Anda di halaman 1dari 10

TALAK DAN KHULU

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Fiqh Munakahat

Dosen Pengampu : Siti Shopiyah, MA

Disusun Oleh Kelompok 12 :

Fadia Nur Afriani ( 19312116)

Maulidianita Humairoh (19312128)

Nisrina Nabilah Salma (19312132)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

PRODI FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT ILMU ALQURAN (IIQ) JAKARTA

Tahun Ajaran 2020/2021


‫الر ِحيم‬
‫الرحْ َم ِن ه‬ ِ ‫ِبس ِْم ه‬
‫َّللا ه‬

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat serta karunia-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Munakahat.

Kami menyadari sepenuhnya di dalam penulisan makalah ini banyak terdapat


kekurangan, oleh karena itu kami mengharapkan adanya kritik dan saran demi kesempurnaan
makalah ini.

Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua dan khususnya
bisa bermanfaat bagi penyusun dan dapat menambah wawasan kita dalam mempelajari Fiqh
Munakahat.

Pamulang, 24 Januari 2020

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap Manusia yang ada di atas permukan bumi ini pada umumnya selalu menginginkan
bahagia, dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi miliknya. Tetapi kebahagiaan itu tidak
dapat di capai dengan mudah tanpa mematuhi peraturan-peraturan yang telah di gariskan Agama,
diantaranya mesti individu-individu dalam masyarakat itu saling menunaikan hak dan
kewajibannya masing-masing.

Salah satu jalan untuk mencapai bahagia adalah dengan jalan perkawinan, dengan adanya
perkawinan terbentuklah suatu rumah tangga. Didalam perkawinan pasti ada banyak
menimbulkan masalah di tengah-tengah rumah tangga, antara lain disebabkan suami tidak
sanggup memberi nafkah lahir kepada istrinya seperti perbelanjaan sehari-hari. Dan istri yang
tidak saling pengertian dan tidak tabah menghadapinya serta tidak mau memikirkan kekurangan
ekonomi yang telah muncul di hadapan kelarganya dan akhirnya menimbulkan pertengkaran.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja talak berdasarkan rujuk dan penggunaan lafadznya?
2. Kapan mulai berlakunya talak?
3. Apa definisi khulu dan petunjuknya berdasarkan quran dan as sunnah?
4. Kapan khulu dapat diajukan dan apa akibatnya?
5. Bagaimana Khulu seorang wanita yang sedang sakaratul maut?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui talak berdasarkan rujuk dan lafadznya
2. Untuk mengetahui kapan mulai berlakunya talak
3. Untuk mengetahui definisi khulu dan petunjuknya berdasarkan quran dan as sunnah
4. Untuk mengetahui kapan khulu diajukan dan apa akibatnya
5. Untuk mengetahui hukum khulu seorang wanita yang sedang sakaratul maut
BAB II

PEMBAHASAN

A. Talak berdasarkan dapat atau tidaknya rujuk kembali

Ditinjau dari segi boleh dan tidaknya suami rujuk dengan istrinya, ulama fikih membagi talak
menjadi dua, yaitu talak rajʽi dan talak bā’in.

Talak rajʽi adalah talak satu atau dua yang dijatuhkan suami pada istrinya. Dalam keadaan ini,
suami berhak rujuk dengan istrinya baik disetujui oleh bekas istrinya maupun tidak disetujui
tanpa akad dan mahar baru selama rujuk itu dilakukan dalam masa idah. Talak raj’i tidak
mencegah suami menggauli isteri, karena ia tidak menghilangkan akad perkawinan dan tidak
menghilangkan kepemilikan serta tidak mempengaruhi keadaan. Meskipun talak
itu,menyebabkan perpisahan, namun tidak menimbulkan suatau akibat selama wanita yang
ditalak masih dalam masa iddah. Akibatnya hanya nampak sesudah berakhirnya iddah tanpa
dirujuk. Apabila iddahnya berakhir dan suami tidak merujuknya, maka isterinya lepas darinya.
Apabila salah satu dari keduanya meninggal dunia, maka yang lain mewarisi hartanya selama
iddahnya belum habis, dan suami wajib memberinya nafkah.

Hal ini sejalan dengan firman Allah Swt, dalam QS. al-Baqarah ayat 229 yaitu;

‫ان‬
ٍ ‫س‬‫ساكٌ ِب ام ْع ُروفٍ أ ا ْو تاس ِْري ٌح ِبإِحْ ا‬
‫اان ۖ فاإِ ْم ا‬ َّ ‫ال‬
ِ ‫ط اَل ُق ام َّرت‬

Artinya; Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (QS. Al-Baqarah ayat 229)

Talak ba’in yaitu talak yang ketiga kalinya, dan talak yang jatuh sebelum suami isteri
berhubungan serta talak yang dijatuhkan isteri kepada suaminya. Talak ba’in dibagi menjadi dua
yaitu:1

1. Talak ba’in sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh akad nikah baru
dengan bekas isterinya meskipun dengan masa iddah. Dengan demikian, pada talak ba’in
sughra suami tidak berhak lagi merujuki isterinya, akan tetapi suami masih berhak untuk

1
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Munakahat 2, Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm. 75
berkumpul kembali dengan isterinya dengan akad nikah yang baru dan dengan maskawin
yang baru pula.
2. Talak ba’in kubra ialah talak yang ketiga dari talak-talak yang dijatuhkan oleh suami.
Dalam talak ba’in kubra ini mengakibatkan si suami tidak boleh merujuk atau mengawini
kembali isterinya baik dalam masa iddah maupun sesudah masa iddah habis.

B. Talak berdasarkan penggunaan lafadznya / sighat ( ucapan)

Talak yang ditinjau dari segi lafadz atau kata-kata yang digunakan untuk menjatuhkan talak
adalah sebagai berikut:

1. Talak sharih

Talak sharih adalah talak yang apabila seseorang manjatuhkan talak kepada isterinya dengan
menggunakan kata-kata al-thalaq atau al-firaq, atau al-sarah. Ketiga kata-kata ini terdapat dalam
al-Qur’an atau hadits yang maksudnya adalah untuk menceraiakn isteri. Dengan menggunakan
lafadz-lafadz tersebut, seseorang yang mentalak isterinya maka jatuhlah talak tersebut walaupun
tanpa niat. Sebagian ahli zahiri mengatakan bahwa talak tidak jatuh kecuali dengan
menggunakan salah satu dari tiga lafadz itu atau dengan artinya, sebab masalah talak ini adalah
perbuatan agama atau ibadah. Oleh karena itu tidak boleh memakai selain yang ditetapkan oleh
syara’ atau agama.

2. Talak kinayah

Talak kinayah atau kiasa adalah talak yang dilakukan seseorang dengan menggunakan kata-kata
selain kata-kata lafadz sharih yang tersebut di atas. Suami mentalak isterinya dengan
menggunakan kata-kata sindiran atau samar-samar, seperti berkata terhadap isterinya sebagai
berikut:2

a. Engkau sekarang telah jauh dari diriku

b. Selesaikan sendiri segala urusanmu

c. Janganlah engkau mendekati aku lagi

2
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, Kencana Preneda Media Group, Jakarta, 2012, hlm. 202
C. Mulai berlakunya / sahnya talak

Dalam perundang-undangan Indonesia telah diatur mengenai beberapa hal yang dikhususkan
pemberlakuannya bagi umat Islam, yaitu tentang perkawinan, perceraian, kewarisan, dan
perwakafan. Pengaturan masalah perkawinan di Indonesia diatur di dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Perkawinan,
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres Nomor 1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Materi-materi tersebut merupakan materi hukum yang
menjadi dasar penetapan hukum di Pengadilan Agama.

Berdasarkan Pasal 38 UUP disebutkan bahwa putusnya ikatan perkawinan antara suami-isteri
disebabkan karena kematian, perceraian, dan keputusan pengadilan. Sedangkan berdasarkan
Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam (KHI), putusnya ikatan perkawinan karena perceraian dapat
diakibatkan karena adanya talak dari suami atau adanya gugatan dari isteri. Pasal 114 KHI
menyatakan: “putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak
atau berdasarkan gugatan perceraian”. Pada ketentuan Pasal 39 ayat (1) UUP, bahwa perceraian
hanya bisa dilakukan melalui proses sidang di Pengadilan, dalam hal ini untuk orang yang
beragama Islam di Pengadilan Agama. Pasal 39 ayat (1) UUP menyatakan: “perceraian hanya
dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan”. Dengan demikian, talak menurut hukum adalah ikrar suami yang
diucapkan di depan sidang Pengadilan Agama. Sedangkan apabila talak dilakukan atau
diucapkan di luar Pengadilan, maka perceraian sah secara hukum agama saja, tetapi belum sah
secara hukum negara karena belum dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama. Akibat dari
talak yang dilakukan di luar pengadilan adalah ikatan perkawinan antara suami-isteri tersebut
belum putus secara hukum, atau dengan kata lain, baik suami atau isteri tersebut masih sah
tercatat sebagai suami-isteri. Talak baru dapat dijatuhkan apabila alasan-alasan yang
dikemukakan oleh suami tersebut telah mendapat legalitas dari Syara' dan mesti pula di jatuhkan
di Pangadilan Agama. 3

3Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fiqh dan Hukum Positif), UII Press, Yogyakarta, 2011,
hlm. 106
D. Definisi Khulu

Secara etimologi kata Khulu’ diambil dari kata “Khala’a” yang berarti (mencopot atau
meninggalkan), maksudnya ialah suami menceraikan isteri dengan suatu pembayaran yang
dilakukan isteri atas kehendak dan permintaan isteri. Kata khulu’ tersebut diistilahkan dengan
kata “khal’a ats-Tsauba” yang berarti meninggalkan atau melepaskan pakaian dari badan
(pakaian yang dipakai). Kata yang “dipakai” diartikan dengan “menanggalkan isteri”, karena
isteri adalah pakaian dari suami dan suami adalah pakaian dari pada isteri.Sebagaimana firman
Allah SWT dalanm Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat :187 yang berbunyi:

ٌ َ‫اس لَ ُك ْم َوأَ ْنت ُ ْم ِلب‬


‫اس لَ ُه هن‬ َ ِ‫ث إِ َل ٰى ن‬
ٌ َ‫سائِ ُك ْم ۚ ه هُن ِلب‬ ُ َ‫الرف‬ ِ َ‫أ ُ ِح هل لَ ُك ْم لَ ْيلَة‬
‫الصيَ ِام ه‬
Artinya: “Mereka (perempuan) adalah Pakaian bagimu (laki-laki), dan kamupun adalah Pakaian
bagi mereka (perempuan)”.

Menurut terminologi ahli fiqih berarti isteri memisahkan diri dari suaminya dengan memberi
ganti rugi kepadanya sedangkan dikalangan para fuqaha’, khulu’ kadang dimaksudkan makna
yang umum yaitu perceraian yang disertai jumlah harta sebagai iwadh yang diberikan isteri
kepada suami untuk menebus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan, baik dengan kata khulu’,
mubara’ah (pelepasan) maupun thalak.

Khulu’ menurut bahasa berarti berpisahnya isteri atas dasar harta yang yang diambil dari
pakaian, karena wanita itu pakaian pria.Sedangkan khulu’ menurut ilmu fiqih adalah berpisahnya
suami dengan isterinya dengan ganti yang diperolehnya.

Khulu’ juga disebut fidya atau tebusan, Karena isteri meminta cerai kepada suaminya dengan
membayar sejumlah tebusan dari isteri kepada suaminya dengan membayar sejumlah tebusan
dari isteri kepada suami agar suami mau menceraikannya.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia :

“ khulu’ adalah perceraian atas permintaan dari pihak perempuan dengan mengembalikan mas
kawin yang telah diterimanya; Tebus Talak”.4

4
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan,
Jakarta: Kencana, 2006, Cet. ke-1, hlm. 234.
E. Dasar hukum khulu

Kehidupan suami istri hanya bisa tegak kalau ada dalam ketenangan, kasih sayang, pergaulan
yang baik dan masing-masing pihak menjalankan kewajibannya dengan baik, tetapi adakalanya
terjadi perselisihan yang menyebabkan terjadinya saling membenci antara suami dan istri
sehingga tidak dapat didamaikan lagi, maka tidak ada jalan lain harus cerai yang merupakan obat
terakhir yang harus digunakan. Islam membolehkan melakukan hal tersebut meskipun sangat
dibenci oleh Allah. Syafi’iyyah berpendapat bahwa tidak beda antara bolehnya khulu’ dengan
mengembalikan semua maharnya/sebagiannya, atau dengan kata lainnya, baik jumlahnya kurang
dari harga maharnya/lebih, tidak beda antara pengembalian dengan tunai, utang dan manfaat
(jasa), tegasnya segala sesuatu yang boleh dijadikan mahar boleh pula dijadikan ganti rugi dalam
khulu’.

Berdasarkan firman Allah Q.S. Al-Baqarah ayat 229;

ْ ‫فَ ََل ُجنَا َح َع َل ْي ِه َما فِي َما ا ْفتَ َد‬


‫ت ِب ِه‬

”Maka tidaklah salah bagi mereka berdua (suami dan istri) tentang apa yang dijadikan tebusan”

Berdasarkan hadis rasulullah saw :

:‫ت‬ْ ‫ي ص فاقاالا‬ ّ ‫اس اِلاى النَّ ِب‬ ‫ت ب ِْن قاي ِْس ب ِْن ا‬
ٍ ‫ش َّم‬ ِ ‫ام ارأاة ُ ثاا ِب‬
ْ ‫ت‬ ِ ‫ اجا اء‬:‫َّاس قاا ال‬ ٍ ‫عب‬ ‫ع ِن اب ِْن ا‬ ‫ا‬
‫ او لا ِِكنّى ا ا ْْك ارُهُ اْل ُِك ْْف ار فِى‬،‫ق او لا ِِدي ٍْن‬ ٍ ُ‫علا ْي ِه فِى ُخل‬ ‫ب ا‬ ُ ِ‫ اِنّى اما اا ْعت‬،ِ‫س ْو ال هللا‬ ُ ‫ياا ار‬
ِ‫س ْو ُل هللا‬ ُ ‫ فاقاا ال ار‬.‫ ناعا ْْم‬:‫ت‬ ْ ‫علا ْي ِه اح ِد ْيقاتاهُ؟ قاالا‬
‫ اات ا ُرِدّيْنا ا‬:‫س ْو ُل هللاِ ص‬ ُ ‫ فاقاا ال ار‬.‫اْ ِل ْسَلا ِم‬
ْ ‫طلّ ْق اها تا‬
‫ط ِل ْيقاة‬ ‫ اِ ْقبا ِل اْل اح ِد ْيقاةا او ا‬:‫ص‬
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : Istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi SAW, lalu
ia berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku tidak mencela dia (suamiku) tentang akhlaq dan
agamanya, tetapi aku tidak menyukai kekufuran dalam Islam”. Kemudian Rasulullah SAW
bertanya, “Maukah kamu mengembalikan kebunmu kepadanya ?”. Ia menjawab, “Ya”. Lalu
Rasulullah SAW bersabda (kepada Tsabit), “Terimalah kebunmu itu dan thalaqlah dia sekali”.
[HR. Bukhari dan Nasai]5

5
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Munakahat 2, Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm.120
F. Waktu diajukannya khulu

Fuqaha telah sepakat bahwa khulu’ boleh dijatuhkan pada masa haid, nifas dan pada masa suci
yang belum dicampur atau yang telah dicampuri. Dengan demikian khulu’ dapat dijatuhkan
kapan saja dan di mana saja. Pendapat tersebut berdasarkan pengertian umum dari ayat 229 surat
al-Baqarah atau hadits dari Ibnu Abas yang tidak menyebutkan waktu-waktu khusus. Rasulullah
tidak menetapkan waktu khusus sehubungan dengan khulu’ isteri Tsabit bin Qais. Rasulullah
juga tidak bertanya dan membicarakan keadaan isterinya. Maka dari itu khuluk pada waktu suci
dan haid diperbolehkan.

G. Akibat khulu

Perceraian dengan jalan khulu’ mengurangi jumlah thalak dan tidak dapat dirujuki kembali dan

ini mempunyai akibat yang sama dengan akibat thalak ba’in shughra. Sehingga suami tidak

mempunyai hak untuk merujuki bekas isterinya. Perkawinan yang baru harus dengan akad yang

baru yang berdasarkan persetujuan yang yang baru pula dari masing-masing pihak.Menurut

ulama fiqh, ada beberapa akibat yang ditimbulkan oleh terjadinya khulu’ adalah sebagai berikut:

a) Terjadinya thalak ba’in apabila ganti ruginya terpenuhi. Apabila ganti rugi tidak ada, maka

perceraian ini menjadi thalak biasa.

b) Isteri harus membayar ‘Iwadh (ganti rugi).

c) Seluruh hak dan kewajiban antar suami isteri, termasuk utang piutang antara mereka menjadi

gugur, (menurut Imam Abu Hanifah). Sedang utang piutang dengan orang lain tidak gugur. Akan

tetapi jumhur ulama menyatakan seluruh hak dan kewajiban tidak gugur, kecuali ada

kesepakatan antara kedua belah pihak sebelumnya.

d) Suami yang mengkhulu’ tidak berhak rujuk kepada isterinya dalam massa iddahnya.Lama

iddah bagi isteri yang di khulu’ oleh suaminya itu meskipun terjadi perbedaan pendapat yang
medasar antara penetapan iddah itu namun masih ada yang menjadi pegangan bagi kita untuk

melaksanakan maksud agama Islam mensyari’atkan masa iddah yaitu untuk menentukan apakah

rahim bekas isteri mengandung anak bekas suami atau tidak.6

H. Khulu seorang wanita yang sedang sakaratul maut

6
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, Kencana Preneda Media Group, Jakarta, 2012, hlm. 225

Anda mungkin juga menyukai