Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

TALAK DAN IDDAH


Dosen Pengampu : Dr.H. Moh. Mahrus, S.Ag, M.H

Penyusun :
M.Rizqi Ramadani 2321508010
Rahmat Saputra 2321508013

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS SAMARINDA
2024
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolonganNya tentunya kami tidak akan
sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah
curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan
syafa’atnya di akhirat nanti. Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan
nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehinggan penulis mampu
untuk menyelesaikan pembuatan makalah dengan judul hadist tentang Talak Dan Iddah, Penulis
tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat
kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari
pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik
lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam pembuatan makalah ini, Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Terima kasih.

Samarinda, 11 Maret 2024


DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG………………………………………………………………………
B.RUMUSAN MASALAH…………………………………………………………………….
C.TUJUAN……………………………………………………………………………………..
II. PENGERTIAN TALAK DAN IDDAH
A. PENGERTIAN TALAK…………………………………………………………………….
B. PENGERTIAN IDDAH……………………………………………………………………..
C. PEMBAGIAN TALAK DAN IDDAH………………………………………………………
D. PENTINGNYA MEMAHAMI KONSEP TALAK DAN IDDAH DALAM ISLAM………
III. HADIS-HADIS TENTANG TALAK DAN IDDAH
A. HADIS-HADIS YANG MEMBAHAS TENTANG TALAK DAN IDDAH……………….
IV. PENUTUP
A. KESIMPULAN………………………………………………………………………………
B. KRITIK DAN SARAN……………………………………………………………………….
C. DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………...
BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
talak dan iddah umumnya berfokus pada beberapa aspek berikut:
1. Talak dianggap sebagai suatu cara untuk memutuskan hubungan perkawinan. Ini adalah
proses pemutusan tali pernikahan dari seorang suami terhadap istrinya dengan alasan yang
diterima secara syar'i sumber.
2. Islam adalah agama yang sempurna yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk
pernikahan dan perceraian. Selain Al-Qur'an, islam juga memiliki tuntunan lain yaitu As-Sunnah
(perbuatan, ucapan dan sikap) yang diteladani oleh Rasulullah SAW. As-Sunnah yang biasa
disebut dengan Hadis sumber.
3. Talak berarti melepas ikatan pernikahan atau menghilangkan ikatan pernikahan pada saat itu
juga sumber.
4. Talak dan iddah juga dilihat dari perspektif Al-Qur'an dan Hadis sumber.
5. Ada juga pembahasan mengenai talak dengan tulisan dalam fiqih, yang disebut juga dengan
at-talal bi al-kitabah sumber.
6. Konteks sosial dan budaya: Talak dan iddah adalah istilah-istilah yang terkait dengan hukum
Islam tentang perceraian. Dalam konteks sosial dan budaya Indonesia yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, pemahaman yang baik tentang talak dan iddah menjadi penting
untuk memahami dinamika perkawinan dan perceraian di masyarakat.
7. Kepentingan hukum: Talak dan iddah memiliki implikasi hukum yang signifikan dalam
sistem hukum Islam. Memahami aspek-aspek hukum yang terkait dengan talak dan iddah dapat
membantu dalam menyelesaikan masalah hukum terkait perceraian, hak-hak perempuan, dan
perlindungan anak.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi dan konsep dasar dari talak dan iddah dalam hukum Islam?
2. Bagaimana prosedur pelaksanaan talak dan iddah menurut syariat Islam?
3. Apa hukum dan konsekuensi talak dalam kehidupan sehari-hari?
C. TUJUAN
1. Memperjelas konsep talak dan iddah dalam hukum Islam, termasuk definisi, jenis-jenisnya,
serta prosedur pelaksanaannya.
2. Mendalami aspek hukum terkait talak dan iddah, termasuk landasan syariat, prinsip-prinsip
yang terlibat, dan implikasi hukumnya dalam berbagai konteks.
3. Menganalisis dampak sosial dari praktik talak dan iddah dalam masyarakat Islam, termasuk
peran gender, keadilan, dan kesejahteraan keluarga.

BAB II
PENGERTIAN TALAK DAN IDDAH

A. PENGERTIAN TALAK
Menurut Ulama mazhab Hanafi dan Hanbali mengatkan bahwa talak adalah pelepasan
ikatan perkawinan secara langsung untuk masa yang akan dating dengan lafal khusus.
Menurut mazhab Syafi’i, talak adalah pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau yang
semakna dengan itu.
Menurut ulama Maliki, talak adalah suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya
kehalalan hubungan suami istri.
Perbedaan definisi diatas menyebabkan perbedaan akibat hukum bila suami menjatuhkan
talak Raj’i pada istrinya. Menurut Hanafi dan Hanbali, perceraian ini belum menghapuskan
seluruh akibat talak, kecuali iddah istrinya telah habis, Mereka berpendapat bahwa bila suami
jimak dengan istrinya dalam masa iddah, maka perbuatan itu dapat dikatakan sebagai pertanda
rujuknya suami. Ulama Maliki mengatakan bila perbuatan itu diawali dengan niat , maka berarti
rujuk. Ulama Syafi’i mengatakan bahwa suami tidak boleh jimak dengan istrinya yang sedang
menjalani masa iddah, dan perbuatan itu bukanlah pertanda rujuk, karena menurut mereka, rujuk
harus dilakukan dengan perkataan atau pernyataan dari suami secara jelas bukan dengan perbuatan.

B. PENGERTIAN IDDAH
Iddah jama’nya adalah ‘iddad’ yang secara kata berarti menghitung atau hitungan, Secara
etimologis iddah adalah berarti nama bagi suatu masa bagi seorang wanita menunggu untuk
perkawinan selanjutnya setelah wafat suaminya atau karna perpisahan (Perceraian) dengan
Suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan
rahimnya atau untuk berpikir bagi Suami dalam islam.

C. PEMBAGIAN TALAK DAN IDDAH


Dalam fiqih, berdasarkan akibat hukum yang ditimbulkannya talak dibagi menjadi talak raj’I
dan talak ba’in. 1. Berkaitan dengan hal tersebut, Kompilasi Hukum Islam pada pasal 118
menyatakan bahwa talak raj’i adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama
istri dalam masa iddah. Adapun perihal talak ba’in, baik itu talak ba’in sughra maupun talak ba’in
kubra diatur pada pasal setelahnya. Pasal 119 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa talak
ba’in sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas
suaminya meskipun dalam iddah. Dalam hal talak ba’in sughra adalah talak yang terjadi qobla
dukhul, talak dengan tebusan atau khulu’, dan talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
Sedangkan Iddah, Islam memberikan batasan iddah ini sebagai berikut :
1. Iddah wanita yang masih haid (tiga kali suci dari haid)
2. Iddah wanita yang telah lewat masa iddahnya (tiga bulan)
3. Iddah wanita yang ditinggal mati suaminya (empat bulan sepuluh hari)
4. Iddah wanita hamil (sampai melahirkan)

D. PENTINGNYA MEMAHAMI KONSEP TALAK DAN IDDAH DALAM ISLAM


Pentingnya memahami konsep talak dan iddah dalam Islam sangatlah besar, karena hal ini
melibatkan aspek-aspek penting dalam kehidupan individu, keluarga, dan masyarakat Muslim.
Berikut adalah penjelasan lebih lanjut tentang pentingnya memahami kedua konsep tersebut:
1. Keseimbangan antara Hak dan Kewajiban: Memahami talak dan iddah membantu memperjelas
hak dan kewajiban suami dan istri dalam pernikahan sesuai dengan ajaran Islam. Ini membantu
menjaga keseimbangan dan keadilan dalam hubungan suami-istri, serta mendorong penghargaan
terhadap hak-hak masing-masing pihak.
2. Perlindungan bagi Perempuan: Talak dan iddah memberikan perlindungan hukum bagi
perempuan dalam konteks perceraian. Iddah memberi kesempatan bagi istri untuk menyelesaikan
urusan-urusannya dan memastikan tidak adanya kehamilan sebelum pernikahan secara resmi
berakhir. Ini juga memberikan kesempatan bagi suami dan istri untuk merefleksikan kembali
hubungan mereka dan memungkinkan peluang rekonsiliasi.
3. Pemecahan Konflik dengan Keadilan: Pemahaman yang baik tentang talak dan iddah membantu
masyarakat Muslim menyelesaikan konflik pernikahan dengan cara yang adil dan sesuai dengan
ajaran agama. Ini meminimalkan potensi penyalahgunaan talak dan membantu mencegah
keputusan perceraian yang diambil secara tergesa-gesa atau impulsif.
4. Pembentukan Keluarga yang Sehat: Pemahaman yang baik tentang konsep talak dan iddah
membantu masyarakat Muslim dalam membangun dan memelihara keluarga yang sehat. Dengan
mengetahui hak dan tanggung jawab dalam pernikahan, pasangan dapat berupaya untuk menjaga
keharmonisan rumah tangga dan memperkuat ikatan keluarga.
5. Penghindaran Penyalahgunaan: Memahami talak dan iddah juga membantu masyarakat Muslim
menghindari penyalahgunaan praktik perceraian. Dengan pemahaman yang mendalam tentang
prosedur dan konsekuensi talak dan iddah, individu akan lebih berhati-hati dalam mengambil
keputusan perceraian dan lebih cenderung untuk mencari solusi damai dalam menyelesaikan
konflik pernikahan.
Dengan demikian, pemahaman yang baik tentang konsep talak dan iddah dalam Islam bukan hanya
penting untuk keberlangsungan pernikahan dan keluarga, tetapi juga untuk mencapai keadilan,
keselarasan, dan kedamaian dalam masyarakat Muslim secara keseluruhan.

BAB III.
HADIS-HADIS TENTANG TALAK DAN IDDAH

A. HADIS-HADIS YANG MEMBAHAS TENTANG TALAK DAN IDDAH


1. Kitab Aunul Ma’bud:2164

٢١٦٤- ٍ َ‫بن ِدئ‬


‫ار‬ ِ ‫ب‬ِ ‫ار‬ ِ ‫حدثنا كثير بن عبيد أخبرنا محمد بن خَا ِل ٍد عن معرفابن‬
ِ ‫واص ٍل عن ُم َح‬
‫عن ابن عمر عن النبي صلى هللا عليه وسلم‬
َ ‫ّللاِ َع َز َو َج َل‬
‫الط َال ُق‬ ُ ‫ « أَ ْبغ‬: ‫ » قال‬.
َ ‫َض ال َحال ِل ِإلَى‬
Arrtinya: 2164- Dari Ibnu Umar, dari Nabi Muhammad ‫ﷺ‬, beliau bersabda: "Halal yang paling
dibenci oleh Allah Azza wa Jalla adalah perceraian."
Tafsir arti hadis ini dapat dipahami dalam konteks pentingnya menjaga keutuhan keluarga
dan mencegah terjadinya perceraian. Meskipun perceraian diizinkan dalam Islam sebagai solusi
terakhir dalam situasi yang tidak dapat diperbaiki, Allah tidak menyukai atau membenci
perceraian. Hal ini menggarisbawahi pentingnya menjaga hubungan suami istri, memperbaiki
masalah yang timbul, dan berusaha untuk mempertahankan keutuhan keluarga. Perceraian adalah
suatu keadaan yang penuh dengan kesedihan, penderitaan, dan dampak negatif bagi semua pihak
yang terlibat, terutama bagi anak-anak. Oleh karena itu, dalam Islam, pernikahan dianggap sebagai
ikatan yang suci dan penting untuk dijaga dengan sebaik-baiknya.
Dalam konteks hadis ini, Allah menginginkan umat-Nya untuk berusaha menjaga hubungan
pernikahan, berkomunikasi dengan baik, saling memahami, dan berusaha memperbaiki masalah
yang timbul. Dengan demikian, hadis ini mengajarkan pentingnya menjaga keutuhan keluarga dan
menghindari perceraian sebisa mungkin. Namun, penting untuk dicatat bahwa dalam beberapa
situasi tertentu, perceraian mungkin menjadi satu-satunya solusi yang terbaik. Dalam Islam,
terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur proses perceraian agar dilakukan dengan cara yang
baik, adil, dan sesuai dengan ajaran agama.
Dalam kesimpulannya, hadis ini mengajarkan pentingnya menjaga keutuhan keluarga,
menghindari perceraian sebisa mungkin, dan berusaha memperbaiki masalah yang timbul dalam
hubungan suami istri.

2. Kitab Aunul Ma’bud:2165

٢١٦٥ - ‫ض‬ َ ‫طلَقَ ا ْم َرأَتَ ُه َوه‬


ِ ِ‫ِي َحائ‬ َ ُ‫حدثنا القعنبي عن مالك عن نافع عن َع ْب ِد هللاِ بن عمر أنَه‬
‫سأَل) أبغض الحالل إلى هللا عز وجل الطالق ) قيل‬ ُ ‫َعلَى َع ْه ِد َر‬
َ َ‫ ف‬، ‫سو ِل هللاِ صلى هللا عليه وسلم‬
‫ فإن كونه مبغوضا يقتضى رجحان تركه على فعله‬، ‫كون الطالق مبغوضا منافلكونه حالال‬
‫وكونه حالال يقتضى مساواة تركه لفعلهوأجيب بأن المراد بالحالل ما ليس تركه بالزم الشامل‬،
‫ واألبغضية لما يترتب‬، ‫ وقد يقال الطالق حالل لذاته‬، ‫للمصباح والواجبوالمندوب والمكروه‬
‫ والمشهور فيه المرسل‬، ‫ وأخرجه ابن ماجه‬: ‫ قال المنذرى‬. ‫عليه من انجراره إلى المعصية‬
‫ وقال البيهقى فى رواية ابن أبي شيبة يعنى محمد بن عثمان عنعبد هللا بن عمر وال‬. ‫وهو غريب‬
‫ أراه يحفظه‬. .
Artinya : Dari Abdullah bin Umar, dia menceraikan istrinya ketika sedang haidh (menstruasi) pada
zaman Rasulullah ‫ﷺ‬. Dia kemudian bertanya tentang perkataan Nabi ‫ﷺ‬, "Halal yang paling dibenci
oleh Allah Azza wa Jalla adalah perceraian." Mereka menjawab bahwa perceraian dibenci karena
itu adalah halal, dan jika dibenci, maka lebih baik untuk meninggalkannya. Halal dalam konteks
ini berarti bahwa perceraian diperbolehkan secara syariat. Jawaban yang tepat adalah bahwa yang
dimaksud dengan "halal" di sini adalah tindakan yang tidak ditinggalkan tanpa alasan yang kuat
berdasarkan hukum Islam. Keengganan terhadap perceraian disebabkan oleh konsekuensi buruk
yang mungkin timbul darinya, yaitu terjerumus ke dalam kemaksiatan. Menurut al-Mundhiri, hadis
ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan yang terkenal adalah sanadnya yang lemah. Al-Baihaqi juga
mengatakan dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah bahwa hadis ini merujuk kepada Muhammad bin
Utsman, dan menurut saya dia tidak menghafalnya dengan baik.
Dalam hadis ini, Abdullah bin Umar menceraikan istrinya ketika sedang haidh (menstruasi)
pada zaman Rasulullah ‫ﷺ‬. Setelah itu, dia bertanya tentang perkataan Nabi ‫ ﷺ‬yang menyatakan
bahwa "Halal yang paling dibenci oleh Allah Azza wa Jalla adalah perceraian." Ada jawaban yang
menyatakan bahwa perceraian dibenci karena itu adalah halal, dan jika dibenci, maka lebih baik
untuk meninggalkannya. Dalam konteks ini, "halal" berarti bahwa perceraian diperbolehkan secara
syariat. Namun, penting untuk dicatat bahwa hadis ini memiliki sanad (rantai perawi) yang lemah,
seperti yang disebutkan oleh al-Mundhiri dan al-Baihaqi. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penilaian yang hati-hati terhadap hadis ini.
Arti hadis ini dapat dipahami sebagai berikut: Meskipun perceraian diizinkan dalam Islam sebagai
solusi terakhir dalam situasi yang tidak dapat diperbaiki, Allah tidak menyukai atau membenci
perceraian. Keengganan terhadap perceraian disebabkan oleh konsekuensi buruk yang mungkin
timbul darinya, seperti terjerumus ke dalam kemaksiatan atau kerusakan dalam hubungan
keluarga. Oleh karena itu, dalam Islam, diutamakan untuk menjaga keutuhan pernikahan, berusaha
memperbaiki masalah yang timbul, dan mencari solusi yang terbaik sebelum memutuskan untuk
bercerai.
Dalam konteks hadis ini, penting untuk memahami bahwa meskipun perceraian diperbolehkan
secara syariat, hal ini tidak berarti bahwa perceraian harus dilakukan dengan sembarangan atau
tanpa alasan yang kuat berdasarkan hukum Islam. Perceraian haruslah dipertimbangkan dengan
matang, dengan memperhatikan kepentingan semua pihak yang terlibat, dan dengan menjaga
prinsip-prinsip Islam.
Dalam kesimpulannya, hadis ini mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga keutuhan
pernikahan, menghindari perceraian sebisa mungkin, dan berusaha memperbaiki masalah yang
timbul dalam hubungan suami istri. Namun, perlu diingat bahwa penafsiran dan pemahaman
terhadap hadis ini perlu dilakukan dengan hati-hati dan dengan mempertimbangkan penilaian
ulama yang lebih komprehensif.

3. Lukluk Warmarjan:936

٩٣٦- ِ‫ّللا‬ ُ ‫ض َعلَى َع ْه ِد َر‬


َ ‫س ْو ِل‬ ُ ِ‫ِي َحائ‬ َ ‫طلَقَ ْام َرأَتَهُ َوه‬ َ ُ‫ أَنَه‬،‫ّللاُ َع ْن ُه َما‬
َ ‫ي‬ َ ‫ض‬ِ ‫ع َم َر َر‬ ُ ‫ِيث اب ِْن‬ ُ ‫َحد‬
‫ فَقَا َل‬، َ‫سلَ َم َع ْن ذَلِك‬ َ ُ‫صلَى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ّللا‬ ِ َ ‫سو َل‬ ُ ‫ب َر‬ ِ ‫َطا‬َ ‫ع َم ُر ْبنُ ْالخ‬ ُ ‫سأ َ َل‬
َ َ‫ ف‬،‫سلَ َم‬َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫صلَى‬
َ ُ‫ّللا‬ َ
‫ ث ُ َم‬،‫ط ُه َر‬ ْ َ‫ ث ُ َم ت‬،‫يض‬ َ ‫ ث ُ َم تَ ِح‬،‫ط ُه َر‬ ْ َ‫اجعُ َها ث ُ َم ِليُ ْم ِس ْك َها َحتَى ت‬ِ ‫ ُم ْرهُ فَ ْليُ َر‬:‫سلَ َم‬
َ ‫صلَى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫ّللا‬ ِ َ ‫س ْو ُل‬ُ ‫َر‬
‫سا ُء‬َ ِ‫طلَقَ لَ َها الن‬َ ُ ‫ّللاُ أَ ْن ت‬
َ ‫س؛ فَتِ ْلكَ ْال ِعدَةُالَتِي أَ َم َر‬ َ ‫طلَقَ قَ ْب َل أَ ْن يَ َم‬
َ ‫ َوإِ ْن شَا َء‬،ُ‫سكَ بَ ْعد‬ َ ‫إِ ْن شَا َء أَ ْم‬
Artinya: Abdullah bin Umar Radhiyallahuanhu meriwayatkan bahwa ia pernah mentalak istrinya
yang sedang haid. Umar bin Khattab menyampaikan hal itu pada Rasulullah SAW. Maka
Rasulullah SAW bersabda:
“Perintahkan ia untuk merujuknya kembali, lalu menahannya hingga ia suci dan haid hingga ia
suci kembali. Setelah itu, bila ia (ibnu umar) mau mentalaknya, ia boleh mentalaknya dalam
keadaan suci sebelum ia menggaulinya, itulah waktu mentalak wanita sebagaimana Allah
perintahkan.”
Hadis di atas mengisahkan bahwa Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma pernah
menceraikan istrinya yang sedang dalam masa haid. Umar bin Khattab kemudian melaporkan hal
tersebut kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW memberikan petunjuk tentang tindakan yang
harus diambil dalam situasi tersebut.
Rasulullah SAW menyampaikan perintah kepada Abdullah bin Umar untuk mengembalikan
istrinya dan menahannya sampai ia suci dari haid. Setelah itu, jika Abdullah bin Umar ingin
menceraikan istrinya, ia diperbolehkan untuk melakukannya dalam keadaan suci sebelum
melakukan hubungan intim dengannya. Hal ini menunjukkan bahwa waktu yang ditetapkan oleh
Allah untuk menceraikan seorang wanita adalah dalam keadaan suci sebelum melakukan
hubungan intim.
Dalam konteks ini, hadis tersebut memberikan pedoman tentang tata cara menceraikan seorang
wanita yang sedang dalam masa haid. Rasulullah SAW menekankan pentingnya menjaga adab dan
mematuhi aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dalam masalah ini.
4. Sunan Tirmidzi:1187

١١۸۷. ، َ‫ َع ْن ثَ ْو َبان‬،ُ‫ َع ْن أَ ِبي ِق َال َبةَ َع َم ْن َحدَثَه‬،‫ُّوب‬ُ ‫ أَ ْن َبأَنَا أَي‬:‫ب‬


ِ ‫ أَ ْن َبأَنَا َع ْبدُ ْال َو َها‬: ‫ار‬ ٌ َ‫أَ ْن َبأَنَا ِبذَلِكَ بُ ْند‬
‫ط َالقا ِم ْن َغي ِْر َبأْ ٍس فَ َح َرا ٌم‬ َ ‫ت زَ ْو َج َها‬ ْ َ‫سأَل‬ َ ِ‫ أَيُّ َما ْام َرأَة‬:َ‫ قَال‬،‫سلَ َم‬ ِ َ ‫صلَى‬
َ ‫ّللا َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫سو َل‬
َ ِ‫ّللا‬ ُ ‫أَ ْن َر‬
‫ َعلَ ْي َها َرا ِئ َحةُ ْال َجنَ ِة‬.
Artinya : 1187. Bundar menceritakan seperti hadist itu kepada kami, Abdul Wahab menceritakan
kepda kami, Ayyub menceritakan kepada kami dari Abu Qilabah, dari orang yang menceritakan
kepadanya, dari Tsauban, ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Setiap perempuan yang menggugat cerai suaminya tanpa ada sebab, maka haram baginya
bau surhga”
Hadis diatas memberikan pandangan Islam tentang perceraian yang diajukan oleh seorang wanita
tanpa alasan yang sah.
"Setiap perempuan yang menggugat cerai suaminya tanpa ada sebab": Bagian ini menunjukkan
bahwa seorang wanita yang meminta cerai dari suaminya tanpa alasan yang sah atau adil
dianggap melakukan tindakan yang tidak benar menurut ajaran Islam. Dalam Islam, perceraian
dianggap sebagai tindakan terakhir yang harus diambil jika semua upaya untuk memperbaiki
masalah dalam pernikahan gagal.
"Maka haram baginya bau surga": Bagian ini adalah konsekuensi dari tindakan tersebut. Kata
"haram" berarti "dilarang" dalam bahasa Arab, dan "bau surga" adalah cara figuratif untuk
merujuk kepada kenikmatan surga. Jadi, jika seorang wanita meminta cerai tanpa alasan yang
sah, dia akan dilarang merasakan kenikmatan surga.
Secara keseluruhan, hadis ini menekankan pentingnya menjaga keutuhan pernikahan dan bahwa
perceraian seharusnya bukanlah pilihan yang diambil dengan ringan. Ini juga menunjukkan
bahwa setiap tindakan yang kita ambil memiliki konsekuensi, baik di dunia ini maupun di
akhirat.

5. Sunan Tirmidzi:1204
١٢٠٤- ‫ َع ْن‬،‫ع ْم َرة‬ ُ ‫ب ب ِْن‬ ِ ‫س ْع ِد ب ِْن إِ ْس َحقَ ب ِْن َك ْع‬ َ ‫ َع ْن‬، ٌ‫ أَ ْن َبأَنَا َما ِلك‬:‫ أَ ْن َبأَنَا َم ْع ٌن‬:‫ي‬ُّ ‫ار‬ ِ ‫ص‬ َ ‫َحدَثَنَا ْاأل َ ْن‬
ِ ‫س ِعي ٍد ْال ُخد ِْري‬ َ ‫ِي أ ُ ْختُ أَ ِبي‬ َ ‫َان َوه‬ ٍ ‫ أَ َن ْالفُ َر ْي َعةَ ِب ْنتَ َما ِل ِك ب ِْن ِسن‬،َ‫ب ب ِْن عُ ْج َرة‬ ِ ‫ت َك ْع‬ ِ ‫َب ِب ْن‬
َ ‫َع ِمتِ ِه زَ ْين‬
،‫سلَ َم تَسْأَلُهُ أَ ْن تَ ْر ِج َع ِإلَى أَ ْه ِل َها فِي بَنِي ُخد َْرة‬ َ ‫صلَى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫ّللا‬ِ َ ‫سو َل‬ ُ ‫ت َر‬ ْ ‫– أ َ ْخبَ َرتْ َها أَنَ َها َجا َء‬
:‫ت‬ ِ ‫ف ْالقَد‬
ْ َ‫ قَال‬،ُ‫ فَقَتَلُوه‬،‫ُوم لَ ِحقَ ُه ْم‬ ِ ‫ط َر‬َ ‫ َحتَى إِذَا َكانَ ِب‬،‫ب أَ ْعبُ ِد لَهُ أَ ْبقُوا‬ ِ َ‫طل‬َ ‫َوأَ َن زَ ْو َج َها خ ََر َج فِي‬
ُ‫سلَ َم أَ ْن أ َ ْر ِج َع ِإلَى أَ ْه ِلي فَإِ َن زَ ْو ِحي لَ ْم يَتْ ُر ْك ِلي َم ْس َكنَا يَ ْم ِل ُكه‬ َ ‫صلَى‬
َ ‫ّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫ّللا‬َ ‫سو َل‬ ُ ‫سأ َ ْلتُ َر‬ َ َ‫ف‬
‫ص َر ْفتُ حتَى إِذَا ُك ْنتُ فِي‬ َ ‫ فَا ْن‬:‫ت‬ ْ َ‫ قَال‬،‫ نَ َع ْم‬:‫سلَ َم‬
َ ‫صلَى هللا َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫سو ُل هللا‬ ُ ‫ فَقَا َل َر‬:‫ت‬ ْ َ‫َو َال نَفَقَةٌ؟ قَال‬
:‫ فَقَا َل‬،ُ‫ فَنُودِيتُ لَه‬- ‫ أَ ْو أَ َم َر ِبي‬،‫سلَ َم‬ َ ‫صلَى هللا َعلَ ْي ِه َو‬ ِ َ ‫سو ُل‬
َ ‫ّللا‬ ُ ‫ْال ُح ْج َرةِ أَ ْو فِي ْال َمس ِْج ِد نَادَانِي َر‬
‫ ْام ُكنِي فِي بَ ْيتِ ِك َحتَى‬:‫ قَا َل‬،‫صةَ الَتِي ذَ َك ْرتُ لَهُ ِم ْن شَأْ ِن زَ ْو ِحي‬ َ ‫ فَ َردَدْتُ َعلَ ْي ِه ْال ِق‬:‫ت‬ ْ َ‫ْف قُ ْلتِ؟ قَال‬ َ ‫َكي‬
،‫ي‬ َ َ‫س َل ِإل‬ َ ‫عثْ َمانُ أَ ْر‬
ُ َ‫ت فَلَ َما َكان‬ ْ َ‫ قَال‬،‫ فَا ْعتَدَدْتُ فِي ِه أَ ْربَعَةَ أ َ ْش ُه ٍر َو َع ْشرا‬:‫ت‬ ْ َ‫ قَال‬،ُ‫اب أَ َجلَه‬ ُ َ‫يَ ْبلُ َغ ْال ِكت‬
‫ضى بِ ِه‬َ َ‫ فَاتَبَعَهُ َوق‬،ُ‫سأَلَنِي َع ْن ذَلِكَ ؟ فَأ َ ْخبَ ْرتُه‬ َ َ‫ف‬..
Artinya : 1204. Al Anshari menceritakan kepada kami, Ma'n menceritakan kepada kami, Malik
menceritakan kepada kami dari Sa'ad bin Ishaq bin Ka'ab bin Ujrah, dari bibinya Zainab binti
Ka'ab bin Ujrah- ia mengatakan bahwa Furai'ah binti Malik bin Sinan -saudara perempuan Abu
Sa'id Al Khudri- memberitahukan kepadanya:
la datang kepada Rasulullah SAW untuk minta (izin) pulang ke keluarganya (Bani Khudrah),
karena suaminya dibunuh di ujung Qudum (6 mil dari Madinah) oleh hamba sahayanya yang
akhirnya membunuhnya- ketika sedang pergi mencari hamba sahayanya yang kabur.
Furai'ah binti Malik berkata, "Lalu aku meminta (izin) kepada Rasulullah SAW untuk pulang
ke keluargaku, karena suamiku tidak meninggalkan tempat tinggal dan nafkah untukku."
Rasulullah SAW bersabda, "Ya, aku izinkan." Kemudian aku berangkat pulang sehingga ketika
sampai di kamar-atau di masjid- Rasulullah SAW memanggilku-atau (perawi ragu) Rasulullah
memerintahkanku untuk menghadapnya. Lalu Rasulullah bersabda, "Bagaimana kamu tadi
berkata?" Maka aku mengulangi ceritaku kepada beliau tentang kejadian yang menimpa suamiku.
Rasulullah bersabda, "Tinggallah di rumahmu sampai masa iddahmu habis." Lalu aku melakukan
iddah selama empat bulan sepuluh hari.
Ketika Utsman (menjadi Khalifah) dia datang kepadaku dan bertanya tentang masalah seperti
itu kepadaku, sehingga aku memberitahukannya. Lalu ia mengikuti (apa yang kuberitahukan) dan
memutuskan dengan seperti itu.
Hadis ini menceritakan pengalaman Furai'ah binti Malik bin Sinan, saudara perempuan Abu Sa'id
Al Khudri, yang meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk pulang ke keluarganya setelah
suaminya dibunuh oleh hamba sahayanya.:
Furai'ah binti Malik datang kepada Rasulullah SAW dan meminta izin untuk pulang ke
keluarganya setelah suaminya dibunuh. Dia menjelaskan bahwa suaminya tidak meninggalkan
tempat tinggal dan nafkah untuknya. Rasulullah SAW memberikan izin kepadanya untuk pulang.
Namun, setelah Furai'ah binti Malik pulang dan berada di kamar atau di masjid, Rasulullah SAW
memanggilnya atau memerintahkan agar dia menghadapnya. Rasulullah SAW bertanya tentang
apa yang dia katakan sebelumnya. Furai'ah binti Malik mengulangi ceritanya tentang kejadian
yang menimpa suaminya.
Rasulullah SAW kemudian memberikan petunjuk kepadanya, bahwa dia harus tinggal di
rumahnya sampai masa iddahnya selesai. Iddah adalah periode menunggu yang diwajibkan bagi
wanita setelah kematian suaminya sebelum dia dapat menikah lagi. Dalam kasus ini, Furai'ah binti
Malik melakukan iddah selama empat bulan sepuluh hari.
Kemudian, ketika Utsman menjadi Khalifah, dia mendatangi Furai'ah binti Malik dan menanyakan
masalah yang serupa. Furai'ah binti Malik memberitahunya tentang petunjuk yang diberikan oleh
Rasulullah SAW. Utsman mengikuti apa yang dia jelaskan dan memutuskan sesuai dengan itu.
Hadis ini menggambarkan bagaimana Rasulullah SAW memberikan petunjuk dan keputusan yang
adil dalam kasus-kasus seperti ini. Rasulullah SAW memperhatikan situasi dan kebutuhan
individu, serta memberikan nasihat yang sesuai dengan hukum Islam. Ini menunjukkan pentingnya
mencari bimbingan dari pemimpin yang bijaksana dan mematuhi ajaran-ajaran Islam dalam
menghadapi masalah kehidupan sehari-hari.

6. Sunan Tirmidzi:1208

١٢٠۸- ‫ّللا ب ِْن ِإنِي َب ْك ِر ب ِْن‬ ِ َ ‫ع ْب ِد‬َ ‫ع ْن‬ َ ، ‫ َحدَثَنَا َما ِلكُ ابْنُ أَن ٍَس‬، ‫سى‬ َ ‫ َحدَثَنَا َم ْعنُ بْنُ ِعي‬- ‫ي‬ ُّ ‫ار‬
ِ ‫ص‬ َ ‫َحدَثَنَا ْاأل َ ْن‬
‫ث الث َ َالث َ ِة‬ِ ‫ أَنَ َها احْ بَ َرتْهُ بِ َه ِذ ِه ْاأل َ َحادِي‬، َ‫سلَ َمة‬َ ‫ت أَبِي‬ ِ ‫َب بِ ْن‬
َ ‫ع ْن زَ ْين‬
َ ،‫ع ْن ُح َميْ ِد ب ِْن نَافِ ٍع‬ َ ،‫ع ْم ِروي ِْن َح ْز ٍم‬ َ ‫ ُم َح َم ِد ب ِْن‬.
َ‫ أ َ ْربَ َعة‬، ‫ج‬
ٍ ‫علَى زَ ْو‬ َ ‫ اال‬، ‫ث لَيَا ِل‬ ِ ‫ت فَ ْوقَ ث َ َال‬ٍ ‫اَّلل َو ْاليَ ْو ِم ْاْل ِخ َرانُ ت ُ ِحدَ عَلَى َم ِي‬
ِ َ ‫سلَ َم قَا َل َال يَ ِح ُّل ِال ْم َرأَةٍ تُؤْ ِمنُ ِب‬ َ ‫َو‬
‫ع ْشرا‬ َ ‫ » أ َ ْش ُه ٍر َو‬.
Artinya : 1208. Al Anshari menceritakan kepada kami, Ma’an bin isa menceritakan kepada kami,
Malik bin Anas menceritakan kepada kami dari Abdullah bin Abu Bakar bin Muhammad bin Amr
bin Hazm dari Humaid bin Naf’i dari Zainab binti Abu Salamah ; Bahwasanya ia
memberitahukannya dengan hadist yang tiga ini :
Dan beliau bersabda. “tidak boleh seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari lain
meratapi orang yang meninggal lebih dari tiga malam, kecuali suaminya, empat bulan sepuluh
hari.”
Hadis di atas adalah tentang hukum berkabung dalam Islam. Menurut hadis ini, seorang wanita
yang beriman tidak boleh meratapi kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali jika orang
tersebut adalah suaminya. Dalam hal ini, dia diperbolehkan untuk meratapi selama "empat bulan
sepuluh hari". Ini disebut sebagai masa 'iddah, yaitu periode waktu tertentu setelah kematian suami
atau perceraian, di mana seorang wanita tidak boleh menikah lagi.
Masa berkabung tiga hari ini berlaku untuk semua orang, baik itu kerabat, teman, atau kenalan.
Ini bertujuan untuk membantu individu tersebut dalam proses penyembuhan dan mencegah mereka
dari tenggelam dalam kesedihan yang berkepanjangan.
Sedangkan masa 'iddah selama "empat bulan sepuluh hari" setelah kematian suami adalah waktu
yang diberikan bagi seorang wanita untuk meratapi kehilangan suaminya, dan juga sebagai periode
penantian sebelum dia dapat menikah lagi. Ini juga memberikan waktu bagi wanita tersebut untuk
mengetahui apakah dia hamil atau tidak, karena hal ini akan mempengaruhi hukum-hukum warisan
dan kewajiban-kewajiban lainnya. Namun, penting untuk diingat bahwa meratapi kematian
seseorang tidak berarti harus berlarut-larut dalam kesedihan. Islam mengajarkan kita untuk
menerima kematian sebagai bagian dari siklus kehidupan dan mengingatkan kita bahwa setiap jiwa
pasti akan merasakan mati.

7. Sunan Tirmidzi:1210

- ُ‫ت ِم ْنه‬ َ َ‫ب ف‬


ْ ‫س َم‬ ِ ُ ‫ت َج ْح ٍش ِحينَ ت‬
ْ ‫ فَدَ َع‬. ‫ون آ ُخوهَا‬
ٍ ‫ت ِب ِطي‬ َ ‫ َفدَخ َْلتُ َع َلى زَ ْين‬: ‫َب‬
ِ ‫َب ِب ْن‬ ُ ‫ت زَ ْين‬ ْ ‫ َقا َل‬١٢١٠
‫شا ِف ِعي‬ َ ‫صلَى‬
َ ‫ّللاُ َعلَيْه َوال‬ ِ َ ‫سو َل‬
َ ‫ّللا‬ َ ‫ َغي َْرا ِني‬،ٍ‫ب ِم ْن َحا َجة‬
ُ ‫س ِم ْعتُ َر‬ َ ‫ّللا َما ِلي ِفي‬
ِ ‫الط ِي‬ ِ َ ‫ َو‬: ‫ت‬ ْ َ‫ ث ُ َم قَال‬،
َ‫اح َمدَ َوإِ ْس َحاق‬ْ ‫ َو‬.
Artinya :1210. Zainab berkata:”Saya masuk kepada zainab binti jahsy ketika ditinggal mati
saudaranya, Zainab minta minyak ia mengusapkan minyak itu(untuk mayyit), kemudian ia
berkata: Demi Allah, Saya tidak butuh minyak, karena saya mendengar Rasulullah SAW
bersabda:”Tidak halal bagi perempuan yang percaya kepada Allah dan hari akhir untuk
berkabung pada hari kematian lebih dari tiga malam, kecuali untuk suami yaitu empat bulan
sepuluh hari.”

Hadis ini menceritakan pengalaman Zainab ketika dia mengunjungi Zainab binti Jahsy
setelah saudaranya meninggal. Zainab binti Jahsy meminta minyak dan mengusapkan minyak itu
pada mayyit (jenazah). Namun, Zainab binti Jahsy kemudian mengatakan bahwa dia sebenarnya
tidak membutuhkan minyak tersebut karena dia telah mendengar Rasulullah SAW bersabda
bahwa seorang wanita tidak boleh berkabung lebih dari tiga malam, kecuali untuk suaminya,
yaitu selama empat bulan sepuluh hari.
Hadis ini menggambarkan praktik berkabung dalam Islam. Rasulullah SAW mengajarkan bahwa
seorang wanita Muslimah tidak boleh berkabung lebih dari tiga malam setelah kematian
seseorang, kecuali jika suaminya yang meninggal. Jika suaminya yang meninggal, seorang
wanita diizinkan untuk berkabung selama empat bulan sepuluh hari, yang juga dikenal sebagai
masa iddah.
Pesan yang ingin disampaikan dalam hadis ini adalah pentingnya menjaga keseimbangan antara
berduka atas kematian seseorang yang kita cintai dan melanjutkan kehidupan. Islam mengajarkan
kita untuk menghormati dan mengenang orang yang meninggal, namun juga mengingatkan kita
bahwa kehidupan harus terus berlanjut dan kita harus melanjutkan kewajiban dan tanggung
jawab kita di dunia ini.
Dalam konteks ini, Zainab binti Jahsy menyadari bahwa dia tidak perlu mengusapkan minyak
pada mayyit karena dia mengerti aturan berkabung yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Hal ini
menunjukkan kesadaran dan pemahaman yang baik terhadap ajaran-ajaran Islam dan praktik
berkabung yang benar.

BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam kesimpulannya, talak dan iddah merupakan bagian dari proses perceraian dalam
agama Islam yang memiliki aturan dan tata cara yang diatur. Iddah memberikan waktu bagi
pasangan yang bercerai untuk mempertimbangkan kembali keputusan mereka dan memfasilitasi
proses rekonsiliasi. Penting bagi pasangan yang mengalami perceraian untuk memahami dan
mengikuti ketentuan-ketentuan agama dalam proses perceraian mereka.

B. KRITIK DAN SARAN


Dalam penulisan makalah kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat banyak
kesalahan dan kekurangan dalam penyusunannya baik pada kerangka makalah, maupun
kelengkapan materi, Oleh karna itu, kami berharap para pembaca dapat memberikan kritik dan
saran untuk bisa dijadikan pelajaran dalam penulisan makalah selanjutnya

DAFTAR PUSTAKA
Kitab Aunul Ma’bud
Kitab Sunan Tirmidzi
Kitab Lukluk Warmarjan
Fiqh Munakahat

Anda mungkin juga menyukai