Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH FIKIH KELUARGA ISLAM

‘’Iddah Perempuan Yang Dotinggal Mati Suami’’


‘’guna memenuhi tugas Fikih Keluarga Islam’’

Dosen Pengampu : Dr. H Saifunnajar, MH

Disusun Oleh :
Sinta Bella : 182620585

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
2022 M/ 1443 H

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt atas limpahan
rahmat dan karunianya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah yang
berjudul ‘’Iddah perempuan yang ditinggal mati suami’’. Makalah ini
disusun menambah wawasan pembaca untuk mata kuliah Fikih Keluarga
Islam.
Penulis menyadari bahwa kemampuan dalam penulisan makalah ini
jauh dari kata sempurna. Penulis sudah berusaha dan mencoba untuk
memaksimalkan karya tulis ini. Apabila dalam penulisan makalah ini ada
kekurangan dan kesalahan baik dalam penulisan dan pembahasannya maka
penulis sangat menyadari bahwa semua itu karena keterbatasan kemampuan
penulis. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan
pembaca.

Bengkalis,01 Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI
Cover............................................................................................................................................
Daftar isi.......................................................................................................................................
Kata Pengantar...........................................................................................................................
Bab I Pendahuluan......................................................................................................................
A. Latar Belakang..................................................................................................................
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................
C. Tujuan...............................................................................................................................
BAB II Pembahasan....................................................................................................................
BAB III Kesimpulan...................................................................................................................
Daftar Pustaka.............................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
‘Iddah menurut bahasa diambil dari kata ‘adad, mengingat,‘iddah
umumnya mencakup bilangan suci atau bulan. Kalimat “Iddah al-mar’ah”
artinya hari-hari suci wanita.Ia mengikut wazān fi’lah dari kata ‘add
‘hitungan’, artinya hari dan masa suci yang dapat dihitung. Bentuk
jamaknya ‘idād. Kadang para ulama mengulas secara khusus tentang ‘iddah
dalam Kitab al-‘Idād. Secara syara’,‘iddah berarti masa penantian wanita
untuk mengetahui rahimnya negatif, atau untuk beribadah, atau untuk
merisaukan suaminya. Jadi ‘iddah artinya satu masa di mana perempuan
yang telah diceraikan, baik cerai hidup ataupun cerai mati, harus menunggu
untuk meyakinkan apakah rahimnya telah berisi atau kosong dari
kandungan. Bila rahim perempuan itu telah berisi sel yang akan menjadi
anak maka dalam waktu ber‘iddah itu akan kelihatan tandanya. Itulah
sebabnya ia diharuskan menunggu dalam masa yang ditentukan. ‘Iddah
hukumnya wajib bagi seorang istri yang berpisah dengan suaminya, baik
karena ditalak atau ditinggal wafat. Ada sejumlah nash al-Qur’an yang
mengungkap hukum ‘iddah. Mengenai ‘iddah talak.
Terdapat bermacam-macam jenis ‘iddah yang telah digolongkan,
pertama adalah ‘iddah wanita yang ditalak yang masih haid. Kedua adalah
‘iddah wanita ditalak yang tidak haid lagi karena usianya telah lanjut atau
karena masih kecil. Ketiga adalah ‘iddah wanita hamil yang ditalak yaitu
melahirkan bayinya, ini berlaku bagi wanita merdeka dan budak. Keempat
adalah ‘iddah wanita yang haid kemudian terhenti karena sebab yang bisa
diketahui, atau karena sebab yang tidak bisa diketahui. Kelima adalah ‘iddah
wanita yang ditinggal mati suaminya yaitu empat bulan sepuluh hari bagi
wanita merdeka dan dua bulan lima hari bagi budak wanita. Keenam adalah
‘iddah wanita mustaḥaḍaḥ, yaitu wanita yang darahnya keluar terus. Ketujuh
adalah ‘iddah wanita yang ditinggal pergi suaminya dan tidak diketahui
nasibnya apakah masih hidup, atau telah meninggal dunia.
B. Rumusan Masalah
1. Ap aitu iddah
2. Bagaimana proses iddah jika ditinggalkan suami karena
meninggal dunia?
C. Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas Fikih
Keluarga Islam serta memberikan informasi kepada pemabaca mengenai
Iddah karena suami meninggal dunia.
BAB II
PEMBAHASAN
Iddah dalam buku Fiqih Wanita karangan Muhammad Fuad, ialah
penantian (masa menunggu) yang harus (wajib) dilakukan seorang wanita,
atau wali anak perempuan yang masih kecil, ketika kehilangan janji
perkawinan.
Iddah menurut Sayyid Sabiq dalam buku Fiqh Sunnah adalah istilah
untuk masa-masa bagi seorang perempuan menunggu dan mencegah dirinya
dari menikah setelah wafatnya sang suami atau setelah cerai.
Masa iddah (waktu tunggu) adalah seorang istri yang putus
perkawinannya dari suaminya, baik putus karena perceraian, kematian,
maupun atas keputusan pengadilan. Masa iddah tersebut, hanya berlaku bagi
istri yang sudah melakukan hubungan suami istri.
Lain halnya bila istri belum melakukan hubungan suami istri (qabla
dukhul), tidak mempunyai masa iddah. Dalam agama Islam seorang wanita
yang sedang dalam masa iddah sudah ditentukan larangan-larangan atau
ketentuan yang harus dilakukan.
Salah satunya masa iddah berkabung bagi seorang istri yang
ditinggal mati suaminya, masa tersebut adalah 4 bulan 10 hari disertai
dengan larangan-larangannya.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa iddah yaitu
massa yang harus ditunggu oleh seorang perempuan yang telah bercerai dari
suaminya atau ditinggal mati suaminya dan tidak boleh menikah dengan
orang lain selama menjalani masa iddah.1
Bagi perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya, wajib baginya
melaksanakan iddah serta ihdad, iddah merupakan masa penantian seorang
perempuan sebelum menikah lagi, setelah bercerai dari suaminya atau
setelah suaminya meninggal dunia.
Hakikat dari iddah tersebut sebagai berikut: “masa yang harus
ditunggu oleh seorang perempuan yang telah bercerai dari suaminya supaya
dapat kawin lagi untuk mengetahui bersih rahimnya atau untuk
melaksanakan perintah Allah”. Yang dimaksud dengan ihdad (masa
berkabung) adalah masa di mana seseorang harus memiliki rasa, yaitu;
1
Abidin, Slamet, Aminuddin. (1999). Fiqih Munakahat II, Bandung: Pustaka Setia.
1. Mempersiapkan.
2. menata mental.
3. menambahkan kesabaran bagi orang yang ditinggal.
Di mana tiga poin di sini adalah merupakan ketentuan hukum agar
seseorang melakukan hal yang sesuai dengan (dasar syari’at) dari dasar
syari’at tersebut antara lain, dengan kompromi, keserasian dan keadilan.
Pandangan Ulama Tentang Ihdad Ulama bersepakat terhadap kewajiban
ihdad atas seorang perempuan pada masa meninggalnya seorang suami,
yakni dari pernikahan yang sah meskipun seorang perempuan belum di
dukhul, adapun dasar dari pernyataan tersebut adalah Hadits Nabi
Muhammad S.A.W.:
“Menceritakan padaku Muhammad bin al-Mutsanna menceritakan
padaku Ja’far, menceritakan padaku Syu’bah dari Humaid bin Nafi’
berkata aku mendengarkan Zainab binti Umm Salamah berkata Hamim
(saudara laki-lakinya) meninggalkan Ummi Habibah, kemudian Umi
Habibah memakai wangi-wangian berwarna kuning, kemudian
mengusapnya dengan dua tangannya, dan Ummi Habibah berkata
sesungguhnya aku memakai wangi-wangian ini karena aku
mendengarkan Rasulullah S.A.W bersabda “Tidak boleh seorang
perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung untuk
orang mati kecuali untuk suaminya selama empat bulan sepuluh hari.
Dan Ummi Habibah memberitahukan tentang ibunya dan tentang Zainab
isteri Rasulullah, dan tentang seorang perempuan yang menjadi bagian
isteri Rasul.” (HR. Muslim)
Sebagaimana yang telah disepakati oleh para Ulama, atas dasar
hadits tersebut tidak terdapat masa ihdad bagi laki-laki. Dan atas dasar
tersebut menunjukkan bahwa atas dasar hadits tersebut, maka bagi
seorang perempuan, tidak terdapat ihdad yang tertalak raj’iy. Akan
tetapi, Imam Syafi’y berpendapat bahwa bagi perempuan yang tertalak
raj’iy sunnah melakukan ihdad jika tidak terdapat harapan antara suami
isteri rujuk kembali. Imam Malik berpendapat bahwa ihdad diwajibkan
atas perempuan muslimah dan ahli kitab, baik yang masih kecil maupun
sudah dewasa. Mengenai hamba perempuan yang ditinggal mati oleh
orang tuannya, baik ia sebagai ummul walad 50 (hamba perempuan
yang telah memperoleh anak dari tuannya) atau bukan, maka menurut
Imam Malik, tidak wajib ihdad atasnya. Pendapat ini juga dikemukakan
oleh para fuqaha amshar (fuqaha negeri-negeri besar). Pendapat Imam
Malik yang terkenal mengenai ahli kitab ditentang oleh Ibnu Nafi’ dan
Asyhab (dua orang di antara pengikut Imam Malik). Tetapi, pendapat
keduanya ini juga diriwayatkan oleh keduanya dari Imam Malik, dan
orang pengikut Imam Malik juga dikemukakan oleh Imam Syafi’i, yakni
bahwasanya tidak ada kewajiban ihdad perempuan ahli kitab. Hikmah
Iddah Adapun hikmah iddah adalah:
1. Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang perempuan sehingga
tidak tercampur antara keturunan seseorang dan yang lain.
2. Memberi kesempatan kepada suami isteri yang berpisah untuk
kembali kepada kehidupan semula jika mereka menganggap hal
tersebut baik.
3. Menjunjung tinggi masalah perkawinan, yaitu agar dapat
menghimpun orang-orang yang arif untuk mengkaji masalahnya
dan memberikan tempo berpikir panjang. Jika tidak diberikan
kesempatan demikian, ia tak ubahnya seperti anak-anak kecil
bermain, sebentar lagi dirusaknya.
4. Kebaikan perkawinan tidak terwujud sebelum kedua suami isteri
sama-sama hidup lama dalam ikatan akadnya.
Dalam hal ini juga di syari’atkan beberapa hal tentang ihdad:
Menurut Imam Taqiyyuddin bin Abi Bakar, menyebutkan sebagai
berikut: Dalam ihdad seseorang disyari’atkan terhadap perempuan
yang ditinggal mati suaminya, adalah karena sebagai konsekuensi
logis terhadap ikatan suami isteri, yang telah dengan sengaja
dibentuk dan untuk beribadah dalam rangka melaksanakan legislasi
hukum yang ditetapkan oleh Allah dengan demikian, karena ikatan
suami isteri adalah sangat suci, maka tidak sah secara syara’,
merusak janji tersebut dengan melakukan hal-hal yang menimbulkan
fitnah dan seorang perempuan ditinggal mati suaminya yang
kemudian berlebihan dalam berdandan dan mengenakan pakaian
mewah, sekaligus memakai wangi-wangian, adalah menujukkan
sikap tidak baik, karena selain tidak mengikuti ketentuan syari’at, di
mana diawali dengan sebuah kisah yang terwakili oleh kisah Ummi
Habibah, yang ditinggalkan Hamim (saudara laki-lakinya) dan
kemudian mendengar Rasul S.A.W, bersabda; “Tidak boleh seorang
perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung
untuk orang mati kecuali untuk suaminya selama empat bulan
sepuluh hari.” dan juga atas perempuan yang demikian tidak
berkabung atau tidak menghormati suaminya yang telah meninggal. 2

2
Sahrani, Sohari & Tihami.(2009). Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap.Jakarta:
Rajawali Press.
Ihdad Perempuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Ihdad
(berkabung) perempuan yang ditinggal mati oleh suami telah diatur
didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang masa berkabung
seorang perempuan (isteri) yang ditinggal mati suaminya, dijelaskan
dalam pasal 170, Bab XIX, Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang
”MASA BERKABUNG”, sebagai berikut :
1. Isteri yang ditinggal mati oleh suami, wajib melaksanakan
masa berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut
berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah.
2. Suami yang ditinggal mati oleh isterinya, melakukan masa
berkabung menurut kepatutan. 3
Dari sini dapat digambarkan, bahwa perempuan (isteri)
memiliki kewajiban melaksanakan iddah serta ihdad, karena
ditinggal mati oleh suaminya selama empat bulan sepuluh hari.
Hal ini merupakan suatu kondisi di mana isteri harus menahan
diri atau berkabung selama empat bulan sepuluh hari. Selama
masa itu, isteri hendaknya menyatakan dukanya dengan tidak
berhias, tidak bercelak mata dan tidak boleh keluar rumah. Cara
ini bertujuan hanya untuk menghormati kematian suami. Apabila
masa iddah telah habis, maka tidak ada larangan untuk berhias
diri, melakukan pinangan, bahkan melangsungkan akad nikah.
Dalam konteks isteri yang ditinggal mati oleh suaminya, masa
iddah serta ihdad (berkabung) itu penting dilalui agar tidak
timbul fitnah di masyarakat.
Masa ihdad sebenarnya adalah wujud dari kesedihan si isteri
atas musibah yang menimpa dirinya, cukup beralasan di dalam
KHI pasal 170, yang telah tercantum diatas. Kendatipun masa
iddah serta ihdad ini dikenakan kepada perempuan, tidak berarti
suami yang ditinggal mati isterinya, bebas melakukan
pernikahan setelah itu. Hukum memang tidak menetapkan
berapa lama suami tersebut harus menjalani iddahnya, tetapi
paling tidak dengan berpijak pada asas kepatutan, seorang suami
juga mestinya dapat menahan diri untuk tidak langsung menikah,
ketika isterinya baru saja meninggal. Hikmahnya tentu saja untuk

3
Fuad, Mahsun. (2005). Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Parsipatoris Hingga
Emansipatoris.Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara.
menunjukkan rasa berkabung sekaligus menjaga timbulnya
fitnah.
Masalah lain yang juga sering dikritik adalah menyangkut
larangan perempuan yang sedang dalam masa iddah serta ihdad.
Diantara hal yang tidak boleh dilakukan adalah larangan keluar
rumah menurut jumhur ulama fiqih selain Madzhab Syafi’i
apabila tidak ada keperluan mendesak, seperti untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya sehari-hari. Bagi Syafiq Hasyim, larangan
ini menunjukkan bahwa iddah merupakan suatu bentuk
domestifikasi terhadap kaum perempuan dengan menggunakan
dalil keagamaan. Penantian merupakan waktu yang
menjemukkan bagi perempuan, karena tidak saja dilarang keluar
rumah tetapi juga dilarang berhias dan mempercantik diri
terkhusus bagi yang ditinggal mati suaminya. Syafiq Hasyim
memahami ayat tersebut bukan dalam rangka pembatasan gerak
perempuan, tetapi lebih mengacu pada etika, di mana suami
dilarang mengusir atau mengeluarkan isteri yang dalam masa
iddah karena hal itu lebih menimbulkan kemudharatan kepada
isterinya.
Masa iddah (waktu tunggu) adalah seorang istri yang putus
perkawinannya dari suaminya, baik putus karena perceraian,
kematian, maupun atas keputusan pengadilan. Masa iddah
tersebut, hanya berlaku bagi istri yang sudah melakukan
hubungan suami istri. Lain halnya bila istri belum melakukan
hubungan suami istri (qabla dukhul), tidak mempunyai masa
iddah. Dalam agama Islam seorang wanita yang sedang dalam
masa iddah sudah ditentukan larangan-larangan atau ketentuan
yang harus dilakukan. Salah satunya masa iddah berkabung bagi
seorang istri yang ditinggal mati suaminya, masa tersebut adalah
4 bulan 10 hari disertai dengan larangan-larangannya.
Dalam buku Hukum Kekeluargaan Indonesia karangan
Sayuti Thalib tertulis beberapa hal yang dikemukakan langsung
oleh Tuhan dalam surah mengenai kegunaan adanya masa iddah
ini. Yakni sebagai berikut:
1. Menenangkan Kedua Pihak
2. Melihat Kehamilan
Selama masa iddah itu berkisar antara tiga atau empat bulan,
sehingga akan dapat diketahui dengan agak kuat apakah sang istri
sedang hamil atau tidak. Dengan demikian akan menjadi suatu
kepastian hukum mengenai bapak si calon bayi.
Dalam Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dinyatakan bahwa,
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya. Kemudian bagi seorang
wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
Hak Perempuan Selama Masa Iddah
1. Mut'ah
2. Hak Penuh Sebelum Dicerai
3. Nafkah
4. Hadhanah (Hak Mendidik dan Merawat)
Dalam buku Pedoman Hidup Harian Seorang Muslim oleh
Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairy dijelaskan kewajiban wanita yang
sedang menjalani masa iddah adalah menjauhi apa saja yang
mengarah kepada hubungan seksual, tidak mengenakan apa saja
yang membuat orang lain tertarik melihat kepadanya, dan juga tidak
boleh keluar rumah. Serta dilarang menerima khitbah (pinangan) dan
dilarang menikah. Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang
perempuan, sehingga tidak tercampur antara keturunan mantan
suami dengan orang lain.
Dalam jurnal Kajian Kritis Ketentuan Waktu Tunggu (Iddah)
dalam RUU HMPA Bidang Perkawinan oleh Muhamad Isna
Wahyudi diterangkan waktu tunggu janda ditentukan sebagai
berikut:
‘’Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu
ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari terhitung sejak kematian
suami. Apabila perkawinan putus karena perceraian dan putusan
Pengadilan, waktu tunggu janda yang masih haid ditetapkan 3 (tiga)
kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan
janda yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari, terhitung
sejak: Diucapkannya ikrar talak dalam hal perkawinan putus karena
cerai talak, atau Putusan pengadilan’’.
Apabila perkawinan putus karena perceraian atau karena
kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu
ditetapkan sampai kelahiran anaknya.
Waktu tunggu bagi istri yang masih dalam usia haid sedang
pada waktu menjalani idah tidak haid karena menyusui, maka
iddahnya tiga bulan (90 hari).
Dalam hal janda yang masih usia haid menjalani iddah tidak
haid bukan karena menyusui, maka iddahnya satu tahun, akan tetapi
apabila ia berhaid kembali dalam waktu tersebut, maka iddahnya
menjadi tiga kali waktu suci.
Rumusan Pasal 124 adalah sebagai berikut:
Apabila suami meninggal dalam waktu iddah talak raj'i
sebagaimana dimaksud Pasal 123 ayat 2 huruf b, ayat 3 dan ayat 4,
maka iddah janda berubah menjadi 4 (empat) bulan 10 (sepuluh) hari
terhitung sejak kematian suami.4
Sementara konsekuensi jika melanggar, dilansir laman
Kemenag Kalsel, yakni dapat membatalkan keabsahan nikah
mengingat ketentuan masa iddah menjadi salah satu syarat sahnya
pernikahan seorang janda.
Para ahli fiqih sepakat, pernikahan di masa iddah tidak sah,
sebagaimana ketentuan UU Perkawinan 1/1974 pasal 2 ayat (1):
"Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaannya itu".

BAB III
4
Syarifuddin, Amir. (2007). Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta:Kencana.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masa iddah (waktu tunggu) adalah seorang istri yang putus
perkawinannya dari suaminya, baik putus karena perceraian,
kematian, maupun atas keputusan pengadilan. Masa iddah tersebut,
hanya berlaku bagi istri yang sudah melakukan hubungan suami
istri. Lain halnya bila istri belum melakukan hubungan suami istri
(qabla dukhul), tidak mempunyai masa iddah. Dalam agama Islam
seorang wanita yang sedang dalam masa iddah sudah ditentukan
larangan-larangan atau ketentuan yang harus dilakukan. Salah
satunya masa iddah berkabung bagi seorang istri yang ditinggal mati
suaminya, masa tersebut adalah 4 bulan 10 hari disertai dengan
larangan-larangannya.
Dalam buku Hukum Kekeluargaan Indonesia karangan
Sayuti Thalib tertulis beberapa hal yang dikemukakan langsung oleh
Tuhan dalam surah mengenai kegunaan adanya masa iddah ini.
Yakni sebagai berikut:
1. Menenangkan Kedua Pihak
2. Melihat Kehamilan
Selama masa iddah itu berkisar antara tiga atau empat bulan,
sehingga akan dapat diketahui dengan agak kuat apakah sang istri
sedang hamil atau tidak. Dengan demikian akan menjadi suatu
kepastian hukum mengenai bapak si calon bayi.
Dalam Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dinyatakan bahwa,
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya. Kemudian bagi seorang
wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
Hak Perempuan Selama Masa Iddah
1. Mut'ah
2. Hak Penuh Sebelum Dicerai
3. Nafkah
4. Hadhanah (Hak Mendidik dan Merawat)
Dalam jurnal Kajian Kritis Ketentuan Waktu Tunggu (Iddah)
dalam RUU HMPA Bidang Perkawinan oleh Muhamad Isna
Wahyudi diterangkan waktu tunggu janda ditentukan sebagai
berikut:
‘’Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu
ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari terhitung sejak kematian
suami. Apabila perkawinan putus karena perceraian dan putusan
Pengadilan, waktu tunggu janda yang masih haid ditetapkan 3 (tiga)
kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan
janda yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari, terhitung
sejak: Diucapkannya ikrar talak dalam hal perkawinan putus karena
cerai talak, atau Putusan pengadilan’’.
Apabila perkawinan putus karena perceraian atau karena
kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu
ditetapkan sampai kelahiran anaknya.
Waktu tunggu bagi istri yang masih dalam usia haid sedang
pada waktu menjalani idah tidak haid karena menyusui, maka
iddahnya tiga bulan (90 hari).
Dalam hal janda yang masih usia haid menjalani iddah tidak
haid bukan karena menyusui, maka iddahnya satu tahun, akan tetapi
apabila ia berhaid kembali dalam waktu tersebut, maka iddahnya
menjadi tiga kali waktu suci.
Rumusan Pasal 124 adalah sebagai berikut:
Apabila suami meninggal dalam waktu iddah talak raj'i
sebagaimana dimaksud Pasal 123 ayat 2 huruf b, ayat 3 dan ayat 4,
maka iddah janda berubah menjadi 4 (empat) bulan 10 (sepuluh) hari
terhitung sejak kematian suami.
Sementara konsekuensi jika melanggar, dilansir laman
Kemenag Kalsel, yakni dapat membatalkan keabsahan nikah
mengingat ketentuan masa iddah menjadi salah satu syarat sahnya
pernikahan seorang janda.
Para ahli fiqih sepakat, pernikahan di masa iddah tidak sah,
sebagaimana ketentuan UU Perkawinan 1/1974 pasal 2 ayat (1):
"Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaannya itu".
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet, Aminuddin. (1999). Fiqih Munakahat II, Bandung: Pustaka
Setia.
Al-Siddieqy, Hasbi. (1980). Pengantar Hukum Islam.Jakarta: Bulan
Bintang.
Fuad, Mahsun. (2005). Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Parsipatoris
Hingga Emansipatoris.Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara.
Sahrani, Sohari & Tihami.(2009). Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah
Lengkap.Jakarta: Rajawali Press.
Syarifuddin, Amir. (2007). Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara
Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta:Kencana.

Anda mungkin juga menyukai