Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

“STUDI AL-QUR`AN HADITS TENTANG IDDAH WANITA KARIR


DAN DAMPAK SOSIAL”

(Ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Al-Qur`an dan Al-Hadits)

Disusun Oleh

M. IRWAN ZAMRONI ALI


(213206050018)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


PASCASARJANA UIN KH ACHMAD SIDDIQ JEMBER
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Di era modern ini, berbagai profesi dan pekerjaan tidak hanya dilakukan oleh seorang
laki-laki. Saat ini telah banyak wanita muslimah yang turut terlibat di berbagai sektor
pekerjaan dan profesi, seperti hakim, dosen, dokter, perawat, advokat, DPR, presiden, atlet,
sopir dan banyak pekerjaan lainnya. Wanita-wanita yang terlibat dalam dunia pekerjaan
seperti di atas, biasa disebut sebagai wanita karir.

Di dalam KBBI, wanita karir adalah wanita yang berkecimpung di dalam pekerjaan dan
profesi (usaha, perkantoran dan lainnya).1 Fenomena munculnya wanita karir, disebabkan
dengan terbukanya lapangan pekerjaan bagi kaum wanita, ditambah perubahan politik
ekonomi yang berpusat pada pertumbuhan, sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran
peran perempuan. Di mana perempuan pada mulanya ditempatkan di lingkungan rumah
tangga (domestik), kemudian bergeser perannya ke arah sektor publik.2

Istilah wanita karir tidak hanya berlaku bagi wanita yang belum menikah saja,
melainkan termasuk juga wanita yang sudah menikah. Setiap wanita yang sudah menikah,
kemudian mengalami putusnya perkawinan karena ditinggal mati atau bercerai, tentu terdapat
konsekuensi hukum yang berlaku bagi wanita tersebut yaitu iddah.3

Iddah adalah suatu tunggu wanita untuk mengetahui kosongnya rahim, yaitu dengan
cara dilihat dari kelahiran, hitungan bulan dan hitungan quru‟ (suci/haid). Menurut Sayyid
Sabiq, iddah adalah waktu di mana perempuan menunggu dan dilarang untuk menikah pasca
terputusnya perceraian.4

Dalam praktiknya, iddah yang dilakukan oleh seorang wanita bertujuan untuk
menghindar dari interaksi sosial dan kegiatan yang dapat menimbulkan perhatian seorang
lelaki, misalnya berhias, memakai wangi-wangian, bersolek dan lainnya yang dinilai menjadi

1
Dendy Sugono, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hlm. 1616.
2
Lies Marcoes Natsir, Di Tengah Hentakan Gelombang, (Yogyakarta: jurnal Interfidei, Endian V/thn III), hlm. 16.
3
Erlin Indayana, “Analisis Komparatif Perspektif KHI Dan Fiqih Imam Syafi’i Tentang Hukum Ihdad Bagi
Perempuan,” Qolamuna, Vol. 2, 1, (2018), 58.
4
Iffah Muzammil, Fiqh Munakahat (Hukum Pernikahan Dalam Islam), (Tangerang: Tira Smart, 2019), 205.
perantara terjadinya pernikahan pada masa iddah. Ketentuan ini sangat bertentangan dengan
fakta kekinian tentang wanita karir yang harus senantiasa ekstra memenuhi kebutuhan
hidupnya. Tentu bagi seorang wanita karir, membuat dirinya harus selalu berpenampilan
menarik serta menjaga interaksinya dengan siapapun, termasuk dengan lawan jenis. Menjadi
wanita karir, bekerja di luar rumah adalah keniscayaan. Maka karenanya terdapat dua fakta
yang berbenturan antara konsep fiqih klasik dengan realitas sosial.

Dengan demikian, ketentuan hukum di atas tentu sangatlah memberatkan bagi wanita
karir yang ditinggal mati suaminya. Wanita tersebut tengah dituntut untuk berusaha bertahan
hidup demi memenuhi kebutuhan dirinya dan anak-anaknya, sedangkan di sisi lain terdapat
batasan-batasan yang perlu ia hadapi.

Dengan ini perlu dilakukan pengkajian ulang terkait ketentuan hukum dan kebutuhan
sosial wanita yang oleh banyak kalangan menilai bahwasanya hukum tersebut telah
mengisolasi hak-hak seorang wanita. Hal ini mengingat iddah yang harus dihadapi khususnya
bagi wanita yang ditalak mati suaminya, dapat membuat karir wanita tersebut hancur, terlebih
posisi wanita tersebut telah menjadi tulang punggung dan tempat bergantung kehidupan
keluarganya.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan lata belakang di atas, penulis telah membuat rumusan masalah yang akan
dibahas pada makalah ini, di antaranya sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimana hukum iddah wanita secara umum menurut hukum Islam dan Hukum
Positif?
1.2.2 Bagaimana masa iddah wanita karir menurut hukum Islam dan dampaknya bagi
masyarakat?
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Masa Iddah Wanita Secara Umum Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif

Di masa pra-Islam (jahiliah), masyarakat arab juga telah terdapat ajaran iddah bagi
wanita yang tengah ditinggal mati oleh suaminya atau bahkan keluarganya sendiri. Wanita
tersebut kemudian dituntut untuk mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat umum
selama satu tahun penuh. Selama mengasingkan diri, wanita tersebut dilarang memotong
kuku, mengganti pakaian dan sebagainya. 5 Sehingga jika bisa diilustrasikan, wanita ini
dengan segera dihampiri oleh burung gagak karena bau yang ditimbulkannya.

Setelah Islam lahir, Allah Swt memberikan keringanan bagi wanita tersebut berupa
rahmat, hikmah dan maslahat.6 Tidak hanya itu, Allah Swt juga memuliakan wanita dengan
mengurangi masa iddah yang awalnya setahun penuh, menjadi beberapa bulan sesuai yang
telah diatur dalam ayat suci al-Quran.

2.1.1 Menurut Hukum Islam

Dalam ilmu fiqih, kata Iddah berasal dari kata kerja yaitu „adda-ya`uddu‟ artinya
hitungan, perhitungan atau sesuatu yang dihitung.7 Kata ini dipakai dalam arti hitungan atau
bilangan masa suci atau haid.8 Namun jika ditinjau dari perspektif para tokoh ulama fuqaha,
terdapat berbagai macam makna yang digunakan. Seperti menurut ulama Syafiiyah yang
memberikan makna: “Masa penantian yang digunakan wanita (janda) untuk mengetahui
kosongnya rahim, pengabdian kepada Allah dan bela sungkawa atas kematian suami.” 9
Menurut ulama Malikiah yang diungkapkan Ibn ar- Rif`ah: “Masa yang mencegah
pernikahan karena rusaknya pernikahan, matinya suami atau talaknya suami.” 10 Sedangkan
menurut ulama Hanafiah, “Penantian yang wajib dilakukan wanita (janda) ketika putusnya
perkawinan atau sejenisnya” Menurut Hanafiah yang lain, “Iddah merupakan nama bagi

5
Zaenul Mahmudi, Sosiologi Fikih Perempuan (Malang: UIN Malang, 2009), 132.
6
Amirudin, Hukum Islam Dan Timbangan Akal Dan Hikmah, (Jakarta: Pustaka Azam, 2001),
7
Zayn al-Din Ibnu Nujaym al-Hanafi, al-Bahr al-Raiq Sharh Kanzu al-Daqaiq, (Maktabah Shamelah Vol. VI), jilid
IV, 138., Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh alIslamiy Wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1996), Jilid VII, 624.
8
Zayn al-Din al-Malibari, Fath al-Mu‟in, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), 37
9
Zayn al-Din Ibnu Nujaym al-Hanafi, al-Bahr, jilid IV, 138.
10
Ahmad bin Ghanim bin Salim al-Nafrawi, al-Fawakih al-Diwani „ala Risalati Ibn Abi Zayd al-Qayrawani,
(Maktabah Shamelah Vol. VI), jilid. III, 1054.
sebuah masa yang dipakai untuk menghabiskan sesuatu yang masih tersisa akibat dari
pernikahan”.

Untuk memudahkan pemahaman bagaimana ketentuan hukum dan macam iddah, bisa
merujuk pada pendapatnya Ibnu Rushd yang telah mengklasifikasikan ke dalam beberapa
golongan:

1. Wanita yang putus perkawinannya sebelum berhubungan badan dengan suami.


Menurutnya, Ijmak sepakat tidak memberlakukan hukum iddah bagi wanita seperti
ini.11 hal ini telah dijelaskan dalam firman Allah surat al-Ahzab ayat 49.
ٍ‫ات ُُثَّ طَلَّ ْقتموى َّن ِمن قَب ِل أَن ََتَ ُّسوى َّن فَما لَ ُكم علَي ِه َّن ِمن عِدَّة‬ ِ َ‫َيأَيُّها الَّ ِذين آمنُوا إِذَا نَ َكحتُم الْم ْؤِمن‬
ْ َْ ْ َ ُ ْ ُ ُُ ُ ُْ َ َ َ َ
َِ ‫تَعتَدُّونَه ۖا فَمتِّعوى َّن وس ِرحوى َّن سراحا‬
‫َج ًيًل‬ ً ََ ُ ُ َّ َ ُ ُ َ َ ْ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-
perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu
minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu
dengan cara yang sebaik-baiknya.”

2. Wanita yang putus perkawinannya dan telah berhubungan dengan suami. Wanita
golongan ini berlaku tiga hukum iddah di antaranya.
a. Iddah dengan quru‟, ketentuan ini berlaku bagi perempuan yang masih
menjalankan masa haid. Ulama sepakat bahwa masa iddah-nya adalah tiga
quru‟.12 Sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 228.
ٍٍۚ ‫َنف ِس ِه َّن ثًََلثََة قُر‬
… ‫وء‬ ُ ُ ‫ص َن ِِب‬ ُ ‫َوالْ ُمطَلَّ َق‬
ْ َّ‫ات يَتَ َرب‬
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru'.”

b. Iddah dengan bulan. Iddah pada jenis ini berlaku bagi perempuan yang ditinggal
mati suaminya baik sudah disetubuhi atau belum, baik wanita yang masih bisa
haid ataupun tidak (menopause).13 Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran ayat
234 yang artinya:

11
Ibnu Rushd, Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtasid, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), Jilid II, 66
12
Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh, Jilid IX, hal.595. dan Ibnu Rushd, Bidayat, Jilid II,
13
Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamiy, Jilid IX, 597
ِ ۖ ٍ ِ ِ ُ ‫صن ِِب‬ ِ ِ َّ
‫َجلَ ُه َّن فَ ًَل‬
‫أ‬ ‫ن‬‫غ‬
ْ
َ َ َ ‫ل‬
َ ‫ب‬ ‫ا‬ ‫ذ‬
َ ‫إ‬‫ف‬
َ ‫ا‬
‫ر‬ ً‫َنفسه َّن أ َْربَ َع َة أَ ْش ُهر َو َع ْش‬ ً ‫ين يُتَ َوفَّ ْو َن من ُك ْم َويَ َذ ُرو َن أ َْزَو‬
َ ْ َّ‫اجا يَتَ َرب‬ َ ‫َوالذ‬
‫اَّللُ ِِبَا تَ ْع َملُو َن َخبِ ٌري‬ ِِۗ ‫َنف ِس ِه َّن ِِبلْمعر‬
َّ ‫وف َو‬ ُ ‫اح َعلَْي ُك ْم فِ َيما فَ َع ْل َن ِِف أ‬
ُْ َ َ َ‫ُجن‬
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya,
maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”

Alasan tetap berlakunya iddah bagi golongan wanita ini yaitu dalam rangka
menunjukkan kesedihan karena putusnya nikmat pernikahan.14 Bagi selain wanita
yang ditinggal mati suaminya, seperti wanita menopause dan wanita kecil yang
belum haid, iddah-nya sebanyak tiga bulan. Dalam surat al-Talaq ayat 4 yang
artinya:

“dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara


perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddah-nya), Maka
masa iddah mereka adalah tiga bulan;”

c. Iddah dengan melahirkan. Jenis ini berlaku bagi wanita yang putus

perkawinan dalam keadaan hamil. Sebagaimana dalam firman Allah

surat al-Talak ayat 4 sebagai berikut;


ٍۚ
…….‫اَّللَ ََيْ َعل لَّوُ ِم ْن أ َْم ِرِه يُ ْسًرا‬
َّ ‫ض ْع َن َْحْلَ ُه َّن َوَمن يَت َِّق‬
َ َ‫َجلُ ُه َّن أَن ي‬ ِ ْ ‫ت ْاْل‬
َ ‫َْحَال أ‬ ُ ‫ُوَل‬
َ ‫…… َوأ‬
Artinya : “…. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya...”

Maka iddah wanita hamil adalah sampai melahirkan, hal tersebut sesuai

dengan alasan disyariatkannya iddah yaitu untuk mengetahui isi rahim

wanita, sedangkan melahirkan adalah tanda bahwa rahim telah keluar.

Meski waktu antara masa talak dengan masa kelahiran terbilang singkat,

iddah-nya tetap dianggap sah.

Menurut Imam Syafi‟i, seorang wanita yang tengah menjalani masa iddah,
diperbolehkan untuk tinggal di mana yang disetujui oleh keluarga suaminya. Menurutnya,
iddah sesungguhnya bukan berkabung pada badan, melainkan melepaskan diri dari perhiasan
14
Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamiy, Jilid IX, 597
badan yang dapat menimbulkan syahwat. Perempuan yang menjalankan ihdad hanya
diperbolehkan keluar ke tempat yang aman dan karena adanya darurat.15

Terdapat kisah pada masa Rasulullah tentang seorang perempuan yang tengah ber-
iddah keluar rumah untuk mencari buah kurma. Kemudian wanita itu dilarang oleh seorang
laki-laki untuk tidak keluar rumah. Wanita tersebut menghadap Rasulullah untuk bertanya.
Hadis ini berasal dari sahabat Jabir bin Abdillah. Dia berkata: “Bibiku cerai. Pada suatu hari
dia ingin memetik kurmanya, lalu ada seseorang laki-laki menghardiknya agar jangan keluar
rumah. Lantas bibiku mendatangi Rasulullah SAW untuk menanyakan masalah ini.
Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Tentu, Petiklah kurmamu, barangkali saja kamu bisa
bersedekah dengan mengerjakan kebaikan.” (HR. Muslim)16

2.1.2 Menurut Undang-Undang dan KHI

Dalam Undang-Undang No. 1/1974 pasal 11 Jis. Peraturan Pemerintah No. 9/1975
pasal 39 dan Kompilasi Hukum Islam1 pasal 153. Dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974
disebutkan dalam pasal 11 :

a. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
b. Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam
Peraturan Pemerintah lebih lanjut.

Penjelasan dari pasal 11 tersebut diatas baik ayat (1) maupun ayat (2) tertulis cukup
jelas. Dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal 39 disebutkan:

1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2)
Undang-Undang ditentukan sebagai berikut :
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130
(seratus tiga puluh) hari
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih
berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90
(sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90
(sembilan puluh) hari.

15
Zaenul Mahmudi, Sosiologi Fikih Perempuan Formulasi Dialektis Perempuan Dengan Kondisi Dalam
Pandangan Imam Syafi’I (Malang: UIN Malang, 2009).
16
zaenul mahmudi, Sosiologi Fikih Perempuan.
c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu
tunggu ditetapkan sampai melahirkan;
2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian
sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi
hubungan kelamin;
3) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung
sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap,
sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu
dihitung sejak kematian suami.

Penjelasan dari pasal 39 tersebut di atas selain ayat (2) cukup jelas, sedangkan
ayat (2) dijelaskan sebagai berikut:

(2) Bagi wanita yang kawin kemudian bercerai, sedangkan antara wanita itu
dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin maka bagi
wanita tersebut tidak ada waktu tunggu, ia dapat melangsungkan perkawinan
setiap saat setelah perceraian itu.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 153 disebutkan:

1) Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah,
kecuali qabla dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.
2) Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian walaupun qabla dukhul, waktu
tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari;
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih
haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan
puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam
keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan;
d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam
keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
3) Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang
janda tersebut dengan bekas suaminya qabla dukhul.
4) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung
sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum
tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu
tunggu dihitung sejak kematian suami.
5) Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani Iddah
tidak haid karena menyusui, maka iddah-nya tiga kali waktu suci.
6) Dalam haid keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka Iddah-nya
selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaid
kembali, maka iddah-nya menjadi tiga kali waktu suci

2.2 Masa Iddah Wanita Karir Menurut Hukum Islam dan Dampaknya Bagi
Masyarakat

Jika ingin dikupas lebih mendalam, wanita menurut KBBI adalah perempuan dewasa. 17
Sedangkan kata „karir‟, adalah pengembangan dan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan,
profesi dan sebagainya. Karir juga memiliki makna pekerjaan yang bisa memberikan harapan
untuk maju.18 Dapat disimpulkan bahwasanya wanita karir adalah wanita pekerja untuk
memenuhi kebutuhan hidup pribadi dan keluarganya agar lebih maju baik secara finansial
dan jabatan melalui peningkatan karir. Tentu kesemuanya mengakibatkan terbukanya
interaksi dengan semua jenis kelamin dan aktifitas di luar rumah, termasuk pula menjadi
keniscayaan seorang wanita karir untuk tetap berhias diri dalam menunjang profesi atau
pekerjaan dan karirnya.

Berkaitan dengan wanita karir yang putus perkawinannya baik karena ditinggal mati
atau talak, maka tetap berlaku hukum iddah. Kembali pada pembahasan sebelumnya, ulama
Hanafiyah telah memberikan fungsi dari iddah, yaitu untuk menghabiskan sesuatu yang
masih tersisa dari pernikahan sebelumnya. Sesuatu yang tersisa tersebut, berupa
kemungkinan adanya janin dalam rahim, hak-hak rujuk, nafkah dan sebagainya. Pengertian
yang lebih lengkap telah dijelaskan pula oleh ulama Syafiiyah yang menentukan tujuan dari
iddah terdiri dari tiga maca, yaitu guna melihat kosongnya rahim, pengabdian kepada Allah,
dan belasungkawa atas kematian.19

Dari tiga tujuan yang disebutkan oleh ulama Syafii, menurut Musa al-Hijawi di dalam
kitabnya al-Iqna‟ fi hilli alfadzi Abu Shuja‟ menerangkan bahwa `ilat iddah lebih dominan

17
Anton M. Moeliono (Penyunting Penyelia), Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan RI, 1989), Cetakan II, 1007.
18
Anton,
19
Edi Susilo, “Iddah dan Ihdad Bagi Wanita Karir”, jurnal Al-Hukama, Vol 6 No.2 Desember 2016
bertujuan untuk taabudi (ibadah).20 Jika dikatakan `ilat iddah lebih dominan bertujuan untuk
ungkapan rasa bela sungkawa, masa seharusnya laki-laki juga dibebani iddah baik bertujuan
untuk ibadah dan ungkapan bela sungkawa. Akan tetapi tujuan ini nampaknya lebih condong
dalam upaya melihat kosongnya rahim.

Terlebih menurut Shaykh Zayn alDin al-Malibari dan Shaykh Abu Yahya Zakariya al-
Ansari serta ulama‟ Shafi‟iyyah lainnya, menjelaskan bahwa tujuan iddah untuk menjaga
kemurnian nasab agar terhindar dari kekacauan nasab.21 Imam Nawawi juga berpendapat
bahwa tujuan iddah adalah untuk mengetahui kosongnya rahim. Oleh karenanya masa iddah
wanita hamil adalah sampai melahirkan, dan wanita yang menikah dan belum melakukan
hubungan badan juga tidak dijatuhi iddah. Dari ketiga unsur ini, nampaknya fungsi iddah
tetap lebih dominan pada `illat iddah taabbudi.

Di sisi lain, wanita karir pasti akan keluar rumah dalam rangka mencari nafkah dan
memenuhi segala kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya, maka menjadi hal yang wajar
dilakukan oleh wanita karir. Mengingat juga tulang punggung kehidupan keluarganya adalah
suaminya, sedangkan dirinya tengah mengalami putus perkawinan baik cerai maupun karena
kematian suami. Jika wanita karir kemudian menjalankan iddah, sehingga dirinya tidak
kembali bekerja atau berkarir, bahkan terancam hilangnya pekerjaan dan tentu menambah
kesulitan finansial untuk memenuhi kebutuhan keluarganya setelah ditinggal suami, maka
tergolong hajat yang sangat mendesak yang dapat menempati posisi darurat. Sebagaimana
kaidah yang berbunyi “Hajat (kebutuhan) dapat menempati posisi darurat baik tergolong
hajat umum maupun khusus”. Ketika hajat tersebut menempati posisi darurat, maka berlaku
kembali kaidah yang berbunyi: “Keadaan darurat memperbolehkan (menerjang) perkara
yang dilarang”.

Dalam menjalankan iddah tentu konsekuensinya adalah disyariatkannya ihdad


(larangan berhias). Menurut Ibnu Rushd tujuan dari ihdad sendiri yaitu;

1. Agar para laki-laki tidak mendekati dan tergoda wanita yang sedang iddah.
2. Agar wanita yang sedang `iddah tidak mendekati dan tergoda laki-laki.

Menurutnya, kedua hal di atas, bisa disebut dengan sad al-dzariah. Yaitu menutup jalan
keharaman. Interaksi lawan jenis dan berhias itulah yang dimaksud dengan jalan keharaman.

20
Musa al-Hijawi, al-Iqna‟ fi hilli alfadzi Abu Shuja”, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), jilid II, 125.
21
Zayn al-Din al-Malibari, Fath al-Mu`in, hal. 37, Abu Yahya Zakariya al-Ansari, Fath al-Wahab, jilid II, 179.
Sedangkan keharaman yang dimaksud adalah pinangan dan pernikahan di masa iddah. Di sisi
lain, wanita karir dalam beberapa profesi dituntut pula untuk tetap menjaga penampilannya,
seperti pramugari, receptionist, admin bank, anggota DPR dan sebagainya. Hal ini kemudian
justru dapat menghancurkan kestabilan profesinya di tempat kerja, terlebih pekerjaan tersebut
berimplikasi kepada kemaslahatan sosial dan kemadharatan publik. Maka berpenampilan
menarik bagi wanita tersebut tetap menjadi keniscayaan dalam menjaga pekerjaannya.

Dalam kaitannya wanita yang terpaksa melakukan sesuatu yang terlarang pada saat
ihdad, Wahbah Az Zuhaili membolehkan bagi wanita melakukan sesuatu yang dilarang
karena darurat.22 Tetapi, berusaha untuk tidak melakukan hal tersebut menjadi upaya yang
pertama. Artinya wanita yang ber-ihdad berusaha terlebih dahulu untuk tidak melakukan
perkara yang haram.

Dengan ini, tujuan wanita karir yang dalam masa iddah, dengan tetap menjaga
penampilannya guna mempertahankan profesinya, maka perlu dipahami bahwa berhias
merupakan wasilah dari pekerjaanya. Sedangkan berhias sendiri merupakan bagian dari hajat
yang darurat sehingga menjadikan wanita karir boleh untuk berhias (meninggalkan ihdad)
saat menjalankan pekerjaanya. agama yang sudah menjadi ijmak ulama. Ihdad tidak bisa
dianggap sebelah mata, artinya sikap aspek darurat yang memungkinkan wanita karir bisa
meninggalkan ihdad, maka dari itu harus benar-benar sampai kriteria darurat

22
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islamy Wa Adilatuhu, Juz VII, (,1989 ), Cet Ke III (Damaskus: Damaskus: Dar.
Al-Fikr, 1989), 662.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berkaitan dengan hukum iddah bagi wanita secara umum, telah diatur jelas baik dalam
hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di Indonesia.

Pertimbangan hukum iddah bagi wanita karir lebih efektif, aplikatif dan humanis jika
menggunakan pertimbangan hajat dan darurat. Hal ini guna memenuhi perkembangan
problematika saat ini.

Iddah bagi wanita karir tetap wajib dilakukan mengingat `illat dari iddah salah satunya
ta`abbudi. Namun konsekuensi hukum berupa larangan keluar rumah, larangan berhias
diri, tidak dapat digunakan bagi wanita karir guna menjaga keberlangsungan
pekerjaanya untuk mendapat kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya.

Apabila berhias menjadi perantara bagi wanita yang sedang berkarir, maka berlaku
hukum perantara mengikuti hukum tujuan. Maksudnya, berhias adalah hajat bagi
wanita karir yang boleh dilakukan meski dalam masa iddah guna menjaga karir. Maka
larangan berhias tidak dapat diberlakukan lagi bagi wanita karir.
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad bin Ghanim bin Salim al-Nafrawi, al-Fawakih al-Diwani „ala Risalati Ibn Abi Zayd
al-Qayrawani, (Maktabah Shamelah Vol. VI), jilid. III,
Amirudin, Hukum Islam Dan Timbangan Akal Dan Hikmah, (Jakarta: Pustaka Azam, 2001),
Anton M. Moeliono (Penyunting Penyelia), Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1989), Cetakan II,
Dendy Sugono, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008),.
Edi Susilo, “Iddah dan Ihdad Bagi Wanita Karir”, jurnal Al-Hukama, Vol 6 No.2 Desember
2016
Erlin Indayana, “Analisis Komparatif Perspektif KHI Dan Fiqih Imam Syafi‟i Tentang
Hukum Ihdad Bagi Perempuan,” Qolamuna, Vol. 2, 1, (2018)
Ibnu Rushd, Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtasid, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), Jilid
II.
Iffah Muzammil, Fiqh Munakahat (Hukum Pernikahan Dalam Islam), (Tangerang: Tira
Smart, 2019).
Lies Marcoes Natsir, Di Tengah Hentakan Gelombang, (Yogyakarta: jurnal Interfidei, Endian
V/thn III).
Musa al-Hijawi, al-Iqna‟ fi hilli alfadzi Abu Shuja”, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), jilid II.
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islamy Wa Adilatuhu, Juz VII, (,1989 ), Cet Ke III
(Damaskus: Damaskus: Dar. Al-Fikr, 1989).
Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamiy, Jilid IX.
Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh, Jilid IX. dan Ibnu Rushd, Bidayat, Jilid II.
Zaenul Mahmudi, Sosiologi Fikih Perempuan (Malang: UIN Malang, 2009).
Zayn al-Din al-Malibari, Fath al-Mu`in, Abu Yahya Zakariya al-Ansari, Fath al-Wahab, jilid
II.
Zayn al-Din al-Malibari, Fath al-Mu‟in, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.).
Zayn al-Din Ibnu Nujaym al-Hanafi, al-Bahr al-Raiq Sharh Kanzu al-Daqaiq, (Maktabah
Shamelah Vol. VI), jilid IV, 138., Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh alIslamiy Wa
Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1996), Jilid VII.
Zayn al-Din Ibnu Nujaym al-Hanafi, al-Bahr, jilid IV.

Anda mungkin juga menyukai