Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

HUKUM PERDATA ISLAM


“RUJUK”

Dosen Pengampu :
Hatoli, S.,Sy, M.H

OLEH:

RISKY GHAFIZKY
NIM 302.2019.028
SEMESTER : 2B

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM SULTAN MUHAMMAD SYAFIUDDIN
SAMBAS
2020 M/ 1441 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata Islam program studi Hukum Tata
Negara. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan Nabi besar
Muhammad SAW beserta sahabat, keluarga maupun para pengikutnya yang setia
hingga akhir zaman. Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih
banyak terdapat kelemahan dan kekurangan. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini menjadi
lebih baik lagi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Hatoli,
S.Sy., MH selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Perdata Islam yang telah
mempercayakan dan memberi penulis tugas makalah ini. Semoga makalah ini bisa
bermanfat bagi penulis dan pembaca.

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman :
KATA PENGANTAR....................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Terminologi Perceraian Dalam Hukum Islam......................................2
B. Hukum Rujuk........................................................................................3
C. Macam Rujuk........................................................................................3
1. Talak Satu Dan Dua........................................................................3
2. Talak Tiga.......................................................................................4
D. Tata Cara Rujuk....................................................................................4
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...........................................................................................6
B. Saran.....................................................................................................6
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................7

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Zaman sekarang perceraian semakin meningkat dengan tajam.
Penyebabnya bermacam-macam diantaranya dengan kata talak, li’an,
fasakh, khuluk dan lainnya. Setelah jatuh talak maka perempuan akan
mendapatkan masa iddah, dan dimasa iddahlah suami dapat merujuk
kembali istri jika ingin kembali hidup bersama lagi.
Dalam perkara rujuk tidak semua orang sudah dapat memahami
prosedur dalam rujuk.  Hal inilah yang membuat saya tertarik untuk
membuat makalah dengan judul Rujuk dalam Hukum Islam, selain itu
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fikih Munakahat.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Rujuk dalam Hukum Islam?
2. Seperti Apa Hukum Rujuk?
3. Apa saja Macam Rujuk?
4. Bagaimana Tata Cara Rujuk?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Terminologi Perceraian Dalam Hukum Islam


Rujuk atau dalam istilah hukum disebut raj’ah secara arti kata
berarti kembali. Orang yang rujuk kepada istrinya berarti kembali
kepada istrinya. Sedangkan definisinya dalam pengertian fiqih menurut
al-Mahally ialah:
‫ال ّردالى النكا ح من طال ق غير با ئن ف العد ة‬
“Kembali dalam hubungan perkawinan dari cerai yang bukan
ba’in, selama dalam masa iddah”.
Rujuk  yang berasal dari bahasa Arab telah menjadi bahasa
Indonesia terpakai yang artinya menurut KBBI adalah kembalinya
suami kepada istrinya yang ditalak, yaitu talak satu, talak dua, dalam
masa iddah. Definisi yang dikemukakan KKBI tersebut secara esensial
bersamaan maksudnya dengan yang dikemukakan dalam kitab fiqh,
meskipun redaksional sedikit berbeda. Dari definisi-definisi tersebut
terlihat beberapa kata kunci yang menunjukkan hakikat dari perbuatan
hukum yang bernama rujuk itu. (Syarifuddin, 2006: 337).
Pertama: kata atau ungkapan “kembalinya suami kepada istri”. Hal
ini mengandung arti bahwa diantara keduanya sebelumnya telah terikat
dalam tali  perkawinan, namun ikatan tersebut telah berakhir dengan
perceraian.1
Kedua: ungkapan atau kata “yang telah ditalak dalam
bentuk rajiyy”, mengandung arti bahwa istri yang bercerai dengan
suaminya itu dalam bentuk yang belum putus (ba’in). Hal ini
menunjukkan bahwa kembali kepada istri yang belum dicerai atau
telah dicerai tetapi tidak dalam  bentuk raj’iyy, tidak disebut rujuk.

1
Abidin, Slamet dan Aminuddin. 1999. Fiqih Munakahat. Bandung: CV Pustaka Setia.

2
3

Ketiga: kata atau ungkapan “masih dalam masa iddah”,


mengandung arti bahwa rujuk itu hanya terjadi selama istri masih
berada dalam iddah. (Syarifuddin, 2006: 338).
B. Hukum Rujuk
Bukan saja pengertian rujuk yang harus Anda pahami, tetapi
tentang hukum, syarat, rukun, dan contohnya harus juga dipelajari
lebih mendalam. Perihal hukum rujuk, para ulama sepakat,
berdasarkan berdasarkan hukum asalnya yaitu mubah (boleh),
kemudian bisa berubah menjadi wajib, sunnah, makruh, dan haram,
tergantung dari kondisi dan situasi dalam kasus perceraiannya. Berikut
hukum rujuk dan alasannya:
Mubah (boleh), adalah hukum asalnya
Wajib, yaitu ketika suami memiliki istri lebih dari satu dan
pernyataan talak dijatuhkan sebelum menyelesaikan hak-hak istri
tersebut, maka wajib hukumnya bagi suami untuk kembali (rujuk) pada
istri yang di talak-nya.
Sunnah, yaitu ketika percerian berdampak buruk bagi kedua belah
pihak dan keluarga, maka rujuk adalah jalan terbaik.
Makruh, yaitu apabila setelah perceraian segalanya menjadi lebih
baik dibanding harus kembali (rujuk).2
Haram, yaitu apabila dimaksudakan untuk menyakiti dan
menganiaya salah satu pihak.

C. Macam Rujuk
Macam-macam rujuk tidak lepas dari macam-macam talak, yakni
ada dua:
1. Talak Satu Dan Dua
Macam rujuk ini disebut juga dengan istilah rujuk talak
raj’i. Sesuai pula dengan firman Allah SWT.
ِ ‫ُوف أَوْ تَس‬
‫ْري ٌح بِإِحْ َسا ٍن‬ ٌ ‫َان فَإِ ْم َسا‬
ٍ ‫ك بِ َم ْعر‬ ُ َ‫الطَّال‬
ِ ‫ق َم َّرت‬

2
Basyir, Ahmad Azhar. 2007. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press Yogyakarta.
4

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan (talak ketiga)
dengan cara yang baik. (QS. Al-Baqarah : 229).
Dan diperkuat lagi dengan hadist rasulullah SAW yang
diriwayatkan oleh sahabat Umar Radhiyallahu ‘Anhu dan
dipastikan status hadisnya shahih.
“Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu, waktu itu beliau
ditanya oleh seseorang dan ia berkata: “adapun engkau yang
telah menceraikan (istri) baru sekali atau dua kali, maka
sesungguhnya Rasulullah SAW menyuruh aku merujuk istriku
kembali.” (HR. Muslim)
2. Talak Tiga
Rujuk talak ba’in ini tidak bisa dilakukan meskipun istri
masih dalam masa ‘iddah, seperti halnya rujuk talak raj’i. Akan
tetapi, bekas istri harus menikah terlebih dahulu dengan orang
lain, keduanya sudah bersetubuh, lalu suami kedua
menceraikan wanita tersebut.
Setelah ia diceraikan dan masa ‘iddahnya sempurna,
barulah suami pertama bisa merujuk istrinya kembali.

D. Tata Cara Rujuk


Tata cara Rujuk dalam kompilasi hukum Islam pasal 167:
1. Suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama
istrinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami istri
dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat
keterangan lain yang diperlukan.3
2. Rujuk dilakukan dengan persetujuan istri dihadapan Pegawai
Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.

3
Kompilasi Hukum Islam pasal 167
5

3. Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat


Nikah memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan
merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum
munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan itu masih dalam
iddah talak raj’i, apakah perempuan yang dirujuk itu adalah
istrinya.
4. Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing
yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku
Pendaftaran Rujuk.
5. Setelah rujuk itu dilaksanakan, pegawai pencatat nikah
menasehati suami istri tentang hukum-hukum dan kewajiban
mereka yang berhubungan dengan rujuk. (Kompilasi Hukum
Islam, 2007:51)4

4
Syarifudin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia. Jakarta: Kencana.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Rujuk adalah mengembalikan status hukum perkawinan secara
penuh setlah terjadi talak raj’i yang dilakukan oleh bekas suami
terhadap bekas istrinya dalam masa iddah, dengan ucapan tertentu.
Seorang suami yang hendak rujuk kepada istrinya, menurut Syafi’i
dan Hanbali harus ada dua orang yang menjadi saksi. Hal tersebut
digunakan untuk menghindari kemadhorotan dan menghindari fitnah
atau gunjingan masyarakat. Hal ini berbeda dengan pendapat Hanafi
dan Maliki serta jumhur ulama lainnya, bahwa mendatangkan orang
untuk menjadi saksi pada pelaksanaan talak adalah sunnah, bukan
wajib. Demikian juga dengan hukum mendatangkan saksi untuk proses
rujuk adalah sunnah, apalagi fungsi rujuk adalah untuk meneruskan
pernikahan yang lama, sehingga rujuk itu tidak perlu kehadiran wali
dan kerelaannya orang yang dirujuki.
Rujuk hanya terjadi melalui perkataan bukan perbuatan, seperti
bercampur atau yang lainnya. Rujuk seseorang terhadap istrinya tidak
dinyatakan sah hingga ia mengucapkan perkataan yang bermakna
rujuk.
Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) mengatur persoalan rujuk ini pada
bab XVIII pasal 163-166, sedangkan tatacara rujuk diatur dalam pasal
167-169

B. Saran
Demikianlah yang dapat penulis paparkan mengenai materi yang
menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak
kekurangan dikarenakan terbatasnya pengetahuan dan kurangnya
referensi. Semoga makalah ini berguna bagi penulis dan para
pembaca. 

6
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Slamet dan Aminuddin. 1999. Fiqih Munakahat. Bandung: CV


Pustaka Setia.

Basyir, Ahmad Azhar. 2007. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII


Press Yogyakarta.

Kompilasi Hukum Islam pasal 167.

Syarifudin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia. Jakarta:


Kencana.

Anda mungkin juga menyukai