Segala puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena atas
limpahan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan tugas yang berjudul “Rujuk,
Iddah, Nafkah” ini dengan baik dan lancar.
Kami juga menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu saya dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tidak luput dari
kesalahan. Oleh karna itu saya sangat berharap dapat menerima kritik dan saran
dari semua pihak untuk kesempurnaan makalah-makalah selanjutnya. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi pembaca. Amin….
I
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................I
DAFTAR ISI...............................................................................................II
BAB I...........................................................................................................1
PENDAHULUAN.......................................................................................1
A.Latar Balakang.....................................................................................1
B.Rumusan Masalah................................................................................1
BAB II..........................................................................................................2
PEMBAHASAN..........................................................................................2
1.Ruju dan landasan hukumnya...............................................................2
A.Rujuk................................................................................................2
B.Hukum rujuk.....................................................................................3
2. Syarat syarat rujuk...............................................................................5
3. Cara-cara ruju.......................................................................................5
4.Iddah dan Macam-macamnya...............................................................6
A. Iddah................................................................................................6
B.Macam-macamnya...........................................................................6
5.Iddah wanita yang bercerai...................................................................7
1. Masa iddah cerai hidup (perceraian)................................................7
2. Masa iddah cerai mati (meninggal dunia)........................................7
6. Hukum berlaku dalam masa iddah.......................................................8
7. Nafkah dan dasar hukumnya................................................................8
A.Nafkah..............................................................................................8
B.Dasar hukum.....................................................................................9
8.Syarat wajib nafkah dan gugurnya nafkah..........................................10
9. Hukum suami tidak mau dan tidak mampu memberi nafkah............11
BAB III......................................................................................................13
PENUTUP..................................................................................................13
A.Kesimpulan........................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA................................................................................14
II
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Balakang
Setiap keluarga selalu berharap terciptanya kehidupan yang
harmonis/sakinah mawaddah warahmah. Akan tetapi masih banyak yang belum
bisa mewujudan hal itu, sehingga seringkali terjadi percerain dalam hubungan
suami istri. Akan tetapi diberbagai ayat Allah telah memberi sinyal kepada sumai
istri yang cerai/talak untuk melakukan rujuk(kembali).
Dengan adanya syariat tentang rujuk ini merupakan indikasi bahwa islam
menghendaki bahwa suatu perkawinan berlangsung selamnya. Oleh karena itu,
kendati telah terjadi pemutusan hubugan perkawinan, Allah SWT. Masih memberi
prioritas utama kepada suaminya untuk menyambung kembali tali perkawinan
yang nyaris terputus sebelum kesempatan itu diberikan kepada orang lain setelah
berakhirnya masa iddah.
Rujuk merupakan hak suami selama masa iddah, karena tidak seorangpun
yanga dapat menghapus hak rujuk. Kalau ada seorang laki-laki berkata tidak akan
merujuk istrinya ia tetap masih tetap berhak merjukinya. Karena kemanapun istri
itu berada selama masih dalam tanggungan iddah, suami masih punya hak untuk
merujuknya karena dalam masa iddah itu suami masih mempunyai tanggunan
untuk memberi nafkah.
B.Rumusan Masalah
1. apa defenisi ruju dan landasan hukumnya?
2. apa saja syarat sah dan ruju?
3. Bagaiman cara cara ruju? \
4. Apa yang dimaksud dengan ‘IDDAH dan macam-macamnya?
5. Bagaiman masa IDDAH wanita yang bercerai hidup dan bercerai
mati (meninggal dunia) ?
6. Apa saja Hukum berlaku dalam masa IDDAH?
7. Apa itu nafkah dan dasar hukumnya?
8. Apa saja syarat wajib nafkah dan gugurnya nafkah?
9. Beberapa kondisi :
a. Suami tidak mau memberi nafkah
b. Suami tidak mampu memberi nafkah
III
BAB II
PEMBAHASAN
1.Ruju dan landasan hukumnya
A.Rujuk
Menurut bahasa Arab, kata ruju‟ berasal dari kata raja‟a – yarji‟u –
rujk‟an yang berarti kembali, dan mengembalikan.Dalam istilah hukum Islam,
para fuqaha‟ mengenal istilah “ruju” dan istilah “raj‟ah” yang keduanya semakna.
Defenisi rujuk dalam pengertian fiqh menurut al-Mahalli adalah : Kembali ke
dalam hubungan pernikahan dari cerai yang bukan talak bain, selama masa iddah.
a. Hanafiyah, rujuk adalah tetapnya hak milik suami dengan tanpa adanya
pengganti dalam masa iddah, akan tetapi tetapnya hak milik tersebut akan hilang
bila habis masa iddah.
Rujuk adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh sang
suami setelah menjatuhkan talak terhadap istrinya, baik melalui ucapan yang jelas
atau melalui perbuatan dengan tujuan kembali ke dalam ikatan pernikahan, konsep
rujuk dalan bahasan fiqh Islam dibicarakan dalam permasalahan talak satu dan
talak dua.
IV
Dapat dirumuskan bahwa ruju‟ ialah “mengembalikan status hukum
pernikahan secara penuh setelah terjadinya talak raj‟i yang dilakukan oleh bekas
suami terhadap bekas bekas istrinya dalam masa iddah dengan ucapan tertentu”.
B.Hukum rujuk
Dalam satu sisi rujuk itu adalah memngbangun kembali kehidupan
perkwainan yang terhenti atau memasuki kembali kehidupan pernikahan. Kalau
membangun kehidupan pernikahan pertama kali disebut pernikahan, maka
melanjutkannya disebut rujuk. Hukum rujuk demikian sama dengan hukum
pernikahan, dalam mendudukkan hukum rujuk itu ulama berbeda pendapat.
Jumhur ulama mengatakan bahwa rujuk itu adalah sunat, Dalil yang digunakan
jumhur ulama itu adalah firman Allah SWTdalam surat al-Baqarah ayat 229 :
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”.
Kata imsak dalam ayat pertama dan kata rad dalam ayat kedua
mengandung maksud yang sama yaitu kembalinya suami kepada istri yang telah
diceraikannya. Tidak ada perintah yang tegas dalam kedua ayat tersebut untuk
ruuk. Adanya perintah Nabi supaya Ibnu Umar rujuk karena sebelumnya dia
menalaknya dalam keadaan haid. Oleh karenan itu hukum rujuk iru adalah sunat.
[6][6] Ibnu Rusyd membagi hukum ruju‟ kepada dua, yaitu hukum ruju‟ pada
talak raj‟i dan hukum ruju‟ pada ta;ak ba‟in :
Fuqaha juga sependapat bahwa syarat talak raj‟i ini harus terjadi setelah
dukhul (bersetubuh) dan rujuk dapat terjadi dengan kata-kata dan saksI.
V
Rujuk terhadap wanita yang ditalak ba‟in terbatas hanya terhadap wanita
yang ditalak melalui khluu‟, dengan tebusan, dengan syarat dicampuri dan
hendaknya talaknya tersebut bukan talak tiga. Ulama empat madzhab sepakat
bahwa hukum wanita seperti itu sama dengan wanita lain (bukan istri) yang untuk
mengawininya kembali disyaratkan adanya akad, mahar, wali, kesediaan si
wanita. Hanya saja dalam hal ini selesainya iddah tidak dianggap sebagai syarat.
Hukum ruju‟ setelah talak tersebut sama dengan nikah baru. Mazhab
empat sepakat bahwa hukum wanita seperti itu sama dengan wanita lain (bukan
istri) yang untuk mengawinkannya kembali disyaratkan adanya akad. Hanya saja
dalam hal ini selesainya, iddah tidak dianggap sebagai syarat.
Mengenai istri yang ditalak tiga kali, para ulama mengatakan bahwa ia
tidak halal lagi bagi suaminya yang pertama, kecuali sesudah digauli oleh suami
kedua, berdasarkan hadits Rifa‟ah :
2) Nikah Muhalil
Imam Malik berpendapat bahwa nikah tersebut rusak dan harus difasakh,
baik sesudah maupun sebelum terjadinya pergaulan. Demikian pula syarat
tersebut rusak dan tidak berakibat halalnya perumpuan tersebut. Dan baginya
keinginan istri untuk menikah tahlil tidak dipegangi, tetapi keinginan lelaki itulah
yang dipegangi. Imam Malik dan pengikutnya beralasan dengan hadits yang
diriwayatkan dari Nabi SAW. Dari Ali bin Abi Thalib r.a, Ibnu Mas‟ud r.a, Abu
Hurairah r.a dan Uqbah bin Amir r.a
VI
2. Syarat syarat rujuk
1. Syarat rujuk dari sisi istri adalah istri yang telah ditalak pernah
melakukan hubungan seksual dengan sang suami. Jika suami menalak
istri yang belum pernah melakukan hubungan seksual bersama, ia
nggak berhak mengajak rujukan. Hal ini sudah merupakan kesepakatan
para ulama.
2. Syarat rujuk dari sisi suami adalah ia nggak boleh merasa terpaksa kala
mengajak rujuk istrinya, berakal sehat, dan sudah akil baligh atau
dewasa.
3. Talak yang jatuh bukanlah talak tiga, melainkan talak raj'i.
4. Talak yang terjadi tanpa tebusan. Jika dengan tebusan, istri menjadi
talak bain (talak yang dijatuhkan suami pada istrinya yang telah habis
masa iddah-nya) dan suami nggak dapat mengajak istrinya untuk
rujukan.
5. Rujuk dilakukan pada masa iddah atau masa menunggu istri. Jika
sudah lewat masa iddah, suami nggak dapat mengajak istri untuk rujuk
kembali dan ini sudah menjadi kesepakatan para ulama fikih.
6. Adanya ucapan jelas atau tersirat untuk mengajak rujukan
7. Adanya saksi yang menyaksikan suami dan istri rujuk kembali.
Sebagaimana firman Allah swt yang berbunyi: “Maka bila mereka
telah mendekati akhir iddahnya, maka rujuklah (kembali kepada)
mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan
hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” (Q.S. at-Talaq:
2).
3. Cara-cara ruju
Tata cara rujuk setelah perceraian suami istri
VII
PPN membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk setelah perceraian
suami istri dan mengirimnya ke Pengadilan Agama yang mengeluarkan akta talak
yang bersangkutan
B.Macam-macamnya
Istri yang telah bercerai dengan suaminya tetapi belum sempat
berhubungan suami istri, maka tidak akan dikenai iddah. Akan tetapi bila pernah
bergaul sebagaimana layaknya suami istri, maka wajib melakukan iddah dengan
ketentuan sebagai berikut :
Bagi perempuan yang masi haid, maka iddahnya adalah tiga kali suci,
sebagaimana yang dijelaskan pada firman Allah tersebut diatas
Bagi perempuan yang sudah tidak haid lagi karena usia maupun penyakit,
maka iddahnya adalah selama tiga bulan. Sebagaimana firman Allah :
َو الاَّل ِئي َيِئْس َن ِم َن اْلَم ِح يِض ِم ْن ِنَس اِئُك ْم ِإِن اْر َتْبُتْم َفِع َّد ُتُهَّن َثاَل َثُة َأْش ُهٍر َو الاَّل ِئي َلْم
َيِح ْض َن
Artinya " Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi, baik karena usia
maupun penyakit, maka iddahnya tiga bulan. Demikian pula perempuan-
perempuan yang belum mengalami haid".(Q.S.at-Talaq ayat 4).
VIII
Bagi wanita yang sedang mengandung, maka iddahnya sampai melahirkan.
Firman Allah :
َو ُأواَل ُت اَأْلْح َم اِل َأَج ُلُهَّن َأْن َيَض ْع َن َحْم َلُهَّن ۚ َو َم ْن َيَّتِق َهَّللا َيْج َع ْل َلُه ِم ْن َأْم ِر ِه ُيْسًرا
Artinya :"Perempuan-perempuan yang sedang mengandung iddahnya
sampai melahirkan anaknya (Q.S.at-Talaq ayat 4)
Istihadhah adalah darah yang berasal dari urat yang pecah / putus dan
keluarnya bukan pada waktu haid/nifas tetapi terkadang juga keluar pada masa
haid dan saat nifas, karena dia adalah darah berupa penyakit, maka tidak akan
berhenti mengalir sampai wanita itu sembuh darinya.
َو اْلُم َطَّلٰق ُت َيَتَر َّبْص َن ِبَاْنُفِس ِهَّن َثٰل َثَة ُقُر ْۤو ٍۗء َو اَل َيِح ُّل َلُهَّن َاْن َّيْك ُتْم َن َم ا َخ َلَق ُهّٰللا ِفْٓي
َاْر َح اِم ِهَّن ِاْن ُك َّن ُيْؤ ِم َّن ِباِهّٰلل َو اْلَيْو ِم اٰاْل ِخ ِۗر َو ُبُعْو َلُتُهَّن َاَح ُّق ِبَر ِّد ِهَّن ِفْي ٰذ ِلَك ِاْن َاَر اُد ْٓو ا ِاْص اَل ًحا
ۗࣖ َو َلُهَّن ِم ْثُل اَّلِذ ْي َع َلْيِهَّن ِباْلَم ْع ُرْو ِۖف َو ِللِّر َج اِل َع َلْيِهَّن َد َر َج ٌةۗ َو ُهّٰللا َع ِز ْيٌز َح ِكْيٌم
Artinya: "Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka
menunggu tiga kali quru. Mereka tidak boleh menyembunyikan apa yang
diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhir. Dan para suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam (masa)
itu, jika mereka menghendaki perbaikan.
Quru yang dimaksud adalah haid atau suci. Jadi wanita itu menunggu tiga
kali quru maksudnya menanti tiga kali datang bulan (menstruasi) sampai suci
kembali.
IX
َو اَّلِذ ْيَن ُيَتَو َّفْو َن ِم ْنُك ْم َو َيَذ ُرْو َن َاْز َو اًجا َّيَتَر َّبْص َن ِبَاْنُفِس ِهَّن َاْر َبَع َة َاْش ُهٍر َّوَع ْش ًراۚ فِاَذ ا
َبَلْغ َن َاَج َلُهَّن َفاَل ُجَناَح َع َلْيُك ْم ِفْيَم ا َفَع ْلَن ِفْٓي َاْنُفِس ِهَّن ِباْلَم ْع ُرْو ِۗف َو ُهّٰللا ِبَم ا َتْع َم ُلْو َن َخ ِبْيٌر
َو اْلُم َطَّلَقاُت َيَتَر َّبْص َن ِبَأْنُفِس ِهَّن َثاَل َثَة ُقُروٍء ۚ َو اَل َيِح ُّل َلُهَّن َأْن َيْك ُتْم َن َم ا َخ َلَق ُهَّللا ِفي
َۚأْر َح اِم ِهَّن ِإْن ُك َّن ُيْؤ ِم َّن ِباِهَّلل َو اْلَيْو ِم اآْل ِخ ِر ۚ َو ُبُعوَلُتُهَّن َأَح ُّق ِبَر ِّد ِهَّن ِفي َٰذ ِلَك ِإْن َأَر اُدوا ِإْص اَل ًحا
َو َلُهَّن ِم ْثُل اَّلِذ ي َع َلْيِهَّن ِباْلَم ْعُروِف ۚ َو ِللِّر َج اِل َع َلْيِهَّن َد َر َج ٌةۗ َو ُهَّللا َع ِز يٌز َح ِكيٌم
Artinya "Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru' tidak boleh menyembunyikan apa yang diciptakan
Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan
suami-suami berhak merujuknya dalam masa menanti itu , jika mereka para suami
nenghendaki ishlah. Dan para mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu
tingkatan kelebihan dari pada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana". (Q.S.Al-baqarah ayat 228)
X
letaknya pada tempat yang umum, maka pengertian yang diberikan pengeluaran
yang digunakan seseorang untuk keperluan yang baik.
B.Dasar hukum
Dalam firman Allah SWT yang lain dijelaskan sebagai berikut:
أسكنوهن من حيث س´´كنتم من وجدكم وال تضاروهن لتضيقوا عليهن وإن كن أوالت حمل فأنفقوا عليهن
لينفق،حتى يضعن حملهن فإن أرضعن لكم فآتوهن أجورهن وأتمروا بينكم بمعروف وإن تعاسرتم فسترضع له أخرى
س´يجعل هللا بعد عسر يسرى, اليكلف هللا نفسا اال ماءاتها, ومن قدر عليه رزقه فلينفق مماءاته هللا,ذوسعة من سعته
)٧ -٦ :(الطالق
أن هندا بنت عتبه قالت يارسول هللا صلى هللا عليه وسلم ان أبا سفيان رجل: عن عائشة رضي هللا عنها
) وليس يعطينى وولدى اال ما اخذت منه – وهو ال يعلم قال خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف (رواه البخاري: شيخ
XI
Dari ilustrasi hadits di atas maka dapat dipahami, bahwa kewajiban
memberikan nafkah kepada isteri oleh suami tidak saja dilakukan secara terang-
terangan, melainkan secara sembunyi-sembunyi. Artinya apabila suami tidak
memberikan nafkah, maka isteri berhak mengambil harta tanpa sepengetahuan
suaminya untuk keperluan hidup dengan sekadar secukupnya. Di sisi lain,
kewajiban memberikan nafkah tidak saja dilakukan pada waktu-waktu biasa,
melainkan ketika isteri menyeleweng dan mendapatkan sanksi dari suami, tetap
wajib menerima biaya hidup dari suaminya.
Semua ulama fiqh sependapat, bahwa wajib menafkahi isteri oleh semua
suami, bila semua isteri telah baligh, kecuali bila isteri durhaka kepadanya. Di
antaranya Ibnu Mundzir terdapat pemahaman, bahwa isteri yang durhaka boleh
ditahan di rumah, sehingga dia tidak boleh berbuat bebas dan tidak dapat pergi
berusaha, tapi wajib dibiayai.
Akadnya sah
Istri itu memberikan tamkin kepada suaminya untuk dapat ditamattu‟i.
Istri tidak keberatan untuk pindah tempat apabila suami
menghendakinya, kecuali apabila suami bermaksud jahat dengan
kepergiannya itu atau tidak membuat aman diri istri dan kekayaannya.
Istri masih mampu melaksanakan kewajibannya.
Istri masih kecil atau belum baligh meskipun sudah menyerahkan diri
untuk dicampuri. Sebaliknya kalau yang masih kecil adalah suaminya
sedangkan istrinya sudah baligh,maka nafkah wajib dibayar, sebab
kemungkinan nafkah itu ada di pihak istri. Sedangkan halangan tidak
menerima nafkah itu dari pihak suami.
Istri tidak mampu digauli karena suatu sebab selain karena masih kecil,
misalnya keadaanya rataq (farji tertutup daging) atau sakit atau gila.
Apabila istri pergi dari rumah suaminya seorang diri tanpa alas an shar‟I>
atau tanpa izin suami ke tempat yang diperbolehkannya
Istri dipenjara
Istri melakukan tindakan yang dilarang suaminya
Istri nushuz (menyimpang dari ketaatan suami). Nushu disebabkan oleh
tiga hal yaitu
XII
Istri menolak suami untuk melakukan istimtā.
Keluarnya istri dari tempat tinggalnya tanpa seizin suami yaitu
tempat tinggal istri yang mendapat kerelaan suami baik rumah
suami maupun bukan (rumah istri sendiri maupun rumah ayah
istri). Sebab-sebab diperbolehkannya istri keluar rumah dalam
beberapa hal antara lain:
Rumah yang ditempati istri akan runtuh
Istri menghawatirkan dirinya atau hartanya dari orang
fa>siq atau pencuri
Untuk mencari nafkah dengan berdagang atau bekerja bila suaminya
mengalami kemiskinan (kemelaratan)
Sebab istri menutup pintu rumah (melarang suami masuk rumah)
Sebab bohongnya istri bahwa dirinya telah tertalak tiga.
Akad nikah batal atau rusak (fasakh), seperti dikemudian hari ternyata
kedua suami istri itu mempunyai hubungan mahram dan sebagainya, maka
istri wajib mengembalikan nafkah yang diberikan suaminya jika nafkah itu
diberikan berdasarkan keputusan Pengadilan, namun bila nafkah diberikan
tidak atas dasar keputusan Pengadilan, maka pihak istri tidak wajib
mengembalikannya.
لُِيْنِفْق ُذ ْو َسَعٍة ِّم ْن َسَع ِتٖۗه َو َم ْن ُقِدَر َع َلْيِه ِرْز ُقٗه َفْلُيْنِفْق ِمَّم آ ٰا ٰت ىُه ُۗهّٰللا اَل ُيَك ِّلُف ُهّٰللا َنْفًسا ِااَّل
َم آ ٰا ٰت ىَهۗا َسَيْج َع ُل ُهّٰللا َبْع َد ُعْس ٍر ُّيْسًرا
XIII
Selain itu, suami yang mengalami kesulitan ekonomi meski sudah
berusaha juga menjadikan istri boleh dan dianjurkan ikut membantu
menggunakkan harta pribadinya, ataupun meminjam kepada tetangganya.
Nantinya uang tersebut akan jatuh sebagai hutang milik suaminya.
Namun disisi lain, kondisi suami yang tidak mampu memberi nafkah ini
juga dapat menjadi dasar diperbolehkannya fasakh, yakni pembatalan perkawinan.
Sebagaimana dikutip dalam Al-Majmu’syarh Al-Muhadzdzab jilid XVII, hal. 269:
الن بدنها يقوم بنفقة المعسر وان، وال يثبت لها الخيار في فسخ النكاح،نفقة المعسر
أعسر بنفقة المعسر كانت بالخيار بين أن تصبر وبين أن تفسخ النكاح.
XIV
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Rujuk, iddah, dan nafkah adalah konsep yang penting dalam pernikahan
dalam konteks agama Islam. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai ketiga
konsep tersebut:
Rujuk
Iddah
Iddah adalah masa tunggu yang harus dijalani oleh seorang wanita setelah
talak atau kematian suami. Masa iddah ini memiliki beberapa tujuan, antara lain
untuk memastikan bahwa tidak ada kehamilan, memberikan waktu bagi pasangan
untuk merenungkan keputusan mereka, dan melindungi hak-hak perempuan. Masa
iddah setelah talak raj'i (talak yang masih bisa dirujuk kembali) adalah talak satu
atau talak dua, bukan talak bain (talak yang tidak bisa dirujuk kembali). Selama
masa iddah, pasangan masih memiliki ikatan pernikahan dan tidak boleh tidur di
luar rumah kecuali dalam keadaan darurat.
Nafkah
Dalam Islam, rujuk, iddah, dan nafkah merupakan bagian dari tata cara
dan ketentuan pernikahan yang diatur oleh hukum Islam. Ketentuan ini bertujuan
untuk melindungi hak-hak perempuan dan menjaga kestabilan keluarga. Penting
bagi pasangan yang mengalami talak dan ingin rujuk untuk memahami ketentuan
dan tata cara yang berlaku dalam agama Islam serta berkonsultasi dengan ahli
agama atau lembaga yang berwenang untuk mendapatkan panduan yang lebih
rinci. Semoga penjelasan ini dapat memberikan gambaran singkat mengenai rujuk,
iddah, dan nafkah dalam konteks pernikahan Islam. Jika Anda memiliki
pertanyaan lebih lanjut, jangan ragu untuk bertanya.
XV
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Zuhaili, Wahbah. Fiqih Imam Syafi’i, alih bahasa Muhammad
Afifi dan Abdul Hafiz. Juz.II, Cet. 1,(Jakarta: Al-Mahira, Vol. 3, No. 2, 2008).
Hal.496.
Dr. H. Amiur nuruddin & Drs. Azhari Akmal Nuruddin, Hukum Perdata
Islam di Indonesia (studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No.
1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006).
XVI