Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

FIQIH MUNAKAHAT
IHDAD

Dosen Pengampu : Hud Leo Perkasa Maki, M.H.I

Disusun Oleh : kelompok 5

1. Dwi Nurdianto (1602030074)


2. Eko Purwanto (1602030024)
3. Elly Dwi Audina (1602030055)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO

T.P 2017/2018
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah atas segala rizki yang Allah berikan pada kita, atas
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya dan
dalam keadaan tidak kurang suatu apapun.

Dalam pengerjaan makalah ini penulis menyampaikan terimakasih atas


segala bantuan yang telah diberikan. Penulis menyampaikan terima kasih kepada
Allah SWT yang telah memberikan rizki kepada kita serta kesehatan sehingga
tugas ini dapat terselesaikan.

Semoga isi makalah ini dapat menambah ilmu bagi pembaca dan dapat
dimafaatkan sebaik-baiknya. Dan dalam pengerjaan makalah ini kami tidak lepas
dari kesalahan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca.

Metro, O3 Oktober 2018

Kelompok 5

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................... i

KATA PENGANTAR.................................................................................. ii

DAFTAR ISI................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Ihdad..................................................................... 3
B. Dasar Hukum Ihdad................................................................ 4
C. Larangan Dan Anjuran Dalam Masa Ihdad............................ 7
1. Larangan dalam masa ihdad............................................. 7
2. Anjuran dalam masa ihdad............................................... 12

BAB III KESIMPULAN.............................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan sesuatu yang amat sakral dalam pandangan
Islam. Pernikahan juga merupakan salah satu sunnah Rasul yang harus di
jalani dalam mengarungi sebuah bahtera kehidupan serta menjadi suatu dasar
yang penting dalam memelihara kemashlahatan umum. Kalau tidak ada
pernikahan, maka manusia akan memperturutkan hawa nafsunya, yang pada
gilirannya dapat menimbulkan bencana dalam masyarakat. Pada dasarnya,
dua orang (laki-laki dan perempuan) melangsungkan pernikahan dan
membangun rumah tangga dengan tujuan untuk memperoleh kebahagian atau
dikenal dengan istilah membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahmah.
Akan tetapi, pada kenyataannya tidak semua rumah tangga yang terbentuk
melalui pernikahan dilimpahi kebahagiaan. Kadang ada saja masalah yang
menimbulkan perselisihan yang dapat berujung pada perceraian.
Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur segala hal tentang
kehidupan, termasuk pernikahan, perceraian ‘thalak’, ruju’, iddah, ihdad dan
sebagainya. Talak dapat dilaksanakan dalam keadaan yang sangat
membutuhkan, dan tidak ada jalan lain untuk mengadakan perbaikan. Hal ini
antara lain dibolehkan apabila suami istri sudah tidak dapat melakukan
kewajiban masing-masing sesuai dengan ketentuan agama, sehingga tujuan
rumah tangga yang pokok yaitu mencapai kehidupan rumah tangga yang
tenang dan bahagia sudah tidak tercapai lagi. Apalagi kalau rumah tangga itu
dapat mengakibatkan penderitaan-penderitaan dan perpecahan antara suami
istri tersebut, maka dalam keadaan demikian perceraian dapat dilaksanakan,
yaitu sebagai jalan keluar bagi segala penderitaan baik yang menimpa suami
atau istri.
Namun demikian, bagi wanita yang dicerai oleh suaminya, baik cerai
biasa atau cerai mati (ditinggal mati), tidaklah boleh langsung menikah lagi
dengan laki-laki lain, melainkan ia harus menunggu untuk sementara waktu
lebih dahulu.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Ihdad?
2. Apa dasar hukum ihdad
3. Apa saja larangan dan anjuran dalam masa ihdad?
C. Tujuan
1. Agar mengetahui tentang ihdad
2. Agar dapat mengetahui dasar hukum ihdad
3. Agar dapat mengetahui larangan dan anjuran dalam masa ihdad

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ihdad
Ihdad pada dasarnya adalah ihdad yang khusus pada kasus perceraian
karena kematian suami. Jadi, ihdad itu ‘iddah wafat, sebagai rasa berkabung
atas meninggalnya suami. Para ulama bahkan mewajibkan ihdad ini. Secara
etimologis ihdad berarti al-man’u artinya larangan, sedangkan secara
terminologis, meninggalkan wewangian, hiasan, bersolek bagi wanita yang
sedang ber’iddah wafat.

Menurut Abu Yahya Zakaria al-Anshary, ihdad berasal dari kata ahadda,
dan kadang-kadang bisa juga disebut al-hidad yang diambil dari kata hadda.
Secara etimologis (lighawi) ihdad berarti al-man’u (cegahan atau larangan).1

Abdul Mujeib dkk, ihdad adalah masa berkabung bagi seorang isteri yang
ditinggal mati suaminya. Maka tersebut adalah 4 bulan 10 hari disertai
dengan larangan-larangannya, antara lain: bercelak mata, berhias diri, keluar
rumah, kecuali dalam keadaan terpaksa.

Sayyid Abu Bakar al-Dimyathi.Ihdad adalah menahan diri dari bersolek


atau berhias pada badan.

Wahbah al-zuhaili.Ihdad ialah meninggalkan harum-haruman, perhiasan,


celak mata, dan minyak yang mengharumkan maupun yang tidak.Tetapi tidak
dilarang memperindah tempat tidur, karpet, gorden, dan alat-alat rumah
tangganya.Ia juga tidak dilarang duduk di atas kain sutera. Sedangkan

Pengertian Syarak, ihdad ialah meninggalkan pemakaian pakaian yang di


celup warna yang dimaksudkan untuk perhiasan, sekalipun pencelupan itu
dilakukan sebelum kain tersebut ditenun, atau kain itu menjadi kasar/ kesat
(setelah dicelup). Itulah sebagian pendapat-pendapat tentang pengertian ihdad

1
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2009), h.342

3
dan banyak lagi pengertian lainnya yang pada intinya sama yaitu
meninggalkan berdandan atau berhias diri.2

Sebelum Islam, kebiasaan ini telah ada, hanya saja aturannya sangat
memberatkan wanita. Masa berkabungnya saja satu tahun, selama waktu itu,
wanita bukan saja dilarang dandan dan memakai parfum, ia pun dilarang
bicara yang mempunyai terdensi ke arah kesenangan, semacam senda gurau.
Pakaian yang dipakai oleh wanita yang sedang berkabungpun tidak boleh
yang berwarna apalagi yang multi warna, kecuali hitam.3

Ihdad secara etimologi adalah larangan untuk berhias,sedangkan Ihdad


secara terminologi adalah larangan memakai wewangian atau berhias dengan
pakaian untuk mempercantik diri (anggota tubuh). Ibnu Katsir berkata
“Berkabung itu suatu ungkapan, yang intinya ialah: tidak berhias dengan
wangi-wangian dan tidak memakai pakaian dan perhiasan yang bisa menarik
laki-laki. Dan berkabung itu wajib atas perempuan yang kematian seorang
suami”.4

B. Dasar hukum ihdad

Ihdâd, dalam kitab-kitab kuning, selalu dinyatakan wajib dilakukan bagi


istri yang suaminya wafat dengan tujuan menyempurnakan penghormatan
terhadap suami dan memelihara haknya. Ihdâd disyari’atkan dalam ajaran
Islam berdasarkan firman Allah SWT dalam Surat al-Thalâq (65) ayat 1:

      


          
            
            
  

2
Ibid., h. 344
3
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 202
4
Muhammad Ali As-Shobuni, Rowangul Bayan, “Tafsirul Ayatil Ahkam
Minalqur’an,h.286

4
Artinya:

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah


kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya
(yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah
Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan
janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan
keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah
berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali
Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”.5

Selain itu, ihdâd juga didasarkan pada sabda Rasulullah SAW:

“seorang perempuan tidak boleh melakukan ihdâd lebih dari tiga hari,
kecuali atas kematian suaminya, maka ia melakukan ihdâd selama empat
bulan sepuluh hari…” (HR. al-Jama’ah kecuali al-Tirmidzi).

Masa berkabung (ihdad) bagi perempuan yang diatur oleh syari’at. 6


Perempuan berkabung atas kematian suaminya selama empat bulan sepuluh
hari, berdasarkan firman Allah SWT, yang berbunyi:

“Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan


isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (beriddah)
empat bulan sepuluh hari…”  (QS. al-Baqarah: 234)

Hadis dari Abu Rabi’ al-Zuhry

“Dari Abu Rabi’ al-Zuhry sesungguhnya aku dari Hammad dari  Ayyub dari
Hafshah dari Ummi Athiyyah dia berkata sesungguhnya  Rasulullah S.A.W
bersabda tidak boleh berkabung bagi seorang  perempuan atas satu mayit
lebih dari tiga malam kecuali atas suami (boleh) empat bulan sepuluh hari
dan janganlah memakai pakaian (yang dimaksudkan untuk perhiasan,
5
Abd Moqsith Ghazali, ‘Iddah Dan Ihdad Dalam Islam:Pertimbangan Legal Formal
Dan Etik Moral,h.150-151
6
Athif  Lamadhoh, Fikih Sunnah  Untuk  Remaja,  (Jakarta:  Cendekia
Sentra  Musliam, 2007), hal 258

5
sekalipun pencelupan itu dilakukan sebelum  kain  tersebut  ditenun, atau 
kain itu menjadi kasar/kesat (setelah dicelup).” dan janganlah bercelak,
memakai wangai-wangian  kecuail ia bersih dari qusth dan adzfar.” 7

Hadits dari Ummu Habibah ra,


Artinya: "Tidak boleh seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari
Akhir untuk berkabung atas kematian melebihi tiga hari, kecuali atas
kematian suaminya. (HR. Muslim)

Hadits dari Ummu ‘Athiyyah ra.


Artinya: diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyyah ra. Bahwa Rasulullah SAW.
bersabda, “Sesungguhnya wanita tidak boleh berkabung atas kematian
seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, maka
berkabung empat bulan sepuluh hari. Wanita tersebut tidak boleh
mengggunakan pakaian berwarna melainkan hanya pakaian yang kasar (tidak
memikat), tidak boleh memakai celak mata, dan tidak boleh memakai
wewangian, kecuali jika telah habis masa iddahnya.”8 (HR. An-Nasa’i)

C. Larangan dan AnjuranWanita Selama Dalam Masa Ihdad


1. Larangan Selama Masa Idah
1) Tidak boleh berihdad atas mayat lebih dari tiga hari kecuali bila yang
meninggal itu suami maka istrinya berihdad selama empat bulan
sepuluh hari.

Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha berkata:

7
Ahmad  Hassan, Tarjamah  Bulugh al-Amaram, (Bandung: CV
Diponegoro,1991), h. 585
8
Asham As-Shababathi, Shahih Muslim bi Syarhi An-Nawawi, (Qahirah: Darul
Hadits, 1422 H/2001 M), juz 5, hlm. 372.

6
“Kami dilarang berihdad atas mayat lebih dari tiga hari kecuali bila
yang meninggal itu suami maka istrinya berihdad selama empat bulan
sepuluh hari. Selama ihdad itu kami tidak boleh bercelak, tidak boleh
memakai wangi-wangian, dan tidak boleh mengenakan pakaian yang
dicelup kecuali pakaian ‘ashbin. Rasulullah memberikan rukhshah bagi
kami ketika suci dari haid, apabila salah seorang dari kami mandi suci
dari haidnya ia boleh memakai sedikit kustazhfar….” (HR. Al-Bukhari
no. 313, 5341 dan Muslim no. 3722)

Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: “Nabi Shallallahu


‘alaihi wa sallam bersabda:

“Wanita yang ditinggal mati suaminya tidak boleh mengenakan


pakaian yang mu’ashfar dan pakaian yang dicelup dengan tanah
berwarna merah (mumasysyaqah). Tidak boleh pula mengenakan
perhiasan, tidak boleh menyemir rambut (ataupun memacari kuku), dan
tidak boleh bercelak.” (HR. Abu Dawud no. 2304, dishahihkan Asy-
Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)

Ibnu Qudamah rahimahullahu menyebutkan ada tiga macam yang harus


dijauhi wanita yang berihdad.

Pertama: Bersolek/menghiasi dirinya seperti memakai pacar, memakai


kosmetik pada wajah, memakai itsmid (celak).

Kedua: Pakaian perhiasan seperti pakaian yang dicelup agar menjadi


indah misalnya mu’ashfar, muza’far, celupan berwarna merah, dan
seluruh warna yang memperindah pemakainya seperti biru, hijau, dan
kuning.
Ketiga: Perhiasan seluruhnya seperti cincin dan yang lainnya. Ibnu
Qudamah rahimahullahu berkata, “Perkataan ‘Atha` rahimahullahu,
‘Dibolehkan memakai perhiasan dari perak karena yang dilarang adalah
perhiasan dari emas’, tidaklah benar. Karena larangan yang disebutkan

7
dalam hadits sifatnya umum, dan juga perhiasan akan menambah
kebagusan si wanita dan memberi dorongan untuk menggaulinya.” (Al-
Mughni, Kitab Al-‘Idad, Fashl Ma Tajtanibuhul Haddah)

Wanita yang ber-ihdad tidak boleh memakai celak, minyak


wangi/wewangian, pakaian yang dicelup kecuali kain ashb, semir, pacar
kuku, pakaian yang dicelup dengan warna merah (mu’ashfar), dan yang
dicelup dengan tanah merah (mumasysyaqah) serta perhiasan.

2) Tidak boleh bercelak secara mutlak

Zainab bintu Abu Salamah mengabarkan dari ibunya, Ummul


Mukminin Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha:

“Datang seorang wanita menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa


sallam. Ia berkata, ”Wahai Rasulullah, suami putriku telah meninggal
dunia. Sementara putriku mengeluhkan rasa sakit pada matanya.
Apakah ia boleh mencelaki matanya?” ”Tidak,” jawab Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak dua atau tiga kali.” (HR. Al-
Bukhari no. 5336 dan Muslim no. 3709)

Ibnu Hazm rahimahullahu berkata:

“Wajib bagi wanita yang berihdad untuk tidak memakai celak baik
karena ada ataupun tidak ada kebutuhan darurat, sekalipun hilang
kedua matanya (buta). Larangan ini berlaku malam dan siang.” (Al-
Muhalla, 10/63)

3) Tidak Boleh Berwangi-wangian

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu berkata, “Dari ucapan Ummu


‘Athiyyah, ‘Kami tidak boleh memakai wewangian’ menunjukkan
haramnya minyak wangi bagi wanita yang sedang berihdad. Yang

8
terlarang di sini adalah segala yang dinamakan wewangian dan tidak
ada perselisihan pendapat dalam hal ini.”

Pengecualian yang disebutkan dalam hadits Ummu ‘Athiyyah adalah


ْ ‫ت َأ‬
ٍ َ‫ظف‬
‫ار‬ ِ ‫ ُك ْس‬  yakni semacam buhur/dupa/wewangian dan sebagian ulama
mengatakan, Azhfar adalah nama kota yang ada di Yaman. Ada pula
yang mengatakan nama buhur. Menggunakan buhur setelah mandi suci
dari haid dibolehkan karena tujuannya untuk menghilangkan bau yang
tidak sedap di sekitar daerah yang terkena darah haid, bukan tujuannya
untuk berwangi-wangi.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu menyatakan bahwa


hadits Ummu ‘Athiyyah di atas menjadi dalil dibolehkannya
menggunakan sesuatu yang dapat menghilangkan aroma tidak sedap
bila memang sifatnya bukan untuk berhias atau berwangi-wangi seperti
menggunakan minyak pada rambut kepala atau selainnya.

Al-Imam Malik rahimahullahu menyatakan bahwa wanita yang


ditinggal mati suaminya boleh berminyak dengan zaitun dan semisalnya
selama tidak mengandung minyak wangi.

4) Tidak boleh mempercantik diri dengan bersolek

Dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/720-721), Fadhilatusy Syaikh


Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu mengatakan bahwa
di antara yang dilarang bagi wanita yang berihdad adalah, “At-tahsin
yaitu mempercantik diri dengan memakai hina` (inai/daun pacar) atau
dengan bunga mawar, pemerah pipi/bibir, celak, atau yang lainnya. Apa
saja yang dapat mempercantik (anggota) tubuhnya, tidak boleh
dipakainya sampaipun membaguskan kuku dengan kutek misalnya. Apa
saja yang teranggap mempercantik dan memperbagus dirinya tidak
boleh dipakai/digunakannya (sampai selesai ihdadnya).”

9
Batasan berhias atau tidak berhias kembalinya kepada ’urf (adat
kebiasaan) setiap zaman dan tempat. Sehingga tidak bisa diberi
ketentuan pakaian yang bentuknya bagaimana dan penampilan
bagaimana yang teranggap berhias.

5) Tidak boleh berpakaian yang menarik / dicelup agar menjadi indah

Ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ummu


ْ ‫الَ ت َْلبِسُ ثَوْ بً[[[ا َم‬  merupakan dalil dilarangnya
‘Athiyyah di atas: ‫ص[[[بُوْ ًغا‬
seluruh pakaian yang dicelup dalam masa ihdad, dengan warna apa saja
terkecuali apa yang dikecualikan dalam hadits, yaitu ‫ب‬ َ ‫ثَ[[[وْ بُ ع‬.
ٍ [[[‫َص‬
Demikian yang dinyatakan Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu
dalam Subulus Salam (3/314).

‫ب‬ َ ‫ ثَوْ بُ َع‬adalah kain bergaris dari Yaman yang diikat benang tenunnya
ٍ ‫ص‬
kemudian dicelup, setelahnya ditenun dalam keadaan terikat. Hasilnya
berupa kain berwarna namun masih tersisa warna putih tidak terkena
celupannya Pada kain ini ada warna hitam dan putih.

Terkadang dari hadits di atas diambil pengertian bolehnya memakai


pakaian yang tidak dicelup dalam masa ihdad, yaitu pakaian yang
berwarna putih. Sebagian pengikut mazhab Malikiyah melarang
pakaian putih yang mahal yang digunakan untuk berpenampilan,
demikian pula warna hitam yang bagus.

6) Tidak boleh memakai perhiasan

Al-Imam Malik rahimahullahu berkata, “Wanita yang sedang berihdad


karena kematian suaminya tidak boleh mengenakan perhiasan
sedikitpun baik berupa cincin, gelang kaki atau yang selainnya.” (Al-
Muwaththa`, 2/599)

10
Sama saja baik perhiasan itu dikenakan pada kedua telinga, pada
kepala, leher, tangan, kaki atau di atas dada, seluruh macam perhiasan
tidak boleh dikenakannya.

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata, “Seluruh yang dipakai


wanita sebagai perhiasan dalam rangka mempercantik diri tidak boleh
dipakai oleh wanita yang sedang berihdad. Ulama dalam mazhab kami
tidak menyebutkan permata jauhar, yaqut, dan zamrud, namun
semuanya itu masuk dalam makna perhiasan. Wallahu a’lam.” (Al-
Jami’ li Ahkamil Qur`an 3/119)

Bagaimana bila Perhiasan Sudah Ada pada Tubuhnya Saat Suaminya


Meninggal?

Bila si wanita dalam keadaan berperhiasan saat suaminya meninggal


dunia maka ia harus melepaskannya, seperti gelang dan anting-anting.
Adapun bila ia memakai gigi emas (gigi palsu dari emas) dan tidak
mungkin dilepaskan maka tidak wajib baginya melepasnya, namun ia
upayakan untuk menyembunyikannya.

7) Tidak boleh keluar rumah kecuali keadaan mendesak/darurat

Dalam Majmu’ Fatawa (17/159), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah


rahimahullahu menjelaskan keharusan wanita yang berihdad untuk
tidak berhias dan memakai wewangian pada tubuh serta pakaiannya. Ia
harus berdiam dalam rumahnya, tidak boleh keluar di siang hari kecuali
ada kebutuhan dan tidak boleh pula keluar di waktu malam kecuali
darurat. Ia tidak boleh memakai perhiasan, tidak boleh mewarnai
rambut dan kukunya dengan inai atau selainnya.

Memakai busana hitam saat berkabung/menjalani masa ihdad, tidak


keluar ke teras/halaman rumah, tidak naik ke teras atas rumah (balkon),
tidak mau melihat bulan saat purnama dengan anggapan karena bulan

11
adalah laki-laki dan berbagai anggapan khurafat lainnya, merupakan
perkara yang tidak disyariatkan. Bahkan termasuk bid’ah bila si wanita
melakukannya dengan niat ta’abbud (beribadah). Demikian penjelasan
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.9

2. Yang Tidak Terlarang bagi Wanita yang Sedang Berihdad

1) Tidak dilarang memotong kuku


2) Tidak dilarang menyisir rambut karna tujuan untuk kebersihan bukan
karna bersias/mempercantik diri
3) Tidak dilaang memotong/mencukur rambut
4) Tidsk dilarang mandi dengan daun bidara
5) Tidak dilarang mencium aroma wewangian
6) Tidak dilarang berbicara dengan laki-laki sesuai keperluannya

Tidak dilarang baginya untuk memotong kuku, mencabut rambut ketiak,


mencukur rambut kemaluan, mandi dengan daun bidara, atau menyisir
rambut karena tujuannya untuk kebersihan bukan untuk
berwangi-wangi/berhias.

Demikian pula mencium minyak wangi karena bila sekedar mencium


tidaklah menempel pada tubuh. Sehingga bila seorang wanita yang sedang
berihdad ingin membeli minyak wangi, tidak menjadi masalah bila ia
menciumnya.

Tidak diharamkan baginya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mubah


dan dibolehkan pula baginya berbicara dengan laki-laki sesuai
keperluannya, selama ia berhijab. Demikianlah Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dilakukan oleh para wanita dari
kalangan sahabat apabila suami-suami mereka meninggal.

9
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat…., h. 345-349

12
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

13
Ihdad adalah kondisi wanita yang sedang menjalani masa iddahnya Karena
ditinggal mati oleh suaminya selama 4 bulan 10 hari, dimana ia harus menjauhi
apa saja yang mengarah kepada hubungan seksual dengannya atau tidak
mengenakan perhiasan apa saja yang menyebabkan laki-laki lain yang dapat
menyebabkan laki-laki lain tertarik melihatnya.

Banyak hal-hal yang tidak diperbolehkan bagi wanita yang dalam keadaan
berihdad seperti: bercelak mata, berhias diri, memakai farfum, keluar rumah
kecuali dalam keadaan terpaksa, memakai pakaian yang berwarna yang pada
intinya menjauhi perkara yang dapat menarik perhatian kaum lelaki kepadanya.

Tidak ada ihdad bagi laki-laki, ihdad hanya untuk wanita. Wanita yang
ditinggal mati oleh suaminya wajib berihdad, jika dia tidak hamil maka selama
empat bulan sepuluh hari, namun jika hamil ihdadnya hanya sampai melahirkan.
Dan hukum ihdad seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya adalah
wajib. Sedangkan ihdad untuk selain suami adalah mubah.

DAFTAR PUSTAKA

Lamadhoh, Athif, Fikih Sunnah Untuk Remaja, (Jakarta: Cendekia Sentra 


Musliam, 2007).

14
Ghazali, Abd Moqsith, ‘Iddah Dan Ihdad Dalam Islam:Pertimbangan Legal
Formal Dan Etik Moral.
Ali As-Shobuni, Muhammad, Rowangul Bayan, “Tafsirul Ayatil Ahkam
Minalqur’an,
Al-Imdad bi Ahkaamil Haddaad, Asy-Syaikh DR. Fayhan Syaali Al-
Mathiri,cet.Univ.Islam Madinah 1404H.
Sohari Sahrani,dan Tihami, Fikih Munakahat, (Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2009).
Hakim, Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000).
Hassan, Ahmad, Tarjamah Bulugh al-Amaram, (Bandung: CV Diponegoro,1991),
h. 585
As-Shababathi, Asham, Shahih Muslim bi Syarhi An-Nawawi, (Qahirah: Darul
Hadits, 1422 H/2001 M), juz 5

15

Anda mungkin juga menyukai