FIQIH MUNAKAHAT
IHDAD
T.P 2017/2018
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah atas segala rizki yang Allah berikan pada kita, atas
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya dan
dalam keadaan tidak kurang suatu apapun.
Semoga isi makalah ini dapat menambah ilmu bagi pembaca dan dapat
dimafaatkan sebaik-baiknya. Dan dalam pengerjaan makalah ini kami tidak lepas
dari kesalahan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca.
Kelompok 5
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................................. ii
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Ihdad..................................................................... 3
B. Dasar Hukum Ihdad................................................................ 4
C. Larangan Dan Anjuran Dalam Masa Ihdad............................ 7
1. Larangan dalam masa ihdad............................................. 7
2. Anjuran dalam masa ihdad............................................... 12
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan sesuatu yang amat sakral dalam pandangan
Islam. Pernikahan juga merupakan salah satu sunnah Rasul yang harus di
jalani dalam mengarungi sebuah bahtera kehidupan serta menjadi suatu dasar
yang penting dalam memelihara kemashlahatan umum. Kalau tidak ada
pernikahan, maka manusia akan memperturutkan hawa nafsunya, yang pada
gilirannya dapat menimbulkan bencana dalam masyarakat. Pada dasarnya,
dua orang (laki-laki dan perempuan) melangsungkan pernikahan dan
membangun rumah tangga dengan tujuan untuk memperoleh kebahagian atau
dikenal dengan istilah membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahmah.
Akan tetapi, pada kenyataannya tidak semua rumah tangga yang terbentuk
melalui pernikahan dilimpahi kebahagiaan. Kadang ada saja masalah yang
menimbulkan perselisihan yang dapat berujung pada perceraian.
Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur segala hal tentang
kehidupan, termasuk pernikahan, perceraian ‘thalak’, ruju’, iddah, ihdad dan
sebagainya. Talak dapat dilaksanakan dalam keadaan yang sangat
membutuhkan, dan tidak ada jalan lain untuk mengadakan perbaikan. Hal ini
antara lain dibolehkan apabila suami istri sudah tidak dapat melakukan
kewajiban masing-masing sesuai dengan ketentuan agama, sehingga tujuan
rumah tangga yang pokok yaitu mencapai kehidupan rumah tangga yang
tenang dan bahagia sudah tidak tercapai lagi. Apalagi kalau rumah tangga itu
dapat mengakibatkan penderitaan-penderitaan dan perpecahan antara suami
istri tersebut, maka dalam keadaan demikian perceraian dapat dilaksanakan,
yaitu sebagai jalan keluar bagi segala penderitaan baik yang menimpa suami
atau istri.
Namun demikian, bagi wanita yang dicerai oleh suaminya, baik cerai
biasa atau cerai mati (ditinggal mati), tidaklah boleh langsung menikah lagi
dengan laki-laki lain, melainkan ia harus menunggu untuk sementara waktu
lebih dahulu.
1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Ihdad?
2. Apa dasar hukum ihdad
3. Apa saja larangan dan anjuran dalam masa ihdad?
C. Tujuan
1. Agar mengetahui tentang ihdad
2. Agar dapat mengetahui dasar hukum ihdad
3. Agar dapat mengetahui larangan dan anjuran dalam masa ihdad
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ihdad
Ihdad pada dasarnya adalah ihdad yang khusus pada kasus perceraian
karena kematian suami. Jadi, ihdad itu ‘iddah wafat, sebagai rasa berkabung
atas meninggalnya suami. Para ulama bahkan mewajibkan ihdad ini. Secara
etimologis ihdad berarti al-man’u artinya larangan, sedangkan secara
terminologis, meninggalkan wewangian, hiasan, bersolek bagi wanita yang
sedang ber’iddah wafat.
Menurut Abu Yahya Zakaria al-Anshary, ihdad berasal dari kata ahadda,
dan kadang-kadang bisa juga disebut al-hidad yang diambil dari kata hadda.
Secara etimologis (lighawi) ihdad berarti al-man’u (cegahan atau larangan).1
Abdul Mujeib dkk, ihdad adalah masa berkabung bagi seorang isteri yang
ditinggal mati suaminya. Maka tersebut adalah 4 bulan 10 hari disertai
dengan larangan-larangannya, antara lain: bercelak mata, berhias diri, keluar
rumah, kecuali dalam keadaan terpaksa.
1
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2009), h.342
3
dan banyak lagi pengertian lainnya yang pada intinya sama yaitu
meninggalkan berdandan atau berhias diri.2
Sebelum Islam, kebiasaan ini telah ada, hanya saja aturannya sangat
memberatkan wanita. Masa berkabungnya saja satu tahun, selama waktu itu,
wanita bukan saja dilarang dandan dan memakai parfum, ia pun dilarang
bicara yang mempunyai terdensi ke arah kesenangan, semacam senda gurau.
Pakaian yang dipakai oleh wanita yang sedang berkabungpun tidak boleh
yang berwarna apalagi yang multi warna, kecuali hitam.3
2
Ibid., h. 344
3
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 202
4
Muhammad Ali As-Shobuni, Rowangul Bayan, “Tafsirul Ayatil Ahkam
Minalqur’an,h.286
4
Artinya:
“seorang perempuan tidak boleh melakukan ihdâd lebih dari tiga hari,
kecuali atas kematian suaminya, maka ia melakukan ihdâd selama empat
bulan sepuluh hari…” (HR. al-Jama’ah kecuali al-Tirmidzi).
“Dari Abu Rabi’ al-Zuhry sesungguhnya aku dari Hammad dari Ayyub dari
Hafshah dari Ummi Athiyyah dia berkata sesungguhnya Rasulullah S.A.W
bersabda tidak boleh berkabung bagi seorang perempuan atas satu mayit
lebih dari tiga malam kecuali atas suami (boleh) empat bulan sepuluh hari
dan janganlah memakai pakaian (yang dimaksudkan untuk perhiasan,
5
Abd Moqsith Ghazali, ‘Iddah Dan Ihdad Dalam Islam:Pertimbangan Legal Formal
Dan Etik Moral,h.150-151
6
Athif Lamadhoh, Fikih Sunnah Untuk Remaja, (Jakarta: Cendekia
Sentra Musliam, 2007), hal 258
5
sekalipun pencelupan itu dilakukan sebelum kain tersebut ditenun, atau
kain itu menjadi kasar/kesat (setelah dicelup).” dan janganlah bercelak,
memakai wangai-wangian kecuail ia bersih dari qusth dan adzfar.” 7
7
Ahmad Hassan, Tarjamah Bulugh al-Amaram, (Bandung: CV
Diponegoro,1991), h. 585
8
Asham As-Shababathi, Shahih Muslim bi Syarhi An-Nawawi, (Qahirah: Darul
Hadits, 1422 H/2001 M), juz 5, hlm. 372.
6
“Kami dilarang berihdad atas mayat lebih dari tiga hari kecuali bila
yang meninggal itu suami maka istrinya berihdad selama empat bulan
sepuluh hari. Selama ihdad itu kami tidak boleh bercelak, tidak boleh
memakai wangi-wangian, dan tidak boleh mengenakan pakaian yang
dicelup kecuali pakaian ‘ashbin. Rasulullah memberikan rukhshah bagi
kami ketika suci dari haid, apabila salah seorang dari kami mandi suci
dari haidnya ia boleh memakai sedikit kustazhfar….” (HR. Al-Bukhari
no. 313, 5341 dan Muslim no. 3722)
7
dalam hadits sifatnya umum, dan juga perhiasan akan menambah
kebagusan si wanita dan memberi dorongan untuk menggaulinya.” (Al-
Mughni, Kitab Al-‘Idad, Fashl Ma Tajtanibuhul Haddah)
“Wajib bagi wanita yang berihdad untuk tidak memakai celak baik
karena ada ataupun tidak ada kebutuhan darurat, sekalipun hilang
kedua matanya (buta). Larangan ini berlaku malam dan siang.” (Al-
Muhalla, 10/63)
8
terlarang di sini adalah segala yang dinamakan wewangian dan tidak
ada perselisihan pendapat dalam hal ini.”
9
Batasan berhias atau tidak berhias kembalinya kepada ’urf (adat
kebiasaan) setiap zaman dan tempat. Sehingga tidak bisa diberi
ketentuan pakaian yang bentuknya bagaimana dan penampilan
bagaimana yang teranggap berhias.
ب َ ثَوْ بُ َعadalah kain bergaris dari Yaman yang diikat benang tenunnya
ٍ ص
kemudian dicelup, setelahnya ditenun dalam keadaan terikat. Hasilnya
berupa kain berwarna namun masih tersisa warna putih tidak terkena
celupannya Pada kain ini ada warna hitam dan putih.
10
Sama saja baik perhiasan itu dikenakan pada kedua telinga, pada
kepala, leher, tangan, kaki atau di atas dada, seluruh macam perhiasan
tidak boleh dikenakannya.
11
adalah laki-laki dan berbagai anggapan khurafat lainnya, merupakan
perkara yang tidak disyariatkan. Bahkan termasuk bid’ah bila si wanita
melakukannya dengan niat ta’abbud (beribadah). Demikian penjelasan
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.9
9
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat…., h. 345-349
12
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
13
Ihdad adalah kondisi wanita yang sedang menjalani masa iddahnya Karena
ditinggal mati oleh suaminya selama 4 bulan 10 hari, dimana ia harus menjauhi
apa saja yang mengarah kepada hubungan seksual dengannya atau tidak
mengenakan perhiasan apa saja yang menyebabkan laki-laki lain yang dapat
menyebabkan laki-laki lain tertarik melihatnya.
Banyak hal-hal yang tidak diperbolehkan bagi wanita yang dalam keadaan
berihdad seperti: bercelak mata, berhias diri, memakai farfum, keluar rumah
kecuali dalam keadaan terpaksa, memakai pakaian yang berwarna yang pada
intinya menjauhi perkara yang dapat menarik perhatian kaum lelaki kepadanya.
Tidak ada ihdad bagi laki-laki, ihdad hanya untuk wanita. Wanita yang
ditinggal mati oleh suaminya wajib berihdad, jika dia tidak hamil maka selama
empat bulan sepuluh hari, namun jika hamil ihdadnya hanya sampai melahirkan.
Dan hukum ihdad seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya adalah
wajib. Sedangkan ihdad untuk selain suami adalah mubah.
DAFTAR PUSTAKA
14
Ghazali, Abd Moqsith, ‘Iddah Dan Ihdad Dalam Islam:Pertimbangan Legal
Formal Dan Etik Moral.
Ali As-Shobuni, Muhammad, Rowangul Bayan, “Tafsirul Ayatil Ahkam
Minalqur’an,
Al-Imdad bi Ahkaamil Haddaad, Asy-Syaikh DR. Fayhan Syaali Al-
Mathiri,cet.Univ.Islam Madinah 1404H.
Sohari Sahrani,dan Tihami, Fikih Munakahat, (Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2009).
Hakim, Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000).
Hassan, Ahmad, Tarjamah Bulugh al-Amaram, (Bandung: CV Diponegoro,1991),
h. 585
As-Shababathi, Asham, Shahih Muslim bi Syarhi An-Nawawi, (Qahirah: Darul
Hadits, 1422 H/2001 M), juz 5
15