Oleh :
Kamilia Huryyati Istaniah (213206050017)
1
BAB I
PENDAHULUA
N
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan bagian dari ajaran syariat Islam yang bertujuan menjaga,
memelihara dan melestarikan keturunan. Dengan perkawinan seorang laki-laki dan
perempuan bisa hidup berdampingan, menjalin hubungan suami istri dan bersatu dalam
sebuah ikatan keluarga secara aman. Perkawinan adalah sarana agamayang mengatur pola
hubungan antara laki-laki dan perempuan untuk saling mencurahkan kasih sayang di
antara mereka dan bersama-sama meraih keberkahan.1 Untuk itu, sebagai ibadah luhur
yang (dianggap) sakral, perkawinan harus dilakukan atas dasar keikhlasan, penuh
tanggung jawab dan sesuai dengan ketentuan hukum yang ada.2 Agama Islam
mengajarkan bahwa setiap perbuatan harus dilakukan semata-mata karena mengharap
ridho dari Allah SWT.Artinya, seseorang yang telah menikah berarti juga memasuki dunia
dan kehidupan yang baru pula.Sehingga harus bisa memadukan antara urusan duniawi
dengan urusan ukhrawiyang berdimensi insani dengan yang profasecara arif dan
bijaksana. Kehidupan dalam bingkai perkawinan harus dijalani dengan penuh kesadaran,
rasa kasih sayang, saling hormat-menghormati, mampu menjaga rahasia dan aib masing-
masing dan bisa saling melengkapi antara satu dengan yang lain. Antara suami istri harus
bisa saling memahami dan menjaga hak dan kewajibannya masing-masing secara adil dan
seimbang sesuai dengan Q.S. al-Baqarah ayat 228 yang artinya : “Dihalalkan bagimu
pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan
kamu adalah pakaian bagi mereka”3
1
Siti Musdah Mulia, Membangun Surga Di Bumi; Kiat-Kiat Membina Keluarga Ideal Dalam Islam
4
Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i, (Bnadung: Pustaka Setia, 2007), 313.
2
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
3
BAB II
PEMBAHASAN
Segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah di dunia ini pasti mempunyai hikmah yang
terkandung didalamnya. Seperti halnya Allah menciptakan manusia yang berlainan bentuk
yaitu laki-laki dan perempuan agar masing-masing saling membutuhkan dan saling
melengkapi sehingga kehidupan mereka senantiasa dapat berkembang. Dalam membangun
rumah tangga suami isteri harus sama-sama menjalankan tanggungjawabnya masing-masing
agar terwujud ketentraman dan ketenangan hati sehingga sempurnalah kebahagiaan hidup
berumah tangga.5
Hak dan kewajiban suami isteri adalah hak isteri yang merupakan kewajiban suami
dan sebaliknya kewajiban suami yang menjadi hak isteri. Menurut Sayyid Sabiq hak dan
kewajiban isteri ada tiga bentuk, yaitu :
Hak isteri atas suami terdiri dari dua macam. Pertama, hak finansial, yaitu mahar dan
nafkah. Kedua hak nonfinansial, seperti hak untuk diperlakukan secara adil (apabila sang
suami menikahi perempuan lebih dari satu orang) dan hak untuk tidak disengsarakan6
2) Nafkah
5
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2014), 155.
6
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 3, (Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013), 412
7
Ibid, 413
4
Maksud dari nafkah dalam hal ini adalah penyediaan kebutuhan isteri, seperti pakaian,
makanan, tempat tinggal dan lain sebagainya yang menjadi kebutuhan isteri.
Di antara kebutuhan material yang harus diculupi oleh suami misalnya kebutuhan
makan, pakaian, tempat tinggal, pelayanan kesehatan dan sebagainya. Sedangkan kebutuhan
non material yang merupakan tanggung jawab suami terhadap istri antara lain yaitu:
1) Digauli dengan cara yang baik (ma’ruf),yaitu bahwa suami dalam melakukan
hubungan badaniyah harus mempertimbangkan aspek keadaan dan kondisi istri.
Suami tidak boleh memperlakukan istrinya secara kasar dan sewenang-wenang
berdasarkan kemauannya sendiri tanpa memperhatikan kebutuhan istri.
2) Menjaga keselamatan, keamanan dan menghindarkan istri dari segala sesuatu yang
membahayakan jiwanya, termasuk dari kemungkinan terjerumus ke dalam
perbuatan dosa dan maksiat8
3) Mengajarkan dan memahamkan masalah-masalah agama, sehingga istri menjadi
pribadi yang taat kepada Allah SWT, baik dalam pergaulan keluarga maupun
dalam pergaulan social masyarakat yang lebih luas.9
4) Tidak menyakiti jasmani dan rohani istri baik dengan memukul secara langsung
atau dengan penghinaan yang menyakiti hatinya.
8
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan,
(Jakarta: Kencana, 2006), 161.
9
Abu Malik Kamal Bin Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Untuk Wanita (Jakarta:al-I’tishom Cahaya Umat, 2007), 719.
5
b. Kewajiban Istri Terhadap Suami
“Hak-hak suami yang menjadi kewajiban seorang istri itu banyak, di antaranya
seorang istri wajib mentaati suami kecuali dalam hal-hal yang dilarang (agama),
istri tidak boleh puasa tanpa izin suami, tidak boleh keluar rumah tanpa izin dan
rida suami, istri wajib mencari keridaan suami dan berusaha sebisa mungkin
menjauhi perkara yang dibenci suaminya”
Dalam kontek Indonesia, suatu perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP
1974) dan aturan pelaksaksanaannya yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun
1975 (PP 9 tahun 1975). Dengan demikian maka segala konsekuensi hukum yang
terjadiakibat perkawinan (hubungan suami istri) baik itu yang menyangkut soal hak dan
(juga) kewajiban berlaku efektif setelah dipenuhinya unsur-unsur yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan tersebut.
Hal tersebut di atas, sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam pasal 2 dari UUP 1974
dan dipertegas dalam Penjelasan Umum nomer 4 yang menerangkan tentang keabsahan
perkawinan , yaitu: pertama, perkawinan (dianggap) sah apabila dilakukan sesuai dengan
6
ketentuan peraturan (hukum) agama dan atau kepercayaannya; kedua, perkawinan
sebagaimana tersebut harus dan telah dicatatkan sebagaimana ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
Di antara hak dan kewajiban sebagai suami istri tersebut diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) pasal 103-107 yang menyebutkan bahwa antara
suami dan istri harus saling setia, tolong-menolong dan bantu-membantu.Keduanya
merupakan satu kesatuan yang berkewajiban untuk saling memelihara, menjaga danmendidik
anak-anak mereka.Suami berperan sebagai kepala perkawinan (rumah tangga) yang harus
memimpin dengan baik sehingga sebagai istri wajib patuh dan mengikutinya.Seorang istri
wajib tinggal bersama dengan suaminya dan sebaliknya suami wajib menerima dan
memperlakukan istrinya dengan baik.Suami wajib memberikan perlindungan, rasa aman dan
memenuhi kebutuhan istrinya sesuai kedudukan dan kemampuannya.
Terkait bagaimana kedudukan hokum yang menimbulkan hak dan kewajiban suami
istri setelah terjadinya perkawinan yang sah, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun
1963, terdapat perbedaan antara apa yang ada di UUP 1974 dengan KUH Perdata. Menurut
KUH Perdata pasal 108, seorang perempuan yang terikat tali perkawinan pada prinsipnya
menjadi tidak cakap melakukan perbuatan hokum. Sementara dalam UUP pasal 31,
perempuan tersebut dianggap tetap cakap melakukan perbuatan hukum Perbedaan kedudukan
(hukum) tentang perempuan sebagaimana hal tersebut menjadi penting untuk ditelusuri
karena memiliki konsekuensi logis (hukum) yang melekat.
Menurut UUP, suami istri harus mempunyai rumah sebagai tempat tinggal tetap yang
ditentukan secara bersama-sama antara suami dan istri (pasal 32) sehingga kehidupan rumah
tangga yang dibangun antara suami istri tersebut didasari oleh perasaan saling cinta
mencintai, hormat menghormati, setia menyetiani dan saling bantu antara satu dengan yang
lain (pasal 33). Demikian juga dalam menentukan penggunaan terhadap harta bersama juga
dilakukan atas persetujuan kedua belah pihak.Semetara terhadap harta bawaan masing-
masing maka suami atau istri tersebut memiliki hak sepenuhnya untuk menggunakannya
(pasal 36, nomor 1 dan 1).
Kebahagiaan lahir dan batin sebagai tujuan akhir pernikahan yang termanifestasi
dalam kehidupan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah harus dipahami sebagai
serangkaian proses menggapai ridho Allah SWT. Untuk itu segala macam perasaan cinta,
kasih dan sayang yang tercermin dalam sikap dan perbuatan harus dilandasi kesungguhan
7
(keyakinan) untuk mendatangkan kebaikan dan menolak segala hal yang merusak dan
berpotensi menggagunya.10
Begitu juga perlindungan terhadap anak yang diatur dalam Undang-Undang No.23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berasaskan Pancasila dan berlandaskan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar
konvensi hak-hak anak yaitu prinsip nondiskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak,
hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan serta penghargaaan terhadap
pendapat anak.17 Undang-Undang Perlindungan anak mengatur perlindungan khusus bagi
anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana yang merupakan
tanggungjawab pemerintah dan masyarakat11
10
M. Quraish Shihab, Untaian Permata Buat Anakku: Pesan Al-Qur’an untuk Mempelai (Bandung: Al-Bayan,
1998), 47.
11
Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang No.23 Tahun Anak 2002 tentang Perlindungan
8
psikis (misalnya, katakata yang merendahkan atau melecehkan), kekerasan seksual
(contohnya perkosaan), dll. Bentuk- bentuk kekerasan ini bisa terjadi pada siapa saja, dan
dimana saja, bisa di wilayah pribadi (rumah tangga) atau di wilayah publik (lingkungan).
Pada kebanyakan kasus, korban KDRT adalah perempuan. Tentu saja laki-laki pun bisa
jadi korban kekerasan dalam rumah tangga meskipun jumlahnya jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan jumlah korban kekerasan terhadap perempuan. Dari sekitar 10
sampai 69 persen dari pasangan hidup di dunia, perempuan menjadi korban kekerasan
fisik dari pasangannya. Prosentase ini belum termasuk pada kekerasan psikis (mental) dan
seksual, yang tentunya menimbulkan dampak lebih panjang dan kompleks bukan hanya
bagi korban kekerasan tersebut (perempuan) tapi juga bagi yang menyaksikan kekerasan
tersebut terjadi di dalam keluarga, yaitu anak-anak.
Perlindungan hak perempuan dan keadilan gender, secara resmi pemerintah telah
menganut dan secara resmi pula menetapkan atas persamaan antara perempuan dan laki-
laki sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27: “Segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Ketentuan ini
sebagai dasar untuk memberikan akses, partisipasi dan kontrol bagi perempuan dan
lakilaki dalam bidang ekonomi, sosial dan politik. Dan dengan ini pula Indonesia
kemudian meratifikasi sejumlah konvensi Internasional tentang penghapusan diskriminasi
dan peningkatan status perempuan. Namun demikian perundang-undangan dan kebijakan
tersebut dalam pelaksanaannya masih belum efektif. Secara ideal Undang-undang
diciptakan dengan tujuan agar kehidupan menjadi teratur dan melindungi segenap
masyarakat. Informasi tentang perjuangan kaaum perempuan dalam menuntut kesetaraan
dengan kaum laki-laki menjadi sangat relevan itu diketahui. Kaum perempuan menyadari
ketertinggalannya dibanding kaum laki-laki dalam banyak aspek kehidupan. Untuk
mengejar ketertinggalan tersebut, maka dikembangkanlah konsep emansipasi (kesamaan)
antara perempuan dan laki-laki di tahun 1950 dan 1960-an dan hingga saat ini masih terus
dikembangkan dan diperjuangkan. Bentuk penerimaan kebijakan pemerintah yang patut
diapresiasi positif adalah lahirnya undang-undang no. 7 tahun 1984 tentang pengesahan
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW)
yang manarik dari undang-undang ini lahir lebih cepat, haya lebih kurang tiga tahun dari
berlaku efektifnya 3 september 1981, ini menunjukkan bahwa komitmen pemerintah
terhadap nasib dan masa depan kaum perempuan begitu tinggi. Dalam konsiderannya
9
undang-undang ini menyatakan dengan tegas bahwa segala warga negara bersamaan
kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan sehingga segala bentuk diskriminasi
terhadap perempuan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Secara konstitutif jaminan Hak Asasi Mmanusia termasuk hak-hak perempuan dalam
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang tercantum dalam Bab XA
tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 28 A samapai 28 J, ini memberikan kepastian Juridis
normatif bahwa pada kalimat “setiap orang berhak.....” kalimat ini semakin menguatkan
bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama secara konstitusional. Kalimat
tersebut menyiratkan penghormatan dan perlindungan HAM, termasuk hak perempuan.
Upaya pemerintah dalam melakukan perlindungan terhadap hak perempuan dan keadilan
jender terus dijalankan, pada tahun 2000 pemerintah mengeluarkan instruksi presiden No.
9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam pembangunan Nasional, hal ini
memberikan semangat bagi aktualisasi kepentingan perempuan dalam konteks kebijakan
pembangunan, baik level pusat maupun daerah.
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
11
DAFTAR PUSTAKA
Abu Malik Kamal Bin Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Untuk Wanita (Jakarta:al-I’tishom
Cahaya Umat, 2007)
Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i, (Bnadung: Pustaka Setia,
2007)
M. Quraish Shihab, Untaian Permata Buat Anakku: Pesan Al-Qur’an untuk Mempelai
(Bandung: Al-Bayan, 1998)
Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang No.23 Tahun Anak 2002 tentang Perlindungan
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 3, (Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013)
Wibisana, Wahyu. Perkawinan Dalam Islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam -Ta'lim
Vol. 14, No. 2. 2016.
12
13