Anda di halaman 1dari 9

Iddah dan Permasalahannya KATA PENGANTAR

Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Segala puji dan rasa syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang senantiasa mencurahkan rahmatnya kepada kita semua. Shalawat dan salam juga senantiasa kiranya penulis limpahkan kepada nabi Muhammad SAW. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen yang bersangkutan yang telah memberikan kesempatan waktu untuk penyelesaian makalah ini dan dengan limpahan rahmat dan karunia Allah sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah pada mata kuliah fiqh munakahat yang berjudul Iddah dan Permasalahannya guna untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah fiqh munakahat. Penulis meyakini bahwa di dalam penulisan makalah ini tentu masih banyak terdapat kesalahan dalam penulisan maupun penguasaan materi. kami sangat mengharapkan kepada seluruh pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun kemajuan dalam berfikir untuk penulis agar makalah ini dapat dibuat dengan yang lebih sempurna. Akhirnya kepada Allah juga lah penulis minta ampun, semoga dengan adanya makalah ini dapat memberikan sedikit ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan kita yang sudah ada sebelumnya. Amiinm.

Medan, 16 Desember 2009

Penulis DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1 DAFTAR ISI 2 BAB I PENDAHULUAN

Pendahuluan 3 BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Iddah 4 B. Sebab-Sebab dan Macam-Macam Iddah 5 C. Hak dan Kewajiban Suami Istri Selama Iddah 8 D. Batas Maksimal dan Minimal Iddah 9 BAB III KESIMPULAN Kesimpulan 10 DAFTAR PUSTAKA 11

BAB I PENDAHULUAN Pendahuluan Pernikahan merupakan suatu ikatan perkawinan yang menghalalkan antara suami istri untuk melakukan hubungan suami istri. Di dalam pernikahan dituntut untuk selalu dapat menjaga dan mempertahankan keharmonisan dan keutuhan rumah tangga, sehingga tercipta keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah. Namun, terkadang di dalam rumah tangga sering terjadi konflik keluarga. Hal inilah yang dapat menyebabkan suatu keluarga tersebut terjadi perceraian. Di dalam agama Islam perceraian merupakan perbuatan yang halal namun sangat dibenci oleh Allah SWT. Untuk itu agama Islam menetapkan suatu aturan hukum yang mengatur pernikahan, perceraian hingga kembali bersatu menjadi keluarga yang utuh. Maka sebelum melakukan rujuk kepada mantan istri, ada suatu permasalahan yang harus dibahas yaitu iddah. Iddah ini dibahas guna untuk memberikan pemahaman kepada setiap muslim bahwa setelah perceraian dilakukan ada waktu tenggang kepada

suami istri untuk memikirkan apakah melangsungkan pernikahan atau memutuskannya. Dan pada makalah ini akan dibahas tentang masalah iddah dan permasalahan yang berkaitan dengan iddah itu sendiri.

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Iddah Iddah menurut bahasa adalah perhitungan. Sedangkan menurut istilah syara ada dua pendapat tentang pengertian iddah. Yakni, menurut Imam Hanafi iddah adalah batasan-batasan waktu yang ditentukan menurut syara karena ada bekas waktu yang tersisa, atau dengan pengertian lain yaitu waktu menunggu yang diwajibkan bagi perempuan untuk melanjutkan atau memutuskan pernikahan. Sedangkan menurut Imam Maliki, Syafi i, dan Hambali iddah adalah waktu menanti bagi seorang wanita untuk memastikan apakah ada janin yang dikandungnya atau tidak, juga sebagai tanda pengabdian diri kepada Allah, dan berkabung karena ditinggal mati oleh suami. Dapat disimpulkan bahwa pengertian iddah adalah waktu yang ditentukan oleh syara sesudah perceraian yang wajib bagi seorang wanita untuk menunggu dengan tidak menikah sebelum habis masa iddahnya. Allah SWT. Telah mensyari atkan iddah, karena di dalam iddah terkandung beberapa hikmah yang merupakan salah satu sumber keteraturan hidup, yang antara lain adalah penegasan apakah dalam rahim wanita itu telah terkandung benih janin atau tidak, juga memberikan kesempatan kepada suami apakah suami mau merujuk istrinya kembali setelah ia menceraikannya atau tidak. Dengan iddah juga akan semakin tampak jelas betapa besar belas kasih Tuhan kepada hamba-Nya, karena dengan iddah, orang akan memahami betapa nikmatnya berkeluarga dan betapa malangnya

perceraian sehingga Allah membenci perbuatan itu. Hikmah yang lain adalah bila iddah itu untuk istri yang ditinggal mati oleh suaminya, maka di waktu itu ia lebih nampak berkabung, sehingga semakin terasa penghormatannya terhadap suami.

B. Macam-Macam Iddah Di dalam permasalahan iddah kita sering menemukan beberapa hal kesulitan, terutama dalam membedakan sebab-sebab dan macam-macam iddah itu sendiri. Namun perlu diketahui bahwa para ulama mazhab sepakat bahwa tidak ada iddah bagi wanita yang dicerai suaminya sebelum dicampuri. Namun ulama berbeda pendapat tentang suami yang telah melakukan khalwat terhadap istrinya. Imam Hanafi, Maliki, Hambali mengatakan apabila suami telah berkhalwat dengan istrinya tetapi dia tidak sampai mencampurinya kemudian ia menceraikan istrinya maka istri wajib menjalani iddah seperti iddah orang yang telah dicampuri. Sedangakan Imam Syafi i mengatakan bahwa khalwat tidak menimbulkan akibat apapun. Di sini akan dikemukan tentang sebab-sebab dan macam-macam iddah, yaitu antara lain sebagai berikut: 1. Iddah wanita yang dicerai oleh suaminya Setiap perceraian yang terjadi antara suami istri, kecuali talak ditinggal mati, iddahnya adalah iddah talak, baik hal itu terjadi melalui khulu , li an, fasakh karena adanya cacat, maupun fasakh akibat persaudaraan sesusuan atau perbedaan agama. Betapapun, para ulama mazhab sepakat atas wajibnya iddah bagi wanita yang ditalak sesudah dicampuri oleh suaminya, dan bahwasanya iddah yang harus dijalaninya adalah salah satu dari ketiga macam iddah di bawah ini, yaitu antara lain: a. Bagi wanita yang dicerai suaminya dalam keadaan hamil, maka wanita itu harus menjalani iddahnya hingga ia melahirkan bayi yang dikandungnya. hal ini berdasarkan firman Allah yang berbunyi:

Artinya : Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (QS. Ath-Thalaq : 4)

Ulama mazhab sepakat apabila seorang wanita mengandung lebih dari satu orang bayi maka ia baru dikatakan keluar dari iddahnya apabila semua bayi yang dikandungnya itu telah lahir. Namun mereka berbeda pendapat apabila wanita itu keguguran, yakni bayi yang lahir itu belum sempurna. Imam Hanafi, Syafi i dan Hambali mengatakan wanita itu belum dianggap selesai masa iddahnya sebelum keluar janinnya secara keseluruhan. Imam Malik mengatakan wanita itu dianggap telah selesai iddahnya meskipun yang keluar itu hanya sepotong dari janinnya. b. Bagi wanita yang baligh tetapi tidak pernah mengalam haidh sama sekali dan wanita yang menopause, maka masa iddahnya adalah tiga bulan. Hal ini juga berdasarkan firman Allah dalam surat Ath-Thalaq ayat 4, yang berbunyi:

Artinya : Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuanperempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Imam Hanafi, Maliki, Syafii berpendapat bahwa wanita yang belum mencapai umur sembilan tahun tetapi sudah dicampuri wajib untuk menjalani iddah seperti iddah wanita yang menopause. Namun Imam Hambali berbeda pendapat, ia mengatakan bahwa tidak ada kewajiban menjalani iddah bagi wanita yang belum mencapai usia sembilan tahun c. Bagi wanita yang telah berusia sembilan tahun, tidak hamil, bukan menopause dan sudah mengalami haidh, maka iddahnya adalah tiga quru . Sesuai dengan firman Allah yang berbunyi:

Artinya : Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. (QS. AlBaqarah : 228) Para ulama mazhab berbeda pendapat menanggapi pengertian quru . Imam Maliki dan Syafii menginterpretasikan quru dengan masa suci (dalam keadaan tidak haid) yang apabila seorang suami menjatuhkan talak kepada istrinya pada masa suci (sedang tidak haidh) maka iddahnya dihitung sejak masa itu yang kemudian disempuranakan dengan dua kali masa suci sesudahnya. Sedangkan Imam Hanafi dan Hambali menginterpretasikan quru itu dengan masa haidh, yang apabila seorang wanita dicerai suaminya dalam keadaan suci, maka iddahnya dihitung sejak pertama kali ia haidh setelah berakhir masa sucinya ketika ia diceraikan. Dengan kata lain ia harus menjalani iddahnya tiga kali haidh secara penuh.

2. Iddah wanita yang ditinggal mati oleh suaminya Para jumhur ulama sepakat bahwa iddah bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya sedangkan dia tidak hamil adalah empat bulan sepuluh hari, baik wanita itu masih anak-anak ataupun sudah dewasa, baik dalam usia menopause maupun tidak, sudah dicampuri ataupun belum. Hal ini berdasarkan firman Allah yang terdapat dalm Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 234, yang berbunyi:

Artinya : Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari. (QS. Al-Baqarah : 234). Iddah yang demikian itu apabila wanita itu terbukti betul-betul tidak hamil. Maka akan timbul pertanyaan bagaimana kalau wanita yang ditinggal mati oleh suaminya itu terbukti hamil? Maka jumhur ulama sepakat, mereka mengatakan iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati suaminya adalah sampai dia melahirkan bayinya, sekalipun masa kehamilannya telah mencapai delapan bulan, maka iddahnya berakhir apabila bayinya lahir dan ia sudah boleh menikah lagi.

C. Hak dan Kewajiban Suami Istri Selama Iddah Para ulama mazhab sepakat bahwa istri yang beriddah dari talak raj i wajib memperoleh nafkah dan tempat tinggal, dan istri juga wajib menjalani iddahnya di rumah suaminya, begitu juga dengan wanita yang hamil dan suami berkewajiban memenuhinya. Hal ini sesuai dengan firaman Allah yang berbunyi

Artinya : Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuan dan janganlahkamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika meereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkah hingga mereka melahirkan kandungannya. (QS. Ath-Thalaq : 6) Jika seorang istri itu berada dalam masa iddah karena ditinggal mati suaminya, maka istri tersebut wajib berkabung atas kematian suaminya dengan meninggalkan pemakaian perhiasan dan wangi-wangian, istri juga wajib tinggal di rumah suaminya, artinya dia wajib menghabiskan masa iddahnya di rumah suaminya, dia tidak boleh keluar rumah dengan berlebihan, kecuali ada keperluan.

Namun ulama mazhab berbeda pendapat mengenai nafkah dan tempat tinggal bagi istri yang ditalak ba in. Istri yang ditalak ba in. Apabila seorang istri itu hamil, maka suami wajib menyediakan tempat tinggal dan nafkah untuknya. Namun apabila seorang istri yang ditalak ba in itu tidak hamil, menurut Imam Hanafi ia juga berhak mendapat nafkah dari suaminya. Tetapi menurut imam Hambali tidak wajib baginya nafkah. Sedangkan menurut imam Malik dan Syafi i wajib untuknya tempat tinggal, namun tidak wajib untuknya nafkah.

D. Batas Maksimal dan Minimal Iddah Apabila seorang istri mengalami haidh, lalu berhenti akibat menyusui atau karena penyakit, maka imam Maliki dan Hambali mengatakan bahwa iddahnya adalah setahun penuh. Sedangkan syafi i mengatakan bahwa wanita tersebut selamanya berada dalam masa iddah hingga dia mengalami haidh, atau memasuki usia menopause dan sesudah itu beriddah selama tiga bulan. Sedangkan imam Hanafi mengatakan apabila seorang wanita mengalami satu kali haidh lalu karena sakit atau menyusui haidhnya terputus sama sekali dan dia tidak lagi pernah mengalami haidh, maka wanita tersebut tidak dinyatakan keluar dari iddahnya sampai kelak dia memasuki masa menopause. Dengan demikian menurut imam Hanafi dan Syafi i masa iddah dapat berlanjutselama 40 tahun. Apabila seorang istri ditalak suaminya dalam keadaan hamil, namun suaminya meninggal sebelum masa iddahnya habis maka iddahnya adalah sampai dia melahirkan walapun masa kehamilannya sudah mencapai 8 bulan, atau bahkan kehamilannya hamper lahir. Maka hal ini merupakan masa iddah paling singkat.

BAB III KESIMPULAN

Iddah merupakan salah satu ajaran Islam yang bertujuan menjaga kehormatan wanita, karena dengan iddah seorang wanita dapat dipastikan apakah dia hamil atau tidak, sebagai tanda pengabdian diri kepada Allah, dan juga sebagai tanda berkabung apabila dia ditinggal mati oleh suaminya. Pembagian iddah itu ada dua macam, yaitu iddah talak yang di bagi lagi menjadi tiga jenis, antara lain: 1. Iddah tiga bulan, yaitu kepada istri-istri yang dicerai dalam keadaan tidak haidh dan berada dalam usia menopause. 2. Iddah tiga kali quru , yaitu ada dua pendapat yang mengatakan quru itu adalah masa suci dan ada pendapat yang mengatakan quru itu adalah masa haidh, ini merupakan iddah bagi istri-istri yang di cerai dalam keadaan suci maupun dalam keadaan haidh. 3. Iddah sampai melahirkan, yaitu kepada istri-istri yang dicerai dalam keadaan hamil. Dan adapun iddah yang terjadi akibat wafatnya suami yaitu masa nya adalah empat bulan sepluh hari, di mana pada masa iddah ini seorang istri wajib berkabung sebagai tanda penghormatannya terhadap suaminya.

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Ibrahim Al-Jamal. 1986. Fiqh Wanita, Semarang: Asy-Syifa Jawad, Muhammd Mughniyah. 2006. Fiqh Lima Mazhab, Jakarta: Lentera Ibnu Rusyd. 2005. Bidayatul Mujtahid, Semarang: Asy-Syifa Wahbah Zuhaili. 2004. Fiqh al- Islam wa Adillatuhu, Damaskus: Dar Al-Fikr Abdrrahman Al-Jajiri. 2005. Fiqh Ala Mazahibil Arbaah. Beirut. Diposkan oleh syaddan dintara lubis di 23.26 Label: makalah http://iddahdanpermasalahannya.blogspot.com/2010/01/iddah-dan-permasalahannya.html

Anda mungkin juga menyukai