Anda di halaman 1dari 21

HAL-HAL YANG MENJADI LARANGAN UNTUK MENIKAH DALAM ISLAM

DAN PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN DALAM ISLAM

KELOMPOK 5:

1. Yosua Adifriend Laia 200200344


2. Muhammad Wira Abdi 200200439
3. Firman Deak Novelmen Silalahi 200200648
4. Atqiya Annazfi Lubis 200200649
5. Venny Nababan 200200651
6. Artha Panggabean 200200655
7. Muhammad Fadel Ananda 180200538

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS HUKUM
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan atas ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
segala nikmat serta karunia-Nya baik berupa nikmat iman, kesempatan, kesehatan sehingga,
tim penulis dapat menyusun makalah ini dengan demikian rupa agar kiranya dapat memberikan
manfaat yang baik bagi masyarakat umum maupun bagi tim penulis sendiri.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini dan
kepada seluruh pembaca yang menjadikannya sebagai bahan pembelajaran.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, kami tim penulis
memohon maaf apabila terdapat kesalahan. Kami juga berharap dari para pembaca agar kiranya
berkenan memberikan kritik dalam penyusunan makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
sebagai bahan dalam menambah wawasan pengetahuan.

Medan, 13 Oktober 2022

Kelompok V

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………...…………………………………………………i

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….ii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………..1

1.1 LATAR BELAKANG…………………………………….……………………...1


1.2 RUMUSAN MASALAH…………………………………………………………2
1.3 TUJUAN…………………………………………………………………………..2

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………..……….3

2.1 LARANGAN MENIKAH………………………………………………………..3


2.2 SIFAT-SIFAT YANG MENYEBABKAN LARANGAN MENIKAH………...3
2.3 SEBAB-SEBAB TERHALANG MENIKAH……………………………...……4
2.4 KELOMPOK ORANG YANG TERHALANG DINIKAHI…………………...7
2.5 PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN……………………..8
2.6 FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PENCEGAHAN DAN
PEMBATALAN PERKAWINAN……………………………………………….9
2.7 NIKAH BATHIL DAN NIKAH FASID………………………………………..14

BAB III PENUTUP………………………………………………………………………….17

KESIMPULAN……………………………………………………………………...17

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………….18

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal bedasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Oleh
karena itu perkawinan dalam agama Islam mempunyai nilai ibadah, sehingga pasal 2 Kompilasi
Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat mi>thaqan
gha>lid{an untuk menaati perintah Allah SWT, dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Tujuan perkawinan menurut perintah Allah SWT., adalah untuk memperoleh keturunan yang
sah dalam masyarakat dengan mendirikan rumah tangga ideal yang damai dan sejahtera dan
bahagia yang di dalam Islam sering disebut dengan keluarga sakinah mawaddah warrahmah
atau dapat dijelaskan secara terperinci adalah menghalalkan hubungan kelamin untuk
memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta
kasih, dan memperoleh keturunan yang sah.

Ketentuan pada Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yaitu “ perkawinan
harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai” maka perkawinan harus disetujui
oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak
manapun, karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk
keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, dengan demikian
pembatalan perkawinan berarti adanya putusan pengadilan yang menyatakan bahwa
perkawinan yang dilaksanakan adalah tidak sah. Pasal 22 UndangUndang Nomor 1 Tahun
1974, pada prinsipnya perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan. Batalnya perkawinan berarti bahwa perkawinan
tersebut dianggap tidak ada bahkan tidak pernah ada, dan suami isteri yang perkawinannya
dibatalkan dianggap tidak pernah kawin sebagai suami isteri dan diharamkan bagi mereka yang
perkawinannya telah dibatalkan untuk melakukan hubungan suami isteri. Pembatalan
perkawinan membawa akibat hukum baik terhadap status perkawinan yang pernah
dilaksanakannya, maupun harta perkawinan.

Secara sederhana pencegahan dapat diartikan dengan perbuatan menghalanghalangi,


merintangi, menahan, tidak menurutkan sehingga perkawinan tidak dilangsungkan.
Pencegahan perkawinan dilakukan semata-mata karena tidak terpenuhinya syarat-syarat

1
perkawinan tersebut. Akibatnya bisa saja perkawinan tersebut akan tertunda pelaksanaannya
atau tidak terjadi sama sekali.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu larangan menikah?
2. Bagaimana sifat-sifat yang menyebabkan larangan menikah?
3. Apa sebab-sebab terhalang menikah?
4. Siapa kelompok orang yang terhalang dinikahi?
5. Apa itu pencegahan dan pembatalan perkawinan?
6. Apa faktor penyebab terjadinya pencegahan dan pembatalan perkawinan?
7. Apa itu nikah bathil dan nikah fasid?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui tentang larangan menikah.
2. Untuk mengetahui sifat-sifat yang menyebabkan larangan menikah.
3. Untuk mengetahui sebab-sebab terhalang menikah.
4. Untuk mengetahui kelompok orang yang terhalang dinikahi.
5. Untuk mengetahui pencegahan dan pembatalan perkawinan.
6. Untuk mengetahui penyebab terjadinya pencegahan dan pembatalan perkawinan.
7. Untuk mengetahui apa itu nikah bathil dan nikah fasid.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Larangan Menikah

Larangan perkawinan telah diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Selanjutnya, dalam agama Islam terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam
yang diatur dalam Pasal 39 sampai Pasal 44. Larangan perkawinan atau “mahram” yang berarti
terlarang, “sesuatu yang terlarang” maksudnya yaitu perempuan yang terlarang untuk dikawini.
Larangan perkawinan yaitu perintah atau aturan yang melarang suatu perkawinan.1 Secara garis
besar, larangan kawin antara seoarng pria dan seorang wanita menurut syara‟ dibagi dua, yaitu
halangan abadi (al-tahrim al- muabbad) dan halangan sementara (al-tahrim al-mu‟aqqat).

2.2 Sifat-sifat Larangan Menikah

Ada 6 sifat yang merusak kaum wanita sehingga dianjurkan pada setiap lelaki agar tidak
mempersuntingnya atau menikahinya menjadi istri. Sifat apakah itu yang sangat merugikan
kaum wanita ini? Dalam kitab "Ihya 'Ulumuddin', Imam Al-Ghazali menyebutkan : ‫قَا َل بَ ْعض‬
َ َ‫ساء ستَّة لَ أَنَّانَةَ َولَ َمنَّانَةَ َولَ َحنَّانَةَ َولَ ت َ ْنكح ْوا َحدَّاقَةَ َولَ بَ َّراقَةَ َول‬
َ‫شدَّاقَة‬ َ ِّ‫" العَ َرب (لَ ت َ ْنكحوا منَ الن‬Sebagian orang
Arab berkata, janganlah menikahi enam wanita: annaanah, mannaanah, hannanah, haddaqah,
barroqoh, dan syaddaqah." Baca juga: Gambaran Kehidupan Wanita di Akhirat Kelak yang
Dilihat Rasulullah SAW dalam Perjalanan Isra Mi'raj Lantas, mengapa 6 sifat ini harus dijauhi
muslimah ? Apa alasannya? Berikut penjelasan Imam Al-Ghazali :

1. Sifat Al-Annaanah Wanita yang memiliki sifat ini, acap kali mengeluh dan mengadu.
Dia seperti membalut kepalanya dengan perban setiap waktu. Jika perempuan ini
dinikahi sama saja menikahi orang sakit atau orang yang pura-pura sakit, tidak ada
kebaikan bagi suami. Sedangkan mengadu sering merusak hubungan baik dengan
sesama, kerabat maupun sahabat. Menikahi wanita tipe ini membuat suami sulit
mencapai ketenangan dalam keluarga.
2. Sifat Al-Mannaanah Wanita dengan sifat ini, suka mengungkit-ungkit kebaikan dan
jasanya yang telah berlalu seperti sudah melakukan ini dan itu, baik ketika terjadi
problematika rumah tangga ataupun tidak. Menikahi wanita tipe ini membuat seorang
laki-laki terhambat menjalankan perannya sebagai pemimpin keluarga. Terlebih jika
secara ekonomi istri berkarir dan memiliki penghasilan lebih besar daripada suami.

1 Ali Ahmad al-Jurjawi, falsafah dan Hikmah Hukum Islam, (Semarang: Asy-Syifa, 1992), 256.

3
3. Sifat Al-Hannanah Ia adalah wanita yang suka menceritakan dan membanggakan orang
pada masa lalu. Misalnya membangga-banggakan mantan suaminya jika dia janda.
Membangga-banggakan ayahnya dan membandingkan dengan suaminya, jika dia
perawan. Bahkan mungkin membangga-banggakan saudaranya atau temannya di
hadapan suami tanpa menjaga perasaan suami.
4. Al-Haddaqah Wanita dengan sifat ini, selalu memandang tajam segala sesuatu dengan
biji matanya. Ia tertarik sehingga membebani suaminya dalam belanja. (Pendek kata, ia
boros dan konsumtif. Jika wanita-wanita tipe sebelumnya menguras emosi suami,
wanita tipe ini menguras kantong suami)
5. Al- Barroqoh Ada dua makna dalam hal ini. Pertama, ia adalah sifat wanita yang
sepanjang hari mengilapkan wajahnya, berhias diri, supaya wajahnya berkilau, bersinar,
dan itu dibuat-buat. Kedua, ia adalah tipe perempuan yang sering marah pada makanan,
ia tidaklah makan kecuali sendirian, kalau makan pun hanyalah sedikit. Ini adalah kosa
kata Yamaniyah. Mereka menyebut istilah ini untuk anak kecil yang marah ketika
makan.
6. Asy-Syaddaqah Secara bahasa artinya: lebar sudut mulutnya (suka nyinyir). Ia adalah
tipe wanita yang banyak bicara, dalam hadis disebutkan, “Allah membenci orang
tsartsarin (banyak cakap) mutasyaddaqin (banyak bicara).” Tentu dalam hal ini adalah
membicarakan sesuatu yang tak penting dan menjurus pada perbuatan ghibah, dan
perbuatan dosa lisan lainnya.
2.3 Sebab-sebab Terhalang Menikah
Para ulama klasik sepakat bahwa yang dimaksud larangan perkawinan adalah larangan
untuk kawin antara seorang lelaki dengan wanita, menurut syara‟ larangan terbagi dua yaitu
halangan abadi (haram ta‟bid) dan halangan sementara (haram gairu ta‟bid)
1. Mahram ta‟bid adalah orang-orang yang selamanya haram menikah. Larangan yang
disepakati ada tiga, yaitu:
a. Nasab (keturunan), menurut perspektif fiqh, wanita yang haram dinikahi selamanya
seperti :
1) Ibu kandung
2) Anak perempuan kandung
3) Saudara perempuan baik seayah seibu, seayah saja
4) Bibi
5) Kemenakan, (keponakan) perempuan

4
Menurut UU NO. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 8 2, bahwa perkawinan
dilarang antara dua orang yang :
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau pun keatas
2) Bergaris keturunan menyamping antara saudara dengan saudara orang tua dan
antara orang tua dengan saudara nenknya.

Sedangkan dalam KHI Bab IV tentang larangan perkawinan pasal 39 menyebutkan


bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antra seorang pria dengan seorang
wanita disebabkan karena pertalian nasab dengan orang yang melahirkan atau yang
menurunkan keturunan dan dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu, serta
dengan wanita saudara yang melahirkannya.3

Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa nasab menjadi keharaman dalam
perkawinan, hal ini relevan dengan UU Perkawinan dan KHI, hal ini menjadi
maqasid al-syariah yaitu menjaga nasab, menjaga diri memeikirkan syahwat
terhadap perempuan perempuan yang diharamkannya.
2. Persusuan, (radha‟ah), menurut pandangan para ulama, bahwa larangan kawin karena
hubungan sesusuan adalah sampainya air susu wanita kedalam perut anak yang belum
mencapai usia dua tahun Hijriah dengan metode tertentu.
Hubungan sesuan yang diharamkan adalah:
1) Ibu sesusuan
2) Nenek sesusuan
3) Bibi sesusuan
4) Kemenakan susuan perempuan
5) Saudara susuan perempuan
Di dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 8 huruf d, dijelaskan bahwa
perkawinan dilarang antara dua orang yang berhubungan susuan yaitu orang tua susuan,
anak susuan dan bibi/ paman susuan.
Sedangkan dalam KHI pasal 39 ayat 3 dijelaskan pula tentang larangan
perkawinan karena persusuan yang dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan
perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan karena pertalian
susuan.

2 Syarifudin, amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antar Fiqih Munakahat Dan
Undang-Undang Perkawinan. Jakarta : Prenada Media
3 M. Ali. Hasan. 2003. Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam. Jakarta: Prenada Media

5
Dari uraian di atas dapat di pahami bahwa UU Perkawinan dan KHI relevan dengan
fiqih klasik, hanya saja dalam UU perkawinan dan KHI tidak secara detail membahas
tentang jumlah persusuan, ttapi membahas secara umum tentang keharaman
perkawinan karena nasab.
3. Wanita yang haram dinikahi karena hubungan masarahah atau perkawinan kerabat
semenda, disebutkan dalam surat An Nisa ayat 23. Dengan arti dari isinya yaitu:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan,saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri
yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan
sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan
bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa
lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Dilihat dari ayat tersebut yaitu :
a) Mertua perempuan, nenek perempuan istri dan seterusnya ke atas, baik bagi garis
ibu atau ayah.
b) Anak tiri, dengan syarat kalau telah terjadi hubungan kelamin dngan ibu anak
tersebut.
c) Menantu, yakni istri anak, istri cucu dan seterusnya kebawah
d) Ibu tiri, yakni bekas istri ayah Persoalan musaharah ini adalah disebabkan karena
semata-mata akad yang sah, atau juga dikarenakan perzinaan.Imam syafi‟i
berpendapat bahwa larangan perkawinan karena musaharah hanya disebabkan
semata-mata akad saj, tidak karena perzinaan. Sedangkan Iman Hanafi
berpendapat bahwa larngan perkawinan karena musaharah, disebabkan karena
akad dan perzinaan.
Para Imam Madzhab sepakat apabila ibu dari seorang perempuan yang dinikahi
dan telah dicampuri, maka anak perempuan itu tidak boleh dinikahi oleh orang
yang menikahi ibunya, meskipun anak perempuan itu tidak berada dalam
asuhannya. Daud berkata: Jika anak perempuan tersebut tidak berada dibawah
kekuasaannya maka ia boleh dinikahi .Keharaman perempuan musaharah, yaitu
6
mahram karena hubungan perbesanan, bergantung pada terjadinya percampuran
pada kemaluannya, tapi dengan dorongan syahwat. Menurut Imam Hanafi, hal
demikian dapat mengakibatkan keharamannya. Bahkan menurutnya, melihat
kemaluan sama dengan bercampur dalam hal keharaman mengawini musaharah.
4. Haram gairu ta‟bid, maksutnya adalah orang yang haram di nikahkan untuk masa
tertentu (selama masih ada hal hal yang mengharamkan) dan satu hal yang menjadi
penghalang sudah tidak ada. Maka halal untuk dikawini. Seperti pertalian mahram
antara laki laki dengan perempuan iparnya (saudara perempuan istri), antara laki laki
dengan bibi istri dan seterusnya. Wanita-wanita yang haram dinikah tidak untuk
selamanya (bersifat sementara) yaitu :
a) Halangan bilangan, yaitu mengawini wanita lebih dari empat. Para ulama sepakat
mengaharamkan hal tersebut. Apabila ada orang yang baru masuk islam
mempunyai istri lebih dari empat orang, maka harus memilih empat orang di
antara mereka untuk djadikan istri tetapnya. Jika di antara istri-istri ada yang
bersaudara (kakak-beradik), maka harus menceraikan salah satunya, demikiaan
menurut imam maliki, imam syafa‟i dan imam hambali. Imam hambali
berpendapat, jika pernikahan lebih dari empat istri tersebu terjadi dalam satu
keadaan, maka akad pernikahannya batal. Sedangkan jika terjadi dalam bebrapa
akad, maka sah pernikahannya dengan empat orang istri yang pertama. Dalam UU
Perkawinan Bab VIII Pasal 60 tentang peistrian lebih dari empat, dijelaskan bahwa
seorang suami yang bermaksud beristri lebih dari seorang maka wajib mengajukan
permohonan secara tertulis kepda pengadilan.
b) Halangan mengumpulkan, adalah dua orang perempuan bersaudara haram
dikawini oleh seorang laki-laki dalam waktu bersamaan.
c) Keharaman mengumpulkan dua wanita dalam satu waktu perkawinan berdasarkan
surat An-Nisa ayat 23.
d) Halangan kafir, adalah wanita musryik yang haram dinikahi. Maksudnya adalah
wanita menyembah selain Allah SWT dan tidak halal dan sah pernikahan seorang
muslim dengan seorang kafir.
2.4 Kelompok Orang yang Terhalang Dinikahi
1. Laki-laki dengan wanita karena pertalian darah atau nasab pasangan yang
menurunkannya
2. Dengan keturunan wanita ayah atau ibu
3. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya
7
4. Pertalian perkawinan atau kerabat atau semenda
5. Karena pertalian persusuan
6. Karena keadaan tertentu misalnya wanita masih terikat perkawinan atau dalam masa
tunggu atau iddah setelah ditalak atau ditinggal mati oleh suami.
7. Larangan memadu isteri dengan wanita yang memiliki hubungan darah dengan
isterinya
8. Larangan melangsungkan perkawinan apabila pria terikat perkawinan dengan lebih
dari seorang isteri
9. Larangan seorang pria menikahi bekas isterinya yang telah ditalak tiga kali dengan
tuduhan sumpah atau dili’an
2.5 Pencegahan dan pembatalan perkawinan
a. Pencegahan Perkawinan
Pencegahan perkawinan diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal 13 yang
bunyinya: Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan. Tidak memenuhi persyaratan seperti yang
dimaksud di dalam ayat di atas mengacu kepada dua hal: syarat administratif dan syarat
materiil. Syarat administratif berhubungan dengan administrasi perkawinan
sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian yang membahas tentang tata cara
perkawinan. Adapun syarat materiil menyangkut hal-hal mendasar seperti larangan
perkawinan.4
Dalam Pasal 60 Kompilasi Hukum Islam, pencegahan perkawinan bertujuan untuk
menghindari suatu perkara yang dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-
undangan.5 Pada Pasal 62 ayat 1, yang dapat mencegah perkawinan adalah keluarga
dalam garis keturunan lurus ke atas dan lurus ke bawah, saudara, wali nikah, wali
pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan.6
b. Pembatalan Perkawinan

Dalam hukum Islam hanya dikenal perkawinan yang sah dan tidak sah. Perkawinan
yang tidak sah dianggap perkawinan itu tidak pernah ada, sedangkan yang sah hanya
mungkin putus karena kematian, talak, khulu’ pelanggaran taklik talak, dan fasakh.
Istilah fasakh secara bahasa, menurut pendapat Ibnu Mundzir dalam Lisanul’ arab

4 Brenda Carundeng, Kajian tentang Poligami dalam Perspektif Hukum Islam, Lex Priatum Vol. V/
No.2 (2017), hlm. 108
5 Pasal 60 Kompilasi Hukum Islam
6 Pasal 62 Kompilasi Hukum Islam

8
menyatakan pembatalan perkawinan dengan istilah fasakh yang berarti batal atau
bubar.

Sedang secara istilah pembatalan perkawinan atau fasakh adalah lepas atau batalnya
ikatan perkawinan antara suami dan istri, adakalanya disebabkan hal-hal yang
mendatang yang menyebabkan aqad nikah tersebut tidak dapat dilanjutkan.
Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah
dilangsungkan aqad nikah.
Dalam Bab VI pasal 37 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan
UU No. 1 tahun 1974 disebutkan bahwa “Batalnya suatu perkawinan hanya dapat
diputuskan oleh pengadilan. Dalam pasal tersebut dapat dimengerti bahwa pengertian
pembatalan perkawinan adalah perkawinan yang batal karena sebab-sebab tertentu
yang pembatalannya harus diajukan ke pengadilan dan harus melalui keputusan
Pengadilan.
Sedangkan pada UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 22 dinyatakan
dengan tegas bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Di dalam penjelasannya kata
“dapat” dalam pasal ini bisa diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana
menurut ketentuan agama masing-masing tidak menentukan lain. Perkawinan dapat
dibatalkan berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu dibatalkan karena adanya
pelanggaran terhadap aturan-aturan tertentu.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga tidak diberikan secara rinci mengenai
pembatalan perkawinan, akan tetapi dari penjelasan-penjelasan yang terdapat dalam
Bab XI pasal 70 KHI, dapat disimpulkan bahwa pembatalan perkawinan adalah
batalnya suatu perkawinan yang penyebab batalnya baru diketahui atau baru terjadi
setelah perkawinan tersebut sah diakui menurut hukum agama Islam maupun oleh
hukum Negara Indonesia.7
2.6 Faktor penyebab terjadinya pencegahan dan pembatalan perkawinan

Perkawinan adalah suatu hal yang sakral dan religius sehingga tidak da[at dipermainkan
apalagi dilakukan pembatalan dengan mudah. Sebab pada dasar nya perkawinan adalah
perjanjian yang mengikat pria dan wanita dimulai semenjak akad nikah dilakukan hingga
dipisahkan oleh maut. Terlebih lagi perkawinan tidak hanya menghubungkan antar kedua

7 Ahmad Supandi Patampari, Konsekuensi Hukum Pembatalan Perkawinan Menurut Hukum Islam,

Al-Syakhshiyyah: Jurnal Hukum Keluarga Islam dan Kekeluargaan Vol. 2 (2020), hlm. 89-90

9
mempelai melainkan juga menghubungkan keluarga besar kedua belah pihak,ssehingga
sebenarnya tidak lah etis apabila terjadi pembatalan perkawinan.

Oleh karena itu dipandang bahwa pencegahan pernikahan diperlukan agar tidak terjadi nya
pembatalan pernikahan di kemudian hari. Langka pencegahan ini diperuntukan kepada setiap
orang baik yang belum menikah maupuan mereka yang sudah menikah,sebab tidak jarang
orang orang yang sudah terikat suatu perkawinan pun dapat terjerat pembatalan perkawinan
akibat tindakan nya kawin untuk yang kedua kalinya.

a. Faktor Penyebab terjadinya pencegahan perkawinan

Dalam kompilasi hukum islam pada pasal 60 ayat (1) dijelaskan bahwa tujuan dilakukan
nya pencegahan perkawinan adalah untuk menghindari perkawinan yang dilarang oleh hukum
islam dan peraturan perundang undangan. Ini berarti bahwa pencegahan perkawinan di lakukan
agar tidak terjadi perkawinan yang salah baik dimata hukum islam maupun dimata perundang
undangan. Berikut faktor faktor yang menyebabkan terjadinya pencegahan perkawinan.

1. Adanya perkawinan yang dilarang oleh hukum islam dan perundang undangan.

Sesuai ada pasal 60 ayat (1) Kompilasi Hukum islam,dijelaskan bahwa pencegahan
perkawinan adalah unutk menghindari perkawinan yang dilarang oleh hukum islam dan
perundang undangan,secara sederhana dapat kita pahami bahwa sebelum pasal ini dibuat
tellah banyak kasus perkawinan yang melanggar hukum islam dan perundang undangan.
Oleh sebab itu lahirlah terminologi pencegahan perkawinan agar tidak adaanya suatu
perkawinan yang melanggar baik hukum islam maupun perundang undangan.

Perkawinan yang dilarang oleh hukum islam maupun perundang undangan,berdampak


buruk kepada kehidupan kedua mempelai maupun kedua keluarga mempelai,secara
sosiaologis akan terjadi penolakan terhadap kedua mempelai maupun kedua keluarga
mempelai. Dampak dampak yang timbul pada akhirnya juga akan berimplikasi kepada
penataan dan perjalanan kelurga tersebut,sehingga yang terjadi adalah kehidupan keluarga
yag tidak harmonis dan tidak baik. Sehingga sebenarnya diperlukan pencegahan perkawinan
agar dapat terhindar dari hal hal tersebut.

2. Terjadi pembatalan perkawinan

Faktor yang kedua yang menyebabkan terjadinya pencegahan perkawinan adalah


karena seringnya terjadi pembatalan perkawinan. Secara hemat saya tidak ada seorang pun

10
yang ingin agar perkawinan dibatalkan,namun tidak jarang dalam prakteknya terjadi
pembatalan perkawinan karena berbagai faktor dan berbagai hal. Mengingat bahwa suatu
perkawinan adalah hal yang sakral dan religius maka tidak etis sutu perkawinan dapat
dibatalkan dengan mudah.

Oleh karena nya diperlukan pencegahan perkawinan agar dapat terhidar dari
permbatalan perkawinan. Lebih lanjut pencegahan perkawinan dilakukan agar dapat
terhindar dari hal hal yang tidak kita inginkan sehingga yang tercipta hanyalah keluarga
yang baik dan sesuai dengan norma norma yang berlaku

3. Apabila Calon suami atau Istri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi
syarat
Faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya pencegahan perkawinan adalah apabila
salah satu dari mempelai tidak memenuhi syarat. Hal ini diatur dalam pasl 60 Ayat (2)
Kompilasi Hukum Islam,yang menjelaskan bahwa yang tidak dipenuhi adalah syarat
perkwainan secar hukum Islam dan Perundang Undangan. Dalam hal ini dijelaskan
terjadinya pencegahan perkwinan harus salah satu dari mempelai tidak memenuhi
syarat,tidak dijelaskan apabila kedua mempelai sama sama tidak memnuhi syarat.
Setidaknya diantara mempelai harus ada yang tidak memenuhi syarat perkawinan sehingga
dapat terjadi perbatalan perkawinan

Tidak memenuhi persyaratan seperti yang dimaksud didalam ayat diatas mengacu
kepada dua hal yaitu syarat administratif dan syarat materiil. Syarat administratif
berhubungan dengan administratif perkawinan pada bagian tata cara perkawinan. Adapun
syarat materiil menyangkut hal-hal mendasar seperti larangan perkawinan.8
4. Salah satu dari mempelai masih terikat dengan perkawinan.
Dalam pasal 63 Kompilasi Hukum Islam secara tegas dinyatakan bahwa suami atau istri
yang masih terikat perkawinan dapat melakukan pencegahan perkawinan dilangsungkan
nya perkawinan dengan calon mempelai wanita atau pria lainya. Secara sederhana dapat kita
pahami bahwa pencegahan perkawinan dapat terjadi karena seseorang tersebut masih terikat
perkawinan dengan seseorang atau tidak dizinkan nya suami berpoligami oleh istri

8 Mukmin Mukri,” PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN”, Vol. 13, No. 2, Desember

2020,hal 104

11
Dalam hal ini seorang suami dikecualikan dikenai percegahan perkawinan apabila istri sah
secara sadar dan tanpa paksaan memberikan dispensasi atau izin kepada suami untuk
berpoligami. Artinya meskipun Ajran Islam membenarkan poligami namun poligami yang
dianggap benar dan sah apabila suami telah diberikan izin oleh istri sah. Hal ini juga yang
mengakibatkan pencegahan perkawinan terhadap suami dapat di kecualikan.
b. Faktor terjadinya pembatalan perkawinan

Pada dasarnya terdapat dua unsur yang mempengaruhi terjadinya fasid atau batalnya
perkawinan, kedua unsur tersebut adalah syarat dan rukun. Syarat perkawinan adalah sesuatu
yang ada dalam perkawinan, hanya saja jika salah satu dari syarat-syarat perkawinan tidak
terpenuhi maka perkawinan itu menjadi tidak sah (batal) demi hukum. Syarat sah nikah adalah
hakikat dari perkawinan itu sendiri. Sah atau tidak sah yangdimaksud di sini adalah,
terpenuhinya segala rukun dan syarat dalam suatu ibadah.

Menurut istilah ushul fiqh, kata sah digunakan kepada suatu ibadah atau akad yang
dilaksanakan dengan melengkapi syarat dan rukunnya. Sebagaimana makna asal dari kata sah,
yaitu sesuatu dalam kondisi baik dan tidak cacat. Ibadah shalat misalnya, dikatakan sah
bilamana dilaksanakan secara lengkap syarat dan rukunnya. Demikian pula akad perkawinan,
dapat dikatakan sah apabila melengkapi syarat dan rukun perkawinan itu sendiri. Sedangkan
tidak sah (fasid) atau batal, merupakan lawan dari sah, yang berarti tidak
memenuhi/melengkapi syarat dan rukun suatu ibadah atau akad.

Jadi, tanpa adanya salah satu rukunnya maka perkawinan itu tidak mungkin dapat
dilaksanakan, hal ini berarti jika suatu perkawinan dilakukan tanpa unsur pokoknya yaitu syarat
dan rukun perkawinan maka akan batal menurut hukum, karena rukun merupakan pokok,
sedangkan syarat merupakan pelengkap dalam suatu perbuatan hukum. Rukun dan syarat
perkawinan telah ditentukan menurut hukum syara’ di mana seorang mukallaf tidak boleh
menggantungkan suatu akad perkawinan kepada rukun dan syarat yang dia kehendaki. Adapun
rukun dan syarat perkawinan menurut kebanyakan para ulama’ diantaranya adalah sebagai
berikut:

1. Bahwa pernikahan baru dianggap sah jika dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab
dan qabul antara wanita yang dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau antara
pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali, dan dianggap tidak sah hanya
semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa adanya akad.

12
2. Syarat bagi kedua belah pihak yang melakukan nikah adalah baligh dan berakal,
kecuali jika dilakukan oleh wali mempelai, terlepas dari keadaan-keadaan yang
membuat mereka dilarang kawin, baik karena hubungan keluarga maupun hubungan
yang lainnya, harus pasti dan tentu orangnya.
3. Saksi minimal terdiri dari dua orang laki laki.

Ada beberapa hal yang membuat akad nikah menjadi batal, bilamana salah satu dari
beberapa hal di bawah ini terdapat pada suatu pernikahan, akad nikah itu dianggap batal.
a. Nikah syigar.
b. Nikah mut'ah. Yaitu nikah kontrak sementara waktu sampai waktu yang ditentukan
menurut kesepakatan.
c. Nikah mukhrim. Yaitu pernikahan yang dilaksanakan dimana dua calon suami isteri atau
salah satunya sedang dalam keadaan ihram baik untuk melaksanakan haji maupun untuk
melaksanakan umrah.
d. Nikah dua orang laki-laki dengan seorang perempuan yang dinikahkan dengan dua orang
wali yang berjauhan tempat.
e. Nikah wanita yang sedang beriddah.
f. Nikah laki-laki muslim dengan wanita non Islam.
g. Nikah wanita muslimah dengan laki-laki non muslim.

Selain itu dalam Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa suatu perkawinan
dapat dibatalkan apabila:

a. Seorang suami melakukan poligami tanpa seijin Pengadilan Agama.


b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri orang lain
yang mafqud .
c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain.
d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal
7 UU. No. 2 tahun 1974.
e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.
f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan. 9

9 Mukmin Mukri, SHI.,M.Sy.”Pencegahan dan pembatalan Perawinan,Jurnal Persepektif,hal 107

13
2.7 Nikah bathil dan nikah fasid

Dalam membicarakan jenis perkawinan yang dapat dibatalkan, Kompilasi Hukum Islam
lebih sistematis daripada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam
memuat masalah pembatalan nikah ini. Sementara pengertian tentang pembatalan nikah
dikaitkan dengan nikah fasid dan nikah bathil. Nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi
salah satu dari syarat-syarat nikah yang diatur dalam syariat Islam, sedangkan nikah bathil yaitu
per- kawinan yang tidak memenuhi rukun nikah yang ditetapkan dalam syariat Islam.

Nikahul fasid terdiri dari dua kata yaitu “nikah” dan “fasid”. Pengertian nikah secara
harfiah sebagaimana yang tersebut dalam fikih syafi’i adalah “ berkumpul atau bercampur
“ tetapi menurut pengertian para fuqaha adalah “wathi” sedangkan arti majazi adalah “aqad”.
Menurut para fuqaha, secara harfiah nikah adalah ijab qabul sehingga dengannya
membolehkannya atau menghalalkan bercampurnya pria dan wanita sesuai dengan ketentuan
dan surat an-nisa ayat 3 : “nikahilah olehmu wanita yang baik menurut pendapatmu, boleh dua
atau tiga atau empat orang”. Sedangkan pengertian fasid adalah “yang Rusak”. Sebagai lawan
dari AsShaleh yang berarti dengan demikian nikah fasid adalah “pernikahan yang rusak” dan
lawannya adalah nikahul shaleh adalah “pernikahan yang baik”. Para fuqaha juga memberikan
pengertian nikah fasid dengan nikah bathil. Menurut Al-Jaziri yang dimaksud dengan nikah
Fasid adalah nikah tidak memenuhi syarat-syarat syahnya untuk melaksanakan pernikahan,
sedangkan nikah bathil adalah nikah yang memenuhi rukun nikah yang telah ditetapkan oleh
syara’.10 Meskipun kedua hal terakhir ini menjadi ikhtilaf para ulama dan para ahli hukum
Islam, tetapi kedua hal ini nuansanya tidak bisa dipisahkan dan sangat sulit dibedakan di antara
keduanya. Nikahul bathil adalah pernikahan yang dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan
seorang wanita tetapi rukun nikah yang ditetapkan syara' tidak terpenuhi, sedangkan nikah
fasid adalah nikah yang dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan wanita tetapi syarat-syarat
yang ditetapkan oleh syara' tidak terpenuhi. Oleh karena itu, pada dasarnya hukum kedua
pernikahan tersebut adalah tidak sah dan harus dibatalkan.

Para ahli hukum Islam di kalangan mazhab Maliki berpendapat bahwa nikahul fasid ada
dua bentuk, yaitu

(1) yang disepakati oleh para ahli hukum Islam, nikah fasid model ini seperti menikahi wanita
yang haram dinikahinya baik karena nasab, susuan, atau menikahi istri kelima sedangkan

10 Deni Rahmatillah & A.N Khofify, Konsep Pembatalan Perkawinan Dalam Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1947 Dan Kompilasi Hukum Islam, Vol 17 No 2, Hukum Islam, 2017, hal 153-154

14
istri yang keempat masih dalam iddah, nikah seperti ini harus difasidkan bukan talak dan
tanpa mahar baik dukhul maupun belum dukhul,
(2) yang tidak disepakati oleh para ahli hukum Islam seperti nikah sewaktu ihram, menurut
ahli hukum di kalangan Malikiyah pernikahan itu harus difasidkan, tetapi para ahli di
kalang- an mazhab Hanafiyah pernikahan itu adalah sah. Demikian pula nikah yang syiqor,
harus difasidkan menurut para ahli hukum Islam di kalangan Malikiyah, tetapi menurut
para ahli hukum Islam di kalangan mazhab Hanafiyah apabila pernikahan sudah
berlangsung, maka pernikahan itu sah. Juga perkawinan yang termasuk dalam kategori
nikahus sirri, nikah maskawin yang rusak atau yang rusak akad perkawinannya haruslah
difasidkan, tetapi ada yang berpendapat bahwa pernikahan itu tidak harus difasidkan.

Sedangkan menurut ahli hukum Islam di kalangan mazhab Syafi'iyah, nikahul fasid dapat
terjadi dalam bentuk

(1) pernikahan yang dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi
wanita tersebut dalam masa iddah laki-laki yang lain;
(2) pernikahan yang dilaksanakan dalam masa istibro' karena wathi syubhat
(3) pernikahan yang dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang wanita tetapi
perempuan tersebut diragukan iddah-nya karena ada tanda-tanda kehamilan; dan (4)
menikahi perempuan watsani dan perempuan yang murtad, yang dua terakhir ini batil
karena adanya syarat keislaman.11

Adapun contoh dari nikah batil ialah pernikahan yang dilakukan tanpa kehadiran dari
seorang wali baik wali nasab maupun wali hakim yang mewakili. Pernikahan yang dilakukan
dengan dasar penipuan yakni memalsukan identitas diri, mengaku dirinya masih
lajang padahal masih terikat pernikahan dengan orang lain, atau memiliki suatu aib yang
disembunyikan dari calon pasangannya maka hal ini dapat juga dikategorikan sebagai nikah
fasid. Pernikahan yang dianggap sah adalah pernikahan yang dilaksanakan menurut hukum
masing-masing agama dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.12

Menurut ketentuan hukum Islam, siapa yang melihat dan mengetahui akan adanya seorang
berkehendak untuk melangsungkan pernikahan, padahal diketahui bahwa pernikahan cacat
hukum karena kurangnya rukun atau syarat yang ditentukan, maka pernikahan tersebut wajib

11Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PRENADAMEDIA
GROUP: 2017), hal 43
12 Abdul Rahim, Implementasi Nikah Fasid dan Nikah Batil, Vol 4 No 1, Hukum Islam, 2017, hal

116

15
dicegahnya sehingga perkawinan itu tidak jadi dilaksanakannya. Jika mengetahui setelah akad
nikah dilaksanakan, maka wajib mengajukan pembatalan kepada instansi yang berwenang.
Pembatalan perkawinan berlaku terhadap segala bentuk perkawinan yang tidak sah, baik yang
bersifat nikah bathil, maupun yang bersifat nikah fasid, baik sebelum terjadi persetubuhan
maupun sesudah terjadi persetubuhan. Agar tidak terjadi wathi' syubhat antara suami istri yang
melaksanakan perkawinan yang tidak sah itu, maka seketika diketahui perkawinan tersebut
adanya cacat hukum, kepada suami istri tersebut dilarang berkumpul lebih dahulu sambil
menunggu penyelesaian perkaranya diselesaikan oleh pihak yang berwenang.13

13
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP: 2017),
hal 43

16
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Larangan perkawinan atau “mahram” yang berarti terlarang atau dapat disebut
“sesuatu yang terlarang” maksudnya yaitu perempuan yang terlarang untuk dikawini.
Larangan perkawinan yaitu perintah atau aturan yang melarang suatu perkawinan sesuai
dalam Kompilasi Hukum Islam yang diatur dalam Pasal 39 sampai Pasal 44.

Ada 6 sifat yang merusak kaum wanita sehingga dianjurkan pada setiap lelaki agar
tidak mempersuntingnya atau menikahinya menjadi yaitu sifat Al-Annaanah, Al-Mannaanah,
Al-Hannanah, Al-Haddaqah, Al- Barroqoh, dan Asy-Syaddaqah

Sebab-sebab Larangan yang disepakati ada tiga, yaitu: nasab (keturunan), persusuan
(radha'ah), wanita yang haram dinikahi karena hubungan masarahah atau perkawinan kerabat
semenda, dan haram gairu ta'bid

Oleh karena itu dipandang bahwa pencegahan pernikahan diperlukan agar tidak
terjadi nya pembatalan pernikahan di kemudian hari. Langka pencegahan ini diperuntukan
kepada setiap orang baik yang belum menikah maupuan mereka yang sudah menikah,sebab
tidak jarang orang orang yang sudah terikat suatu perkawinan pun dapat terjerat pembatalan
perkawinan akibat tindakan nya kawin untuk yang kedua kalinya.

17
DAFTAR PUSTAKA

Ali Ahmad al-Jurjawi, falsafah dan Hikmah Hukum Islam, (Semarang: Asy-Syifa, 1992), 256.

Syarifudin, amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antar Fiqih Munakahat Dan
Undang-Undang Perkawinan. Jakarta : Prenada Media

M. Ali. Hasan. 2003. Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam. Jakarta: Prenada Media

Brenda Carundeng, Kajian tentang Poligami dalam Perspektif Hukum Islam, Lex Priatum Vol.
V/ No.2 (2017), hlm. 108

Ahmad Supandi Patampari, Konsekuensi Hukum Pembatalan Perkawinan Menurut Hukum


Islam, Al-Syakhshiyyah: Jurnal Hukum Keluarga Islam dan Kekeluargaan Vol. 2
(2020), hlm. 89-90

Mukmin Mukri,” PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN”, Vol. 13, No. 2,


Desember 2020,hal 104

Deni Rahmatillah & A.N Khofify, Konsep Pembatalan Perkawinan Dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1947 Dan Kompilasi Hukum Islam, Vol 17 No 2, Hukum Islam, 2017,
hal 153-154

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:


PRENADAMEDIA GROUP: 2017), hal 43

Abdul Rahim, Implementasi Nikah Fasid dan Nikah Batil, Vol 4 No 1, Hukum Islam, 2017,
hal 116

Rahmatillah, D., & Khofify, A. N. (2017). Konsep Pembatalan Perkawinan Dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1947 Dan Kompilasi Hukum Islam. Hukum Islam, 17(2), 152-
171.

Manan, H. A., & SH, S. (2017). Aneka masalah hukum perdata Islam di Indonesia. Prenada
Media.

https://jurnal.iain-bone.ac.id/index.php/albayyinah/article/view/12/9

18

Anda mungkin juga menyukai