Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Hak Dan Kewajiban Suami Istri

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

“Hukum Perkawinan Islam”

Dosen Pengampu:

Sirojudin Ahmad, S.Ag. M.H.

Disusun Oleh

Sashio Daffa Valensia (102220114)

Vania Nasywa Azzahra (102220125)

FAKULTAS SYARIAH

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO


1
KATA PENGANTAR
Pertama-tama kami panjatkan puja dan puji syukur atas rahmat dan ridho Allah SWT, karena
tanpa rahmat dan ridhonya, kita tidak dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat
waktu. Shalawat serta salam tak lupa kami haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW. Yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman terang benderang seperti
saat ini.

Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada bapak Sirojudin Ahmad, MH. selaku dosen
pengampu mata kuliah Hukum Perkawinan Islam yang membimbing kami dalam pengerjaan
tugas makalah ini. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman kami yang sedia
membantu dalam hal mengumpulkan data-data dalam pembuatan makalah ini. Dalam makalah
ini kami menjelaskan tentang Kewajiban Dan Hak Suami Istri.

Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat banyak kekurangan dan kesalahan yang
belum kami ketahui. Maka dari itu kami mohon saran dan kritik dari teman-teman maupun
Dosen. Demi tercapainya makalah yang sempurna.

Ponorogo, 10 Oktober 2023

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………/…………ii

DAFTAR ISI……………………………………………………………………...iii

BAB I PENDAHULUAN……………...………………………………………….1

A. Latar Belakang……...……………………………………………………1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………. ……2
C. Tujuan……………………………………………………………………2

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………….3

A. Prinsip Pergaulan Suami dan Istri…………………………………………...3


B. Kewajiban Suami Dalam Keluarga………………………………………….5
C. Kewajiban Istri………………………………………………………………7
D. Dalil dalil tentang kewajiban dan hak suami istri…………………………...8
E. Pengaturan hak dan kewajiban suami istri
dalam UU Perkawinan dan KHI…………………………………………….9

BAB III PENUTUP…………………………………………………………..11

A. Kesimpulan…………………………………………………………………11
B. Saran………………………………………………………………………..12

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………13

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan secara umum merupakan ikatan social antara suami isteri yang mengandung
unsur hubungan manusia dengan manusia, yaitu sebagai hubungan keperdataan. Disisilain
perkawinan juga memuat unsur sakralitas, yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya. Tujuan
umum perkawinan yakni untuk memperoleh ketenangan hidup yang penuh cinta dan kasih
sayang (mawaddah dan rahmah) sebagai tujuan pokok dan utama, yang kemudian tujuan tersebut
diiringi pula tujuan pemenuhan kebutuhan reproduksi (penerusan generasi), kebutuhan biologis
(hubungan seksual yang halal), menjaga kehormatan, dan tujuan ibadah. Dalam kehidupan
keluarga, suami istri saling membutuhkan dan saling mengisi satu sama lain dengan cara hidup
berdampingan dan berbagi tugas untuk mencapai tujuan bersamadari hal tersebut, timbul hak dan
kewajiban antara suami dan istri. Kewajiban suami terhadap istri yang paling pokok adalah
kewajiban memberi nafkah, baik berupa makanan, pakaian, maupun tempat tinggal bersama. Hal
ini sudah merupakan kaidah umum. Suami juga berkewajiban untuk menggauli istrinya dengan
baik, emberikan perlindungan dan rasa nyaman. Kewajiban istri secara umum yaitu mengat
ururusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya serta mendidik anak dengan baik. Hal ini
merupakan wujud kepatuhan istri kepadasuami. Kewajiban suami tersebut merupakan hak dari
istri demikian juga kewajiban istri merupakan hak suami. Agama Islam telah mem berikan
beberapa ketentuan mengenai kewajiban suami istri didalam keluarga bahwa pada dasarnya
kewajiban memberi nafkah keluarga adalah suami pemenuhan nafkah merupakan bagian upaya
mempertahankan keutuhan dan eksistensinya sebuah keluarga. Dan nafkah wajib atas suami
mulai semenjak akad perkawinan dilakukan Jika aqad nikah telah sah dan berlaku, maka ia akan
menimbulkan akibat hukum dengan demikian akan menimnulkan hak dan kewajiban sebagai
suami itri.2 Hak kewajiban suami istri dalam kehidupan berumah tangga harus dipenuhi oleh
masing-masing pihak guna untuk mewujudkan keluarga yang tetap utuh dan harmonis.
Penjelasan hak dan kewajiban suami istri akan dijelaskan pada bab berikutnya yang jelas dalam
pernikahan itu ada hak dan kewajiban yang mesti dipenihi lahir dan batin. Nafkah adalah semua
kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat.

4
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Cara Memahami Prinsip Pergaulan Suami Istri?
2. Apa Kewajiban Suami dalam berumah tangga?
3. Apa Kewajiban Istri dalam berumah tangga?
4. Bagaimana Bunyi Dalil dalil tentang kewajiban dan hak suami istri?
5. Apa Perbedaan Pengaturan hak dan kewajiban suami istri dalam UU Perkawinan
dan KHI?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Cara memahami Prinsip Pergaulan Suami Istri.
2. Untuk mengetahui pembahasan kewajiban Suami dalam berumah tangga.
3. Untuk mengetahui pembahasan Kewajiban Istri dalam berumah tangga.
4. Untuk mengetahui Bunyi Dalil dalil tentang kewajiban dan hak suami istri.
5. Untuk Perbedaan Pengaturan hak dan kewajiban suami istri dalam UU
Perkawinan dan KHI.

5
BAB II

PEMBAHASAN
A. Prinsip Pergaulan Suami dan Istri

Pernikahan merupakan komitmen dua belah pihak untuk menjalani kehidupan bersama
dengan membentuk keluarga. Untuk mendapatkan kebahagiaan dalam keluarga perlu adanya niat
dan usaha dari kedua belah pihak. Sehingga segala hal yang mengarah pada pembentukan
keharmonisan keluarga seperti saling setia, menjaga rahasia keluarga, saling membantu dan
menyayangi, merupakan kewajiban dan hak bersama suami dan istri. Menurut syafrudin,
bentuknya ada tiga: Pertama, bolehnya bergaul dan bersenang-senang di antara keduanya. Inilah
hakekat sebenarnya dari sebuah perkawinan. Kedua, timbulnya hubungan suami dengan
keluarga istrinya dan sebaliknya hubungan istri dengan keluarga suaminya. Ketiga, hubungan
saling mewarisi di antara suami istri. Setiap pihak berhak mewarisi pihak yang lain bila terjadi
kematian1 Dengan demikian, keduanya harus berupaya menjalin dan memelihara relasi,
hubungan, dan pergaulan yang baik (mu’asyirah bil-ma’ruf) di antara mereka. Dalam Al-Qur’an
Allah berfirman:

َ َْ ُ ُ ُ َ َ ً َ ِّ ُ َ َْ َُ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ َ
‫آمنوإ َل َي ِح ُّل لك ْم أن ت ِرثوإ إلن َس َاء ك ْرها ۖ َوَل ت ْعضلوه َّن ِلتذه ُبوإ‬ ‫يا أيها إل ِذين‬
ْ َ ُ ْ َ ْ َّ ُ ُ ِ َ َ َ ِّ َ ُ َ َ َ‫َ َ ْ ُ ُ ُ َّ َّ َ ْ َ ْ ن‬ َْ
‫وف ۚ ف ِإن‬ ِ ‫اشوهن ِبالمعر‬ ِ ‫احش ٍة مبين ٍة ۚ وع‬ ِ ‫ض ما آتيتموهن ِؤَل أن يأ ِتي ِبف‬ ِ ‫ِببع‬
َ َ
‫يه خ ْ ًيإ ك ِث ًيإ‬ ُ َّ َ َ ْ َ َ ً ْ َ ُ ْ َ ْ َ ٰ َ ‫وه َّن َف َع‬
ُ ُُْ َ
ِ ‫َس أن تك َرهوإ شيئا ويجعل إَّلل ِف‬ ‫ك ِرهتم‬

”Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa
dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa
yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang
nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (Q.S, an-Nisa: 19)

1
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang
Perkawinan), Jakarta: Kencana Prenamedia Group, 2006, h. 163.

6
Ayat al-Qur’an diatas, ialah perintah kepada laki-laki untuk bergaul dan berbuat baik
terhadap istrinya. Seruan tersebut diberikan kepada suami karena pada masi Nabi budaya yang
dominan adalah budaya patriarkhi, sehingga perempuan masih tersubordinasi. Dalam konteks
seperti itu kemudian ayat al-Qur’an dan hadis tersebut menyeru suami untuk bergaul secara baik
dengan istrinya. Ini menunjukkan bahwa islam menganjurkan penghormatan kepada perempuan
demi untuk kesetaraan, selain itu seruan tersebut juga berlaku sebaliknya, yakni anjuran kepada
istri untuk bergaul secara baik dengan suaminya.2 Sebab suami istri itu masing-masing menjadi
pakaian bagi yang lainnya, sebagai disebutkan dalam Al-Quran surat al-Baqarah ayat 187:

ُ ‫اس َّل ُه َّ ْۗن َعل َم ه‬


ْ‫إَّلل َإ َّن ُكم‬ ٌ ‫إلر َف ُث ِإ ىٰل ن َس ۤاى ُك ْ ْۗم ُه َّن ل َب‬
ٌ ‫اس َّل ُك ْم َو َإ ْن ُت ْم ل َب‬ َّ ‫إلص َيام‬ ِّ ‫ح َّل َل ُك ْم َل ْي َل َة‬
ِ ِ ِ ِٕ ِ ِ ِ
ََ َُ ُ ُ ِ َ َ ْٰ َ ۚ ْ ْ ُ ْ َ َ َ َ ْ ُ ََْ َ َ َ ْ ُ َ ُ َْ َ ْ ُ َ ْ َ ْ ُْ ُ
‫اش ْوه َّن َو ْإبتغ ْوإ َما كت َب‬ ِ ‫كنتم تختانون إنفسكم فتاب عليكم وعفا عنكم إلۚ فالـن ب‬
َّ‫إْل ْس َود م َن ْإل َف ْج ۖر ُثم‬ َ ْ ْ َ ْ َ ُ َ ْ َ ُ ْ َ ْ ُ ُ َ َ‫ه ُ َ ُ ْ ْۗ َ ُ ُ ْ َ ِْ َ ُ ْ َ ّّٰ َ َ َ َّ ن‬
ِ ِ ِ ‫إَّلل لكم وكلوإ وإشبوإ حّت يتبي لكم إلخيط إبيض ِمن إلخي ِط‬
َ َ ‫ِّ َ َ َ َّ ْ ۚ َ َ ُ َ ِ ُ ْ ُ َّ َ َ ْ ُ ْ ٰ ُ ْ َ َۙ ن ْ َ ٰ ْۗ ْ َ ُ ُ ْ ُ ه‬ ُّ َ
‫إَّلل فَل‬ ِ ‫اشوهن وإنتم ع ِكفون ِف إلمس ِج ِد ِتلك حدود‬ ِ ‫إ ِتموإ إلصيام ِإٰل إلي ِل وَل تب‬
َ ُ َّ َّ َ
‫اس ل َعل ُه ْم َيتق ْون‬
َّ
‫لن‬ ‫ل‬ ‫ه‬ ‫ت‬ ٰ ‫إَّلل ىإ‬
‫ي‬ ُ‫ي ه‬ ُ‫َت ْق َر ُب ْو َه ْۗا َك ٰذ ل َك ُي َب ِّ ن‬
ِ ِ ِٖ ِ

”Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian
bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat
menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkanmu. Maka, sekarang
campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah
hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian,
sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Akan tetapi, jangan campuri mereka ketika
kamu (dalam keadaan) beriktikaf di masjid. Itulah batas-batas (ketentuan) Allah. Maka,
janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia
agar mereka bertakwa.”

Ayat ini menegaskan bahwa hubungan seksual adalah kepentingan berdua, bukan hanya
kepentingan suami sedang istri hanya melayani, dan sebaliknya, hanya kepentingan istri sedang
suami hanya melayani. Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa hubungan seksual itu tidak hanya

2
Departemen Agama RI, Membangun Keluarga Harmoni (Tafsir Al-Qur’an Tematik), Jakarta: Departemen
Agama RI, 2008, h. 110-111

7
berfungsi untuk meneruskan ketrurunan, tetapi yang pertama kali adalah berfungsi untuk
kesenangan. Ini berarti bahwa istri, sebagaimana suami, harus juga menikmati hubungan seksual.

Sedangkan kewajiban keduanya secara bersama setelah terjadinya pernikahan itu adalah:
Pertama, memelihara dan mendidik anak keturunan yang lahir dari perkawinan tersebut. Kedua,
Memelihara kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

B. Kewajiban Suami Dalam Keluarga

Suami dinyatakan secara tekstual dalam al-Qur’an adalah sebagai pelindung (Qawwam) bagi
istri. Dari situ, para ulama kemudian menetapkan bahwa suami adalah kepala keluarga. Ayat
tersebut menyatakan bahwa suami adalah pelindung bagi perempuan adalah karena dua hal, yaitu
pertama, hal yang besifat natural karena pemberian (wahbi) dari Allah ini berupa bentuk fisik
dan laki-laki yang secara umum lebih kuat dari perempuan. Kemudian yang kedua adalah hal
yang bersifat sosial karena merupakan sesuatu yang diuasahakan (kasbi). Ini berupa harta benda
yang dinafkahkan bagi anggota keluarga yang lain, yaitu istri dan anak.

Dalam beberapa literatur kewajiban suami sebagai kepala rumah tangga ini biasaya dibagi
menjadi dua, yaitu kewajiban yang berkaitan dengan harta benda (maliyyah) seperti nafkah, dan
kewajiban yang tidak berkaitan dengan harta benda (gair maliyyah) seperti memperlakukan istri
dengan baik. Apabila pembagian ini diperinci secara singkat, maka kewajiban suami terhadap
istrinya yang berkitan dengan benda terbagi menjadi dua, yang pertama adalah mahar,
sebagimana yang dijelaskan dalam surat an-Nisa’ ayat 4 dan 24 dan yang kedua ialah pemberian
harta benda untuk keperluan hidup yang biasa disebut nafkah (nafaqah).

Nafkah suami terhadap istrinya meliputi segala keperluan hidup, baik makanan, tempat
tinggal, dan segala pelayanannya, yang tentu saja disesuaikan dengan kemampuan suami dan
adat kebiasaan masyarakat setempat. Ayat Al-Qur’an dalam pemberian nafkah oleh suami
terhadap istrinya sangat menekankan pada kelayakan menurut masing-masing masyarakat (al-
ma’ruf) dan juga disesuaikan dengan kemampuan suami (al-wus’u).

8
ٗ َ ُ ْ َ َ َْۗ َ َ َّ َّ ُّ ْ َ َ َ َ ْ َ ‫َ ْ ٰ ٰ ُ ُ ْ ْ َ َ ْ َ َ ُ َّ َ ْ َ ْ ن َ َ ْ ن‬
ٗ ‫إلرضاعة َوعَل إل َم ْول ْو ِد له‬ ‫ي ِلمن إرإد إن ي ِتم‬ ِ ‫ي ك ِامل‬
ِ ‫وإلو ِلد ت ير ِضعن إوَلدهن حول‬
ْۗ َ ْ َ َ َ َ ُ َ َ ُ َ َ َ َ ُ ْ ِّ َ َ ْ َ ‫ْ ُ ٰ َۚ َ ْ ََ َ َ ا‬ َ ‫ب َو َلده َو َع ََل ْإل‬
‫إض منهما وتشاو ٍر فَل جناح علي ِهما‬ ٍ ‫ر‬ ‫ت‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫اَل‬ ‫ص‬ ‫ف‬ِ ‫إ‬‫إد‬
‫ر‬ ‫إ‬ ‫ن‬ ‫ا‬ِ ‫ف‬ ‫ك‬ ‫ل‬ِ ‫ذ‬ ‫ل‬ ‫ث‬ ‫م‬ِ ‫ث‬ِ ‫إر‬ِ ‫و‬ ِٖ ِ
َ ‫ف َو َّإت ُقوإ ه‬ ْۗ ْ ُ ْ َ ْ ْ ُ ْ َ ‫َ ْ َ َ ْ ُّ ْ َ ْ َ ْ َٰ ْ ُ ْْٓ َ ْ َ َ ُ ْ َ َ ُ َ َ َ َ ْ ُ ْ َ َ َّ ْ ُ ْ َّ ٓ ى‬
‫إَّلل‬ ِ ‫وِإن إردتم إن تسي ِضعوإ إوَلدكم فَل جناح عليكم ِإذإ سلمتم ما إتيتم ِبالمعرو‬
َ ُ َ َ ‫إع َل ُم ْْٓوإ َإ َّن ه‬
ْ َ
‫إَّلل ِب َما ت ْع َمل ْون َب ِص ْي‬ ‫و‬

“Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan
cara yang patut. Seseorang tidak dibebani, kecuali sesuai dengan kemampuannya. Janganlah
seorang ibu dibuat menderita karena anaknya dan jangan pula ayahnya dibuat menderita
karena anaknya. Ahli waris pun seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua
tahun) berdasarkan persetujuan dan musyawarah antara keduanya, tidak ada dosa atas
keduanya. Apabila kamu ingin menyusukan anakmu (kepada orang lain), tidak ada dosa bagimu
jika kamu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S, al-
Baqarah: 233)

Ayat tersebut menyebut suami yang berkewajiban meberikan nafkah kepada istrinya dengan
istilah al-maulud lahu (pemilik anak yang dIlahirkan). Ini berarti, bahwa antara nafkah dan
wiladah (melahirkan, salah satu proses reproduksi yang dialami perempuan) memiliki kaitan
yang sangat erat. Sedangkan pernyataan Al-Qur’an tentang pelaksanaan pemberian nafkah
dengan cara yang ma’ruf maksudnya ialah menurut kelayakan dan kepatutan, tidak saja sesuai
dengan konteks masyarakat, tetapi juga sesuai dengan konteks internal keluarga. Kewajiban dan
hak suami istri dapat dilaksanakan secara fleksibel, karena yang terpenting adalah terwujudnya
tujuan pernikahan, yaitu membentuk keluarga harmonis yang satu sama lain saling menyayangi
dan menghormati.3

3
Departemen Agama RI, Membangun Keluarga Harmoni (Tafsir Al-Qur’an Tematik), Jakarta: Departemen
Agama RI, 2008, h. 110-111

9
C. Kewajiban Istri

Kewajiban istri terhadap suaminya tidak ada yang berbentuk materi secara langsung, tetapi
dalam bentuk nonmateri seperti, taat dan patuh kepada suaminya, sebagaimana firman Allah
dalam surat an-Nisa ayat 34,:

َ ُ َ َْ ٓ
ْۗ ‫ض َّو ِب َما إنفق ْوإ ِم ْن إ ْم َو ِإل ِه ْم‬ ‫ع‬ ُ ‫إلن َس ۤاء ب َما َف َّض َل ه‬
ْ ‫إَّلل َب ْع َض ُه ْم َع ىَل َب‬ ِّ َ َ َ ْ ُ َّ َ ُ َ ِّ َ
‫إلرجال قوإمون عَل‬
ٍ ِ ِ
ُ ُ َ ُ َ ُ ُ َ ُ َ َ ْٰ‫َ هُ َ ه‬ ْ َ ْ ِّ ٌ ‫َ ّّ ٰ ُ ٰ ٰ ٌ ٰ ى‬
‫ّت تخاف ْون نش ْوزه َّن ف ِعظ ْوه َّن‬ َ َ
ِ‫فالص ِلحت ق ِنتت ح ِفظت للغي ِب ِبما ح ِفظۚ إَّلل ْۗوإل ي‬
َ َ َ ‫َ نْ ُ ْ ُ َّ َ ْ َ َ ْ َ ُ ْ َ َ َ ْ ُ ْ َ َ ْ َّ َ ْ ا َّ ه‬ َ َ ْ ‫َ ْ ُ ُ ْ ُ َّ ن‬
‫إَّلل كان‬ ‫إضبوهن ۚ ف ِان إطعنكم فَل تبغوإ علي ِهن س ِبيَل ِْۗإن‬ ِ ‫و‬ ‫ع‬ ِ ِ ‫وإهجروهن ِف إلم‬
‫اج‬ ‫ض‬
َ َ
‫ع ِل ًّيا ك ِب ْ ًيإ‬

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan
sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki)
telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah
mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah
telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz,
hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah
ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah
kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.”

Mematuhi suami disini mengandung arti mengikuti apa yang dipertintahkannya dan
menghentikan apa-apa yang dilarangnya, selama suruhan dan larangan tesebut tidak menyalahi
ketentuan agama. Bila larangan dan suruhannya itu bertentangan dengan ajaran agama, maka
tidak ada kewajiban bagi istri untuk mengikutinya. Selain itu istri juga harus mengupayakan
untuk melaksanakan fungsi reproduksi secara baik dan sehat. mengingat nafkah dipandang
sebagai kewajiban suami sebagai imbangan dari fungsi reproduksi perempuan yang
mengandung, melahirkan, dan menyusui, yang secara kodrati memang hanya bisa dilakukan oleh
perempuan. Sementara itu, penentuan untuk memiliki keturunan atau tidak, kapan waktunya, dan
jumlah keturunannya berapa adalah hak berdua dari suami dan istri. Ketiga hal tersebut,
semuanya dapat di musyawarahkan antara suami dan istri.

10
D. Dalil dalil tentang kewajiban dan hak suami istri

Ada beberapa dalil mengenai kewajiban dan hak suami dan istri, diantaranya:

ٌ َ ۤ‫ٰ ْٓ َ ُّ َ َّ ْ َ ى َ ُ ْ ُ ْْٓ َ ْ ُ َ ُ ْ َ َ ْ ْ ُ ْ َ ً َّ ُ ْ ُ َ َّ ُ َ ْ َ َ ُ َ َ ْ َ َ ى‬
‫يۚۚإيها إل ِذين إمنوإ قوإ إنفسكم وإه ِليكم نارإ وقودها إلناس وإل ِحجارة عليها مل ِِٕٕىَة‬
َ ْ َ ُ ْ ُ َ ٓ َ ‫َ ٌ َّ َ ْ ُ ْ َ ه‬ ٌ َ
‫إَّلل َما إ َم َره ْم َو َيف َعل ْون َما ُيؤ َم ُر ْون‬ ‫ِغَلظ ِشدإد َل يعصون‬

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar dan
keras. Mereka tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepadanya dan

selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” Q.S At-Tahrim ayat 6

ٗ َ ُ ْ َ َ َْۗ َ َ َّ َّ ُّ ْ َ َ َ َ ْ َ ‫َ ْ ٰ ٰ ُ ُ ْ ْ َ َ ْ َ َ ُ َّ َ ْ َ ْ ن َ َ ْ ن‬
ٗ ‫إلرضاعة َوعَل إل َم ْول ْو ِد له‬ ‫ي ِلمن إرإد إن ي ِتم‬ ِ ‫ي ك ِامل‬ ِ ‫وإلو ِلد ت ير ِضعن إوَلدهن حول‬
َ ‫ك َفا ْن َإ َر َإدإ ف َص ااَل َع ْن َت َرإض ِّم ْن ُه َما َو َت َش ُاور َف ََل ُج َن‬ َۚ
‫اح‬ ِ ِ ‫ل‬ِ ٰ ‫ب َو َل ِد ٖه َو َع ََل ْإل َوإر ِث ِم ْث ُل ذ‬
ٍ ٍ ِ ِ
ْۗ ْ ُ َ ‫َ َ ْ َ ْۗ َ ْ َ َ ْ ُّ ْ َ ْ َ ْ َٰ ْ ُ ْْٓ َ ْ َ َ ُ ْ َ َ ُ َ َ َ َ ُ َ َّ ُ ٓ ى‬
‫اح عل ْيك ْم ِإذإ َسل ْمت ْم َّما إت ْيت ْم ِبال َم ْع ُر ْو ِف‬ ‫علي ِهما وِإن إردتم إن تسي ِضعوإ إوَلدكم فَل جن‬
َ ُ َ َ ‫إع َل ُم ْْٓوإ َإ َّن ه‬
ْ َ َ‫ه‬ ُ َّ
‫إَّلل ِب َما ت ْع َمل ْون َب ِص ْي‬ ‫َوإتقوإ إَّلل و‬

“Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan
cara yang patut. Seseorang tidak dibebani, kecuali sesuai dengan kemampuannya. Janganlah
seorang ibu dibuat menderita karena anaknya dan jangan pula ayahnya dibuat menderita
karena anaknya. Ahli waris pun seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua
tahun) berdasarkan persetujuan dan musyawarah antara keduanya, tidak ada dosa atas
keduanya. Apabila kamu ingin menyusukan anakmu (kepada orang lain), tidak ada dosa bagimu
jika kamu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S, al-
Baqarah: 233)

11
E. Pengaturan hak dan kewajiban suami istri dalam UU Perkawinan dan KHI
a. UU Perkawinan RI No. 1 Tahun 1974
Dalam pasal 1 undang-undang no.1 tahun 1974 disebut “perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan yang Maha Esa”4
Pertama, Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga
yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat.
Kedua, Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir batin antara satu dengan yang lain. Ketiga, Suami isteri memikul
kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka baik mengenai
pertumbuhan jasmani maupun rohani serta kecerdasannya dan pendidikan agamanya.
Keempat, suami isteri wajib memelihara kehormatannya. Kelima, Jika suami atau isteri
lalai terhadap kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatannya kepada
pengadilan.

b. Dan terdapat juga hak dan kewajiban suami dalam Pasal 79 KHI menegaskan :
a. Suami adalah kepala keluarga, dan istri Ibu rumah tangga.
b. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
dalam kehidupan berumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat.
c. Masing- masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.5
Pasal 80 KHI mengatur kewajiban suami terhadap istri dan keluarganya, sebagai
berikut :
a. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangga, akan tetapi mengenai
hal-hal urusan rumah tangga yang penting penting –penting di putuskan oleh
suami istri bersama.
b. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
rumah tangga sesuai dengan kemampuanya.

4
Syaiful Anwar “Hak dan Kewajiban Suami Istri Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974”. Volume 1,
Nomor 1 Mei 2021
5
Mardani, Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta :Graha Ilmu,2011), hlm. 75

12
c. Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi
kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa
dan bangsa.
Dalam pasal 81 KHI mengatur juga:
a. Suami menyediakan tempat tinggal kediaman bagi istri dan anak-anaknya atau
bekas istri yang masih dalam iddah
b. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam
ikatan perkawinan atau dalam iddahtalak atau iddah wafat.
a. Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak dari gangguan
pihak lain, sehingga mereka merasa aman da tentram. Tempat kediaman
jugAberfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekeyaan, sebagai tempat menata
dan mengatur alat-alat rumah tangga.6

6
Ibid 77

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pernikahan merupakan komitmen dua belah pihak untuk menjalani kehidupan
bersama dengan membentuk keluarga. Untuk mendapatkan kebahagiaan dalam
keluarga perlu adanya niat dan usaha dari kedua belah pihak. Sehingga segala hal
yang mengarah pada pembentukan keharmonisan keluarga seperti saling setia,
menjaga rahasia keluarga, saling membantu dan menyayangi, merupakan kewajiban
dan hak bersama suami dan istri. Menurut syafrudin, bentuknya ada tiga: Pertama,
bolehnya bergaul dan bersenang-senang di antara keduanya. Inilah hakekat
sebenarnya dari sebuah perkawinan. Kedua, timbulnya hubungan suami dengan
keluarga istrinya dan sebaliknya hubungan istri dengan keluarga suaminya. Ketiga,
hubungan saling mewarisi di antara suami istri. Setiap pihak berhak mewarisi pihak
yang lain bila terjadi kematian Dengan demikian, keduanya harus berupaya menjalin
dan memelihara relasi, hubungan, dan pergaulan yang baik (mu’asyirah bil-ma’ruf) di
antara mereka.

Dalam beberapa literatur kewajiban suami sebagai kepala rumah tangga ini
biasaya dibagi menjadi dua, yaitu kewajiban yang berkaitan dengan harta benda
(maliyyah) seperti nafkah, dan kewajiban yang tidak berkaitan dengan harta benda
(gair maliyyah) seperti memperlakukan istri dengan baik. Apabila pembagian ini
diperinci secara singkat, maka kewajiban suami terhadap istrinya yang berkitan
dengan benda terbagi menjadi dua, yang pertama adalah mahar, sebagimana yang
dijelaskan dalam surat an-Nisa’ ayat 4 dan 24 dan yang kedua ialah pemberian harta
benda untuk keperluan hidup yang biasa disebut nafkah (nafaqah).

Dalam pasal 1 undang-undang no.1 tahun 1974 disebut “perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan yang Maha Esa”

14
Pertama, Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan
masyarakat. Kedua, Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati,
setia dan memberi bantuan lahir batin antara satu dengan yang lain. Ketiga, Suami
isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka baik
mengenai pertumbuhan jasmani maupun rohani serta kecerdasannya dan pendidikan
agamanya. Keempat, suami isteri wajib memelihara kehormatannya. Kelima, Jika
suami atau isteri lalai terhadap kewajibannya masing-masing dapat mengajukan
gugatannya kepada pengadilan.

B. Saran

Demikian makalah ini kami buat, kami berharap makalah ini dapat membantu
pembelajaran dan semoga makalah ini bisa berkembang dengan berjalannya diskusi yang akan
dijalankan oleh teman teman. Kurang lebihnya dari makalah ini kami mohon maaf, untuk itu
kami mohon kritik dan sarannya.

15
DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan), Jakarta: Kencana Prenamedia Group, 2006, h. 163.

Departemen Agama RI, Membangun Keluarga Harmoni (Tafsir Al-Qur’an Tematik),


Jakarta: Departemen Agama RI, 2008, h. 110-111

Departemen Agama RI, Membangun Keluarga Harmoni (Tafsir Al-Qur’an Tematik), Jakarta:
Departemen Agama RI, 2008, h. 110-111

Syaiful Anwar “Hak dan Kewajiban Suami Istri Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974”. Volume 1, Nomor 1 Mei 2021

Mardani, Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta :Graha Ilmu,2011), hlm. 75

Ibid 77

16

Anda mungkin juga menyukai