Anda di halaman 1dari 16

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena atas
limpahan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan tugas yang berjudul “Rujuk,
Iddah, Nafkah” ini dengan baik dan lancar.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah MUNAKAHAT


Dalam makalah ini akan dibahas hal-hal yang menyangkut tentang bagaimana
hukum hukum yang ada dalam rumah tangga.

Kami juga menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu saya dalam menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tidak luput dari
kesalahan. Oleh karna itu saya sangat berharap dapat menerima kritik dan saran
dari semua pihak untuk kesempurnaan makalah-makalah selanjutnya. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi pembaca. Amin….

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................I
DAFTAR ISI...............................................................................................II
BAB I...........................................................................................................1
PENDAHULUAN.......................................................................................1
A.Latar Balakang.....................................................................................1
B.Rumusan Masalah................................................................................1
BAB II..........................................................................................................2
PEMBAHASAN..........................................................................................2
1.Ruju dan landasan hukumnya...............................................................2
A.Rujuk................................................................................................2
B.Hukum rujuk.....................................................................................3
2. Syarat syarat rujuk...............................................................................5
3. Cara-cara ruju.......................................................................................5
4.Iddah dan Macam-macamnya...............................................................6
A. Iddah................................................................................................6
B.Macam-macamnya...........................................................................6
5.Iddah wanita yang bercerai...................................................................7
1. Masa iddah cerai hidup (perceraian)................................................7
2. Masa iddah cerai mati (meninggal dunia)........................................7
6. Hukum berlaku dalam masa iddah.......................................................8
7. Nafkah dan dasar hukumnya................................................................8
A.Nafkah..............................................................................................8
B.Dasar hukum.....................................................................................9
8.Syarat wajib nafkah dan gugurnya nafkah..........................................10
9. Hukum suami tidak mau dan tidak mampu memberi nafkah............11
BAB III......................................................................................................13
PENUTUP..................................................................................................13
A.Kesimpulan........................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA................................................................................14

II
BAB I

PENDAHULUAN
A.Latar Balakang
Setiap keluarga selalu berharap terciptanya kehidupan yang
harmonis/sakinah mawaddah warahmah. Akan tetapi masih banyak yang belum
bisa mewujudan hal itu, sehingga seringkali terjadi percerain dalam hubungan
suami istri. Akan tetapi diberbagai ayat Allah telah memberi sinyal kepada sumai
istri yang cerai/talak untuk melakukan rujuk(kembali).

Dengan adanya syariat tentang rujuk ini merupakan indikasi bahwa islam
menghendaki bahwa suatu perkawinan berlangsung selamnya. Oleh karena itu,
kendati telah terjadi pemutusan hubugan perkawinan, Allah SWT. Masih memberi
prioritas utama kepada suaminya untuk menyambung kembali tali perkawinan
yang nyaris terputus sebelum kesempatan itu diberikan kepada orang lain setelah
berakhirnya masa iddah.

Rujuk merupakan hak suami selama masa iddah, karena tidak seorangpun
yanga dapat menghapus hak rujuk. Kalau ada seorang laki-laki berkata tidak akan
merujuk istrinya ia tetap masih tetap berhak merjukinya. Karena kemanapun istri
itu berada selama masih dalam tanggungan iddah, suami masih punya hak untuk
merujuknya karena dalam masa iddah itu suami masih mempunyai tanggunan
untuk memberi nafkah.

B.Rumusan Masalah
1. apa defenisi ruju dan landasan hukumnya?
2. apa saja syarat sah dan ruju?
3. Bagaiman cara cara ruju? \
4. Apa yang dimaksud dengan ‘IDDAH dan macam-macamnya?
5. Bagaiman masa IDDAH wanita yang bercerai hidup dan bercerai
mati (meninggal dunia) ?
6. Apa saja Hukum berlaku dalam masa IDDAH?
7. Apa itu nafkah dan dasar hukumnya?
8. Apa saja syarat wajib nafkah dan gugurnya nafkah?
9. Beberapa kondisi :
a. Suami tidak mau memberi nafkah
b. Suami tidak mampu memberi nafkah

III
BAB II

PEMBAHASAN
1.Ruju dan landasan hukumnya
A.Rujuk
Menurut bahasa Arab, kata ruju‟ berasal dari kata raja‟a – yarji‟u –
rujk‟an yang berarti kembali, dan mengembalikan.Dalam istilah hukum Islam,
para fuqaha‟ mengenal istilah “ruju” dan istilah “raj‟ah” yang keduanya semakna.
Defenisi rujuk dalam pengertian fiqh menurut al-Mahalli adalah : Kembali ke
dalam hubungan pernikahan dari cerai yang bukan talak bain, selama masa iddah.

Ulama Hanafiyah memberi definisi ruju‟ sebagaimana dikemukakan oleh


Abu Zahrah, sebagai berikut : Ruju‟ ialah melestarikan pernikahan dalam masa
iddah talak (raj‟i)[Sedangkan rujuk menurut para ulama madzhab adalah sebagai
berikut :

a. Hanafiyah, rujuk adalah tetapnya hak milik suami dengan tanpa adanya
pengganti dalam masa iddah, akan tetapi tetapnya hak milik tersebut akan hilang
bila habis masa iddah.

b. Malikiyah, rujuk adalah kembalinya istri yang dijatuhi talak, karena


takut berbuat dosa tanpa akad yang baru, kecuali bila kembalinya tersebut dari
talak ba‟in, maka harus dengan akad baru, akan tetapi hal tersebut tidak bisa
dikatakan rujuk.

c. Syafi‟iyah, rujuk adalah kembalinya istri ke dalam ikatan pernikahan


setelah dijatuhi talak satu atau dua dalam masa iddah. Menurut golongan ini
bahwa istri diharamkan berhubungan dengan suaminya sebagaimana berhubungan
dengan orang lain, meskipun suami berhak merujuknya dengan tanpa kerelaan.
Oleh karena itu rujuk menurut golongan Syafi‟iyah adalah mengembalikan
hubungan suami istri ke dalam ikatan pernikahan yang sempurna.

d. Hanabilah, rujuk adalah kembalinya istri yang dijatuhi talak selain


talak ba‟in kepada suaminya dengan tanpa akad. Baik dengan perkataan atau
perbuatan (bersetubuh) dengan niat ataupun tidak.

Pada dasarnya para ulama madzhab sepakat, walaupun dengan redaksi


yang berbeda bahwa rujuk adalah kembalinya suami kepada istri yang dijatuhi
talak satu dan atau dua, dalam masa iddah dengan tanpa akad nikah yang baru,
tanpa melihat apakan istri mengetahui rujuk suaminya atau tidak, apakah ia
senang atau tidak, dengan alasan bahwa istri selama masa iddah tetap menjadi
milik suami yang telah menjatuhkan talak tersebut kepadanya.

Rujuk adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh sang
suami setelah menjatuhkan talak terhadap istrinya, baik melalui ucapan yang jelas
atau melalui perbuatan dengan tujuan kembali ke dalam ikatan pernikahan, konsep
rujuk dalan bahasan fiqh Islam dibicarakan dalam permasalahan talak satu dan
talak dua.

IV
Dapat dirumuskan bahwa ruju‟ ialah “mengembalikan status hukum
pernikahan secara penuh setelah terjadinya talak raj‟i yang dilakukan oleh bekas
suami terhadap bekas bekas istrinya dalam masa iddah dengan ucapan tertentu”.

Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan terjadinya talak


antara suami istri meskipun berstatus talak raj‟i, namun pada dasarnya talak itu
mengakibatkan keharaman hubungan seksual antara keduanya, sebagaimana laki-
laki lain juga diharamkan melakukan hal yang serupa itu. Oleh karena itu, kendati
bekas suami dalam masa iddah berhak merujuk bekas istrinya itu dan
mengembalikannya sebagaimana suami istri yang sah secara penuh, namun karena
timbulnya keharaman itu berdasarkan talak yang diucapkan oleh bekas suami
terhadap bekas istrinya itu, maka untuk menghalalkan kembali bekas istrinya
menjadi istrinya lagi haruslah dengan pernyataan rujuk yang diucapkan oleh bekas
suami dimaksud.

B.Hukum rujuk
Dalam satu sisi rujuk itu adalah memngbangun kembali kehidupan
perkwainan yang terhenti atau memasuki kembali kehidupan pernikahan. Kalau
membangun kehidupan pernikahan pertama kali disebut pernikahan, maka
melanjutkannya disebut rujuk. Hukum rujuk demikian sama dengan hukum
pernikahan, dalam mendudukkan hukum rujuk itu ulama berbeda pendapat.
Jumhur ulama mengatakan bahwa rujuk itu adalah sunat, Dalil yang digunakan
jumhur ulama itu adalah firman Allah SWTdalam surat al-Baqarah ayat 229 :

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”.

Demikian pula firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228 :

“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika


mereka (para suami) menghendaki ishlah”.

Kata imsak dalam ayat pertama dan kata rad dalam ayat kedua
mengandung maksud yang sama yaitu kembalinya suami kepada istri yang telah
diceraikannya. Tidak ada perintah yang tegas dalam kedua ayat tersebut untuk
ruuk. Adanya perintah Nabi supaya Ibnu Umar rujuk karena sebelumnya dia
menalaknya dalam keadaan haid. Oleh karenan itu hukum rujuk iru adalah sunat.
[6][6] Ibnu Rusyd membagi hukum ruju‟ kepada dua, yaitu hukum ruju‟ pada
talak raj‟i dan hukum ruju‟ pada ta;ak ba‟in :

a. Hukum rujuk pada talak raj‟i

Kaum muslimin telah sependapat bahwa suami mempunyai hak meruju‟


istri pada talak raj‟i, selam isteri masih berada dalam masa iddah, tanpa
mempertimbangkan persetujuan isteri, berdasarkan firman Allah SWT :

“Dan suami-suaminya berhak merujuk mereka (istri-istri) dalam masa


menanti itu” (Al-Baqarah : 228)

Fuqaha juga sependapat bahwa syarat talak raj‟i ini harus terjadi setelah
dukhul (bersetubuh) dan rujuk dapat terjadi dengan kata-kata dan saksI.

b. Hukum rujuk pada talak ba‟in

V
Rujuk terhadap wanita yang ditalak ba‟in terbatas hanya terhadap wanita
yang ditalak melalui khluu‟, dengan tebusan, dengan syarat dicampuri dan
hendaknya talaknya tersebut bukan talak tiga. Ulama empat madzhab sepakat
bahwa hukum wanita seperti itu sama dengan wanita lain (bukan istri) yang untuk
mengawininya kembali disyaratkan adanya akad, mahar, wali, kesediaan si
wanita. Hanya saja dalam hal ini selesainya iddah tidak dianggap sebagai syarat.

Hukum ruju‟ setelah talak tersebut sama dengan nikah baru. Mazhab
empat sepakat bahwa hukum wanita seperti itu sama dengan wanita lain (bukan
istri) yang untuk mengawinkannya kembali disyaratkan adanya akad. Hanya saja
dalam hal ini selesainya, iddah tidak dianggap sebagai syarat.

1) Talak Bain Karena Talak Tiga Kali

Mengenai istri yang ditalak tiga kali, para ulama mengatakan bahwa ia
tidak halal lagi bagi suaminya yang pertama, kecuali sesudah digauli oleh suami
kedua, berdasarkan hadits Rifa‟ah :

“Sesungguhnya Rifa‟ah menalak tiga istrinya, Tamimah binti Wahb, pada


Rsulullag SAW., makan Tmimah kawin dengan Abdurrahman bin Az-Zubair.
Kemudian Abdurrahman berpaling darinya tanpa dapat menggaulinya, lalu iapun
menceraikannya. Maka Rifa‟ah, suaminya yang pertama, bermaksud hendak
mengawininya, maka Rasulullah melarang kehendak perkawinan Rifa‟ah dengan
bersabda : Tamimah tidak halal bagimu hingga ia merasakan madu.” (HR. An-
Nasai)

Semua fuqaha berpendapat bahwa bertemunya dua alat kelamin


menyebabkan halalnya bekas istrinya tersebut. Kecuali al-Hasan al-Basri yang
mengatakan bahwa istri tersebut baru menjadi dengan terjadinya pergaulan yang
mengeluarkan air mani.

2) Nikah Muhalil

Dalam kaitan ini, fuqaha berselisih pendapat mengenai nikah muhallil.


Yakni jika seorang lelaki mengawini seorang perempuan dengan syarat (tujuan)
untuk menghalalkannya bagi suami yang pertama.

Imam Malik berpendapat bahwa nikah tersebut rusak dan harus difasakh,
baik sesudah maupun sebelum terjadinya pergaulan. Demikian pula syarat
tersebut rusak dan tidak berakibat halalnya perumpuan tersebut. Dan baginya
keinginan istri untuk menikah tahlil tidak dipegangi, tetapi keinginan lelaki itulah
yang dipegangi. Imam Malik dan pengikutnya beralasan dengan hadits yang
diriwayatkan dari Nabi SAW. Dari Ali bin Abi Thalib r.a, Ibnu Mas‟ud r.a, Abu
Hurairah r.a dan Uqbah bin Amir r.a

“Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : Allah melaknat perkawinan


orang yang menghalalkan (al-Muhallil) dan orang yang dihalalkan untuknya (al-
Muhallal lah).” (HR. At-Tirmidzi)

Imam Asy-Syafi‟i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah muhallil


dibolehkan, dan niat untuk menikah itu tidak mempengaruhi sahnya. Pendapat ini
dikemukakan pula oleh Daud dan segolongan fuqaha. Mereka berpendapat bahwa
pernikahan tersebut menyebabkan kehalalan istri yang dicerai tiga kali.

VI
2. Syarat syarat rujuk
1. Syarat rujuk dari sisi istri adalah istri yang telah ditalak pernah
melakukan hubungan seksual dengan sang suami. Jika suami menalak
istri yang belum pernah melakukan hubungan seksual bersama, ia
nggak berhak mengajak rujukan. Hal ini sudah merupakan kesepakatan
para ulama.
2. Syarat rujuk dari sisi suami adalah ia nggak boleh merasa terpaksa kala
mengajak rujuk istrinya, berakal sehat, dan sudah akil baligh atau
dewasa.
3. Talak yang jatuh bukanlah talak tiga, melainkan talak raj'i.
4. Talak yang terjadi tanpa tebusan. Jika dengan tebusan, istri menjadi
talak bain (talak yang dijatuhkan suami pada istrinya yang telah habis
masa iddah-nya) dan suami nggak dapat mengajak istrinya untuk
rujukan.
5. Rujuk dilakukan pada masa iddah atau masa menunggu istri. Jika
sudah lewat masa iddah, suami nggak dapat mengajak istri untuk rujuk
kembali dan ini sudah menjadi kesepakatan para ulama fikih.
6. Adanya ucapan jelas atau tersirat untuk mengajak rujukan
7. Adanya saksi yang menyaksikan suami dan istri rujuk kembali.
Sebagaimana firman Allah swt yang berbunyi: “Maka bila mereka
telah mendekati akhir iddahnya, maka rujuklah (kembali kepada)
mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan
hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” (Q.S. at-Talaq:
2).

3. Cara-cara ruju
Tata cara rujuk setelah perceraian suami istri

Pasangan mantan suami istri yang akan melakukan rujuk setelah


perceraian suami istri harus datang menghadap PPN (Pegawai Pencatat Nikah)
atau Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) yang mewilayahi tempat tinggal istri
dengan membawa surat keterangan untuk rujuk setelah perceraian suami istri dari
Kepala Desa/ Lurah serta Kutipan dari Buku Pendaftaran Talak/ Cerai atau Akta
Talak/ Cerai.

Adapun prosedurnya adalah sebagai berikut :

Di hadapan PPn suami mengikrarkan rujuk setelah perceraian suami


istrinya kepada istri disaksikan minimal dua orang saksi

PPN mencatatnya dalam Buku Pendaftaran Rujuk setelah perceraian suami


istri, kemudian membacanya dihadapan suami-istri tersebut terhadap saksi-saksi,
dan selanjutnya masing-masing membubuhkan tanda tangan.

PPN membuatkan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk setelah perceraian


suami istri rangkap dua dengan nomor dan kode yang sama

Kutipan diberikan kepada suami-istri yang rujuk setelah perceraian suami


istri

VII
PPN membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk setelah perceraian
suami istri dan mengirimnya ke Pengadilan Agama yang mengeluarkan akta talak
yang bersangkutan

Suami-istri dengan membawa Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk setelah


perceraian suami istri datang ke Pengadilan Agama tempat terjadinya talak untuk
mendapatkan kembali Akta Nikahnya masing-masing

Pengadilan Agama memberikan Kutipan Akta Nikah yang bersangkutan


dengan menahan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk setelah perceraian suami istri.

4.Iddah dan Macam-macamnya


A. Iddah
Iddah berasal dari kata"addad, menurut bahasa artinya menghitng.
Sedangkan menurut istilah syara' ialah masa menunggu seorang istri selama waktu
tertentu setelah terjadi talaq atau ditinggal mati oleh suami. Seorang istri
mendapatkan talaq atau perceraian dengan suaminya tidak bleh dengan segera
menikah dengan laki2 lain, ia harus menunggu dalam jangka waktu tertentu sesuai
dengan syariat Islam. Tujuannya iddah ini adalah untuk mengetahui secara lebih
nyata tentang kesucian kandungan perempuan yang ditalaq. Masa suci atau
menunggu sampai anak dalam kandungannya dilahirkan.

B.Macam-macamnya
Istri yang telah bercerai dengan suaminya tetapi belum sempat
berhubungan suami istri, maka tidak akan dikenai iddah. Akan tetapi bila pernah
bergaul sebagaimana layaknya suami istri, maka wajib melakukan iddah dengan
ketentuan sebagai berikut :

 Bagi perempuan yang masi haid, maka iddahnya adalah tiga kali suci,
sebagaimana yang dijelaskan pada firman Allah tersebut diatas
 Bagi perempuan yang sudah tidak haid lagi karena usia maupun penyakit,
maka iddahnya adalah selama tiga bulan. Sebagaimana firman Allah :

‫َو الاَّل ِئي َيِئْس َن ِم َن اْلَم ِح يِض ِم ْن ِنَس اِئُك ْم ِإِن اْر َتْبُتْم َفِع َّد ُتُهَّن َثاَل َثُة َأْش ُهٍر َو الاَّل ِئي َلْم‬
‫َيِح ْض َن‬
Artinya " Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi, baik karena usia
maupun penyakit, maka iddahnya tiga bulan. Demikian pula perempuan-
perempuan yang belum mengalami haid".(Q.S.at-Talaq ayat 4).

Adapun perempuan-perempuan yang tidak haid itu misalnya :

Masih kecil (belum baligh)

Sudah sampai umur tetepi belum haid

Sudah berusia lanjut sehingga tidak bisa haid lagi

VIII
 Bagi wanita yang sedang mengandung, maka iddahnya sampai melahirkan.
Firman Allah :

‫َو ُأواَل ُت اَأْلْح َم اِل َأَج ُلُهَّن َأْن َيَض ْع َن َحْم َلُهَّن ۚ َو َم ْن َيَّتِق َهَّللا َيْج َع ْل َلُه ِم ْن َأْم ِر ِه ُيْسًرا‬
Artinya :"Perempuan-perempuan yang sedang mengandung iddahnya
sampai melahirkan anaknya (Q.S.at-Talaq ayat 4)

 Bagi wanita yang ditinggalkan mati suaminya dalam kenadaan tidak


mengandung, maka iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. Sebagaimana firman
Allah :

Artinya :"Orang yang meninggal diantara kamu, sedang mereka


meninggalkan istri, iddahnya empat bulan sepuluh hari".(Q.S.Al-Baqarah ayat
234)

 Wanita yang terkena darah Istihadhah

Istihadhah adalah darah yang berasal dari urat yang pecah / putus dan
keluarnya bukan pada waktu haid/nifas tetapi terkadang juga keluar pada masa
haid dan saat nifas, karena dia adalah darah berupa penyakit, maka tidak akan
berhenti mengalir sampai wanita itu sembuh darinya.

5.Iddah wanita yang bercerai


1. Masa iddah cerai hidup (perceraian)
Syamsul bilang ketika wanita tersebut cerai hidup, masa iddahnya tiga kali
suci sesuai Q.S Al Baqarah ayat 228.

‫َو اْلُم َطَّلٰق ُت َيَتَر َّبْص َن ِبَاْنُفِس ِهَّن َثٰل َثَة ُقُر ْۤو ٍۗء َو اَل َيِح ُّل َلُهَّن َاْن َّيْك ُتْم َن َم ا َخ َلَق ُهّٰللا ِفْٓي‬
‫َاْر َح اِم ِهَّن ِاْن ُك َّن ُيْؤ ِم َّن ِباِهّٰلل َو اْلَيْو ِم اٰاْل ِخ ِۗر َو ُبُعْو َلُتُهَّن َاَح ُّق ِبَر ِّد ِهَّن ِفْي ٰذ ِلَك ِاْن َاَر اُد ْٓو ا ِاْص اَل ًحا‬
‫ۗࣖ َو َلُهَّن ِم ْثُل اَّلِذ ْي َع َلْيِهَّن ِباْلَم ْع ُرْو ِۖف َو ِللِّر َج اِل َع َلْيِهَّن َد َر َج ٌةۗ َو ُهّٰللا َع ِز ْيٌز َح ِكْيٌم‬

Artinya: "Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka
menunggu tiga kali quru. Mereka tidak boleh menyembunyikan apa yang
diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhir. Dan para suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam (masa)
itu, jika mereka menghendaki perbaikan.

Quru yang dimaksud adalah haid atau suci. Jadi wanita itu menunggu tiga
kali quru maksudnya menanti tiga kali datang bulan (menstruasi) sampai suci
kembali.

2. Masa iddah cerai mati (meninggal dunia)


Untuk wanita yang berpisah karena suami meninggal dunia, kata Syamsul,
masa iddahnya adalah 4 bulan 10 hari sebagai mana diterangkan Q.S Al Baqarah
ayat 234.

IX
‫َو اَّلِذ ْيَن ُيَتَو َّفْو َن ِم ْنُك ْم َو َيَذ ُرْو َن َاْز َو اًجا َّيَتَر َّبْص َن ِبَاْنُفِس ِهَّن َاْر َبَع َة َاْش ُهٍر َّوَع ْش ًراۚ فِاَذ ا‬
‫َبَلْغ َن َاَج َلُهَّن َفاَل ُجَناَح َع َلْيُك ْم ِفْيَم ا َفَع ْلَن ِفْٓي َاْنُفِس ِهَّن ِباْلَم ْع ُرْو ِۗف َو ُهّٰللا ِبَم ا َتْع َم ُلْو َن َخ ِبْيٌر‬

Artinya: "Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan


istri-istri, hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah sampai (akhir) iddah mereka, maka tidak ada dosa
bagimu mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka menurut cara
yang patut. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."

6. Hukum berlaku dalam masa iddah


Bagi seorang istri yang mengalami talaq atau cerai, baik hidup atau pun
mati maka wajib menjalani masa iddah. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Al-
qur'an :

‫َو اْلُم َطَّلَقاُت َيَتَر َّبْص َن ِبَأْنُفِس ِهَّن َثاَل َثَة ُقُروٍء ۚ َو اَل َيِح ُّل َلُهَّن َأْن َيْك ُتْم َن َم ا َخ َلَق ُهَّللا ِفي‬
ۚ‫َأْر َح اِم ِهَّن ِإْن ُك َّن ُيْؤ ِم َّن ِباِهَّلل َو اْلَيْو ِم اآْل ِخ ِر ۚ َو ُبُعوَلُتُهَّن َأَح ُّق ِبَر ِّد ِهَّن ِفي َٰذ ِلَك ِإْن َأَر اُدوا ِإْص اَل ًحا‬
‫َو َلُهَّن ِم ْثُل اَّلِذ ي َع َلْيِهَّن ِباْلَم ْعُروِف ۚ َو ِللِّر َج اِل َع َلْيِهَّن َد َر َج ٌةۗ َو ُهَّللا َع ِز يٌز َح ِكيٌم‬
Artinya "Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru' tidak boleh menyembunyikan apa yang diciptakan
Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan
suami-suami berhak merujuknya dalam masa menanti itu , jika mereka para suami
nenghendaki ishlah. Dan para mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu
tingkatan kelebihan dari pada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana". (Q.S.Al-baqarah ayat 228)

7. Nafkah dan dasar hukumnya


A.Nafkah
Nafkah merupakan salah satu kewajiban yang dibebankan oleh Allah SWT
kepada suami. Nafkah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan
belanja untuk hidup; (uang) pendapatan; belanja yang diberikan kepada isteri, atau
rezeki; bekal hidup sehari-hari.Dari keterangan tersebut, maka nafkah diartikan
dengan belanja hidup yang diberikan oleh suami kepada isterinya.

Pengertian ini sangat berbeda dengan pengertian yang diberikan Abdul


Aziz Dahlan, bahwa nafkah adalah “pengeluaran yang dapat digunakan seseorang
untuk sesuatu yang baik atau dibelanjakan untuk orang-orang yang menjadi
tanggung jawabnya.”

Berdasarkan kedua kutipan di atas, dapat diambil suatu pemahaman,


bahwa pengertian nafkah berbeda menurut letak tempat. Jika letak tempatnya
berada dalam sebuah keluarga, maka pengertian nafkah dapat diberikan biaya
hidup yang menjadi tanggungan suami terhadap isterinya. Akan tetapi, jika

X
letaknya pada tempat yang umum, maka pengertian yang diberikan pengeluaran
yang digunakan seseorang untuk keperluan yang baik.

Namun, apabila dilihat dari pengertian menurut Hasan Shadly, nafkah


adalah “pemberian yang diberikan seorang suami kepada seorang isteri dan anak-
anaknya sebagai tanggung jawab dalam keluarga.”Akan tetapi, Imam Syafi’i
sendiri memberikan pengertian adalah “pemberian wajib yang mesti diberikan
oleh suami kepada isteri dan anak-anaknya baik berupa makanan, pakaian dan
perumahan.”

Jadi, nafkah adalah mencakup kebutuhan isteri berupa makanan, tempat


tinggal, pakaian dan obat-obatan, walaupun isteri tersebut orang kaya. Hal ini
diwajibkan berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ ulama.

B.Dasar hukum
Dalam firman Allah SWT yang lain dijelaskan sebagai berikut:

‫أسكنوهن من حيث س´´كنتم من وجدكم وال تضاروهن لتضيقوا عليهن وإن كن أوالت حمل فأنفقوا عليهن‬
‫ لينفق‬،‫حتى يضعن حملهن فإن أرضعن لكم فآتوهن أجورهن وأتمروا بينكم بمعروف وإن تعاسرتم فسترضع له أخرى‬
‫ س´يجعل هللا بعد عسر يسرى‬,‫ اليكلف هللا نفسا اال ماءاتها‬,‫ ومن قدر عليه رزقه فلينفق مماءاته هللا‬,‫ذوسعة من سعته‬
)٧ -٦ :‫(الطالق‬

Artinya: Tempatkanlah mereka (para isterimu) di mana kamu bertempat


tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu
sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin,
kemudian jika menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada
mereka upahnya; dan musyawarahlah diantara kamu (segala sesuatu), dengan
baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan
(anak itu) untuknya. “Hendaklah orang yang memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikul beban
kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang telah diberikan kepadanya. Allah
kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (Q. S. ath-Thalaq: 6 - 7)

Dari keterangan ayat al-Qur’an di atas mendeskripsikan, bahwa


memberikan nafkah kepada isteri oleh suami tidak perlu dipertanyakan lagi
tentang ketetapan hukumnya. Akan tetapi, dalam memberikan nafkah kepada
isteri hukum syara’ tidak ditentukan batas yang harus dipenuhi oleh suami, karena
dalam al-Qur’an hanya ditetapkan sekedar menurut kemampuan suami dalam
memenuhi nafkah isterinya.

Sementara itu dalam hadits yang lain disebutkan sebagai berikut:

‫ أن هندا بنت عتبه قالت يارسول هللا صلى هللا عليه وسلم ان أبا سفيان رجل‬: ‫عن عائشة رضي هللا عنها‬
)‫ وليس يعطينى وولدى اال ما اخذت منه – وهو ال يعلم قال خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف (رواه البخاري‬: ‫شيخ‬

Artinya: Aisyah ra menceritakan bahwa Hindun bin Uthbah bertanya, Ya


Rasulullah saw sesungguhnya Abu Sofyan (suaminya) ialah seorang laki-laki
yang kikir. dia tidak memberi kepada saya dan anak saya kecuali bila saya ambil
darinya sesuatu, tanpa sepengetahuannya, bagaimana itu? “jawab beliau, “ambil
saja secukupnya bagimu dan anakmu dengan baik. (H. R. Bukhari).

XI
Dari ilustrasi hadits di atas maka dapat dipahami, bahwa kewajiban
memberikan nafkah kepada isteri oleh suami tidak saja dilakukan secara terang-
terangan, melainkan secara sembunyi-sembunyi. Artinya apabila suami tidak
memberikan nafkah, maka isteri berhak mengambil harta tanpa sepengetahuan
suaminya untuk keperluan hidup dengan sekadar secukupnya. Di sisi lain,
kewajiban memberikan nafkah tidak saja dilakukan pada waktu-waktu biasa,
melainkan ketika isteri menyeleweng dan mendapatkan sanksi dari suami, tetap
wajib menerima biaya hidup dari suaminya.

Semua ulama fiqh sependapat, bahwa wajib menafkahi isteri oleh semua
suami, bila semua isteri telah baligh, kecuali bila isteri durhaka kepadanya. Di
antaranya Ibnu Mundzir terdapat pemahaman, bahwa isteri yang durhaka boleh
ditahan di rumah, sehingga dia tidak boleh berbuat bebas dan tidak dapat pergi
berusaha, tapi wajib dibiayai.

Berdasarkan keterangan yang telah dikemukakan di atas, dapat dipahami,


bahwa persoalan kewajiban memberikan nafkah kepada isteri, memang tidak
dapat ditolerir lagi, karena terdapat ketentuan hukum yang dapat diganggu gugat.
Artinya penetapan hukum tentang wajib nafkah sudah tidak perlu dipungkiri oleh
khalayak ramai, sehingga siapapun yang hendak membina rumah tangga, salah
satu persyaratan yang harus dipersiapkan adalah mampu memenuhi nafkah kepada
isterinya.

8.Syarat wajib nafkah dan gugurnya nafkah


Ada pun syarat wajib nafkah ialah :

 Akadnya sah
 Istri itu memberikan tamkin kepada suaminya untuk dapat ditamattu‟i.
 Istri tidak keberatan untuk pindah tempat apabila suami
menghendakinya, kecuali apabila suami bermaksud jahat dengan
kepergiannya itu atau tidak membuat aman diri istri dan kekayaannya.
 Istri masih mampu melaksanakan kewajibannya.

Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka suami tidak


berkewajiban memberi nafkah kepada istrinya. Dengan kata lain, bahwa nafkah
itu akan gugur apabila:

 Istri masih kecil atau belum baligh meskipun sudah menyerahkan diri
untuk dicampuri. Sebaliknya kalau yang masih kecil adalah suaminya
sedangkan istrinya sudah baligh,maka nafkah wajib dibayar, sebab
kemungkinan nafkah itu ada di pihak istri. Sedangkan halangan tidak
menerima nafkah itu dari pihak suami.
 Istri tidak mampu digauli karena suatu sebab selain karena masih kecil,
misalnya keadaanya rataq (farji tertutup daging) atau sakit atau gila.
 Apabila istri pergi dari rumah suaminya seorang diri tanpa alas an shar‟I>
atau tanpa izin suami ke tempat yang diperbolehkannya
 Istri dipenjara
 Istri melakukan tindakan yang dilarang suaminya
 Istri nushuz (menyimpang dari ketaatan suami). Nushu disebabkan oleh
tiga hal yaitu

XII
 Istri menolak suami untuk melakukan istimtā.
 Keluarnya istri dari tempat tinggalnya tanpa seizin suami yaitu
tempat tinggal istri yang mendapat kerelaan suami baik rumah
suami maupun bukan (rumah istri sendiri maupun rumah ayah
istri). Sebab-sebab diperbolehkannya istri keluar rumah dalam
beberapa hal antara lain:
 Rumah yang ditempati istri akan runtuh
 Istri menghawatirkan dirinya atau hartanya dari orang
fa>siq atau pencuri
 Untuk mencari nafkah dengan berdagang atau bekerja bila suaminya
mengalami kemiskinan (kemelaratan)
 Sebab istri menutup pintu rumah (melarang suami masuk rumah)
 Sebab bohongnya istri bahwa dirinya telah tertalak tiga.
 Akad nikah batal atau rusak (fasakh), seperti dikemudian hari ternyata
kedua suami istri itu mempunyai hubungan mahram dan sebagainya, maka
istri wajib mengembalikan nafkah yang diberikan suaminya jika nafkah itu
diberikan berdasarkan keputusan Pengadilan, namun bila nafkah diberikan
tidak atas dasar keputusan Pengadilan, maka pihak istri tidak wajib
mengembalikannya.

9. Hukum suami tidak mau dan tidak mampu memberi nafkah


Pada dasarnya, kewajiban memberi nafkah dibebankan kepada suami
sebagai kepala rumah tangga. Namun adakalanya kewajiban tersebut tidak bisa
terpenuhi karena satu dan lain hal. Nafkah di sini meliputi nafkah lahir dan batin.
Disisi lain, perekonomian dalam keluarga merupakan hal yang tidak dapat
dipastikan keadaannya. Adakalanya kondisi suami berada dalam kesusahan
sehingga ia tidak mampu menjalani kewajibannya dalam memenuhi nafkah bagi
keluarganya. apabila kondisi tersebut terjadi dalam suatu keluarga, maka
kewajiban nafkah suami tidaklah hilang, melainkan tetap berlakunya pemenuhan
nafkah minimal yang mencakup pangan, pakaian, dan tempat tinggal, sesuai
standar orang tersusah di wilayah tersebut. Cara ini berdasar pada dalil yang
menyebut bahwa pemenuhan nafkah kepada istri tidak dijadikan beban bagi suami
dimana pemenuhannya dapat menyesuaikan kondisi dan kemampuan orang
tersebut.

‫لُِيْنِفْق ُذ ْو َسَعٍة ِّم ْن َسَع ِتٖۗه َو َم ْن ُقِدَر َع َلْيِه ِرْز ُقٗه َفْلُيْنِفْق ِمَّم آ ٰا ٰت ىُه ُۗهّٰللا اَل ُيَك ِّلُف ُهّٰللا َنْفًسا ِااَّل‬
‫َم آ ٰا ٰت ىَهۗا َسَيْج َع ُل ُهّٰللا َبْع َد ُعْس ٍر ُّيْسًرا‬

Artinya: “Hendaklah orang yang lapang (rezekinya) memberi nafkah


menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah
memberi nafkah dari apa (harta) yang dianugerahkan Allah kepadanya. Allah
tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang
dianugerahkan Allah kepadanya. Allah kelak akan menganugerahkan kelapangan
setelah kesempitan,” (QS. At-Thalaq: 7).

XIII
Selain itu, suami yang mengalami kesulitan ekonomi meski sudah
berusaha juga menjadikan istri boleh dan dianjurkan ikut membantu
menggunakkan harta pribadinya, ataupun meminjam kepada tetangganya.
Nantinya uang tersebut akan jatuh sebagai hutang milik suaminya.

Namun disisi lain, kondisi suami yang tidak mampu memberi nafkah ini
juga dapat menjadi dasar diperbolehkannya fasakh, yakni pembatalan perkawinan.
Sebagaimana dikutip dalam Al-Majmu’syarh Al-Muhadzdzab jilid XVII, hal. 269:

‫ الن بدنها يقوم بنفقة المعسر وان‬،‫ وال يثبت لها الخيار في فسخ النكاح‬،‫نفقة المعسر‬
‫أعسر بنفقة المعسر كانت بالخيار بين أن تصبر وبين أن تفسخ النكاح‬.

Artinya, “Jika suami awalnya berkecukupan kemudian berubah menjadi


orang susah, maka ia wajib memberi nafkah kepada istrinya dengan standar
nafkah mu’sir, dan istrinya tidak mempunyai pilihan untuk membatalkan
perkawinan, karena tubuhnya masih bisa hidup dengan standar nafkah tersebut.
Jika suami (bahkan) kesulitan memberi nafkah sesuai standar nafkah mu’sir, maka
istri mempunyai pilihan antara bersabar atau membatalkan pernikahan.”

Meski begitu, hubungan rumah tangga sejatinya merupakan ikatan yang


menjadikan suami istri sebagai kesatuan untuk hidup berdampingan dan saling
membantu. Maka dari itu, pembatalan perkawinan disebabkan nafkah pun
sebaiknya ditempuh sebagai jalan keluar terakhir dalam rumah tangga.

XIV
BAB III

PENUTUP
A.Kesimpulan
Rujuk, iddah, dan nafkah adalah konsep yang penting dalam pernikahan
dalam konteks agama Islam. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai ketiga
konsep tersebut:

 Rujuk

Rujuk dalam konteks pernikahan Islam merujuk pada tindakan


mengembalikan status hukum perkawinan setelah terjadi talak raji (talak yang
masih bisa dirujuk kembali). Rujuk dilakukan oleh suami yang telah menceraikan
istrinya dan ingin kembali hidup bersama. Rujuk dapat dilakukan selama masa
iddah, yaitu masa tunggu setelah talak diucapkan. Rujuk dilakukan dengan
melakukan akad nikah baru, seperti akad perkawinan pada umumnya.

 Iddah

Iddah adalah masa tunggu yang harus dijalani oleh seorang wanita setelah
talak atau kematian suami. Masa iddah ini memiliki beberapa tujuan, antara lain
untuk memastikan bahwa tidak ada kehamilan, memberikan waktu bagi pasangan
untuk merenungkan keputusan mereka, dan melindungi hak-hak perempuan. Masa
iddah setelah talak raj'i (talak yang masih bisa dirujuk kembali) adalah talak satu
atau talak dua, bukan talak bain (talak yang tidak bisa dirujuk kembali). Selama
masa iddah, pasangan masih memiliki ikatan pernikahan dan tidak boleh tidur di
luar rumah kecuali dalam keadaan darurat.

 Nafkah

Nafkah adalah tanggung jawab suami untuk memberikan kebutuhan hidup


kepada istri selama masa iddah. Nafkah iddah mencakup kebutuhan seperti tempat
tinggal, makanan, dan pakaian. Suami diharapkan memberikan nafkah iddah yang
memadai sesuai dengan kemampuannya. Jumlah nafkah iddah dapat bervariasi
tergantung pada kondisi ekonomi dan kebutuhan pasangan tersebut.

Dalam Islam, rujuk, iddah, dan nafkah merupakan bagian dari tata cara
dan ketentuan pernikahan yang diatur oleh hukum Islam. Ketentuan ini bertujuan
untuk melindungi hak-hak perempuan dan menjaga kestabilan keluarga. Penting
bagi pasangan yang mengalami talak dan ingin rujuk untuk memahami ketentuan
dan tata cara yang berlaku dalam agama Islam serta berkonsultasi dengan ahli
agama atau lembaga yang berwenang untuk mendapatkan panduan yang lebih
rinci. Semoga penjelasan ini dapat memberikan gambaran singkat mengenai rujuk,
iddah, dan nafkah dalam konteks pernikahan Islam. Jika Anda memiliki
pertanyaan lebih lanjut, jangan ragu untuk bertanya.

XV
DAFTAR PUSTAKA

As-Syekh Zainuddin Bin Abdul Aziz Al-Malibari, Terjemah Fathul Mu’in,


Jil. 3, (Surabaya: Al-Hidayah, 1993) Hal. 186.

Muhammad Bakir Al-Habsi , Fikih Prastis;Menurut Al-Qur’an, As-


Sunnah Dan Pendapat Ulama’, (Bandung: Mizan, 2002 ), Hal. 204-205.

HR. Abu Daud, An-Nasai, Ibnu Majjah, dan Ad Darimi.

Prof. Dr. Zuhaili, Wahbah. Fiqih Imam Syafi’i, alih bahasa Muhammad
Afifi dan Abdul Hafiz. Juz.II, Cet. 1,(Jakarta: Al-Mahira, Vol. 3, No. 2, 2008).
Hal.496.

Dr. H. Amiur nuruddin & Drs. Azhari Akmal Nuruddin, Hukum Perdata
Islam di Indonesia (studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No.
1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006).

Drs. Murni Djamal (Dirjen Pembinaan Kelembagaan agama Islam


Depag), Ilmu Fiqig jilid II cet. II, (Jakarta: Proyek Pembinaan PTA IAIN, 1984).

XVI

Anda mungkin juga menyukai