MENSTRUASI
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fiqih
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR
Tak lupa shalawat serta salam semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan-Nya dan
mencurahkan-Nya pada pengulu kita yakni baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya,
sahabatnya, dan kita selaku umatnya semoga mendapatkan syafaat di Yaumil Akhir nanti. Kami
berharap makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua baik kami selaku penyusun maupun pembaca.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
D. Perumusan Masalah................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................ 3
A. Kesimpulan ............................................................................................................... 13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Sesuai dengan tema dari makalah ini yaitu mengenai hal tabu yang dianut masyarakat
muslim Indonesia yaitu larangan memotong kuku dan rambut, maka masalahnya dapat
diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Mengapa munculnya tanggapan tersebut
2. Bagaimana hadis dan ayat Al-Quran menerangkan tersebut
C. PEMBATASAN MASALAH
Untuk memperjelas ruang lingkup pembahasan, maka masalah yang dibahas dibatasi pada
masalah:
1
a. Hadist dan Ayat Al-qur’an mengenai hal tersebut
b. Pandangan para ulama mengenai masalah tersebut
D. PERUMUSAN MASALAH
Atas dasar penentuan latar belakang dan identiikasi masalah diatas, maka kami dapat
mengambil perumusan masalah sebagai berikut:
“Dalil apa yang menyebutkan larangan memeotong rambut dan kuku saat wanita haid dan
bagaimana hukum yang seharusnya?”
2
BAB II
PEMBAHASAN
1 Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al Fikr, 2008), Hlm.52
3
Haid secara bahasa adalah mengalirnya sesuatu. Dalam munjid fi al lugah kata haid -tanpa
menjelaskan asal usul dan padanannya- berasal dari kata ḥaḍa-ḥaiḍan yang diartikan dengan
keluarnya darah dalam waktu dan jenis tertentu2. Berbeda dengan pernyataan di atas,
menurut al Lihyani dan Ibnu Sukait dalam Lisan al ‟Arab kata ḥaḍa dan ḥasya mempunyai arti
yang sama yaitu mengalir dan menempel. Sedangkan menurut Abū Sa‟id kata ḥaḍa
mempunyai arti yang sama dengan jaḍa3
Haid pada wanita adalah suatu perdarahan rahim yang sifatnya fisiologik (normal), sebagai
akibat perubahan hormonal yaitu estrogen dan progesteron. Haid bisa menjadi salah satu
pertanda bahwa seorang wanita sudah memasuki masa suburnya. Karena secara fisiologis,
haid menandakan telah terbuangnya sel telur yang sudah matang. Haid merupakan bagian
dari proses mempersiapkan tubuh wanita setiap bulannya untuk kehamilan.
Syariat Islam telah menetapkan beberapa larangan bagi wanita haid. Selama haid
berlangsung dan belum berhenti serta belum mandi janabah, para wanita diharamkan untuk
melakukan beberap jenis kegiatan peribadatan
B. PANDANGAN MITOS
1. PANDANGAN DARI AGAMA LAIN
Sampai sekarang pengertian tentang menstruasi masih bercampur antara ilmiah dan
tahayul. Kepercayaan yang berdasarkan tahayul itu hampir dijumpai diseluruh dunia, hal ini
dijelaskan oleh Katharina Dalthon: “Pada beberapa bagian dunia orang percaya bahwa adanya
seseorang wanita yang sedang menstruasi dapat menyebabkan anggur menjadi masam,
tanaman menjadi sakit, dapat menyebabkan sapi bunting keguguran, buah-buahan di pohon
menjadi busuk, kaca yang jernih menjadi kabur, logam yang tajam menjadi tumpul, sarang
lebah dapat musnah, tali atau senar alat musik dapat putus dan kain yang berwarna menjadi
hitam”. Dalam hal ini untuk setiap agama pun mempunyai kepercayaan masing-masing
terhadap wanita yang sedang menstruasi diantaranya:
a. Menurut agama Yahudi, bahwa perempuan yang sedang menstruasi haruslah dijauhi
atau dijauhkan karena mereka itu sedang dalam keadaan najis.
b. Menurut agama Hindu, bahwa perempuan yang sedang menstruasi dilarang
membersihkan badannya tiga hari pertama dari permulaan datangnya menstruasi, tidak
2 Louis Ma‟luf, Al Munjid Fi Al Lughah, (Beirut: Dar al Masyriq, 1987), hlm. 164
3
Abu al Fadl Jamaluddin Muhammad bin Makram, Lisan al „Arab, (Beirut: Dar Shard, t.th), hlm.142
4
boleh menyisir rambut, tidak boleh membersihkan pakaian, memotong kuku dan
berfikir ingat kepada tuhan.
c. Menurut pendapat agama Nasrani, bahwa mereka tidak memandang apa-apa atas diri
orang-orang perempuan yang sedang menstruasi, suka dan biasa mencampurinya
perempuan-perempuan yang sedang berkain kotor.
2. HADIS
Boleh jadi pandangan tersebut lahir dari interpretasi hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dan Abu Dawud melalui ‘Ali bin Abi Thalib yang menyatakan, “Barang siapa
yang mengabaikan satu bagian dari tempat tumbuhnya rambut saat mandi junub sehingga
tidak terkena air, maka Allah akan memperlakukannya begini dan begini di neraka.”
Riwayat ini disamping memiliki kelemahan dalam sanadnya juga tidak berbicara tentang
rambut yang dipotong atau bahkan “tempat tumbuhnya rambut”.
Boleh jadi pandangan ini timbul dari adanya kewajiban untuk memandikan seluruh
anggota tubuh. Rambut yang rontok atau kuku yang dipotong dan terbuang, maka ia tidak
termandikan lagi, dan karena itu mereka melarangnya. Mengenai hal ini tidak ada alasan
keagamaan untuk pandangan ini, baik dari al- Qur’an maupun hadits Nabi Saw. Boleh jadi
yang melarangnya menduga bahwa badan manusia menjadi najis saat dia dalam keadaan
junub.
Boleh jadi juga pandangan ini timbul dari adanya kewajiban untuk memandikan
seluruh anggota tubuh. Rambut yang rontok atau kuku yang dipotong dan terbuang, maka
ia tidak termandikan lagi, dan karena itu mereka melarangnya, mereka mungkin menduga
bahwa badan manusia menjadi najis saat dia dalam keadaan junub.
3. HUKUM MAKRUH
Khatib assyarbini mengatakan : “setiap bulu (yang dicukurnya ketika berjunub itu)
akan menuntut dari tuannya dengan sebab junub yang ada padanya.(Al-Iqna’,1/91).
“Janganlah sesiapa memotong kukunya dan menggunting rambut kecuali ketika ia suci”
(Riwayat al-Ismaili dari Saidina ‘Ali r.a.)
Sedangkan Imam al-Ghazali, dalam al-Ihya’, mengatakan, “Tidak wajar bagi
seseorang menggunting kuku, mencukur rambut kepala atau kemaluan, atau
mengeluarkan darah pada saat dia dalam keadaan junub. Karena kelak, di hari kemudian,
seluruh anggota tubuhnya akan dikembalikan, (dan jika demikian) dia kembali dalam
5
keadaan junub. Ada yang menyatakan bahwa setiap rambut akan menuntut untuk
dimandijanabatkan.”
Alasan al-Ghazali di atas, bukan ayat, bukan juga hadits ! secara logika pun lemah,
karena yang akan dikembalikan dari jasmani manusia, bukan badannya yang didunia,
tetapi allah menciptakan badan baru untuk tiap-tiap orang. Itu sebabnya ada orang buta
didunia yang dibangkitkan allah melek senagaimana ada juga menurut alquran yang
mengadu kepada allah dengan berkata dalam surat Thoha (20) : 125-126 yang artinya
:Tuhanku, mengapa engkau membangkitkan/ menghimpun aku (di padang mahsyar)
dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya yakni ketika di dunia adalah seorang yang
melihat ?”. allah menjawab : “demikianlah, telah datang kepadamu ayat – ayat kami,
maka kamu melupakannya, maka begitu (Pula) pada hari ini kamu pun dilupakan”4
Ulama –ulama syafi’iyah sendiri kebanyakan tidak sepakat dengan pendapat Imam
Ghazali tersebut, diantaranya yang bisa kita sebutkan adalah Syekh Khatib As-Syarbini,
dalam kitab I’anat Thalibin 1/96 beliau berkata : “Tentang akan kembalinya (anggota
tubuh) semisal darah, pendapat ini perlu diselidiki lagi. Demikian pula (bagian tubuh) yang
lainnya. Karena (bagian tubuh) yang kembali (dibangkitkan bersama dengan pemilik
bagian tubuh itu) adalah bagian-bagian tubuh yang pemilik tubuh itu mati bersamanya
(ada pada saat kematian orang tersebut).”
Dalam kitab Syafi’i yang lain yaitu Niyatul Muhtaj Syarh al-Minhaj disebutkan:
“makna ‘dikembalikan diakhirat (dari anggota tubuh) bukanlah bagian anggota tubuh yang
diperintahkan untuk dipotong, tetapi adalah bagian-bagian tubuh yang asli (seperti tangan,
kaki, mata dll.)
Lebih jelas lagi dalam kitab dalam Madzab Syafi’i yang lain yaitu Hasyiah al-
Bujairimi ’ala al-Khotib, dalam kitab tersebut dikatakan bahwa pendapat Imam al-Ghazali
tersebut perlu dikaji lagi sebab bagian tubuh yang kembali adalah yang ada disaat
kematian pemiliknya dan bagian badan asli yang pernah terpotong, bukan seluruh kuku
dan rambut yang pernah dipotong selama hidupnya. (Hasyiah al-Bujairimi ’ala al-Khotib
2/335)
4
Quraish Sihab, M., 101 Soal Perempuan Yang Patut Anda Ketahui, (Jakarta : Lentera Hati, 2010), hlm. 25,
6
C. HADIS ATAU PENDAPAT YANG MEMBANTAH MITOS
Tidak terdapat riwayat yang melarang wanita haid untuk memotong kuku maupun rambut.
Demikian pula, tidak terdapat riwayat yang memerintahkan agar rambut wanita haid yang
rontok utnku di cuci bersamaan dengan mandi paska haid. Bahkan sebaliknya, terdapat
riwayat yang membolehkan wanita haid untuk menyisir rambutnya. Padahal, tidak mungkin
ketika wanita yang menyisir rambutnya, tidak ada bagian rambut yang rontok. Disebutkan
dalam shahih Bukhari, bahwa ketika Aisyah mengikuti haji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, sesampainya di Mekkah beliau haid. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Tinggalkan umrahmu, lepas ikatan rambutmu dan ber-sisir-lah…”
Hadis ini menunjukkan bahwa rambut rontok atau potong kuku ketika haid hukumnya
sama dengan kondisi suci. Artinya, tidak ada kewajiban untuk memandikannya bersamaan
dengan mandi haid. Jika hal ini disyariatkan, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan
jelaskan kepada Aisyah agar membawa rambutnya dan memandikannya bersamaan dengan
mandi haidnya.
Dalam bukunya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, az-Zuhaili menulis, “Tidaklah makruh dalam
pandangan mazhab Hanbali bagi seorang yang junub, atau dalam keadaan haid, atau nifas,
menggunting rambutnya, kukunya, dan tidak juga ‘menyemir’ rambutnya sebelum mandi.”
Imam ‘Atha’ (seorang Tabi’in terkenal) menyatakan ; “Tidak ada larangan orang yang
junub untuk berbekam, memotong kuku dan mencukur rambut sekalipun tanpa mengambil
wudhuk terlebih dahulu.” (Shahih al-Bukhari 1/496)
Imam Ahmad (pendiri mazhab Hanbali) tatkala ditanya berkenaan mengenai hukum orang
yang junub sedangkan ia berbekam), mencukur rambut, memotong kuku dan mewarnai
rambut atau janggutnya, ia menjawab; “Tidak mengapa.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan masalah ini dalam Majmu’ Fatawa, intinya:
setahu beliau tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan makruhnya memotong rambut dan kuku
bagi orang yang sedang junub, bahkan terdapat hadis shahih riwayat Bukhari-Muslim yang
7
menegaskan bahwa (tubuh) seorang mukmin itu tidak najis. Dengan tambahan riwayat dari
Shahih al-Hakim: ”baik dalam keadan hidup ataupun mati”.
Bantahan dari kalangan syafi’iyah juga dikemukakan oleh al Hafidz Ibnu Hajar al Asqalani,
Imam Ibnu Rajab dalam sarah mereka pada shahih Bukhari, Menurut mereka; tidak ada
satupun dalil dari Nabi Saw yang mencegah orang yang sedang junub atau wanita yang
sedang haid atau nifas dari melakukan perkara-perkara yang disebut tadi. Adapun hadis
riwayat ali di atas, ia adalah hadits munkar bahkan maudhu’ (palsu). (catatan penulis : hadis
tersebut tidak kami temukan dalam al-kutub at-tis’ah bahkan kitab-kitab hadis selain itu di
lebih dari 200 kitab hadis dalam maktabah syamilah)
Fatwa ulama al-Azhar, Syaikh ’Atiyah Shaqr) menyebutkan bahwa pernyataan yang
melarang memotong kuku dan rambut ketika dalam keadaan junub tidak berdasarkan dalil.
Pendapat yang menyatakan makruh adalah pendapat yang la ashla lahu (tidak ada dasarnya).
(al-Fatawa; Min Ahsanil-Kalam 1/438)
َ ُ لَ ت
صلَي ُ َ لَ ت
َ صوم َو َ ت إ ْحدَا ُكنَ إذَا َحا
َْ ض
َ ت َ أَلَ ْي
َْ س
“Bukankah salah seorang di antara kamu (wanita) apabila memasuki masa haid tidak
sholat dan tidak pula puasa?” (HR. Bukhari)
8
َ ََلَ نُؤْ َم َُر بق
َضاء َ َ ُكنا نُؤْ َم َُر بق: «ع ْن َها
َ ضاءَ الص ْومَ َو َ ي هللا
ََ عائشَة َرض
َ َْقالَت
الصالَةَ »متفق عليه
‘Aisyah radhiyallahu ’anha berkata : “Kami diperintahkan untuk mengqadha shaum dan
tidak diperintahkan untuk mengqadha sholat.” (HR. Muslim)
Apabila seorang wanita haid ketika sedang berpuasa, maka batallah puasanya. Sekalipun
hal itu terjadi menjelang maghrib, dan wajib baginya mengqadha puasa hari itu apabila itu
puasa wajib.
ى فَا ْعتَزلُوا النسا ََء في ْال َمحيضَ َول َْ ُعنَ ْال َمحيضَ ق
ًَ ل ُه ََو أَذ َ َك ََ سئَلُون
َْ َو َي
َّللاَ يُحب َ ْث أَ َم َر ُك َُم
َ َّللاُ إن َْ طه ْرنََ فَأْتُو ُهنَ م
َُ ن َحي َ َط ُه ْرنََ فَإذا تْ َتَ ْق َربُو ُهنَ َحتى ي
َ َ التوابينََ َويُحبَ ْال ُمت
ََطهرين
9
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran",
oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah
kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, Maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam juga menyebutkan larangan menggauli istri yang
sedang haid dalam haidts beliau :
َ َصنَعُوا ُكل
َشيْئَ إلَ النكا َح ْ ا
“Lakukanlah apa saja kecuali berhubungan seksual.”
Maksud dari kata nikah di sini bukanlah akad nikah, tetapi hubungan suami-istri atau jima’.
Jumhur ulama juga sepakat atas diharamkannya menggauli istri yang sedang haid. Syaikhul
Islam ibnu Taimiyah berkata : “Menyetubuhi wanita nifas sama hukumnya dengan
menyetubuhi wanita haid, yaitu haram menurut kesepakatan ulama.”
Dengan demikian hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh perempuan yang sedang haid
berdasarkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sudah menjadi kesepakatan jumhur ulama.
Tegasnya tidak ada larangan untuk memotong kuku, mencuci rambut, memotong rambut, apalagi
tidur siang! Insya Allah pada pembahasan selanjutnya akan penulis bahas hal-hal yang tidak boleh
dilakukan oleh wanita haid yang terdapat perbedaan di antara jumhur ulama (khilafiy).
10
Dalam buku al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah (Fiqih Menurut Keempat Mazhab)
dikemukakan: “Yang haram bagi seorang yang sedang dalam keadaan junub (termasuk
menstruasi) untuk dia kerjakan adalah amalan-amalan keagamaan yang bersyarat dengan adanya
wudhu, seperti shalat sunnah atau wajib.”
Semua kita tahu bahwa tidak disyaratkan adanya wudhu untuk memotong rambut atau
menggunting kuku. Dan atas dasar penjelasan di atas, kita dapat berkata bahwa tidak ada
larangan (dalam arti haram) untuk membuang rambut yang rontok dan memotong kuku, seperti
mitos yang terjadi.
Dari beberapa larangan diatas tiga hal yang menjadi ikhtilaf para ulama yaitu,
1. Masuk Masjid
dalam hal ini ulama terbagi menjadi tiga pendapat, pendapat pertama yan melarag
perempuan haid memasuki masjid secara muthlak dan ini adalah pendapat madzab
maliki. Kedua, pendapat yang melarang melarang perempuan haid memasuki masjid
dan membolehkan jika sekedar lewat, dan ini adalah pendapat syafii. Ketiga, pendapat
yang membolehkan perempuan haid memasuki masjid dan ini adalah pendapat ẓahiri.5
3. Menyentuh Mushaf
Jumhur ulama mengakui kemu‟jizatan al Quran sehingga melarang menyentuh al
Quran bila tidak mempunyai wudhu, berhadas kecil saja dilarang apalagi yang
berhadas besar seperti haid. Sedangkan bagi Ẓahiri tidak dilarang menyentuh mushaf
walau tidak mempunyai wudhu. Perbedaan ini disebebakan perbedaan memahami ayat
dalam Qs. Al waqi‟ah:79
4. Membaca Al-Quran.
Para ulama yang mengharamkan perempuan haid membaca al quran berpedoman
pada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Tirmiżi dan Ibnu Mājah dari Ibnu Umar, yang
berbunnyi :
“Janganlah perempuan yang haid dan orang junub membaca sesuatupun dari al
Quran”61 Menurut sebagian yang lain hadits itu ḍa‟īf, sehingga tidak bisa dijadikan
landasan hukum. Ibnu Taimiyah berkata: melarang perempuan haid membaca al Quran
sama sekali bukanlah sunnah dari Nabi.6
BAB III
PENUTUP
5
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid,(Indonesia: Dar Ihya‟ al Kutub al ‟Arabiyah, t.th), juz.1, hlm.35
6 Abu Ubaidah Usamah bin Muhammad al Jamal, Shahih Fiqih Wanita,(Surakarta: Insan Kamil, 2010), hlm.48
11
A. KESIMPULAN
1. haid berarti sesuatu yang mengalir. Dan menurut arti syara’ ialah darah yang terjadi pada
wanita secara alami, bukan karena suatu sebab, dan pada waktu tertentu. Jadi haid adalah
darah normal, bukan disebabkan oleh suatu penyakit, luka, keguguran atau kelahiran. Oleh
karena haid adalah darah normal, maka darah tersebut berbeda sesuai kondisi, lingkungan
dan iklimnya, sehingga terjadi perbedaan yang nyata pada setiap wanita.
2. Syariat Islam telah menetapkan beberapa larangan bagi wanita haid. Selama haid
berlangsung dan belum berhenti serta belum mandi janabah, para wanita diharamkan
untuk melakukan beberap jenis kegiatan peribadatan
3. Hukumnya boleh memotong rambut dan kuku bagi perempuan yang sedang haid dan tidak
perlu mencuci rambut dan kuku yang sudah dipotong tersebut saat bersesuci saat mandi
junub/jinabat. Karena tidak ada dalil hadits maupun Quran yang melarang seorang
perempuan yang sedang haid memotong kuku dan rambutnya.
Dasar hukumnya adalah sebagai berikut:
1) Ibnu Hajar Al-Haitsami dalam kitab Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj (المحتاجفي تحفة
)المنهاج شرحV/56 Menurut nash madzhab Syafi'i, perempuan haid boleh memotong
kuku, bulu kemaluan, dan bulu ketiak.
2) Hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim menyatakan kata-kata Nabi saat Aisyah haid
pada waktu haji wada yang menjelaskan bahwa Nabi memerintahkan Aisyah untuk
menyisir rambut pada saat haid. Seperti diketahui, menyisir rambut sangat berpotensi
menggugurkan rambut. Itu artinya Nabi mengijinkan perempuan menggugurkan
rambutnya saat haid.
3) Ibnu Taimiyah dalam Majmuk al-Fatawa (21/120) menyatakan:
وما أعلم على كراهية إزالة شعر الجنب وظفره دليال شرعيا
Artinya: saya tidak menemukan dalil syar'i atas makruhnya menghilangkan rambut dan
memotong kuku bagi orang junub
4. Pendapat yang mu’tamad (bisa dipegang) adalah yang menyatakan bolehnya memotong
anggota tubuh seperti kuku ketika junub. Adapun larangan memotong anggota tubuh
ketika junub yang tertulis dalam beberapa kitab mazhab Syafi’i bersumber dari pendapat
12
Imam al-Ghazali. Sedangkan Imam al-Ghazali sendiri tidak menyatakan larangan itu
dengan kalimat yang tegas yang menunjukkan hukum haram. Beliau menggunakan lafadz:
“la yanbaghi” yang artinya “tidak semestinya, tidak seharusnya atau tidak seyogyanya…”
5. Tidak ada satupun dalil dari Al-Qur’an maupun Sunnah yang shahih (kuat) dan sarih (jelas)
yang menjadi dasar hukum larangan bagi orang yang memotong kuku dan rambut bagi
orang yang sedang junub khususnya wanita yang haid.
DAFTAR PUSTAKA
13
Abu al Fadl Jamaluddin Muhammad bin Makram. Lisan al Arab. Beirut: Dar Shard, t.th.
Abu Ubaidah Usamah bin Muhammad al Jamal.2010. Shahih Fiqih Wanita. Surakarta: Insan Kamil.
Rusyd, Ibnu.Juz 1. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid. Indonesia: Dar Ihya‟ al Kutub al
‟Arabiyah, t.th.
Quraish Sihab, M. 2010 Soal Perempuan Yang Patut Anda Ketahui. Jakarta : Lentera Hati.
14