakarta:
Widya Cahaya, 2011.

Nawawi bin Umar al-Jawi, Syaikh Muhammad., Keluarga Sakinah, terj. Ali Chasan Umar.
Semarang: Karya Toha Putra,1994.

Rasyid, Fatkhur. Babat Sikap-Sikap Istri Terhadap Suami yang Harus Dihindari Sejak Malam
Pertama. Jogjakarta: DIVA Press, 2011.

19

Anda mungkin juga menyukai