makalah ini ditulis dengan maksud membantu para putri remaja, para orang
tua dan para guru yang mungkin karena beberapa sebab kurang mendapat
kesempatan mengaji kitab-kitab fikih secara teratur dan terperinci. Selain
memberikan keilmuan syariat mengenai haid, makalah ini diharapkan juga dapat
meningkatkan kesadaran akan dampak praktik pengelolaan haid terhadap
kesehatan dan hubungan antara kondisi sosial wanita dan remaja putri dengan
kesehatan mental/emosionalnya.
Kelompok 5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Istilah menstruasi dalam literatur Islam disebut haid. Haid secara etimologi berarti
sesuatu yang mengalir. Sedangkan secara terminologi haid merupakan darah yang mengalir dari
pangkal rahim wanita setelah umur baligh dalam keadaan sehat. Rahim merupakan salah satu
organ yang hanya dimiliki oleh perempuan. Berbagai persoalan muncul dikarenakan perempuan
memiliki rahim. Persoalan yang dihadapi perempuan memiliki implikasi yang luas dalam
penataan sosial. Karena memiliki rahim, perempuan harus hamil, melahirkan, menstruasi dan
menopause. Fakta biologis ini secara langsung membedakan perempuan dengan laki-laki secara
kodrati. Masalah haid, termasuk materi yang kedudukannya sangat penting dalam Islam,
permasalahan haid masih dikategorikan sebagai materi yang sangat rumit. Karena untuk
mengetahui keterangan seputar materi yang tercakup di dalamnya, diperlukan ketekunan dalam
menghafal hadithhadith Nabi dan athar-athar sahabat yang berbicara tentangnya. Di samping itu,
diperlukan juga pemahaman yang mendalam dengan menelaah penjelasan-penjelasan yang
diberikan oleh para pakar yang secara khusus mendalami masalah tersebut3. Masalah haid
dijelaskan dalam QS Al-Baqarah ayat 222 :
mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, “haid itu adalah kotoran.” Oleh
sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid dan janganlah kamu
mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu
di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orangorang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Haram hukumnya bagi suami melarang isteri yang tengah belajar ilmu haid, kecuali jika
suami tersebut belajar kemudian mengajarkan kepada isteri. Bahkan menurut al-Dimyati,
mengetahui hukum-hukum haid sama halnya mempelajari setengah ilmu agama. Terdapat
beberapa permasalahan dalam haid diantaranya adalah mengenai masa sedikitnya haid ( aqalal -
hayd) , umumnya masa haid (ghalibal - hayd) , dan sebanyak-banyaknya masa haid (aktharal -
hayd) . Permasalahan-permasalahan tersebut tidak dijelaskan secara rinci dalam al - Qur’an dan
al -Hadith, permasalahan tersebut ditetapkan melalui metode istinbat yang berdasarkan istiqra’
(kesimpulan dari khusus ke umum) yang dilakukan Imam al-Shafi’i melalui research yang
dilakukan terhadap beberapa wanita di daerah dan pada zamannya. Begitu juga mengenai
permasalahan tentang kebiaasaan haid yang terjadi pada wanita dalam setiap bulannya yang
disebut ‘adat al -hayd. Kebiasaan haid ( ‘adat al -hayd ) , tidak dijelaskan secara rinci dalam al
Qur’an dan al -Hadith. ‘Adat al-hayd disinggung dalam beberapa kaidah fikih
Kaidah ini merupakan salah satu induk dari kaidah-kaidah fiqh yang diambil dari
kebiasaan-kebiasaan baik yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat, dapat dijadikan
dasar dalam menetapkan suatu hukum dengan melihat sifat dari hukum itu sendiri yang
senantiasa mengalami perubahan sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam
masyarakat. Kebiasaan lama keluarnya darah haid pada seoang wanita dalam setiap bulannya
dapat dijadikan sandaran penentuan masa haid. Misalnya kalau setiap bulan darah haidnya keluar
selama 5 hari, maka berarti adat haidnya 5 hari demikian seterusnya.
Pada contoh tersebut bisa ditentukan dengan mudah manakala kebiasaan keluar darah
haidnya teratur dalam setiap bulannya. Penentuan masa haid akan mengalami kesulitan ketika
dalam setiap bulan mengalami perubahan masa keluarnya darah haid, hal ini dikarenakan banyak
faktor, menurut artikel kesehatan menyebutkan pengaruh obat-obatan adalah faktor dominan
yang mempengaruhi perubahan siklus haid dalam setiap bulannya. Permasalan seperti tersebut di
atas memerlukan penelitian lebih lanjut yaitu sejauh mana kaidah al‘Adah Muhakkamah
menyikapi permasalahan ini kaitannya dengan perubahan siklus haid yang dialami oleh seorang
wanita.
B. Identifikasi Masalah
Dari paparan latar belakang masalah di atas dapat penulis jelaskan ruang lingkup dan
identifikasi masalah penelitian ini. Masalah-masalah dalam penelitian ini meliputi keberadaan
kaidah fikih Al-‘adah Muhakkamah dalam menentukan haidnya seorang wanita yang mengalami
perubahan siklus haid, masalah lainnya yaitu meliputi kajian kaidah fikih al-Adah Muhakkamah
dalam menyikapi perubahan siklus haid pada wanita menurut pemikiran fikih haid madzhab
Syafi’i. Hal inilah yang menggugah penelitian ini untuk kemudian dipaparkan secara jelas
permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan perubahan kebiasaan haid ( adatal - hayd)
seorang wanita sekaligus akibat hukum yang ditimbulkannya dengan mengacu pendapat-
pendapat para pakar dan ulama mazhab Syafi’i.
C. Rumusan Masalah
Dari pembatasan masalah yang telah dilakukan, maka dapat dirumuskan beberapa
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah urgensi kaidah al- Adah Muhakkamah dalam penentuan hukum haid?
2. Bagaimanakah peranan kaidah al-Adah Muhakkamah dalam perubahan siklus haid menurut
pemikiran fikih Syafi’i?
3. Bagaimanakah implementasi kaidah al-Adah Muhakkamah dalam perubahan siklus haid?
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk menganalisis urgensi kaidah al-Adah Muhakkamah dalam penentuan hukum haid.
2. Untuk menganalisis pemikiran fikih Syafi’i tentang kaidah al-Adah Muhakkamah terhadap
perubahan siklus haid.
E. Kegunaan Penelitian
1. Penelitian ini menambah khazanah keilmuan yang luas tentang persoalan haid dan
implikasinya terhadap kaidah fikih al-Adah Muhakkamah.
2. Penelitian ini juga memberikan manfaat bagi masyarakat luas khususnya wanita yang
berkaitan langsung dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu tentang
perubahan siklus haid pada wanita.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kerangka Teoritik
1. Pengertian ‘Urf
Kata ‘Urf secara etimologi berarti, sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal
sehat. Kata ‘Urf dalam pengertian terminologi sama dengan istilah al - ‘Adah (kebiasaan), yaitu:
“sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapatnya diterima oleh akal yang sehat dan
watak yang benar”
Urf berarti sesuatu yang telah dikenali masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan
mereka baik berupa perbuatanperbuatan atau pantangan-pantangan, ‘ u rf bisa disebut juga
dengan adat. Menurut Syara’, tidak ada perbedaan antara ‘Urf dan al- ‘adat (adat kebiasaan).
Namun dalam pemahamannya biasa diartikan bahwa pengertian ‘Urf lebih umum dibandingkan
dengan pengertian al- ‘adat karena al- ‘adat di samping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah
biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan merupakan hokum tertulis, sehingga ada
sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya. Contohnya adat perbuatan, seperti kebiasaan
umat manusia berjual beli dengan tukar menukar secara langsung, tanpa bentuk ucapan akad.
Adat ucapan seperti kebiasaan manusia menyebut al walad secara mutlak berarti anak laki-laki,
bukan anak perempuan dan kebiasaan mereka, juga kebiasaan mereka untuk tidak mengucapkan
kata daging sebagai ikan. Adat terbentuk dari kebiasaan manusia menurut derajat mereka, secara
umum maupun tertentu. Berbeda dengan ijma’, yang terbentuk dari kesepakatan para mujtahid
saja, tidak termasuk manusia secara umum.
2. Macam-macam ‘Urf
‘Urf atau adat itu ada dua macam, yaitu adat yang benar dan adat yang rusak. Adat yang
benar adalah kebiasaan yang dilakukan manusia, tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak
menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan kewajiban. Sedangkan adat yang rusak
adalah kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tetapi bertentangan dengan syara’, menghalalkan
yang haram atau membatalkan kewajiban. Penggolongan macam-macam adat atau ‘Urf itu juga
dapat dilihat dari beberapa segi:
a. Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan. Dari segi ini ‘Urf ada dua macam:
1) ‘Urf qauli , yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan.
Contohnya, kata Waladun secara etimologi artinya ‚anak‛ yang digunakan untuk anak laki-laki
atau perempuan. Berlakunya kata tersebut untuk perempuan karena tidak ditemukannya kata ini
khusus untuk perempuan dengan tanda perempuan ( Mu’annath ). Penggunaan kata Walad itu
untuk anak laki-laki dan perempuan, (mengenahi waris atau harta pusaka) berlaku juga dalam al-
Qur’>an, seperti dalam surat al - Nisa>’ (4): 11-12. Seluruh kata walad dalam kedua ayat
tersebut yang disebutkan secara berulang kali, berlaku untuk anak laki-laki dan perempuan.
2) ‘ U r f f i ’ li , yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Umpamanya; (1) jual beli
barang-barang yang enteng, murah dan tidak begitu bernilai (bay’mu’athah) transaksi jual beli
dimana si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya,
tanpa mengucapkan ijab qabul, karena harga tersebut sudah dimaklumi bersama15.
1) Al - ‘adat atau ‘Urf umum, yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku di mana-mana, hampir
di seluruh penjuru dunia, tanpa memandang negara, bangsa dan agama. Contohnya:
menganggukkan kepala tanda menyetujui dan menggelengkan kepala tanda menolak atau
meniadakan, atau misalnya kebiasaan orang mengembala hewan ternak itu di siang hari maka
kalau ada yang menggembalakan hewan ternaknya di malam hari, maka dianggap aneh atau
ganjil dan tidak seperti kebiasaan umumnya.
2) Al - ‘adat atau ‘Urf khusus, yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok orang tertentu
atau pada waktu tertentu; tidak berlaku di semua tempat dan sembarang waktu.
1) Adat yang shahih,yaitu adat yang berulang ulang dilakukan, diterima oleh orang banyak, tidak
bertentangan dengan agama, sopan santun dan budaya yang luhur. Contohnya, memberi hadiah
kepada orang tua dan kenalan dekat dalam waktuwaktu tertentu, mengadakan acara halal bihalal
(silaturrahmi) saat hari raya, memberi hadiah sebagai suatu penghargaan atas suatu prestasi.
2) Adat yang fasid , yaitu adat yang berlaku di suatu tempat meskipun merata pelaksanaannya,
namun bertentangan dengan agama, undang-undang negara dan sopan santun. Contohnya,
berjudi untuk merayakan suatu peristiwa, pesta dengan menghidangkan minuman haram,
membunuh anak perempuan yang baru lahir, kumpul kebo (hidup bersama tanpa nikah).
d. Penelitian Terdahulu
1. Larangan Hubungan Intim dengan Isteri yang Sedang Haid (Suatu Tinjauan Filsafat Hukum
Islam)18. Tesis ini meneliti tentang ‘illat dan hikmah dari larangan melakukan hubungan seks
pada saat isteri sedang haid.
2.Perempuan Menstruasi Dalam Hukum Islam. Tesis ini membahas tentang larangan-larangan
bagi perempuan ketika sedang menstruasi ditinjau dari pendapat ulama-ulama yang tertuang
dalam kitab fiqh. Ada larangan yang berupa kesepakatan ulama, dan ada larangan yang menjadi
ikhtilaf al- ‘ulama.
3. Problematika Haid dan Permasalahan Wanita. Buku ini membicarakan tentang pengertian
haid, warna darah haid, masa haid, cara mengetahui suci dari haid atau nifas, serta hukum-hukum
yang berhubungan dengan wanita, seperti hukum iddah, rada’, dan lain-lain.
4. Tinjauan Madhhab Shafi’i Dan Madhhab Hambali Tentang Haid Yang Terputus-putus Serta
Akibat Hukum Yang Ditimbulkan. Tesis ini membahas permasalahan haid yang terputus-putus
dan akibat hukum yang ditimbulkan dalam pandangan madhhab Shafi’i dan madhhab Hanbali.
Dalam fiqh Islam istilah menstruasi disebut juga dengan kata “haid”. Haid adalah masdar
dari kata ha-dha, yahi-dhu, haidon, misalnya hadlatil mar ’ atu (perempuan itu sudah haid).
Secara bahasa haid adalah air yang mengalir (Wahbah, 2007). Adapun menurut istilah syara’,
haid ialah darah yang keluar dari ujung rahim perempuan ketika sehat, bukan semasa melahirkan
bayi atau bukan semasa sakit. Dan darah tersebut keluar dalam masa yang tertentu. Mazhab
Maliki mendefinisikan haid adalah darah yang keluar pada perempuan dengan sendirinya pada
waktu tertentu. Sedangkan Mazhab Syafi’i mendefinisikan haid adalah darah yang keluar dari
rahim perempuan di mana darah yang keluar bukan penyakit. Selain darah haid yang keluar dari
faraj wanita ada darah nifas dan istihadhah.
Nifas secara bahasa berarti melahirkan, sedangkan menurut istilah syara’ ialah darah
yang keluar dari kemaluan wanita setelah melahirkan (wiladah) dan sebelum melampui 15 hari
dan malam dari lahirnya anak. Permulaan nifas itu dimulai dari keluarnya darah bukan dari
keluarnya anak. Sedangkan istihadhah menurut bahasa berarti mengalir, menurut istilah syara’
ialah apa-apa yang keluar dari kemaluan wanita pada waktu selain waktunya haid dan nifas dan
bukan atas jalan sehat. Haid dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak empat kali dalam dua ayat,
sekali dalam bentuk fi ’ l mudhari (yahid) dan tiga kali dalam bentuk ism mashdar (al-mahidh).
Diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa sekelompok sahabat Nabi bertanya kepada Nabi tentang
perilaku orang yang tidak mau makan bersama dan dan bergaul dengan istrinya di rumah ketika
si istri haid. Maka turunlah ayat ini “mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah: haid
itu adalah kotoran. Oleh karena itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid
dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka
campurilah mereka ditempat yang diperintahkan oleh Allah kepada mu, Sesungguhnya Allah m e
n y u k ai o r a n g - o r a n g y a n g t a u b a t d a n m e n y u k ai o r a n g orang yang
mensucikan”(Q.S. Al-Baqarah: 222). (HR Sunan Ibnu Majah).
Darah haid bersifat normal, bukan disebabkan oleh suatu penyakit, luka, keguguran atau
pun kelahiran. Seperti yang kita ketahui, darah haid berasal dari penebalan dinding rahim untuk
mempersiapkan proses pembentukan janin yang nantinya berfungsi sebagai sumber makanan
bagi janin yang ada dalam kandungan seorang ibu. Oleh karenanya, seorang wanita yang hamil,
tidak akan mendapatkan haid lagi, begitu juga dengan wanita yang menyusui, biasanya tidak
akan mendapatkannya terutama diawal masa penyusuan. Adapun hikmah yang bisa kita petik
didalamnya adalah Maha Mulia Allah, sebaik-baiknya pencipta, yang telah menciptakan
gumpalan darah di rahim seorang ibu sebagai sumber makanan instant bagi janin didalamnya,
yang tentu saja dia belum bisa mencerna makanan apalagi mendapatkan makanan dari luar
kandungan. Maha Bijaksana Allah Subhanahu wata’ala yang telah mengeluarkan darah tersebut
dari rahim seorang wanita yang tidak hamil melalui siklus haid karena memang tidak
membutuhkannya. Dengan begitu, kondisi rahim seorang wanita akan selalu siap bila ada janin
didalamnya. Allah berfirman:“ dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu sa
ripati ( berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam
tempat yang kokoh (rahim).Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal
darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang,
lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk
yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. (QS. al-Mukminun
[23]:12-14)
Kehidupan manusia berawal dari satu sel telur manusia yang terletak dalam indung telur
di dalam kedua sisi rahim setiap wanita. Kira-kira pada hari ke 14 dari permulaan haid terakhir,
sel telur meninggalkan indung telur dan memasuki saluran telur (proses ovulasi). Pada saat
ovulasi, kaum wanita mengalami masa subur, bila terjadi pembuahan wanita tersebut akan hamil,
namun bila tidak terjadi pembuahan maka pada hari ke 28 sel telur membusuk menjadi darah
haid. Dengan demikian haid bisa didefinisikan sebagai darah yang mengalir dari rahim wanita
secara alamiah pada siklus waktu tertentu.
Pola haid yang normal pada umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Dialami setiap wanita antara usia 9 tahun (paling muda) sampai usia 55 tahun (paling tua)
2. Siklus waktu haid yang normal adalah per 28 hari dalam setiap bulan
3. Masa haid paling pendek sehari semalam dan paling panjang 15 hari
(menarche) bagi masing-masing wanita adalah berbeda, jenis suku bangsa, kesehatan
lingkungan, ras, iklim, serta daerah ikut mempengaruhinya. Di Indonesia misalnya, permulaan
masa haid antara 13 sampai 15 tahun karena pengaruh iklim tropis. Tentu berbeda dengan daerah
Arab atau negara padang pasir lainnya yang rata-rata usia haid antar 11 sampai 12 tahun. Namun
kini di Indonesia ada pola pergeseran siklus haid yaitu antara 9 dan 10 tahun sudah haid.
Pergeseran siklus haid ini disebabkan bertambahnya taraf kesejahteraan yang mengakibatkan
pada pertumbuhan fisik atau tubuh mereka; dimana secara fisik, tubuh anak-anak Indonesia
sekarang jauh lebih baik dibandingkan dengan orang tua mereka.
Selain itu juga berpengaruh pada tingkat kematangan secara biologis misalnya
permasalahan menarche bagi anak wanita. Menarche merupakan menstruasi pertama kali yang
ditandai dengan keluarnya darah dari vagina akibat peluruhan dinding endometrium.
Membaiknya standar kehidupan terutama faktor asupan makanan dan genetik akan berdampak
pada usia menarche dini; menstruasi pertama yang terjadi lebih awal atau lebih cepat dari
kebiasaan yang berlaku secara umum di tengah-tengah masyarakat tersebut. Faktor rendahnya
asupan serat dan tingginya asupan lemak maupun kalsium berdampak pada usia menarche dini
(Jayusman, 2014) Dalam kajian fiqh Islam, Sebagian besar ulama menyatakan usia baligh bagi
wanita itu di atas usia 9 tahun menurut perhitungan tahun Qamariah.
Jika sebelum itu, maka tidak dikategorikan sebagai darah haid tapi merupakan darah
penyakit/ istihadhah. Haid itu berlangsung sampai akhir hayatnya; sampai usia menoupause
(masa berakhir/berhentinya haid) (Wahbah, 2007). Dianjurkan bilah hal ini terjadi untuk
berkonsultasi dengan dokter ataupun ahli kesehatan. Para ulama berbeda pendapat mengenai
batasan umur untuk perempuan haid, sehingga ketika ada perempuan yang mengalami haid
sebelum atau sesudah batasan usia tersebut bisa dipastikan darah darah yang keluar dari rahim
perempuan adalah darah penyakit dan bukan darah haid. Perbedaan itu disebabkan tidak adanya
penjelasan dari nash mengenai hal itu, para ulama menetapkan batasan itu dengan melihat
kebiasaan dan keadaan perempuan. Menurut Syafi’i tidak ada batasan umur bagi terhentinya
masa haid, selama perempuan itu hidup haid masih mungkin terjadi padanya. Tetapi biasanya
sampai umur enam puluh dua. Menurut Hambali batas umur perempuan haid adalah lima puluh
tahun, hal ini berdasarkan qaul ‘Aisyah “ketika perempuan sampai umur lima puluh tahun, dia
sudah keluar dari batasan haid” dan juga menambahkan: “perempuan tidak hamil setelah ia
berumur lima puluh tahun”.
BAB III
PENUTUP
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap
muslim”. (HR. Ibnu Majah). Hadits ini dengan menegaskan bahwa menuntut ilmu itu hukumnya
wajib atas setiap muslim, bukan bagi sebagian orang muslim saja. Yang dimaksud dengan ilmu
disini bukan sembarang ilmu, tapi ilmu yang berkaitan dengan syariat. Maka hukum belajar ilmu
syariat yang berkaitan dengan haid adalah wajib bagi setiap wanita. Dalam mempersiapkan
remaja putri sebagai generasi penerus umat Allah berfirman:
Artinya:“Dan hendaklah orang-orang takut kepada Allah, bila seandainya mereka meninggalkan
anakanaknya, yang dalam keadaan lemah, yang mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraan)
mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan mengucapkan perkataan
yang benar”. (an-Nisa’ [4]: 9)
Kecakapan itu menyangkut aspek pengetahuan, sikap yang didalamnya termasuk fisik
dan mental, serta kecakapan kejuruan yang berkaitan dengan pengembangan akhlak peserta didik
sehingga mampu menghadapi tuntutan dan tantangan hidup dalam kehidupan. Oleh sebab itu
menjadi kewajiban orang tua yang memiliki anak remaja putri yang usianya mendekati 9 tahun
untuk mengajarkan ilmu haid, yaitu: “keturunan yang lemah” maka untuk menghilangkan
keturuan yang lemah haruslah memiliki kemampuan pendidikan Kecakapan Hidup (lif e s kill)
yang mumpuni. Maka sebagai pendidik harus dapat memberikan kemampuan tersebut
sebagaimana perintah Allah tersebut.
2. Menjelaskan jika wanita sudah mengalami haid berarti sudah baligh, mukallaf, sudah
menanggung dosanya sendiri.
3. Mengajari kewajiban-kewajiban seorang yang sudah baligh, misal sholat, puasa, dan lain lain.
Pengetahuan ini tidak hanya menyangkut tentang fikih, tetapi juga sekaligus meningkatkan
kesadaran akan dampak praktik pengelolaan haid terhadap kesehatan dan hubungan antara
kondisi sosial wanita dan remaja putri dengan kesehatan mental/emosionalnya.