Anda di halaman 1dari 5

TUGAS HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

MEMBUAT REVIEW
JURNAL BIPIRACY AND VACCINE YANG BERHUBUNGAN

DENGAN HAKI

Nama:

Satya Adhi Wicaksana 1810112062

Kelas : 2.11

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ANDALAS

TAHUN PELAJARAN 2020/2021


REVIEW JURNAL BIPRACY AND VACCINE YANG BERHUBUNGAN
DENGAN HAKI

Di dalam jurnal tersebut dikatakan bahwa negara berkembang  terbukti enggan untuk
bekerja sama dengan negara-negara Dunia Pertama untuk mengembangkan vaksin pra-
pandemi karena tampaknya tidak mungkin negara-negara berkembang akan mendapat
manfaat dari kerja sama tersebut. Pada tahun 2007, masalah ini muncul ketika Indonesia
mengetahui bahwa Organisasi Kesehatan Dunia telah membagikan sampel virus yang
dikumpulkan di Indonesia dengan perusahaan farmasi, yang kemudian memodifikasi dan
mematenkan virus tersebut.

Hal ini bertenangan dengan Subjek Paten (Pasal 11-13 UU Paten) karena dalam pasal
tersebut disebutkan bahwa Jika Invensi dihasilkan oleh beberapa orang secara bersama-
sama,hak atas Invensi dimiliki secara bersama-sama oleh para Inventor ybs. Menurut saya
dalam hal ini Indonesia merupakan termasuk kedalam subjek paten sebagai inventor karena
sampel virus tersebut didapatkan dari Indonesia,tetapi malah organisasi kesehatan dunia
membagikan sampel tersebut kepada perusahaan farmasi yang kemudian memodifikasi dan
mematenkan virus tersebut. Menanggapi insiden terakhir ini, otoritas kesehatan Indonesia
memutuskan untuk berhenti berbagi sampel virus dengan WHO dan membuat pengaturan
kepemilikan untuk menukar sampel virus dengan vaksin dari perusahaan farmasi secara
langsung.

Pada bulan Januari, frustasi bahwa strain virus Indonesia telah digunakan untuk
membuat vaksin yang kebanyakan orang Indonesia tidak mampu, negara berhenti bekerja sama
dengan WHO dan membuat kesepakatan untuk mengirim sampel ke Baxter Healthcare, sebuah
perusahaan Amerika, dengan imbalan vaksin murah dan bantuan dalam membangun pabrik
vaksin di Indonesia. Hal ini dilakukan Indonesia karena WHO telah membagikan sampel yang
dikumpulkan diindonesia kepada perusahaan farmasi yang dipatenkanya sendiri dan Indonesia
pun juga berusaha untuk mematenkan vaksin virusnya sendiri

Karena pada dasarnya sesuai yang dikatakan di dalam jurnal ini bahwa Indonesia dan
negara berkembang lainnya berpendapat bahwa secara hukum, perusahaan farmasi tidak dapat
mengembangkan vaksin menggunakan stok benih dari negara berkembang tanpa izin negara.
jadi seharusnya perusahaan farmasi yang menerima sampel virus dari organisasi kesehatan
dunia dimana sampel virus tersebut didapatkan di Indonesia dan mematenkanya, seharusnya
menurut hukum hal tersebut tidak dapat dilakukan karena Indonesia sendiri tidak memberikan
izin untuk itu.

Menurut Hak dan Kewajiban Pemegang Paten ( Pasal 19-21 UU Paten)


Pemegang Paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Paten yang dimilikinya dan untuk
melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya:

a.Dalam hal Paten-produk:


membuat,menggunakan,menjual,mengimpor,menyewakan,menyerahkan,atau menyediakan
untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten.

b.Dalam hal Paten-proses:


menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang/tindakan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

Dimana dari UU Paten Pasal 19-21 diatas dalam hal paten proses seharusnya sampel
virus yang dikumpulkan di Indonesia tidak boleh dipatenkan oleh pihak lain tanpa persetujuan
Negara Indonesia, karena pengumpulan sampel virus tersebut merupakan langkah yang
dilakukan Negara Indonesia Dalam Hal Paten Proses, Jadi tidak ada pihak lain selain Indonesia
yang boleh menggunakan sampel virus dari Indonesia yang merupakan proses produksi yang
diberi Paten untuk membuat barang/ tindakan lainya sebagaimana dimaksud Poin A diatas
yaitu Dalam hal Paten Produk.

Dan karena perusahaan farmasi tersebut telah mematenkan nya seharusnya menurut
UU Paten Pasal 19-21 Pemegang Paten wajib membuat produk atau menggunakan proses d
iIndonesia dan harus menunjang transfer teknologi,penyerapan investasi dan/atau penyediaan
lapangan kerja sebagai ROYALTI , dimana hal tersebut tidak dilakukan oleh perusahaan
farmasinyang mematenkan dari sampel virus yang dikumpulkan di indonesia

Dalam hal ini juga suatu invensi (Ide inventor yang dituangkan kedalam suatu kegiatan
pemecahan masalah yang spesifik dibidang teknologi berupa produk atau proses,atau
penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.) yang dipatenkan oleh perusahaan
farmasi yang menerima sampel virus yang dikumpulkan di indonesia dan mematenkanya,
seharusnya perusahaan farmasi tersebut tidak dapat mematenkan invensinya karena,
proses atau produk yang pengumuman ,penggunaan,atau pelaksanaannya bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, agama, ketertibanumum, atau kesusilaan. dalam hal
ini Invensi tersebut bertentangan dengan Undang Undang Paten Pasal 19-21 dimana tidak
mendapatkan izini dari negara indonesia
Indonesia sebagai Inventor dalam hal pengumpulan sampel juga berhak mendapatkan
Imbalan atas Paten yang dihasilkannya dalam hal ini adalah perusahaan farmasi yang menerima
sampel virus dari Indonesia sehingga dia dapat mematenkan vaksinya, dan juga hak Indonesia
sebaga inventor untuk dicantumkan dalam sertifikat paten atas vaksin yang sumber virusnya
didapatkan dan dikumpulkan dari Indonesia

Fakta bahwa perusahaan farmasi memiliki akses ke virus [benih benih] Indonesia yang
dibagikan dengan laboratorium yang berafiliasi dengan WHO adalah tidak hanya melanggar
pedoman WHO untuk berbagi virus (Maret 2005), tetapi itu juga mengungkap ketidakadilan
sistem global. Bahwa sistem pengawasan global WHO bertindak sebagai pengumpulan virus
gratis dan departemen Litbang untuk perusahaan-perusahaan vaksin terbesar di dunia, dengan
nama-nama yang dikenal seperti Sanofi-Pasteur, Novartis , dan Astra-Zeneca, namun memberi
sedikit manfaat bagi negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang sangat marah
ketika perusahaan-perusahaan farmasi mematenkan jenis virus yang telah diperoleh tanpa izin
dari negara tempat mereka diciptakan.

Dengan undang-undang kekayaan intelektual mengizinkan paten bentuk kehidupan,


orang-orang di negara berkembang sekarang takut bahwa klausa Aspek Terkait Perdagangan
atas Kekayaan Intelektual (TRIPS) dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dapat digunakan
untuk menegakkan klaim perusahaan atas virus yang awalnya dikumpulkan dari negara
berkembang.

Untuk membenarkan posisinya, Menteri Kesehatan Indonesia, Supari menciptakan


doktrin baru, yang dia beri label “kedaulatan viral.” Dalam paradigma ini, virus membentuk
bagian dari warisan biologis negara tempat mereka ditemukan, yang memiliki hak eksklusif bagi
mereka

Cendekiawan kekayaan intelektual seperti Simone Vezzani (2010, hlm. 678-679)


berpendapat menentang posisi Supari karena tujuan awal perjanjian CBD adalah untuk
melindungi pengetahuan masyarakat adat dan mendorong pelestarian alam. Dalam konteks ini,
interpretasi perjanjian untuk memasukkan pelestarian virus bermasalah, katanya, karena virus
hanya menjadi benar-benar hidup sebagai bagian dari biologi manusia.

Namun, konsep "kedaulatan virus" mewakili alat yang berguna bagi negara-negara
berkembang untuk berpendapat bahwa untuk kebaikan publik global, harus ada keseimbangan
antara permintaan sampel virus pada bagian negara-negara maju dan kebutuhan akan lebih
banyak lagi manfaat dari vaksin yang dibuat dari sampel-sampel di negara-negara miskin yang
paling terkena dampak

Dalam perjalanan pembahasan ini, muncul bahwa WHO tidak mematuhi ketentuan
pedoman WHO 2005 tentang berbagi virus, yang meminta persetujuan negara-negara donor
sebelum pusat-pusat kerja sama WHO dapat menularkan virus (selain strain vaksin) kepada
pihak ketiga seperti produsen vaksin.

Dan akhirnya menimbulkan Resolusi yang menyatakan bahwa setiap “vaksin, diagnostik,
anti-virus, dan persediaan medis lainnya yang timbul dari penggunaan virus dan bagian-
bagiannya harus tersedia dengan harga yang terjangkau dan tepat waktu ke negara-negara
berkembang, terutama bagi mereka yang berada di bawah ancaman paling serius atau sudah
mengalami ancaman pandemic

Resolusi ini ditentang oleh Amerika Serikat, yang secara khusus prihatin bahwa
perubahan pada Perjanjian Transfer Bahan (yang mengatur pembagian stok benih virus) dapat
merusak kerja sama global untuk memproduksi vaksin melawan jenis pandemi vaksin. Pada
akhirnya, Majelis Kesehatan Dunia mengeluarkan resolusi yang menyerukan WHO untuk
membuat persediaan vaksin, serta aturan baru mengenai pembagian sampel virus influenza

karena bagi negara maju negara miskin tidak memiliki posisi tawar karena partisipasi
mereka dalam produksi produk ini tidak dihargai karena mereka “hanya” sumber daya alam
(spesimen klinis, virus, dan mikroba lainnya); di sisi lain, kontribusi negara-negara industri
sangat dihargai karena mereka adalah teknologi yang diciptakan manusia yang memiliki
keuntungan.

Anda mungkin juga menyukai